Friday 20 October 2017

TUGU RAJA ALAM - MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU

TUGU RAJA ALAM

 MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU

ASAL NAMA KOTA TANJUNG REDEB

Tanjung berarti tanah atau daratan yang menjorok kelaut atau menjorok ketengah sungai. Contohnya Tanjung Mangkalihat, Tanjung Batu, Tanjung Bohe yang berada di tepi laut. 

Tanah atau daratan yang luas menjorok kelaut itulah yang disebut dengan Tanjung. Sedikit berbeda dengan Tanjung Redeb atau Tanjung Selor misalnya, Tanjungnya berada dalam sungai, tanah atau daratan yang menjorok dalam sungai, tetapi biasanya yang disebut Tanjung itu adalah akibat dari sungai terbelah menjadi dua. 

Tetapi ada juga yang lain.  Contoh : akibat belokan sungai, belokan sungai yang menjorok disebut Tanjung sedangkan seberangnya yang terkikis disebut Teluk.

Tanjung Redeb adalah Tanjung hasil belahan dari satu sungai, yaitu sungai Berau atau Kuran yang membelah menjadi dua sungai, atau sungai Berau bercabang dua. Dari sungai Berau bercabang dua tersebut menjadi sungai Segah dan sungai Kelay. 

Ujung awal dimulainya sungai membelah, atau daratan yang menjorok diapit dua sungai membentuk Tanjung, disebut Tanjung. Yang kemudian hari Tanjung itu dikenal  dengan nama Tanjung Redeb.

Kenapa Tanjung Redeb ?

Tanjung sudah dibahas diatas, sedangkan kata Redeb kita bahas sekarang. Redeb berasal dari nama pohon, yaitu pohon Dadap atau dikenal juga dengan pohon Raddab dalam bahasa Banua (Berau). Pohon Raddab itu tumbuh subur diujung Tanjung, tinggi dan besar, waktu musim berbunga, pohon Raddab berbunga lebat sampai menutupi semua daunnya yang berwarna hijau. Bunga pohon Raddab berwarna merah. Dilihat dari tengah sungai, bunga merah itu indah sekali.

Pada masa lalu masyarakat Berau belum mengenal kendaraan darat seperti sepeda, motor, maupun mobil. Mereka hanya mengenal perahu atau kapal,  jadi perahu adalah alat transportasi satu-satunya yang paling modern pada masa itu, perahu yang diberi kain layar disebutnya perahu layar. Lalu lalang perahu di sungai Berau, ada yang masuk menyusuri sungai Kelay atau masuk menyusuri sungai Segah, bunga dadap atau raddab  yang tumbuh diujung tanjung itu terlihat indah sekali. Maka tanjung yang semula belum punya nama itu disebut mereka dengan Tanjung Raddab, Tanjung yang ada pohon Raddab-nya.

Bahasa Berau Tanya : “Andai mana dangkita”  
jawab :”andai Tanjung” 
Tanya : “Tanjung apa” 
jawab : “Tanjung Raddab”

Dengan berjalannya waktu, setelah merdeka mulailah berdatangan suku bangsa lain ke Tanjung Raddab. 

Petugas pemerintah seperti guru, polisi, tentara, pengadilan, kejaksaan, bahkan Bupati berganti-ganti. Mereka yang datang pada umumnya mengganti hurup “a” pada kata Raddab menjadi hurup “e” dan mengurangi “d” yang dobel menjadi satu”d” saja. Karena para pendatang menganggap kata Raddab itu adalah bahasa asli Banua (Barrau) yang sebenarnya adalah Redeb. Sepengetahuan mereka orang Banua tidak bisa menyebut hurup “e”, hurup “e” berubah menjadi hurup “a” dalam bahasa Banua.  

Maka berubahlah kata Raddab itu menjadi Redeb. Beberapa kali pergantian pejabat Bupati sepakat kata Raddab berubah menjadi Redeb dalam bahasa Indonesia. Akhirnya semua instansi yang ada di kota Tanjung Redeb sepakat  menyebut kota Tanjung Redeb sampai saat ini.

Ternyata pemahaman diatas adalah pemahaman yang keliru, benar-benar keliru. Pohon tersebut namanya adalah pohon Dadap, dalam bahasa Banua (Berau) disebut dengan Pohon Raddab, seharusnya tidak boleh dirubah atau di Indonesia-kan menjadi Redeb, dengan demikian maka otomatis merubah arti dan makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Raddab tersebut.

Oleh karena itu seharusnya segera dikembalikan nama asli kota Tanjung Redeb tersebut menjadi Kota Tanjung Raddab, yang berasal dari kata Pohon Dadap atau pohon Raddab. Karena  sampai saat ini belum ditemukan arti kata Redeb sebenarnya, kecuali berasal dari kata Raddab.


RAJA ALAM

Kalimantan Timur memiliki sejarah yang sangat universal dengan kerajaan Kutai, sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu di masing-masing daerah Kabupaten Kota juga mempunyai sejarah kerajaan atau kesultanan masing-masing, seperti kesultanan Paser, Kerajaan Kutai, kesultanan Bulungan, dan Kesultanan Berau. Belum lagi sejarah masa penjajahan Belanda. 

Perlawanan rakyat terhadap Belanda, seperti peristiwa perlawanan Raja Alam melawan Belanda di Kesultanan Tanjung yang sekarang dikenal dengan kesultanan Sambaliung, penyerangan sekutu di Balikpapan, Tarakan dan sempat membombardir Keraton Gunung Tabur dan Keraton Sambaliung di Tanah Berau. Dengan  ditandai runtuhnya Keraton Gunung Tabur pada bulan Januari tahun 1945, penyerangan itu dilakukan oleh tentara sekutu pada perang dunia ke dua untuk melumpuhkan tentara Jepang.

Mari kita mulai berbicara sejarah singkat Kerajaan Berau.  Kabupaten Berau memiliki dua orang tokoh yang memiliki nama besar dalam perjalanan sejarahnya. Nama besar tersebut sampai saat ini masih mengaung dan selalu menjadi buah bibir dimana-mana. Tokoh Besar tersebut adalah Baddit Dipatung yang diberi gelar Adji Surya Natakasuma  Raja Pertama Berau yang mampu menyatukan rakyat Berau, nama besar Adji Surya Natakasuma diabadikan sebagai nama Korem yang berkedudukan di Samarinda dengan nama Korem Adji Surya Natakasuma, dan Sultan Alimuddin dikenal dengan Sultan Raja Alam  yang dianggap membangkang terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dan berperang melawan kolonial Belanda. Nama besar Raja Alam diabadikan olek Batalion 613 Tarakan dengan nama Batalion 613 Raja Alam.

Selain itu Berau juga mempunyai seorang tokoh perempuan yang sangat Legendaris  dalam ceritera-ceritera rakyat Berau, dia adalah Legenda Putri Kannik Sanifah. Ketika Ayahandanya bersama rakyat Negeri Pantai sudah panik dan nyaris kalah melawan pasukan julung-julung yang menyerang negerinya.Kannik Sanifah tampil dengan akal pikirnya yang cerdas dan cemerlang, dapat memukul mundur pasukan julung-julung yang bagaikan monster memenuhi sungai dan menyeranga rakyat. Namun sayang nasibnya tidak secantik dan seelok parasnya. Ia kemudian difitnah, dan dikucilkan oleh masyarakatnya sendiri dan kemudian dibuang ketengah lautan.

Baddit Dipatung dalam legenda rakyat diceriterakan sebagai titisan Dewa. Waktu masih bayi ditemukan oleh seorang kakek, namanya  Inni Baritu disebuah bambu besar  yang terbelah diantara ruas-ruasnya. 

Dibelahan bambu itulah bayi ditemukan yang kemudian dikenal dengan nama Baddit Dipatung( pecah / keluar dari bambu besar/petung ). Dirumah istri Inni Baritu yang dikenanl dengan nama Inni Kabayan dalam waktu yang nyaris bersamaan menemukan bayi dikeranjang ( kurindan ). 

Keranjang itu tempat Inni Kabayan menyimpan benang dan kain yang dibuatnya sendiri. Bayi tersebut kemudian diberi namaBaddit Dikurindan.Kedua bayi yang ditemukan Inni Kabayan dan Inni Baritu itu kemudian dipelihara oleh tujuh putri Puan Dipantai Rangga Batara sampai dewasa.

Setelah dewasa Baddit Dipatung dan Baddit Dikurindan oleh rakyatnya yang terdiri dari tujuh Banua yaitu rakyat Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Rantau Suwakung , dan Rantau Bunyut sepakat untuk menjodohkan kedua titisan Dewa itu menjadi suami istri dan kemudian Baddit Dipatung diangkat menjadi 

Raja pertama dengan gelar Adji Surya Natakasuma  ( 1400 – 1432 ) didampingi oleh istri tercintanya Baddit Dikurindan yang bergelar Adji Permaisuri. Baddit Dipatung inilah cikal bakal yang menurunkan raja-raja dan sultan kerajaan Berau yang kemudian terbagi menjadi dua  kesultanan, yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.

Raja kedua Adji Nikullam 1432-1461, raja ketiga Adji Nikutak 1461-1492, raja keempat Adji Nigindang 1492-1530, raja kelima Adji Panjang Ruma 1530-1557, raja keenam Adji Tumanggung Barani 1557-1589, raja ketujuh Adji Sura Raja 1589-1623, raja kedelapan Adji Surga Balindung 1623-1644, raja kesembilan Adji Dilayas 1644-1673.

Pada masa raja ke- 9 Raja Adji Dilayas mempunyai putra dua orang yang berbeda ibu. Permaisuri pertama melahirkan anak si Amir namanya yang kemudian bergelar Adji Pangeran Tua. Setelah Permaisuri wafat, Adji Dilayas kawin lagi dengan Ratu Agung.Perkawinan ini melahirkan pula seorang putra Hasan namanya, kemudian bergelar Adji Pangeran Dipati.Setelah Ayahda Adji Dilayas wafat kedua putranya sama-sama ingin menjadi raja. 

Maka Atas kesepakatan, wilayah Kerajaan Barrau atau Kuran di bagi menjadi dua yaitu :

Daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Barrau, dari Tanjung Mangkalihat, Teluk Sumbang sampai kehulu sungai Kelay menjadi kekuasaan Adji Pangeran Tua, sedangkan;

Daerah sebelah Utara sungai Kuran, dari hulu sungai Segah sampai perbatasan Bulungan menjadi kekuasaan Adji Pangeran Dipati.

Sedangkan yang menjadi Raja Kerajaan Barrau diatur secara bergantian dari pihak Adji Pangeran Tua maupun Adji Pangeran Dipati, sampai dengan keturunannya.

Hasil musyawarah berlanjut pada pengangkatan raja yang ke- 10 kerajaan Barrau.

Raja Kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua ( 1673-1700 ), sedangkan Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat pemerintahan Pangeran Tua ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab yang bernama Mustafa.Sedangkan sebelumnya masih menganut kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.

Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.

Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning ( 1700-1720 )sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya. Disini Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan mulai timbulnya keretakan dan perpecahan.

Setelah Adji Kuning wafat baru Hasanuddin diangkat menjadi raja ke – 13 dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin. Sultan Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun  (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya  diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770 ). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja Barrau.

Sultan Muhammmad Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu Datu Amiril Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu Syaifuddin, dan Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok, sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.

Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum Di Kuran.  Karena ketika beliau wafat tahun 1767 dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung  sekarang. Sedangkan Sultan Zainal   Abidin   kawin  dengan   Adji   Galuh    putri   kesultanan Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara. 
          
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam.Tata pemerintahan diatur sedemikian rupa.Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat jabatan Menteri, Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.

Atas kesepakan untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di pindahkan ke Muara Bangun.Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan cocok untuk pertanian.Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan pemakaman didekat istana itu.
            
Orang-orang Solok yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di Tabbangan dan orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.

Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat pada tahun 1800 dimakamkan di Muara  Bangun dan selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun. Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat dengan baik dan tangga untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar pengunjung yang datang kemakam tersebut bisa dengan nyaman.Makam asli masih menggunakan mesan batu alam tempo dulu tanpa ukiran.Disekitarnya banyak makam-makam tua bermesan batu alam pula, serta makam masyarakat Kampung Bangun di sekitarnya. 

Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800 -  1834). Kejadian ini sangat menyinggung perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kedua kali, karena seharusnya dari keturunannya yang menjadi raja.

Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja Alam memerintah selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat pemerintahan di Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur  yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi menjadi dua kesultanan yaitu Kesultanan Tanjung, yang kemudian hari dikenal dengan kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.

Disamping permasalahan keluarga dan keturunan sebagai pemicu perpecahan juga andil besar dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan strategi adu domba, salah satu keturunan menjadi sahabat belanda dan pihak keturunan lain dijauhi Belanda. Akhirnya Raja Alam dianggap sebagai perompak dan bajak laut yang selalu mengganggu kapal-kapal Belanda dan kapal dagang yang dilindungi pasukan Laut Hindia Belanda di kawasan selat Sulawesi antara Tanjung Mangkaliat dengan Tanah Kuning. Akhirnya Raja Alam ditangkap dan dibuang ke Makassar.

PERANG MELAWAN ANGKATAN LAUT BELANDA

Seperti diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa Belanda sudah datang ke Nusantara sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya adalah berdagang, namun lama kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah, dengan menguasai wilayah-wilayah subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke Nusantara, Belanda menggunakan politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan Belanda memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di Nusantara.

Bangsa Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau ( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900, Berayu menurut sejarawan Indonesia ) pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19. Dengan kehadiran Belanda di Barrau,  Raja Alam merasa terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan Belanda. Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke Barrau, Raja Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Orang Belanda dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.

Permaisuri Raja Alam seorang putri yang berasal dari kesultanan Wajo yang bernama Andi Nantu. Raja Alam bersahabat dengan raja-raja di Makassar. Sedangkan Sultan Hasanuddin raja Makassar merupakan musuh bebuyutannya Belanda. Sultan Hasanuddin tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda di Makassar. Sejak perjanjian Bongaya antara Makassar dan Belanda tahun 1667 ditandatangani, Hasanuddin tetap tidak mau mengakui penjajah Belanda dan tetap mengadakan perlawanan. Pada masa itulah orang-orang Bugis banyak meninggalkan tanah kelahirannya  dengan menggunakan perahu pinisi mencari tanah baru dirantau orang. Banyak yang sampai di Pulau Borneo, masuk ke Paser, Kutai dan Barrau.

Pada masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun 1810 banyak mendapat simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela Raja Alam ( di Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).
            
Dengan persahabatan Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan kurang bersahabat dengan Sultan Gunung Tabur dan Belanda, itu merupakan alasan yang kuat bagi Belanda untuk menekan Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan ketika Belanda mampu mengambil simpati Sultan Muhammad Badaruddin Sultan Gunung Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling bahu membahu dalam perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.

Raja Alam mendapat sambutan baik dari luar maupun dari rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan dan keberaniannya semakin mendapat simpati. Raja Alam seorang raja yang memiliki semangat juang dan cinta tanah air. Ia tetap mempertahankan  Barrau, Raja Alam tidak rela Barrau disentuh dan diinjak oleh orang asing. Dan semua rakyat pengikutnya dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk raja dan daerah mereka. Dukungan dari rakyat Bugis dan dukungan dari raja Solok  dari keturunan kakek  buyutnya membuat Raja Alam semakin kuat. Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan keraton Raja Alam, sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan Lungsuran Naga, Laut Batu Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta Tembudan. Pantai dan laut antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung Mangkalihat di kuasainya. Dengan kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing yang akan masuk mendekati Tanjung Mangkalihat diusir, kecuali kapal yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk, kapal-kapal Belanda juga diusir.

Raja Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan perahu-perahu perang Bugis yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih. Batu Putih dipimpin oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin. Selain bantuan dari Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin oleh Syarif Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja Alam mendapat bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang berasal dari tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.
            
Melihat gelagat Raja Alam yang semakin memperkuat armada laut dan pertahanannya, kesempatan baik untuk memecah belah rakyat Barrau, Belanda dengan akal liciknya bersahabat dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin. Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan tipu muslihat orang kulit putih.

Ketegangan antara kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan Belanda semakin memanas dan memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk menjalin persahabatan dan hubungan perdagangan, namun pihak Raja Alam menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip tanah Barrau tidak boleh dikotori dan diinjak-injak oleh orang asing yang berkulit putih seperti Belanda.
            
Pada tahun 1833 beberapa armada Belanda didatangkan dari Makassar menuju Barrau dengan persenjataan lengkap. Dengan tidak disangka-sangka oleh pasukan Belanda, ditengah perjalanan saat melewati laut Batu Putih di hadang pasukan armada laut Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih sederhana dibanding dengan Belanda. Pasukan Raja Alam yang gagah berani  dapat memukul mundur armada Belanda yang sengaja didatangkan itu.
            
Dengan dilakukannya penyerangan itu  Raja Alam dianggap oleh Belanda sebagai Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh sebagai perompak lanun dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat yang mendukungnya, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah perjuangan. Bagi yang mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah patriot-patriot pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.
            
Awal tahun 1834 secara tidak terduga tiba sebuah kapal perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan menempuh perjalanan panjang dari Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan kemudian berputar menuju Barrau di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai realisasi perjanjian antara Sultan Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang menjanjikan bantuan kepada Kerajaan Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan imbalan keuntungan perdagangan, atau karena terganggu keamanan pasukan Belanda yang melintasi wilayah Batu Putih dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin putra Raja Alam dan mengharuskan mereka mundur dan kembali ke Makassar. Alasan Belanda pasukannya melintasi Batu Putih adalah mengawal keamanan perdagangan rakyat dengan Hindia Belanda.
            
Kedatangan Belanda dimanfaatkan oleh Sultan Barrau, dengan ajakan bersahabat dan mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dengan bersumpah setia kepada Guberneman. Dan Belanda berjanji akan membantu Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan setiap ada pemberontakan.

Sesuai kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan April 1834 menyiapkan pasukan Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet De Heldin, De Briik Siwa, Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang dilengkapi dengan perahu-perahu laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet. Pasukan itu bergerak melintasi laut Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat. Gemuruh kapal perang yang siap dengan tentara laut pilihan dan senjata semi modern sudah mendekati Mangkalihat, pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk Sumbang sudah mengetahui gelagat kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi tidak bisa disampaikan kepada pemimpin pasukan di Batu Putih karena keterbatasan transportasi. Informasi kedatangan pasukan laut Hindia Belanda tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus melintasi Pulau Kaniungan Besar, menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung Perepat dan mendekati Pulau Manimbora. Disana pasukan laut Batu Putih siap menghadang
            
Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut menyerang Batu Putih, dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling bahu membahu pasukan Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan Hindia Belanda menerjang kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah beberapa buah kapal pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan, dengan gagah berani pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia Belanda yang sudah menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi modern, sedangkan pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan satu persatu ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak, parang yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur. Setelah perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat. Dengan amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama peperangan di laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang berjatuhan, untungnya putra Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri bersama beberapa orang pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda meneruskan peperangannya ke benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan dengan gagah berani, tetapi sama saja mereka kalah hebat dan kalah persenjataan. Benteng Dumaring di tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang pahlawan yang tersungkur mencium bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju muara Lungsuran Naga dan masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai Kuran tentara laut Belanda dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.
            
Syarif Dakula yang telah lebih dahulu bergerak kesungai Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima Limboto yang bertahan diperairan sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan laut Belanda. Perang pecah kembali di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran Petta dan Panglima Limboto. Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam peluru pasukan laut Belanda. Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan diri ketepi sungai dan lari masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya semua kapal yang menahan pasukan Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan diri berenang disungai ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sangat memilukan. Pertahanan Batu Putih sudah patah, pertahanan di Dumaring sudah dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah, tinggal pertahanan terakhir di sungai Gayam.

Ibu Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan didampingi putranya Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan mereka pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur pasukan Belanda. Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat menyerang setelah memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di Dumaring, perang sungai di sungai Kuran.
            
Pasukan Raja Alam yang telah dipersiapkan itu hancur cerai berai, akhirnya ibu kota dan pusat pemerintahan di Sungai Gayam dapat dikuasai Belanda. Sedangkan Raja Alam bersama sebagian pasukannya mundur kepedalaman sungai Kelay, keraton Raja Alam di sungai Gayam dibakar oleh pasukan Belanda. Tidak ada satu rumahpun yang tertinggal semua dibakar habis dengan maksud pasukan Raja Alam tidak bisa menyusun kekuatan lagi.

Raja Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan semangat membara untuk mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih tersisa dan melakukan perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja Alam bersama putranya Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu pasok makanan oleh suku Dayak Ga’ai, Punan, dan Lebbo. Melihat gelagat pergerakan pasukan Raja Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda, pasukan laut dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai Barrau. Belanda menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.

Sultan Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih sudah memindahkan Istananya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan menjaga keamanan dan menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam disungai Gayam yang sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk dalam wilayah kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam. Keinginan Belanda pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan pasukan Belanda untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai Kelay, namun dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan masih berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh saudara sendiri.

Belanda menangkap rakyat yang tidak berdosa dan menyiksanya dengan maksud agar Raja Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama raja alam tidak mau keluar dan menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa oleh tentara belanda, dalam kurun waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang menjadi bulan-bulan tentara Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan kembali, agar dilihat oleh rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay. Melihat banyak rakyatnya yang disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan terharu, walaupun pengorbanan rakyatnya  adalah bagian perjuangan mempertahankan tanah air.

Sebagai Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya, akhirnya Raja Alam dengan gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi undangan Belanda untuk berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya dalam perundingan  yang telah diskenario Belanda, Raja Alam ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut, dan mengganggu keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut Sulawesi. Kemudian Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi Djalaluddin, putrinya Ratu Ammas Mira, Syarif  Dakula bersama anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar, karena Raja Alam tidak mau mengakui kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke Makassar  Syarif Dakula memberontak dan mengamuk dalam kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan istrinya Ratu Ammas Mira dipulangkan ke Batu Putih.
            
Menurut tokoh Dayak Ahi di Tembudan yang mendukung perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan Kapiten Tembaga mereka bahu membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan dan mempertahankan Batu Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka berperang habis-habisan untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak Ahi diperitahkan membuat benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu Putih dibumi hanguskan oleh Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal pasukan Raja Alam, laskar tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di Linggo dan Tembudan mundur masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya. Semangat membara dengan pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling bahu membahu, namun senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus kalah. Selama perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring, Linggo, Tembudan dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan rakyatnya Dayak Ahi dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan selalu maju paling depan.
            
Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning mengirim surat ke pada Hindia Belanda di Banjarmasin, permohonan itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya di Barrau walaupun dengan syarat harus mengakui dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.
            
Pada tanggal 24 Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di Sungai Gayam telah hancur porak poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam tidak mungkin kembali ke Tanjung Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda. Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan Belanda,  Raja Alam membangun pemerintahan di  sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan rakyatnya.

Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional. Raja Alam di makamkan di sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum di Rindang. Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Batu Putih itu sampai sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama Batalion 613 Raja Alam  Tarakan.
            
Raja Alam meninggalkan sejarah yang telah ditorehnya, seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan, kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah melupakan  perjuangan Raja Alam sampai kapanpun.


TUGU RAJA ALAM

Dari sejarah dan perjuangan Raja Alam sepanjang hayat untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan cinta tanah air yang tidak terbantahkan tersebut, sudah sepantasnya oleh masyarakat Kabupaten Berau, oleh Pemerintah Kabupaten Berau mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya dan yang paling terbaik. 

Penghargaan dan penghormatan tersebut menjadikan sebagai simbol Kebanggaan masyarakat Kabupaten Berau yang tangguh, pantang menyerah, pemberani, perkasa, pekerja keras, pantang putus asa, rela berkorban, berjuang sepanjang hayat, cinta tanah air, bersatu untuk membangun Berau. 

Simbol semangat itu direalisasikan dan diabadikan dengan membangun sebuah Tugu Besar TUGU RAJA ALAM  setinggi 50 meter, dengan lokasi di Ujung Tanjung kota Tanjung Redeb. Dibawah tugu Raja Alam itu ditulis SELAMAT DATANG DIKOTA TANJUNG REDEB KOTA SANGGAM atau WEL COME TO TANJUNG RADDAB CITY dan Sejarah Perjuangan Raja Alam. Patung besar itu, dibagian dalam ada ruang, ruang itu dijadikan untuk semacam Museum mini untuk memajang foto-foto Raja Alam dan sejarah Raja Alam dan foto Bupati dari pertama sampai dengan sekarang dilengkapi dengan keterangan masa tugasnya.

Jadi fungsi Tugu Raja Alam selain sebagai simbol kebanggaan masyarakat Berau yang tangguh dan pekerja keras, juga dijadikan tempat rekreasi, hiburan, pendidikan dan ilmu pengetahuan masyarakat yang berkunjung kesana.

Penulis adalah :
Kepala Bidang Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Berau

Episode 2015-2016

Sumber : SAPRUDIN ITHUR

No comments:

Post a Comment