Tuesday 26 May 2015

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura



ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ ﻛﻮﺗﻲ ﻛﺮﺗﺎﻧﯖﺮﺍ ﺇڠ ﻣﺮﺗﺎﺩﭬﻮﺭﺍ

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura

13001960       
               
Bendera  
  Lambang
  

Ibu kota               Kutai Lama (1300-1732)
Pemarangan (1732-1782)
Tepian Pandan (1782-1960)
Bahasa  Bahasa Melayu (dialek Kutai)
Agama  Islam (resmi)
Kaharingan
Animisme
Kristen

Pemerintahan   Monarki

Sultan  
 -             1300-1325            Aji Batara Agung Dewa Sakti
 -             1920-1960            Aji Muhammad Parikesit
 -             2001-sekarang   Aji Muhammad Salehuddin II

Sejarah

 -             Didirikan              1300
 -             Menjadi kesultanan       
 -             Dihidupkan kembali       
 -             Masuk wilayah Indonesia             1960
Sekarang bagian dari      Indonesia

Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Daftar isi 

1 Sejarah
1.1 Pendirian
1.2 Pemindahan ibukota kerajaan
1.3 Serangan kapal Inggris
1.4 Pembukaan tambang batubara pertama
1.5 Kedatangan Jepang
1.6 Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
2 Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
3 Wilayah
4 Keraton Kesultanan
5 Gelar kebangsawanan
6 Lihat pula
7 Referensi
8 Pranala luar

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.
  
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan Ibukota Kerajaan

Peta Perpindahan Ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara antara tahun 1300-1960

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
  
Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama


Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, dia wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.


Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan dia pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Kabupaten Kutai Kartanegara
Kabupaten Kutai Barat
Kabupaten Kutai Timur
Kota Balikpapan
Kota Bontang
Kota Samarinda
Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang sekarang menjadi Museum Mulawarman.

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.


Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.


Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.

Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, dia dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:

Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Daftar Sultan Kutai

Referensi

^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1. Unknown parameter |fisrt= ignored (help)ISBN 9789794074107
^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0.ISBN 978-602-8397-21-6
^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n.
^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358.
^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/7.AnisMaskhur.pdf

(Indonesia)Sejarah Kerajaan Kutai di MelayuOnline.com

Source : wikipedia

WARISAN KAUM KADAZANDUSUN



Pengenalan

WARISAN BUDAYA KAUM KADAZANDUSUN

        Masyarakat Kadazandusun ini memiliki banyak budaya yang boleh diwarisi contohnya dari segi asal-usul, lagenda dan perkembangan suku kaum Kadazandusun, bahasa, pakaian tradisional, muzik berunsurkan tradisional, corak kehidupan masyarakatnya, tarian tradisional dan kemuncak bagi pemartabatan warisan budaya Kadazandusun ialah Perayaan Pesta Kaamatan yang diadakan pada setiap tahun.
Dalam aspek asal-usul, lagenda dan perkembangan suku kaum Kadazandusun menjelaskan tentang kelahiran kaum Kadazandusun dan lagenda kelahiran kaum ini bermula dari "Nunuk Ragang" sehinggalah kepada perkembangan dan penyebaran sukukaum ini ke seluruh pelusuk negeri Sabah yang telah banyak mempengaruhi sosio budaya mereka mengikut tempat yang baru, contohnya dari aspek bahasa dan corak kehidupan mereka. Mengikut statistik, terdapat lebih kurang 40 etnik yang terdapat dalam suku kaum Kadazandusun.
       Dari aspek bahasa, perbezaan loghat, sebutan dan ejaan banyak dipengaruhi mengikut etnik tertentu. Contohnya, sebutan dan ejaan sukukaum Kadazandusun dari satu daerah dengan daerah lain di negeri sabah adalah berlainan tetapi masih membawa erti dan makna yang sama. Pada dasarnya bangsa Kadazandusun bertutur bahasa Kadazandusun yang disandarkan pada dialek Bunduliwan dan diperkayakan dengan dialek-dialek etnik yang lain. Meskipun bahasa Kadazandusun mempunyai berbagai dialek berdasarkan dialek Bunduliwan, mereka saling mengerti di antara satu dengan lain. Bahasa Kadazandusun bolehdibahagikan dalam empat kumpulan dialek seperti berikut;

- Dialek Kadazandusun Pantai Barat
- Dialek Kadazandusun Pantai Timur
- DialekKadazandusun Utara
- Dialek Kadazandusun Pedalaman

        Pakaian tradisi ini pula berbeza mengikut kawasan dan sosio budaya sukukaum Kadazandusun. Dalam aspek ini, tumpuan diberikan kepada corak pakaian dalam perayaan tertentu. Setiap etnik dalam Kadazandusun mempunyai pakaian tradisinya sendiri.
Muzik tradisi yang ditonjolkan dalam kaum ini amat menarik dan unik. Alat-alat dan bunyi-bunyian tradisional ini banyak terdapat dalam suku kaum Kadazandusun dan ianya berpotensi untuk diwarisi oleh generasi muda kini. Antara lain alat-alat muzik tradisi yang popular ialah gong, sompoton, kulintangan, togunggu atau togunggak, bungkau, pumpuak, sundatang, suling, turali, tongkungon dan lain-lain lagi.
Disebabkan masyarakat Kadazandusun ini memiliki pelbagai budaya yang unik mengikut etnik tertentu maka corak hidup mereka juga berbeza mengikut tempat tertentu. Kebanyakan corak kehidupan mereka ini dipengaruhi oleh adat resam penduduk setempat. Adat resam inilah yang mempengaruhi corak kehidupan masyarakat Kadazandusun sesuatu kawasan.
        Dalam setiap upacara rasmi ataupun perayaan tertentu, tarian tradisional suku kaum Kadazandusun sering menjadi daya tarikan dan kemeriahan majlis tersebut. Setiap etnik dalam Kadazandusun mempunyai tarian tradisinya sendiri. Corak tarian tradisional ini dipengaruhi oleh sosio budaya kawasan tertentu.
Kemuncak bagi pemartabatan warisan budaya sukukaum Kadazandusun dan kesenian serta keunikannya ialah menerusi Perayaan Pesta Kaamatan yang diraikan pada setiap 30 dan 31 Mei setiap tahun. Dalam perayaan ini,berbagai acara menarik dan juga budaya kaum Kadazandusun yang ditonjolkan dan dipamerkan. Antara lain acara yang biasanya menjadi tarikan dalam Perayaan Pesta Kaamatan ialah "Unduk Ngadau" Kaamatan yang mempamerkan pakaian tradisi mengikut etnik.
Konklusi, masyarakat Kadazandusun memang memiliki warisan budaya yang sungguh unik, asli dan menarik. Justeru itu, melalui laman web ini sedikit sebanyak memberi penerangan dan penjelasan kepada para pembaca yang melayari laman web "Warisan Budaya Kaum Kadazandusun" supaya warisan budaya masyarakat Kadazandusun ini tetap dipelihara dan dikekalkan untuk tatapan dan penyelidikan generasi masa akan datang.
        Menurut Persatuan Kebudayaan Kadazandusun Sabah (KDCA), Kadazandusun merujuk kepada empat puluh satu etnik seperti berikut; ·
Bisaya, Kuijau, Murut, Sungai, Bonggi, Lingkabau, Nabai, Tatana, Bundu, Liwan, Paitan, Tangara, Dumpas, Lobu, Pingas, Tidong, Gana, Lotud, Rumanau, Tindal, Garo, Lundayo, Rungus, Tobilung, Idaan, Makiang, Sinobu, Tolinting, Kadayan, Malapi, Sinorupu, Tombonuo, Kimaragang, Mangkaak, Sonsogon, Tuhawon, Kolobuan Minokok, Sukang, Tutung.
Kita akui bahawa kesemua etnik di atas berasal dari Nunuk Ragang, iaitu satu petempatan awal Kadazandusun yang terletak di "Tompios" dalam daerah Ranau pada hari ini.

LAGENDA NUNUK RAGANG

Catatan yang lengkap mengenai Nunuk Ragang sudah lama hilang namun apa yang masih tinggal hanyalah teori-teori para ahli Sains Sosial dan cerita legenda.

TEORI SAINS SOSIAL

Terdapat sekurang-kurangnya empat teori mengenai asal-usul kaum kadazandusun.
Teori Pertama: Kaum Kadazandusun berasal dari keturunan "Mongoloid" (Ivor H.N. Evans:1923 dan T.R. Williams: 1965);
Teori Kedua : Kaum Kadazandusun berketurunan "Indo-Malayan" (T.R. Williams: 1965).
Teori Ketiga : Kaum Kadazandusun adalah kacukan kaum China (Ivor H.N. Evans:1923 dan Owen Rutter:19220
Teori Keempat : Kaum Kadazandusun adalah keturunan orang purba Gua Madai.

     Sejarah lisan atau Cerita Legenda yang popular menunjukkan bahawa Kadazandusun berasal dari tempat ini - "NUNUK RAGANG". Tempat ini terletak di sebuah kawasan di sekitar muara pertemuan dua batang sungai iaitu sungai Kogibangan (dari arah kiri) dan Sungai Kawananan (dari arah kanan) yang telah bercantuman menjadi sungai yang lebih besar, yang dinamakan Sungai Liwogu (Dalam dan Tenang). Kerana diliputi dengan "lembaga hidup yang kelihatan kemerahan-merahan" masing-masing dengan telatah dan perangainya.
        Di bawah pohon, di tebing sungai dan di atas sepanjang juntaian akar Nunuk - penuh dengan lembaga itu. Pantulan warna ke "kemerahan" semakin menyerlah apabila cahaya matahari terpancar ke arah tubuh lembaga-lembaga itu. Oleh yang demikian, Nunuk itu kelihatan seolah-olah "merah" lalu ia dipanggil Nunuk Ragang. (Aragang/Ragang(Bahasa Kadazandusun)=Merah.
Tanggapan bahawa Nunuk itu Merah atau Nunuk Ragang adalah kiasan bagi menggambarkan betapa ramainya manusia (lembaga merah) yang bersenda ria di sekitar kawasan Nunuk ini. Sebenarnya, manusia yang ramai dikiaskan sebagai "warna merah" apabila dilihat dari jarak jauh dan bukanlah pokok Nunuk itu yang berwarna merah.
        Sejak itu, nama NUNUK RAGANG ini menjadi "identity" rakyat Sabah yang mempercayai bahawa "asal-usul" mereka adalah dari kawasan ini. Tempat ini dikenali sebagai Pomogunan Nunuk Ragang, nama yang diambil bersempena dengan kewujudan pokok Nunuk, yang pada suatu ketika dahulu "merah" satu perlambangan menunjukkan betapa ramai manusia di tempat ini.
Di kawasan muara percantuman dua batang sungai ini, terdapat sepohon pokok Kayu Ara (Nunuk). Saiz pokok Nunuk itu sangat besar dan sebahagian daripada akar serta dahan-dahannya condong ke arah sungai Liwogu. Dahan-dahan dan akar terjuntai ke sungai, sangat sesuai sebagai tempat rekreasi seperti memanjat, bergayut, berteduh dan sebagainya.
         Penduduk di sini sangat ramai, ketika cuaca baik dan cahaya matahari memancar di ufuk barat dari jam 1.00 petang hingga 4.00 petang, ketika itulah ramai penduduk (tidak kira tua, muda, gadis, pemuda dan anak-anak dsb..) turun bermandi-manda di sungai Liwogu, sementara yang lain memanjat, bergayutan serta ramai yang berjemur di atas dahan-dahan rending Nunuk tersebut.
Suasana demikian berlaku hampir pada setiap hari dan pada masa yang hampir sama, kecuali cuaca tidak baik atau sungai Liwogu ini banjir. Maka apabila seseorang melihat pokok Nunuk dalam suasana seperti itu dari jarak jauh, sama ada dari puncak bukit mahupun dari sebarang sungai Liwogu, pemandangannya sangat menakjubkan. Pokok Nunuk kelihatan seolah-olah "aragang".

KEHIDUPAN MASYARAKAT NUNUK RAGANG

      Masyarakat terawal Kadazandusun dikatakan telah menghuni tempat ini dalam keadaan bebas, menikmati berbagai-bagai jenis bekalan makanan yang mencukupi, baik makanan daripada hutan mahupun daripada sungai serta hasil daripada usaha pertanian. Keperluan hidup yang lain juga mudah diperolehi di sekeliling perkampungan Nunuk Ragang ini.
Kehidupan mereka aman dan damai, bersatu padu, mogitabang-tabang, mogiuhup-uhup, otoluod, obinsianan, orulan, ohinomod, aparu, onimot, obingupus, okupi, obintinong, obingkanggau, obintumbayaan, obinronok, obiniangasan, otuyu, obingopi, mamantang, otorini, opori, oining, obintudau, osuau, opohawang, obulun om onitinginawo.
         Hidup yang tenang dan tenteram itu telah membolehkan mereka berfikir sambil menerokai "teknologi baru" bagi menambah kecekapan, menamnbah dan memudahkan urusan serta meningkatkan kesejahteraan hidup seharian. Bidang bidang yang diterokai antara lain ialah peralatan pakaian (seperti sinombiaka, tokuluk (sirung, linumbagai, golong, sinandang, limpogot, dll), peralatan pertanian (seperti ragus, basung, dangol, gagamas, kakali, guyudan, kisaran, tosung, rilibu/raya dll).
Peralatan perikanan (seperti tundalo, siud, bangkala, tambong, bubu sawak dll), peralatan penternakan(lukug, gading dll ), peralatan memburu (sopuk, tuwil, gaba, sungul, balatik, paliw, tandus, ramok, rungkasip, tabpai, sodik, tungkakub, pimpig, tawos dll), peralatan muzik dan bunyi-bunyian (seperti tagung, sompoton, turali, bungkau, suling pumpuak, dll), peralatan dan produk-produk ekonomi(seperti Bohungon, Basung, kakanan, luping, sigup, sada toosin, bilis, tipun, paha, tusi dll).


Adat Resam kaum Kadazandusun

Asal usul makanan

        Lazimnya, menurut kepercayaan suku kaum Kadazandusun, padi berasal daripada isi manusia yang bernama Huminodun. Huminodun ialah seorang gadis jelita anak kepada Kinoingan. Kinoringan ialah nama Tuhan bagi nenek moyang suka kaum Kadazandusun.
       Kinoringan telah mengorbankan anaknya Huminodun demi mengatasi masalah kebuluran di dunia. Menurut kepercayaan suku kaum ini, segala jenis bahan makanan yang utama berasal dari pelbagai bahagian badan Huminodun. Beras dari isinya yang putih melepak; darahnya yang merah telah bertukar menjadi lada; halia pula adalah jari jemari Huminodun; bawang 'tagaas' berasal dari rambut Huminodun; giginya bertukar menjadi jagung; kepalanya pula menjadi kelapa dan sebagainya.
       Oleh itu demi menghormati dan mensyukuri pengorbanan Kinoringan dan Huminodun, nenek moyang suku kaum ini mengadakan upacara-upacara adat seperti Momohizan dan Humabot.

Upacara Momohizan

        Upacara Momohizan ini diadakan pada bulan Ogos atau bulan September apabila padi selesai dituai. Upacara momohizan diadakan untuk memuja semangat padi dan memberi makan kepada penjaga semangat padi supaya membantu untuk menyuburkan padi dan melindungi padi dari sebarang penyakit atau bencana alam. Upacara momohizan biasanya berlangsung dirumah keluarga suku kaum Kadazandusun golongan berada. Sementara itu golongan yang kurang berada akan meminta untuk didoakan bersama ataupun dalam bahasa Kadazandusun 'mikiompit'.
      Dua minggu sebelum upacara ini diadakan tuan rumah akan meminta para penduduk kampung untuk menolongnya menyediakan 'tapai' iaitu sejenis minuman keras tradisi Kadazandusun. Upacara Momohizan dimulakan pada sebelah malam iaitu setelah semua jemputan hadir. Beberapa orang Bobohizan (bomoh suku kaum Kadazandusun) yang berpakaian serba hitam akan berkumpul dan memulakan upacara ini dengan memanggil 'miontong pomumuon' (penjaga rumah/semangat padi) Apabila selesai membaca mantera pemanggilan dalam kata lain apabila semua miontong dan 'tasab' (malaikat padi) sudah dihimpunkan maka Bobohizan akan menaburkan serbuk ragi (manasad) di atas nasi yang telah dihidangkan di atas nyiru dan diletakkan di ruang tengah rumah.
         Adalah dipercayai bahawa perbuatan manasad dilakukan bersama-sama dengan miontong. Setelah selesai manasad, nasi yang ditabur dengan ragi itu kemudian diisi ke dalam sukat (saging) dan diatas nasi itu diletakkan arang (popou), kemudian mulut sukat ini akan ditutup dengan daud simpur (daingin). Kemudian Bobohizan akan mengisi beras ke dalam nyiru yang berbentuk segitiga (hihibuh), ketua Bobohizan akan memungut sedikit beras dari nyiru dan meletakkannya ke atas gendang.
Sambil membaca mantera, Bobohizan akan mengetuk gendang dan kemudiannya memakan beras itu, tujuannya ialah untuk menjemput miontong sama-sama memakan beras tersebut. Selepas itu beberapa orang pelatih Bobohizan yang terdiri daripada sumandak (gadis-gadis sunti) akan berkumpul dan memukul gendang sambil menyanyi dan membaca mantera 'tumingak' dan diikuti dengan mantera 'sumava'. Seiringan dengan itu Bobohizan akan membungkus nasi dengan daun simpur. Nasi yang dibungkus ini kemudiannya dipungut sedikit-sedikit lalu diisi ke dalam tempayan kecil. Tempayan ini kemudiannya diletakkan di atas batang bambu yang tingginya kira-kira tiga kaki dan hujung bambu itu diletak untuk tempayan itu diletakkan. Batang bambu ini diikat pada tiang rumah dengan menggunakan tali kyang diperbuat daripada kelapa (hisad).
        Setelah itu Bobohizan akan menjemput 'miontong' untuk minum tapai (moginum) bersama-sama. Setelah itu bobohizan akan bersedia untuk menjemput dewata dari kayangan untuk turut serta makan minum dan memohon kepada mereka untuk menjaga dan melindungi padi serta keluarga suku kaum Kadazandusun.
Pelatih Bobohizan akan membaca mentara'mingau' dan diikuti dengan mentera 'kumodong sakazan' ini ialah untuk memanggil semangat kenderaan yang menurut mereka berbentuk perahu dan akan belayar terapung-rapung di udara. Para Bobohizan akan menutup muka mereka dengan kain sambil membaca mantera 'modsuut/soikung' iaitu memanggil roh-roh kayangan. Para Bobohizan ini akan menentukan arah tujuan masing-masing, biasanya dua orang Bobohizan akan belayar ke kayangan (minsavat).
Acara 'modsuut' ini diiringi dengan paluan gong tanpa henti dan Bobohizan pula membaca mantera dan mengoncang-goncangkan alat bunyian mereka yang diperbuat serpihan-serpihan besi disangkutkan pada serpihan tulang rusuk manusia yang dipercayai diturunkan oleh nenek moyang mereka yang merupakan pahlawan peperangan (misasangod). Alat bunyian ini dipanggil 'sindayang'.
Antara bahan makanan yang dihidang di tengah rumah sebagai jamuan 'mintong' ialah nasi, tapai, jeruk ikan (nosom) yang digaul dengan halia dan padi (santadang paai). 'Modsuut' memakan masa yang agak lama iaitu lebih kurang dari jam 1.00 tengah malam hingga jam 5.00 subuh. Apabila roh Bobohizan itu sudah turun ke bumi dengan roh-roh kayangan, maka Bobohizan akan berehat sebentar, samada mereka akan tidur atau makan.
       Semasa Bobohizan berehat, para jemputan akan menarikan tarian tradisional Kadazandusun iaitu sumazau. Di sebelah pagi pula iaitu lebih kurang jam 6.00 pagi Bobohizan akan memalu gendang sambil membaca mantera 'mihung', 'painsan', 'monduvazan dan Bobohizan akan menyanyikan mantera 'momosik' tompuvan' (mengejutkan pari-pari yang menjaga rumah).
Seterusnya Bobohizan akan menarik sehelai bulu dari seekor ayam yang telah disediakan sebagai korban. Korban biasanya ialah seekor ayam dengan seekor babi. Jantina korban mestilah bertentangan misalannya ayam jantan dengan babi betina dan sebaliknya. Sehelai bulu ayam tadi akan diikat pada hisad dan ianya akan dikuis pada tuan rumah dan para tetamu.
Ini ialah untuk melindungi mereka daripada serangan penyakit agar mereka akan sentiasa sihat dalam mengerjakan sawah padi masing-masing. Setelah itu tetamu akan dijamu dengan makanan yang telah disediakan seperti nasi, tapai, daging ayam, daging babi dan sebagainya. Setelah Bobohizan menjamu selera, mereka akan turun ke bawah rumah dan membawa korban itu bersama-sama mereka. Bobohizan akan membaca mantera sambil memegang ayam korban dan sumazau.
        Selepas membaca mantera, ayam akan disembelih dengan menusuk kepala ayam itu dengan benda tajam, kadangkala Bobohizan akan menggunakan klip rambut yang besar(titimbok). Setelah ayam itu mati, bulunya akan dibakar sehingga terhidu baunya. Ertinya ayam itu kini telahpun dikorbankan kepada miontong. Seterusnya Bobohizan akan memanggil 'miontong' untuk minum tapai iaitu dengan menuangkan sedikit tapai ke tanah.
           Setelah itu Bobohizan akan memotong, rumput dengqn parang dan membaca mantera 'manau' untuk meminta dewata pulang ke kayangan. Kemudiannya korban-korban itu akan dibawa naik semula ke rumah. Semasa para Bobohizan naik ke rumah, salah seorang tuan rumah akan merenjiskan air kepada Bobohizan sebagai membersihkan Bobohizan yang telah turun ke tanah. Bobohizan pula akan menyanyikan mantera 'sumamboi'.
           Bobohizan akan berehat seketika, kemudian acara 'magampah' akan diadakan dimana tetamu dan ahli keluarga tuan rumah terutamanya kanak-kanak akan duduk berkumpulan pada suatu tempat (lazimnya ditengah ruang tamu) lalu ditutup dengan kain yang besar sambil Bobohizan menari-nari mengelilingi mereka dengan membaca mantera dan memukul dua bilah parang (tandus atau ilang) di atas kain yang menutuoi kumpulan itu untuk menghalau penyakit.
           Bobohizan yang lainnya juga akan menari-nari mengelilingi kumpulan ini dengan menguis kain penutup dengan batang Lengkuas (tumbu) dan ohok (bunga). Apabila mantera selesai dibaca, Bobohizan akan mengangkat kain penutup dan mereka yang ditutup oleh kain itu akan bertempiaran lari kononya untuk meninggalkan penyakit ditempat mereka berekumpul tadi.
           Setelah itu Bobohizan dan para tetamu akan para tetamu akan sumazau. Selepas jamuan tengah hari, Bobohizan akan membaca mantera 'papasazau miontong' ini ialah untuk menjemput roh-roh penjaga rumah/padi berpesta menari sumazau bersama-sama. Sambil sumazau, Bobohizan akan memotong batang bambu (binabat) yang telah disediakan, kemudian disangkut pada dinding rumah.
Hisad juga akan dihiris-hiris oleh Bobohizan. Hisad yang jatuh ke lantai akandipungut dan ditabur diatas padi yang dipersembahkan sebagai korban kepada 'miontong'. Selepas itu Bobohizan akan berehat dan pada waktu inilah korban-korban seperti daging babi dan ayam dibersihkan dan dibahagi-bahagikan. Bahagian usus korban ini akan dibawa oleh Bobohizan ke sungai untuk dibersihkan. Upacara ini dinamakan 'humanau', ini juga bertujuan untuk memberi makan kepada miontong .
           Setelah itu kesemua Bobohizan akan mandi, membersihkan diri mereka. Semasa perjalanan kembali ke rumah tempat momohizan itu diadakan, Bobohizan dilarang untuk menoleh ke belakang atau tersadung kaki semasa berjalan. Upacara momohizan ini diadakan selama dua malam dan setengah hari. Malam keduanya Bobohizan akan membaca mantera 'modsuut' lagi tapi dengan roh penjaga rumah/padi saja.
Di sebelah pagi hari kedua, bahan korban akan dibahagi-bahagikan kepada para Bobohizan sebagai sogit dan selepas itu mereka akan dijamu dengan makanan dan minuman tapai, ketika inilah para tetamu dan Bobohizan akan berbalas pantun (kizat) atau syair (hius) dan acara ini sememangnya merupakan acara untuk berhibur yang di selangi dengan gelak ketawa dan usik mengusik. Setelah selesai makan, Bobohizan akan pulang ke rumah masing-masing dengan berbekalkan sogit (huus).

Humabot

        Upacara Humabot ialah adat suku kaum Kadazandusun yang diamalkan oleh nenek moyang suku kaum ini apabila mendirikan rumah baru. Sebuah keluarga suku kaum ini yang akan mendirikan rumah akan meminta Bobohizan untuk menjampi tanah tapak rumah itu didirikan.
Bobohizan memasukkan benda-benda seperti garam, butang baju dan kayu sapad ke liang tanah tempat tiang dipacakkan. Selepas itu Bobohizan akan merenjis air disekitar kawasan tapak rumah sambil membaca mantera, ini bertujuan untuk menghalau roh-roh jahat yang berkeliaran di tapak rumah tersebut yang dipercayai akan mendatangkan malapetaka ataupun dalam bahasa kadazandusun 'kopizo' Tiang akan dipacakkan jika tuan rumah termimpi baik, tetapi jika sebaliknya, maka tapak tiang akan dialihkan sedikit dari tapak asal.
       Apabila rumah sudah didirikan, Bobohizan akan dipanggil lagi dan kali ini upacara 'momodu' atau memandikan rumah akan dijalankan. Bobohizan akan membaca mantera sambil kaum lelaki akan menyalakan apai pada bambu yang hujungnya dibungkus dengan getah (sikalap) dan membawa obor ini mengililingi rangka-rangka atap rumah sambil bertempik sorak atau 'memangkis'. Ini bertujuan untuk menghalau roh-roh jahat pembawa malapetaka.
        Upacara ini biasanya disambut dengan keramaian dan para jemputan akan dihidangkan dengan jamuan. Tuan rumah juga akan memjemput ketua keluarga yang mempunyai ramai anak yang semua masih 'hidup', ke rumahnya dan meminta ketua keluarga itu baring sebentar pada alas tidur tuan rumah. Ini dipercayai bertujuan untuk menjemput rezeki yang berpanjangan kepada keluarga tuan rumah itu.
Sebulan selepas tuan rumah tinggal di rumah itu maka upacara 'momohontog sisit' iaitu upacara menghormati tiang rumah akan diadakan ianya merupakan acara keramaian seperti magagung, sumazau dan makan besar. Setahun selepas tuan rumah tinggal di rumah baru itu, upacara magavau akan diadakan untuk memuja semangat rumah.
        Seminggu selepas magavau diadakan upacara Humabot pula menyusul, upacara ini juga adalah upacara menghormati rumah dan ianya disambut dengan meriah sekali. Tapai akan disediakan untuk menjamu jemputan yang datang.
        Dalam upacara itu Bobohizan akan menjampi nasi untuk membuat tapai kemudian meletakkanya diatas daun simpur. Air perahan nasi tapai itu akan diminum dan nasinya pula dilontarkan ke dalam ketawai besar (bekas menyimpan padi), ini adalah untuk memberi makan kepada semangat padi 'bambazon' makan. Kaum lelaki juga akan melontarkan nasi tapai pada daun simpur itu ke dalam ketawai sambil bertempik sorak (memangkis) .
       Acara ini berterusan sehingga kesemua nas tapai yang diletakkan atas daun simpur itu habis. Upacara Humabot diadakan setiap selang satu tahun selepas ia diadakan dan lima tahun selepas rumah itu dihumi. Upacara ini juga merupakan upacara keramaian iaitu makan besar dimana seekor kerbau akan ditumbangkan sebagai sogit (korban).
         Moyang suku kaum ini mempercayai bahawa sekiranya upacara-upacara menghormati rumah baru ini tidak dilakukan maka malapetaka pasti akan menimpa keluarga yang tinggal dirumah baru itu, penyakit akan berleluasa, perkara-perkara ganjil dan mengerikan akan terjadi dirumah itu seperti beratus-ratus ekor tabuan (potizukon) akan mengelilingi rumah atau biawak akan tiba-tiba muncul dirumah baru itu


Bahasa

      Bahasa merupakan pengenalan dan asas perpaduan bagi semua kaum. Demikian juga dengan kaum Kadazandusun yang mempunyai bahasanya sendiri iaitu Bahasa Kadazandusun. Bahasa ini adalah identiti bagi sukukaum Kadazandusun. Sekiranya lenyap bahasa maka sesuatu kaum itu juga akan pupus. Oleh itu, Bahasa Kadazandusun ini haruslah dikembangkan dan dipelihara supaya tidak lenyap.
       Bagi mengembangkan dan memelihara bahasa ibunda kaum Kadazandusun ini lenyap maka beberapa usaha telah diambil contohnya Bahasa Kadazandusun ini telah mula diajar di beberapa buah sekolah rendah terpilih untuk projek perintis pengajaran dan pembelajaran Bahasa Kadazandusun.
      Kurikulum Bersepadu Bahasa Kadazandusun Sekolah Rendah adalah untuk memboleh murid menguasai kemahiran asas berkomunikasi dan memperolehi ilmu serta menghayati dan membanggai bahasa itu.
Pendidikan di negeri Sabah berkembang dengan adanya satu lagi Bahasa diajar dengan rasminya dalam sistem tertentu persekolahan sekolah rendah.
      Selain Jabatan Pendidikan Negeri Sabah, beberapa badan dan pertubuhan lain juga memainkan peranan penting dalam usaha pengembangan dan pemeliharaan Bahasa Kadazandusun contohnya Kadazandusun Language Foundation ( KLF ), Koisaan Cultural Development Institute ( KDI ), Persatuan Kebudayaan Kadazandusun Sabah ( KDCA ), Perpustakaan Negeri Sabah ( PNS ).
Kadazandusun merupakan suku kaum yang terbesar di negeri Sabah. Mereka menuturkan banyak dialek dalam bahasa Kadazandusun. Walaupun terdapat perbezaan ini namun ianya masih dalam rumpun suku kaum Kadazandusun.
      Dengan adanya pendidikan Bahasa Kadazandusun di sekolah rendah kini, maka bahasa Kadazandusun ini akan dapat di mertabatkan dan dikekalkan serta dapat dipelihara daripada pupus.


Makanan Tradisi

      Makanan bagi sesuatu kaum merupakan identiti dan pengenalan bagi sesuatu kaum. Terdapat banyak jenis makanan dalam masyarakat Kadazandusun.
Biasanya kita dapat melihat pelbagai jenis hidangan ini di musim perayaan seperti Pesta Kaamatan yang dirayakan setiap tahun iaitu 30 dan 31 Mei.
       Selain perayaan, biasanya suku kaum Kadazandusun yang tinggal di kampung, masih mengamalkan cara masakan atau hidangan secara tradisional ini.
Kita juga dapat melihat dan merasa hidangan seumpama ini pada masa upacara seperti perkahwinan dan majlis lain di adakan oleh suku kaum Kadazandusun.
Sesungguhnya makanan tradisional bagi kaum Kadazandusun ini amat berbeza dari kaum yang lain terdapat di negeri Sabah. Selain makanan ini lazat, sudah tentu ianya juga mempunyai keunikannya yang tersendiri.

Makanan Tradisi Kaum Kadazandusun

      Masyarakat Sabah telah dianugerahkan dengan pelbagai jenis makanan. Ini adalah kerana keadaan semulajadi bentuk muka buminya banyak membekalkan sumber pencarian makanan.
Contohnya, laut dan sungai yang dibekalkan dengan pelbagai jenis ikan, udang dan sebagainya, hutan rimba yang ditumbuhi dengan pelbagai jenis tumbuhan liar, herba, buah-buahan dan didiami pelbagai jenis hidupan liar. Masyarakat tempatan Sabah telah memperkenalkan pelbagai jenis makanan tradisi.
Kebiasaan ini diamalkan oleh lebih dari tiga puluh golongan etnik yang mana lebih dipengaruhi dengan cara hidup dan keadaan persekitaran tempat tinggal etnik tertentu.
Masyarakat kaum Kadazandusun di Sabah telah mengamalkan cara pemakanan Tradisi sejak turun-temurun dan masih diamalkan sehingga hari ini.
Antara makanan tradisi yang terkenal di kalangan kaum Kadazandusun ialah Hinava, Noonsom, Pinaasakan dan Sup Manuk Lihing. Makanan-makanan ini dapat disediakan dengan pelbagai cara mengikut kebiasaan amalan tradisi Kaum Kadazandusun.

HINAVA

     Hinava merupakan makanan yang paling popular di kalangan kaum Kadazandusun. Bahan yang diperlukan untuk penyediaan makanan ini ialah Isi ikan ( Ikan Tenggiri ) dihiris halus, biji buah bambangan yang telah diparut, cili merah, halia, bawang merah , limau kapas dan garam.

NOONSOM

         Noonsom lebih dikenali sebagai jeruk dalam Bahasa Melayu. Terdapat beberapa jenis Noonsom yang telah diperkenalkan oleh Kaum Kadazandusun.
Antara yang paling popular ialah Noonsom Sada (Ikan), Noonsom Bambangan dan Noonsom Tuhau.
Noonsom Sada - Ikan yang digunakan ialah jenis ikan air tawar, dibersihkan dan dijeruk menggunakan isi buah Pangi (ditumbuk ), nasi dan garam.
Campurkan kesemua bahan dan diisi ke dalam bekas botol/tajau kecil dan biarkan selama sepuluh atau dua belas hari sehingga boleh dimakan.
Noonsom Bambangan - Isi Buah Bambangan dihiris dan dicampur dengan biji buah bambangan yang telah diparut dan sedikit garam.
Apabila kesemua bahan dicampurkan, isikan ke dalam bekas botol atau tajau kecil dan biarkan selama seminggu sebelum dimakan.
Noonsom Tuhau - Isi Tuhau dihiris halus dan dijeruk dengan cuka, garam dan cili merah.
Apabila kesemua bahan telah dicampurkan, isikan ke dalam bekas botol dan biarkan beberapa minit sebelum dihidangkan.

PINAASAKAN

      Bahan yang diperlukan untuk penyediaan makanan ini ialah ikan ( ikan air tawar/ikan air laut ) , dibersihkan dan dicampur dengan sedikit biji kunyit dan halia yang telah ditumbuk, sedikit biji asam jawa atau buah asam 'takob-bakob' , garam, serbuk perasa dan sedikit air. Biarkan ia mendidih sehingga air hampir kering.

SUP MANUK LIHING

      Masakan ini lebih dikenali sebagai 'Sup Ayam Lihing' dalam Bahasa Melayu. Bahan yang diperlukan ialah seekor ayam kampung , sejenis minuman keras yang lebih dikenali 'Lihing' di kalangan kaum Kadazandusun dan hirisan halia.
Cara menyediakan, rebus daging ayam yang telah dipotong dengan setengah cawan lihing , hirisan halia, garam dan serbuk perasa. Biarkan ia mendidih sehingga daging ayam betul-betul lembut sebelum dihidangkan.
       Mengikut tradisi kaum Kadazandusun, makanan ini sangat sesuai untuk wanita yang baru lepas bersalin. Kebanyakan makanan tradisi kaum Kadazandusun hari ini boleh didapati di beberapa restoran tertentu yang biasa menyediakan makanan tradisi penduduk tempatan.
Selain dari itu, beberapa hotel terkemuka juga memilih untuk menghidangkan 'Hinava' sebagai hidangan khas untuk para pengunjungnya. Keunikan dan kepelbagaian makanan tradisi yang diperkenalkan oleh masyarakat tempatan Sabah hari ini merupakan salah satu lagi keistimewaan yang terdapat di negeri di bawah bayu ini.


Muzik Tradisional

JENIS ALAT MUZIK TRADISIONAL

       Kebanyakaan alat-alat muzik di Sabah dibuat daripada bahan-bahan asli. Sebagai contoh, tongkungon, turali, suling (atau seruling), sompoton dan togunggak diperbuat daripada buluh.
Alat lain seperti gambus, kompang dan gendang diperbuat daripada kulit kambing. Gong dan kulintangan dibuat daripada kayu lembut dan menyerupai gitar panjang bertali tiga yang dibuat daripada giman, sejenis gentian pokok palma. Alat-alat muzik di Sabah, dikelaskan kepada ;
Kordofon - (tongkungon, gambus,sundatang atau gagayan)
Erofon - (suling, turali atau tuahi, bungkau dan sompoton)
Idofon - (togunggak, gong,kulintangan) dan membranofon (kompang,gendang atau tontog).

GONG

        Gong merupakan tulang belakang dalam kebanyakan arena permainan muzik dan ianya digunakan dalam hampir kesemua upacara sosial.
Bilangan gong yang dimainkan bersama berbeza-beza mengikut keperluan masyarakat setempat. Satu atau dua buah gendang juga sering dipalu bersama untuk menseragamkan iramanya.
Gong boleh didapati di seluruh negeri Sabah dan mempunyai nilai yang tinggi. Ia juga digunakan sebagai hantaran berian, upacara kepercayaan animistic, isyarat dan perayaan pesta-pesta menuai Sejak akhir-akhir ini suku kaum Rungus di Kudat ada membuat gong yang dibentuk dari kepingan besi galvanic yang dibeli di sini.
Gong yang lebih popular mempunyai dinding yang tebal, bibir yang dalam serta tombol yang besar, ditempah dari Filipina, Indonesia atau Berunei.

BUNGKAU

         Kecapi mulut dibuat daripada kulit sejenis pokok palma yang dikenali sebagai polod oleh suku kaun Kadazandusun. Untuk mengukir bentuknya, ianya memerlukan tangan yang halus dan mahir. Alat ini lazimnya ditemui di kawasan-kawasan suku-kaum Dusun.
Kepingan berkayu yang nipis di tengah alat ini digetarkan dengan memukulnya dengan ibu jari. Getaran kepingan kayu ini menghasilkan bunyi yang kecil tetapi dengan meletakkannya di hadapan mulut sipemain boleh membesarkan bunyinya melalui salun (bunyi yang berbalik).
Berjenis-jenis frekuensi boleh dihasilkan dengan mengubah mulut serta kedudukan lidah. Apabila tidak dipakai, alat ini selalunya disimpan dalam bekas tiub buluh kecil agar ianya tidak rosak dan sentiasa dalam keadaan bersih.

SOMPOTON (Erofon)

        Organ mulut merupakan alat yang sangat menarik di antara alat-alat musik tempatan di Sabah. Ianya dibuat daripada sebiji buah labu yang kering dengan lapan batang paip buluh yang disusun dalam dua lapisan.
Salah satu daripada paip ini tidak mempunyai bunyi dan berfungsi untuk memperseimbangkan kedudukan bentuk alat tersebut. Dengan meniup atau menyedut mulut labu, sipemain boleh menghasilkan satu bunyian harmoni yang merdu.
Beberapa kepingan kecil polod(seperti dalam Bungkau) diletakkan pada dasar tiap-tiap tepian paip yang berbunyi. Paip tersebut dimasukkan ke dalam lubang pada sisi labu kemudian ditampal dengan lilin lebah.
Kepingan kecil polod diletakkan di dalam labu dan menambah salun alat yang baru disiapkan.
Paip-paip buluhnya diikatkan bersama dengan rotan yang telah diraut nipis. Semada memainkan sompoton, seseorang pemain menutup dan membuka tiga daripada empat paip terpendek pada hujungnya dengan tiga jari tangan kanan dan tiga lubang kecil pada dasar paip terpendek serta hadapan dan belakang paip yang lebih panjang dengan jari tangan kiri.
Sompoton ini boleh dimainkan secara perseorangan untuk hiburan persendirian atau dalam kumpulan untuk mengiringi tarian. Ianya popular di kalangan sukukaum Kadazandusun.

TOGUNGGAK (idiofon)

     Dikenali sebagai tagunggak di kalangan suku kaum Murut, Togunggak di kalangan suku kaum Dusun/Kadazan atau 'Togunggu' di Penampang., idiofon bambu paluan ini dimainkan dalam kumpulan untuk mengiring tarian atau perarakan di pesta-pesta.

Satu set alat-alat muzik ini merangkumi enam (togunggu') hingga tiga puluh (tagunggak) buah, bergantung kepada suku kaum. Muzik yang dikeluarkan menyerupai satu set gong sesuatu kumpulan, dengan setiap idiofon diselaraskan bunyinya mengikut gong sebenar yang dimainkan.

KULINTANGAN (Idiofon)

        Pada mulanya alat ini diperkenalkan di barat Sabah oleh suku kaum Brunei tetapi secara tradisional ianya juga digunakan oleh suku kaum Bajau dan beberapa suku Dusun/Kadazan.
Selalunya, ia dimainkan dalam majlis-majlis dan perayaan seperti majlis perkahwinan dan upacara keagamaan, di mana ianya diiringi oleh gong-gong tradisional.
Alat ini merangkumi lapan ataupun 9 buah gong-gong cerek yang kecil. Setiap daripadanya mengeluarkan bunyi-bunyian yang berbeza-beza apabila dipukul.
Gong-gong cerek ini diletakkan tersusun dalam satu barisan di atas sebuah rangka kayu rendah. Biasanya sipemain duduk di atas lantai berhadapan dengan barisan gong sambil memukulnya dengan dua pemukul kayu kecil.

Pakaian Tradisi

      Pakaian tradisi suku kaum Kadazandusun kaya dengan keunikannya. Ini adalah kerana, ianya berlainan diantara satu tempat dengan tempat yang lain. Setiap etnik dalam kaum Kadazandusun ini mempunyai perbezaan dari segi pakaian tredisinya.
Contohnya pakaian tradisi bagi etnik Dusun Bundu di Ranau dan Liwan di Tambunan adalah berbeza dengan pakaian tradisi bagi etnik Lotud di Tuaran dan juga Kimaragang di Kota Marudu. Setiap etnik dalam kaum Kadazandusun ini mempunyai keunikannya yang tersendiri.
Biasanya pakaian tradisi ini dipakai pada musim perayaan seperti Pesta Kaamatan dan juga upacara khas seperti perkahwinan. Selalunya para gadis dari kaum Kadazandusun ini akan memperagakan jenis pakaian tradisi ini apabila adanya Pertandingan Unduk Ngadau Kaamatan di Peringkat Negeri Sabah.

PAKAIAN TRADISI PERHIASAN SERTA BARANGAN KEMAS SUKU KAUM KADAZANDUSUN NEGERI SABAH.

Pengenalan

      Dengan mempunyai sebanyak 32 etnik suku kaum asli di negeri Sabah, maka dijangkakan, kita dapat melihat pelbagai jenis pakaian tradisi mengikut suku kaum.
Kebanyakan daripada mereka telah mengekalkan corak dan warna pakaian tradisi yang asli. Warna yang amat popular ialah warna hitam.
Warna ini banyak digunakan kerana pada masa dahulu, penduduk asli negeri Sabah hanya bergantung kepada beberapa jenis tanaman dan sayuran untuk dijadikan cecair pencelup kain.
Mereka hanya perlu menambahkan manik-manik berbagai jenis warna seperti merah, oren, putih serta hijau sebagai perhiasan tambahan.
Pakaian tradisi juga termasuklah manuk-manik antik yang dijadikan kalung, tali pinggang, barangan antik berukiran berwarna perak dan tali pinggang yang diperbuat daripada wang syiling dolar berwarna perak. Kesemuanya ini merupakan khazanah turun-temurun yang sangat berharga serta tinggi nilainya.
Berikut adalah beberapa keterangan tentang pakaian tradisi suku kaum kadazansusun yang amat popular di negeri Sabah.

1. SUKU KAUM KADAZANDUSUN PENAMPANG
Ciri-ciri pakaian tradisi.
a) Blaus tidak berlengan,berwarna hitam baldu untuk wanita(Sinuangga).
b) Blaus berlengan pendek, berwarna hitam(baldu) untuk wanita petengahan umur. (Sinompukung)
c) Blaus berlengan panjang untuk wanita golongan tua terutamanya 'bobohizan'(kinoingan).
d) Kemeja berwarna hitam baldu, atau panjang untuk golongan lelaki.
e) Sarong (tapi) panjang berenda 'siling', berwarna hitam
f) Siga - pelbagai corak dan motif pada tenunan
Perhiasan pakaian.
a) renda 'siling' utama keemasan pelbagai corak.
Barangan kemas
a) Himpogot - wang syling berwarna perak.
b) Tinggot - Tali pinggang berwarna perakdiperbuat daripada wang syling dolar abad awal 20-han.
c)Tangkong - Diperbuat daripada leburan logam tembaga bercorakkan gong dan berbentuk cincin (husau) yang disarungkan dalam lingkaran rotan yang halus.
d) gelang (gohong)
e) rantai leher (hamai)
f )anting-anting (simbong)
g )cincin (sinsing)
h) kerongsang berwarna keemasan.

2. RUNGUS DI KUDAT
Ciri-ciri Pakaian Tradisi
a) Blaus berwarna hitam bercorak yang dipakai aras dada ke pinggang dipanggil 'Banat Tondu'.
b)Sarong(Tapi Rinugading) hingga ke paras lutut sahaja.
c) Kain hitam berukuran lebar 28-30 sm. Ia disarungkan ke leher lalu diletakkan di bahu dan berjuntai ke lengan berbentuk pakaian berlengan.
d) Baju Kemeja hitam berlengan pendek atau panjang untuk golongan lelaki.
e) Siga
Perhiasan Pakaian
a) Kain bercorak, tenunan halus pelbagai corak.
b)Cincin tembaga serta manik-manik antik disarungkan dalam 'togung ' menjadi tali pinggang berwarna-warni yang dipanggil 'orot'.
c)Manik-manik dipanggil " lobokon " digantung di pinggang.
d)Sepasang selendang (pinakol) berukuran 6-8 sm lebar. Ia diperbuat daripada manik-manik berunsurkan corak purbakala.
Barangan Kemas
a) Rantai leher (sandang) diperbuat daripada kulit kerang (Kimia) berwarna putih berkilauan dan tulang haiwan.
b) Sanggul (titimbok)
c) 'Burambun' dan 'Giring' barangan antik yang diperbuat daripada logam emas berbentuk loceng.
d) 'Sisingal' - manik-manik serta kulit kerang diikat bersama membentuk rantai yang diikat di bahagian dahi.
e) Cebisan kain dijahit membentuk tocang (rampai) berwarna-warni, diikat di tengkuk.

3. KADAZANDUSUN PAPAR
Ciri-ciri Pakaian Tradisi
a) Blaus baldu hitam berlengan panjang (siya)
b) Blaus putih (baju dalam)
c) Sarong (gonob) baldu hitam hingga paras lutut.
d) Siga (lelaki)
e) Baju kemeja baldu hitam berlengan panjang.
f) Siung (wanita)
i)berbulu binatang (burung) berwarna apa sahaja untuk wanita bujang.
ii)berbunga-bunga untuk golongan wanita sudah berkahwin.
iii)tiada perhiasan di siung .
Perhiasan Pakaian
a) butang berwarna keemasan (kubamban) sebanyak 8 pasang di dada.
b) Renda keemasan (siling) dan labuci (dijahit disekeliling lipatan tangan dan leher)
c) 8 pasang butang berwarna keemasan dijahit di lengan blaus.
d) Tenunan 'rinangkit ' bercorak cetusan bintang dijahit secara menegak dan melintang pada sarong (gonop).
Barangan Kemas
a) 3 bentuk kerongsan antik keemasan berbentuk duit syiling.
b. gelang (belilit) perak.
c)Tali pinggang berwarna perak (rupiah) berbentuk duit syiling.
Cara Pemakaian.
a) 3 pasang untuk wanita bujang.
b) 2 pasang untuk wanita berkahwin.
c) 1 pasang untuk wanita berstatus balu atau golongan berumur.
d) Tali pinggang kecil berwarna perak untuk menunjukkan si pemakai dari golongan berada.

4) (a) LOTUD TUARAN
" Lorud "(Blaus berlengan panjang)
a) Dipakai oleh Lotud Tantagas semasa upacara rasmi.
Ciri-ciri Pakaian Tradisi
a) Blaus hitam berlengan panjang (sukub kopio), bercorak warna merah sebagai warna utama. Tinobugi berwarna merah, kuning keemasan dijahit pada pergelangan tangan, tepian blaus dan di dada.Corak bermotif bambu (Ukob)berwarna merah,oren, biru dan hijau dijahit tangan di atas jahitan warna keemasan di pergelangan tangan.
b) " Gonob " pula bercorak warna merah dijahit ditepi kiri (bangkit) serta tinobugi dijahit melintang diparas betis. Ukuran gonob adalah dibawah paras lutut.
c) Sandai. Ia sejenis kain skaf panjang yang dipakaikan disekeliling bahu.
Perhiasan Pakaian
a)Kain putih (haboi) sebagai tali pinggang .
b)Tali pinggang (loti) putih dan perak. Ditambah dengan 2 kelepak ikatan hitam untuk wanita sudah berkahwin.
c) Rambut disanggul seperti 'Sinulug' (atas) 'Sinungkok' (bawah) "Ginuli" pula dililitkan di sekeliling sanggul 'sinulug'.
d) Sigar dan siwot.
i) Sigar - Ia diperbuat daripada daun nipah serta mempunyai daun emas. Brunei yang diukir tangan. Tepian sigar dihias dengan rotan yang dicelup dengan warna merah.
ii. Siwot - Ia terdiri daripada ikatan 4 helai bulu ayam putih diikat dengan kain merah . Setiap bulu dilekatkan pada cebisan bambu nipis. Beberapa helai bulu hitam disertakan juga. Helaian 1 dan 4 mesti mempunyai rantai manik emas dan biru berhiaskan cebisan kain merah.
Barangan Kemas
a)Himpogot wang syling berwarna perak.
b) Tinggot - Tali pinggang berwarna perakdiperbuat daripada wang syling dolar abad awal 20-han.
c.Tangkong - Diperbuat daripada leburan logam tembaga bercorakkan gong dan berbentuk cincin (husau) yang disarungkan dalam lingkaran rotan yang halus.
d. Gelang (gohong)
e. Rantai leher (hamai)
f. Anting-anting (simbong)
g. Cincin (sinsing)
h. Kerongsang berwarna keemasan.

4(b) LOTUD TUARAN
CIRI-CIRI PAKAIAN TRADIS
a)Blaus ini (sukub) dihias sederhana berbanding blaus (sukub kopio). Ia berwarna hitam serta berenda kuning keemasan, mempunyai labuci di lengan kolar dan di depan baju.
b) Gonob (sarong) hingga ke paras lutut. Linangkit bercorak bunga (kembang suri ). Warna merah merupakan warna utama namun ditambah juga warna keemasan, putih, oren dan biru.
Perhiasan Pakaian
a) Kuluwali (Selindang), Linangkit (corak) bermotif kembang suri.
Barangan Kemas
a) Lilimbo (tali pinggang rotan) yang tidak mempunyai kancing pembuka.
b) Gelang perak (simpai)
c) Gelang kaki perak (lansung)

5. DUSUN TINDAL TEMPASUK KOTA BELUD
Ciri-ciri Pakaian Tradisi
a) Blaus berlengan panjang (sinipak ) berwarna hitam.
b) Gonob (sarong) paras lutut.
Perhiasan Pakaian
a)Renda bercorak dijahit tangan pada lengan blaus.
b) Lengan blaus di atas siku ke bawah pula dibelah dan dijahit tangan dengan berbagai corakl kain berenda.
c) Kain hitam berlapis-lapis dengan renda kuning keemasan (sunduk do sunalatan) disandang di tangan sebelah kanan.
d) 2 pasang selendang merah.
e) Kain dastar sebagai kolar baju.(selindang lolopot)
f) Gonob ditenun sendiri oleh suku kaum Dusun Tindal menggunakan kain tenunan dari hasil pemprosesan pisang larut (textil musa)
Barangan Kemas
a. Manik-manik antikb)Tali pinggang yang lebar (Kinokogis)a) Sinipogot - 4 gelang sinipogot yang diperbuat daripada wang syiling dolar perak.
b) Gelang Perak ( Saring Perak ).
c) Anting-anting Perak.
d) Beg kecil berwarna perak (pouch) diukir tangan beserta rantai leher (kiupu). Ia dipakai sebagai rantai leher.

6. MURUT TAGAL DARI DAERAH KENINGAU
Ciri-ciri Pakaian Tradisi.
a) Blaus tidak berlengan ( sampayau pinongkoh ).
b) Sarung ( tapi ) berwarna hitam paras bawah lutut. Keunikan Tenunan manik-manik berwarna-warni dan bercorak secara melintang dan menegak di seluruh bahagian depan dan belakang blaus serta sarung.
Perhiasan Pakaian
Manik-manik bercorak serta berwarna-warni seperti warna merah, putih, oren dan hijau.
Barangan Kemas
a) Tali pinggang ( tirol ringgit ) yang diperbuat daripada wang syiling antik dolar warna perak.
b) Tali pinggang ( sukayan ) diperbuat daripada manik kristal berwarna merah / coklat ( sapulu ).
c) Manik-manik warna biru ( botina ) dipakai ( berjuntai ) pada pinggang.
d) Tali pinggang ( bungkas ) diperbuat daripada manik-manik yang berlapis-lapis berwarna putih yang sukar didapati sekarang. Bungkas merupakan warisan turun temurun ahli keluarga dan bernilai RM 10 000. 00.
e) Rantai leher berwarna putih biru dan merah yang diperbuat daripada manik dan ukiran kayu.
f) Gelang tangan yang diperbuat daripada manik dipakai di atas paras siku.

Tarian Tradisional
Tarian Sabah mempunyai tiga puluh dua jenis etnik, lima puluh lima jenis bahasa dan kira-kira seratus dialek. Setiap etnik mempunyai kebudayaan, tradisi dan adat resamnya yang tersendiri. Mereka menunjukkan cara hidup mereka melalui muzik dan tarian. Antara jenis tarian suku kaum Kadazandusun di Sabah adalah sepeti berikut;

Liliput
Liliput merupakan tarian bagi etnik Bisaya di daerah Beaufort. Liliput ditarikan secara berpusing-pusing. Tarian ini biasanya ditarikan semasa upacara menghalau roh jahat daripada badan seseorang dan mengembalikan semangatnya. Upacara ini hanya akan ditamatkan setelah semangat orang itu kembali ke badannya.

Menangkuk
Tarian ini dipersembahkan oleh kaum Kadazandusun Kota Marudu di utara negeri Sabah. Ia biasanya ditarikan semasa perkahwinan dan upacara-upacara lain. Penari akan mempersembahkan tarian ini dengan menggunakan piring yang diletakkan di atas telapak tangan.
Tarian ini ditarikan dengan melenggangkan punggung tanpa menjatuhkan piring. Sekiranya piring itu jatuh, ianya menunjukkan petanda yang buruk, terutamanya semasa tarian ini dipersembahkan semasa hari perkahwinan. Kadang-kadang lilin yang dinyalakan akan letakkan diatas piring tersebut untuk membuatkan tarian itu lebih menarik.

Mogunatip
Mogunatip adalah tarian yang dipersembahkan oleh kaum asli dari pedalaman Sabah termasuk kaum Kadazandusun dari Tambunan, Kwijau Dusun dari Keningau dan beberapa kumpulan daripada suku kaum Murut. Mogunatip diambil daripada perkataan "atip" yang bermaksud menekan antara dua permukaan. Penari mogunatip memerlukan kemahiran dan ketangkasan yang baik untuk menari melintasi buluh yang dipukul serentak untuk menghasilkan bunyi dan irama tarian tersebut. Tarian ini merupakan tarian yang dipersembahkan semasa upacara-upacara yang tertentu untuk menghormati tetamu.

Mongigol Sumundai
Mongigol Sumundai adalah tarian daripada daerah kudat dan Pitas yang dipersembahkan oleh suku kaum Rungus . Kedua-duanya dipersembahkan oleh suku kaum Rungus. Kedua-duanya dipersembahkan sekaligus semasa perayaan dan upacara pemujaan semangat. Tarian ini ditarikan oleh 3 hingga 8 orang penari perempuan dan diketuai oleh penari lelaki. Penari perempuan akan merapatkan bahu antara satu sama lain dan menggerakan pergelangan tangan dengan langkah-langkah yang perlahan dan lembut. Pakian yang digunakan oleh penari perempuan adalah pakaian tradisional suku kaum Rungus. Tarian ini diiringi dengan 4 gong dan gendang yang dinamakan ' Tontog'.

Paina
Paina merupakan tarian suku kaum Kadazandusun dari daerah Membakut. Ianya dipersembahkan semasa upacara kesyukuran terhadap semangat padi.
Ia biasanya dipersembahkan oleh sekumpulan lelaki dan perempuan. Pakaian yang dipakai oleh penari perempuan adalah serba hitam dengan dihiasi butang yang terang dan menyerlah manakala penari lelaki pula memakai ' sigar ' di kepala dan ' sandai ' yang tergantung dari leher.

Sumayau ( Mongigol Tuaran )
Tarian ini merupakan tarian pemujaan semangat oleh suku kaum Dusun Lotud di daerah Tuaran. Ia biasanya dipersembahkan semasa Upacara ' Rumaha ' ( Upacara memuja tengkorak kepala ), ' Magahau ' ( Upacara pemujaan semangat Tajau ).
Sumayau dipersembahkan lebih daripada 8 orang pasangan yang berpakaian serba hitam dengan lengan panjang dan selendang yang panjang mengelilingi leher. Penari perempuan pula memakai bulu burung di bahagian kepala yang digabungjalinkan sementara penari lelaki memakai ' sigar '.
Penari perempuan menggerakkan tapak kaki mereka dengan perlahan , sementara penari lelaki berdiri dan menggoncangkan ' giring ' atau loceng kecil ang dilekatkan pada pakaian mereka.

Sumazau Papar
Tarian ini berasal dari daerah Papar, Sabah. Ianya biasa ditarikan oleh gabungan penari lelaki dan perempuan.
Keunikan pergerakan tapak kaki penari perempuan, tumit bertemu tumit, ibu jari bertemu ibu jari. Ini membuatkan tarian ini lebih unik dan serta menarik. Penari perempuan memakai pakaian tradisi suku kaum Kadazandusun dari daerah Papar, dengan ' seraung' yang diletakkan atas kepala dan bulu berwarna-warni atas ' seraung ' yang dipanggil ' senaundung '. Penari lelaki pula memakai ' siga ' pada kepala mereka dan juga skaf / selendang yang dikenali sebagai ' sandai '.

Sumazau Penampang
Sumazau Penampang adalah tarian tradisional suku kaum Kadazandusun. Tarian ini biasanya dipersembahkan semasa perayaan dan juga upacara pemujaan semangat padi ( Bambaazon ).
Penari mempersembahkan tarian mereka secara berpasangan. Kedua-dua penari lelaki dan perempuan mula menari dengan irama yang lembut dan perlahan mengikut paluan gong. Dengan ' pangkis ' dari penari lelaki biasanya, ini menandakan pertukaran corak tarian akan dilakukan. ' Pangkis ' dari penari lelaki ini akan lebih memeriahkan lagi suasana tarian ini.
Pakaian yang dipakai oleh penari ini ialah pakaian serba hitam dengan jalur kuning emas. Penari perempuan memakai ' tangkong ', ' tinggot ', dan ' Himpogot '. Penari lelaki pula memakai ' sigar ' di kepala. Tarian ini biasanya diiringi oleh paluan gong atau pun ' togunggu '.

Titikas
Titikas adalah tarian tradisional suku orang sungai di kawasan Kinabatangan, Sandakan. Tarian ini biasanya ditarikan untuk menyambut ketibaan tetamu kehormat dan juga semasa perayaan.
Pergerakan tangan semasa menari ialah sama seperti permainan ' Ingki-ingki '. Alar muzik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini dikenalai sebagai ' titikas ', ' gabang ', ' kantung ' , dan juga gong.






Dipetik daripada : http://www.sabah.edu.my

Source : kalabatukini