Friday, 27 October 2017

MASA AWAL HINGGA BERKEMBANGNYA KERAJAAN AJATAPPARENG (ABAD 14 – 18)

MASA AWAL HINGGA BERKEMBANGNYA KERAJAAN AJATAPPARENG (ABAD 14 – 18)


Muhaeminah1 dan Makmur2
Email : minbalar@gmail.com dan makmurdpmks@gmail.com
Balai Arkeologi Makassar
Jln. Pajjiayang No. 13 Sudaing Raya Makassar


Abstrak

Ajatappareng merupakan persekutuan lima kerajaan Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi ini terbentuk pada abad ke-15 Masehi. Persekutuan Ajatappareng berada di pesisir barat pantai pulau Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bukti arkeologi di wilayah Ajatappareng Provinsi Sulawesi Selatan, dengan menggunakan metode penelitian yaitu, survei dan wawancara kemudian melakukan ekskavasi test-pit pada beberapa situs. Hal ini dilakukan untuk menegaskan eksistensi suatu wilayah sebagaimana diungkapkan pada manuskrip lontara. Survei dan ekskavasi test-pit yang telah dilakukan pada situs kemudian dikumpulkan untuk dianalisis demi mengetahui pertanggalan relatif dari data naskah dan artefak yang ditemukan. Hasil penelitian membuktikan bahwa, nilai arkeologisnya sangat penting yaitu ditemukan beberapa benda artefak dan fitur berupa masjid kuno, makam kuno, benteng tanah, sumur kuno, alat mata panah, mata uang, batu dakon, lesung, keramik dan gerabah.

Kata Kunci: Naskah lontara, situs, artefak.

PENDAHULUAN

Ajatappareng adalah persekutuan kerajaan yang terletak di sebelah barat Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Kerajaan tersebut merupakan gabungan lima kerajaan yaitu Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi ini terbentuk pada abad ke- 15 Masehi dan terkenal sebagai penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni Luwu, Bone, dan Gowa (Poelinggomang, 2004: 42). Persekutuan Ajatappareng yang telah menguasai pesisir barat pantai Sulawesi Selatan, dikenal sebagai bagian dari jaringan perdagangan asia seperti Sidenreng dan Suppa (Asba, 2009: 2).

Kajian tentang persekutuan Ajatappareng telah banyak diulas oleh banyak peneliti, salah satunya adalah Muahammad Amir (2013) dalam bukunya Konfederasi Ajatappareng, dalam buku tersebut mulai membahas asal mula berdirinya kerajaan, seperti kisah datangnya To Manurung untuk mendamaikan konflik-konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil. Juga dibahas latar belakang terbentuknya konfederasi kerajaan Ajatappareng, yaitu perkembangan perdagangan dan tingginya permintaan hasil-hasil pertanian, hingga munculnya konflik antar kerajaan dalam perluasan wilayah kekuasaan, sehingga kerajaan Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, melakukan pertemuan di Suppa pada abad ke-16 M, untuk melakukan persekutuan Ajatappareng. 

Paska persekutuan terbentuk, nampak eksistensi persekutuan Ajatappareng makin maju, itu ditandai hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544, seorang pedagang asal Portugis. Kemajuan perdagangan hasil-hasil pertanian telah mengundang kerajaan yang lebih besar untuk melakukan penguasaan, hal itu terjadi ketika kerajaan Gowa yang dipimpin oleh raja Tunipallanga Ulaweng (1546-1565), menginvasi Suppa, Sawitto, dan Alitta dan berhasil ditaklukkan.

Wilayah persekutuan Ajatappareng secara arkeologis belum banyak terungkap melalui penelitian-penelitian selama ini. Sehingga permasalahan yang penting untuk diketahui adalah sejak kapan kerajaan dikawasan Ajatappareng terbentuk, dan berkembang menjadi kerajaan konfederasi Ajatappareng? Agar dapat memberikan gambaran kronologi relatif masa keberlangsungan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng.

Untuk mengungkap jejak terbentuknya masa kerajaan di wilayah Ajatappareng, dilakukan penelusuran terhadap data arkeologi yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan yang berada diwilayah Ajatappareng. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu memberikan gambaran terhadap toponim baik dalam aspek keletakan, bentuk maupun temuan-temuan berupa artefak dan fitur. Metode pengumpulan data dengan cara melakukan studi pustaka, observasi langsung kelapangan dengan teknik survei permukaan tanah, kegiatan ini dilakukan dengan cara mengamati permukaan tanah dengan jarak dekat, pengamatan tersebut untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteksnya dan lingkungan sekitarnya dan melakukan wawancara dengan masyarakat (Truman Simanjuntak dkk, 2008:22). 

Analisis yang dilakukan yaitu mengidentifikasi artefak yang ditemukan baik dari segi keanekaragaman jenis dan bentuk. Setelah dilakukan pengidentifikasian maka tahapan selanjutnya dilakukan klasifikasi dan perbandingan artefak, agar dapat memberikan gambaran kronologi relatif okupasi Ajatappareng. Daerah penelitian yang menjadi objek meliputi bekas wilayah persekutuan Ajatappareng yaitu Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang, penelitian ini berlangsung dari Tahun 2008, 2010, 2011 dan 2012.

DESKRIPSI TEMUAN ARKEOLOGI DAN NASKAH LONTARA

Kerajaan Sawitto

Kerajaan Sawitto secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚42’50.61” LS, 119˚37’49.69” BT. Pada masa Addatuang Sawitto “La Paleteang” sebagai salah satu kerajaan penting di wilayah Ajatappareng. Infrastruktur kerajaan Sawitto kini masih bisa terlihat seperti benteng tanah, di dalam Naskah menyebutkan “bentengnge” yaitu benteng Kerajaan Sawitto, bentuk aslinya melingkar dan sangat luas (Buadara, 2000: 4). Benteng ini sekarang tidak sempurna dan dijadikan pematang sawah, area sekitarnya telah diubah menjadi persawahan. Istana kerajaan Sawitto juga masih bisa terlihat berada di poros jalan Pinrang–Rappang atau terletak kurang lebih 2 km ke arah timur dari pusat ibukota Pinrang, menurut keterangan salah seorang kerabat raja Sawitto (A. Sawerigading) bahwa sebelum istana dari bahan batuan ini dibangun, sebelumnya adalah istana dari bahan kayu. Berikut ini temuan arkeologis di wilayah kerajaan Sawitto :

1. Makam pra-Islam, berupa penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat), ditemukan di Makam Puang Coco di Bulu’, terdapat di Kelurahan Memorang Kecamatan Mattiro Bulu’ Kabupaten Pinrang. Situs Makam ini berada di tengah pemukiman penduduk, pada makam tersebut terdapat gundukan tanah, serta pecahan keramik dan gerabah (tempayan) yang dipergunakan untuk menyimpan abu jenazah, namun gerabah (tempayan) tersebut sudah tidak ada yang utuh.

2. Makam pada masa Islam, cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di kompleks makam Latenri Tatta Matinroe, berada di sebelah timur benteng tanah Sawitto, makam Puang Walli di Sekkang Ribba di Kampung Sekkange Kelurahan Benteng Kecamatan Sawitto, makam Arung Makkori, terletak di Desa Makkori Kecamatan Mattiro Sompe, makam To Salama di Cempa, termasuk dalam Desa Mattunru-Tunru, makam Petta Malae di Desa Paleteang, makam Makkaraka di Leppangeng, berada jalan poros dari Mandar ke Pare-pare, kompleks makam Jampue Sawitto di Desa Lapamessang. Pada makam tersebut terdapat beberapa corak nisan makam berbentuk hulu badi, gadah, dan batu tegak (menhir). Pada makam-makam tersebut masih dikunjungi oleh masyarakat dengan niatan akan sukses dalam usaha perdagangan, pertanian, pendidikan, pernikahan dan perantauan. Kemudian apabila berhasil akan kembali lagi memberikan sesajian.

3. Masjid tua Lapamessang didirikan pada tahun 1750 M, mesjid tua ini berbentuk persegi empat, beratap tumpang sebagaimana masjid kuna lainnya di Sulawesi Selatan, terdapat di Desa Lapamessang.

4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16.

Kerajaan Suppa

Kerajaan Suppa secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚55’26.40” LS, 119˚33’59.11” BT. Christian Pelras menggambarkan peran penting Suppa pada abad ke- 16 Masehi, menyangkut jazirah selatan Sulawesi. Ia menjelaskan bahwa perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53). 

Dalam mitologi lagaligo diceritakan bahwa Suppa adalah sebuah kerajaan besar, sangat penting di pantai barat yang berhadapan dengan selat Makassar. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa persekutuan lima Ajatappareng dapat terbentuk karena adanya prakarsa dari Suppa (Amir, 2013: 52). Berikut ini jenis temuan arkeologis di wilayah kerajaan Suppa:

1. Makam pra-Islam, diwilayah kerajaan Suppa berupa pemakaman dari wadah tempayan (kremasi) cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di situs Makkarawie termasuk dalam wilayah Dusun Lekessi Kelurahan Watang Suppa Kecamatan Suppa, situs Langkanange berada dalam wilayah administrasi Dusun Bela-Belawae Desa Polewali Kacematan Suppa, situs Bulu Tanae (Garessi) berada dalam wilayah administrasi Dusun Garessi Desa Lautang Salo, situs Perengki, situs ini berada dalam wilayah Dusun Perengki Desa Tasiwalie Kecamatan Suppa. Ditempat-tempat tersebut ditemukan fragmen tulang manusia yang sudah terbakar dan berasosiasi dengan fragmen keramik dan gerabah, yang terlihat pada pinggir lubang galian ilegal yang dilakukan oleh masyarakat. Selain makam berupa wadah tempayan di situs Langkanange juga ditemukan makam yang orientasinya timur-barat, memiliki nisan menhir dan makam ini masih dikeramatkan oleh masyarakat.

2. Makam pada masa Islam terdapat di situs Jerae, situs ini merupakan kompleks makam raja-raja Suppa, didalam kompleks makam Jerae terdapat makam Wali Suppa, Arung Pone Besse Kajuara dan Datu Suppa XX bernama Tenri Awaru. Pada makam Jarae memperlihatkan nisan Islam dengan tipe Aceh, hulu keris, pallus berbentuk selinder, gada polos, dan nisan pipih. Hampir semua makam yang teridentifikasi memiliki motif jirat sulur daun, hiasan medalion dan memiliki inkripsi aksara arab. Di situs Cempae juga ditemukan sebuah makam kuna, tetapi kondisinya sudah rusak.

3. Lokasi upacara turun kesawah (mappalili) terdapat di situs Lawaramparang, berada diwilayah administrasi Kelurahan Watang Suppa Kecamatan Suppa, dan berada di pinggir laut. Di situs ini terdapat pusat pemujaan adalah sebuah pohon beringin besar dan sumur ditepi laut dengan mata air yang terus mengalir.

4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16, Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa abad ke 18-19.

Kerajaan Sidenreng dan Rappang

Kerajaan Sidenreng dipimpin oleh Addatuang Sidenreng yang bernama Lapateddungi dan Kerajaan Rappang dipimpin oleh Arung Rappang yang bernama Lapakallongi. Kerajaan Sidenreng secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚56’39.30” LS, 119˚50’49.88” BT, sedangkan kerajaan Rappang secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚53’41.60” LS, 119˚48’22.21” BT. Hasil survei temuan arkeologis sebagai berikut:

1.Makam pra-Islam situs Sereang, terletak terletak di Desa Kanie, Kecamatan Maritengngae. Pada area pemukiman tua ini ditemukan beberapa keramik kuna yang masih utuh. Keramik ini adalah hasil penggalian liar, penduduk setempat menjelaskan bahwa guci stoneware ini berisi abu jenazah dan ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan manik-manik.

2. Makam pada masa Islam cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di situs Wengeng Desa Taluna Kecamatan Watang Sidenreng, makam Syekh Bojo di Desa Allekkuang Kecamatan Maritengngae, makam Bocco-bocco dan makam Tau Maupe ini terdapat di tengah-tengah area persawahan Watang Sidenreng di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, makam Belokka, terletak di Desa Belokka Kecamatan Pancalautan. Bentuk nisan yang ditemukan berbentuk gadah segi delapan, pipih, dan secara umum berbentuk menhir. Pada makam-makam tersebut masih dikunjungi oleh masyarakat untuk berdoa dan melepas nasar.

3. Tempat pemujaan, terdapat di situs Possiq Wanua Sidenreng di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, situs Bulubangi di Desa Massepe Kecamatan Tellu Limpoe dan situs Belokka di Desa Belokka Kecamatan Pancalautan. Media ritualnya berupa menhir yang menjadi pusat upacara yang berkaitan dengan pertanian. Upacara ritual, kini masih banyak pengunjungnya pada harihari tertentu yaitu kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian sebagai rasa syukur, dengan memotong binatang seperti kambing dan ayam.

4. Masjid tua Allekkuang, berada di Desa Allekkuang Kecamatan Maritengngae. Denah lantai Masjid kuna Allekkuang berbentuk persegi empat berukuran 40 x 40 meter. Tiang-tiangnya terdiri atas kayu bulat yang disusun berpasangpasangan sebanyak 9 pasang pada keempat sisinya dan satu tiang yang berdiri sendiri di bagian tengah. Atap berbentuk tumpang tiga, model limasan. Pada bagian puncak terdapat bangunan segi delapan yang terpisah dengan atap utama antara atap dengan bangunan segi delapan tersebut terdapat dinding-dinding yang memiliki jendela kecil.

5. Lupang batu, ditemukan di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng. Sebanyak 3 buah lumpang batu, dengan jejak pakai pada permukaan dan dasar lubang yang cukup halus, memberikan petunjuk fungsi profan yaitu untuk pengolahan padi atau biji-bijian.

6. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Vietnam (abad 14-15), Ming abad ke 15-16, Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa abad ke 18-19.

Kerajaan Alitta

Kerajaan Alitta secara astronomi terletak pada titik koordinat 3°52'44.5" LS dan 119°40'52.8" BT. Dijelaskan dalam naskah lontara keberadaan kerajaan Alitta tidak terlepas dari kedatangan To Manurung yang disebut We-Bungko-bungko di sumur bidadari (Sumur Manurung La Pakkita). Arung Alitta disebut Lamassora, kawin dengan bidadari We-Bungko-bungko (Anonim, 2008: 2). Berikut ini temuan tinggalan arkeologis di kerajaan Alitta adalah:

1. Sumur Kuno bentuknya bulat dengan diameter 2,65 cm dan kedalaman 2,74 cm. Dibagian pinggir dari sumur telah direnovasi berupa plasteran semen agar pinggir sumur tidak roboh.

2. Senjata tajam berupa mata tombak yang berukuran panjang 21 cm, bagian cabang ujung bawah 3 cm. Mata tombak tersebut dalam keadaan berkarat dan tidak utuh.

3. Mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500 tertera gambar ayam jantan.

4. Benteng tanah, saat ini telah menjadi jalanan, area pemukiman dan kebun. Sehingga kelihatan tidak jelas lagi bentuknya. Fungsi benteng tanah pada awalnya dijadikan bangunan dinding keliling yang melindungi istana, perkampungan dan petinggi kerajaan

5. Fragmen keramik tertua yang ditemukan adalah fragmen keramik Yuan (abad 13-14), fragmen keramik Dehua (abad 13-14), fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16), fragmen keramik Ming (abad 15-16) dan fragmen keramik Ching (abad 17-18).

SINTESA SITUS KERAJAAN AJATAPPARENG

Masa Awal Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng

Berdasarkan sumber naskah lontara Sidenreng “Passaleng pannessaengngi mula ritimpa’natanae ri Sidenreng“, mengungkapkan bahwa awal mula berdirinya Sidenreng dan Rappang tidak lama setelah berdirinya kerajaan Bone pada abad ke- 14 Masehi, tahun 1326 Masehi (Badaruddin, 2007: 147).

Fakta arkeologis yang ditemukan di area wilayah Ajatappareng, berupa sebaran fragmen keramik Yuan (abad 13-14) di kerajaan Sawitto, kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga ditemukan fragmen keramik Dehua (abad 13-14) meski jumlahnya tidak banyak. Dan juga fragmen keramik Vietnam (abad 14-15) dan fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16) di kerajaan Sidenreng dan Rappang. Hasil indentifikasi keramik tersebut menunjukan kronologi relatif antara abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi, merupakan fase awal masa kerajaan diwilayah Ajatappareng. Kehadiran keramik diberbagai kerajaan di wilayah Ajatappareng, memperlihatkan adanya kontak antara masyarakat lokal dengan masyarakat dari luar, karena keramik menjadi barang yang diperdagangkan dengan hasil pertanian.

Sumber: Hasil Penelitian Arkeologi 2008, 2010, 2011, 2012 Balai Arkeologi Makassar Sebagian besar keramik dipergunakan untuk wadah penguburan, hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan fragmen tulang manusia yang terbakar. Masyarakat setempat menjelaskan bahwa guci stonewere ini berisi abu jenazah dan ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan manik-manik. 

Tradisi penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat) nampak sudah berkembang sejak abad ke-13 Masehi dan meluas, bukan hanya di kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng tetapi di berbagai daratan bugis, seperti di Bone, Wajo dan Enrekang. Masa Berkembang Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng ketika bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, pedagang melayu mengalihkan kegiatan perdagangan mereka di berbagai bandar niaga bagian timur, termasuk bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi, seperti Siang, Bacukiki, Suppa, Tallo dan Somba Opu (Poelinggomang dkk, 2004:271). Pada abad ke-16 Masehi, perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53). 

Secara geografis kerajaan Suppa memang punya nilai strategis karena berada di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan selat Makassar, sehingga kerajaan Suppa menjadi bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan. Sedangkan kerajaan Sidenreng dan Rappang merupakan wilayah daratan yang kaya akan sumber daya alam. Kesuburan kedua daerah ini kini masih terlihat, berdasarkan produksi beras Kabupaten Pinrang (Suppa) Tahun 2013 sebanyak 604.975 Ton (BPS Pinrang. 2014:172) dan produksi beras Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2013 sebanyak 463.001 Ton (BPS Sidrap. 2014:128). Kesuburan itu pula yang mendorong hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544 asal Portugis, pedagang Melayu, Malaka, Arab dan Turki.  

Hasil identifikasi menujukan jenis keramik yang paling banyak ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase berkembangan kerajaan di wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya abad ke-16 M, khusunya kerajaan Suppa dan Sidenreng Rappang, karena dikerajaan itu banyak ditemukan fragmen keramik Ming (abad 15-16). Jejak arkeologis lain bisa kita lihat dimasa berkembangnya kerajaan diwilayah Ajatappareng adalah banyak dan luasnya sebaran makam, bukan hanya makam raja-raja lokal akan tetapi juga ditemukan makam kuna ulama dari luar Indonesia antara lain dari Mekah, Turki dan masih ada dikenal dari Arab Saudi. Selain makam juga terdapat masjid tua, mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500-an tertera gambar ayam jantan.

Puncak kejayaan tersebut tidak lepas dari hasil konfederasi persekutuan Lima Ajatappareng (Kerajaan Sidenreng, Rappang, Suppa, Sawito dan Alitta) yang dibentuk pada masa kekuasaan Lapancaitana menjadi Datu Suppa ke-7 (1582-1603), yang merangkap sebagai Addatuang Sawitto ke-7 dan arung Rappang ke-7. Pada tahun 1582, Lapancaitana mengundang dua raja Ajatappareng yaitu Addatuang Sidenreng Lapateddungi (1523-1564) pada tahun 1544, ia terlebih dahulu singgah di Suppa sebelum melanjutkan perjalanan ke Siang dan Gowa. Versi lain menceritakan bahwa putra sulung berkuasa di Sawitto anak ke-dua berkuasa di Sidenreng dan yang bungsu berkuasa di Alitta. 

Ke dua versi ini menceritakan bahwa anak ke-tiga berkuasa di Rappang dan anak ke-empat di Suppa. Ke dua versi ini bersumber dari tradisi lisan, tampaknya berkaitan dengan tempat atau lokasi di mana tradisi itu dikisahkan. Maksudnya, bahwa ketika tradisi itu diceritakan di daerah Sidenreng, Suppa, Rappang dan Alitta maka yang sulung dari lima bersaudara adalah Sawitto (Druce, 2005: 166-167).

Sumber lain menyebutkan bahwa persekutuan lima Ajatappareng di pelopori oleh Datu Suppa La Makkarawi, persekutuan ini dilaksanakan dalam suatu kampung di sebut Suppa, kemudian diabadikan menjadi Ajatappareng. 

Pembentukan persekutuan ini bertepatan dengan dicetuskannya Tellupoccoe di Timurung pada tahun 1582. Perjanjian persekutuanl lima Ajatappareng dicetuskan di Suppa yang melibatkan lima kerajaan, masing-masing diwakili oleh para penguasa dari lima kerajaan yaitu, kerajaan Suppa diwakili oleh La Makkarawi, kerajaan Sawitto diwakili oleh Lapaleteang, kerajaan Sidenreng diwakili oleh Lapateddungi, kerajaan Rappang diwakili oleh Lapakallongi dan kerajaan Alitta juga diwakili oleh Lapakallongi yang merangkap sebagai Arung Alitta. (Rasyid, Darwas, 1985: 88-91). Atas persekutuan tersebut maka ke lima kerajaan sepakat membentuk persaudaraan yang erat.

Setelah Konfederasi Ajatappareng terwujud, mereka membentuk kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh di pesisir barat Sulawesi Selatan (Druce, Stephen C. 2009. Op.cit., hlm. 233-234. Dalam Amir. 2013:104). Dalam sumber lontara disebutkan bahwa Suppa dan Sawitto berhasil menaklukkan beberapa daerah yaitu Leworeng, Lemo-Lemo, Bulu Kapa, Bonto-Bonto, Bantaeng, Segeri, dan Passokreng. Selain itu juga menaklukan Baroko, Toraja, Mamuju, Kaili, Kali dan Toli-Toli (Amir 2013:104-105). Hal tersebut dilakukan untuk menopang Suppa sebagai bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan.

Masa Mundurnya Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng Kemunduran kerajaan-kerajaan diwilayah Ajatappareng, tidak lepas dari pengaruh kedatangan Belanda (VOC), yang menjalankan kebijakan monopoli ekonomi. Pertentangan dan permusuhan antara VOC dan kerajaan Gowa-Tallo, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya dalam bentuk perang Makassar pada Desember 1666 sampai 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa kerajaan Gowa-Tallo untuk menandatangani perjanjian Bungaya (Poelinggomang, 2002:35). 

Hal itu berinflikasi langsung terhadap kerajaan diwilayah Ajatappareng, karena kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan yang menaklukkan kerajaan Suppa dan Sawitto (Amir, 2013:114). Kemunduran kerajaan lima Ajatappareng diperkirakan pada abad ke 18 Masehi, itu terlihat dari hasil identifikasi kurangnya temuan keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah konfederasi Ajatappareng.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian di wilayah Ajatappareng dapat memberikan gambaran okupasi wilayah Ajatappareng sudah ada sebelum abad ke-13 Masehi, seiring dengan perkembangan kehidupan sosial pada abad ke-14 Masehi yang telah kompleks, mendorong masyarakat untuk mendirikan kerajaan. 

Kompleksitas kehidupan sosial itu dapat tergambar melaluit emuan keramik Yuan (abad 13-14) di kerajaan Sawitto, kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga ditemukan fragmen keramik Dehua (abad 13-14), yang sebagian besar difungsikan sebagai wadah penguburan, hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan fragmen tulang manusia yang terbakar. Pada fase awal kerajaan ini juga telah muncul tradisi kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian sebagai rasa syukur, dengan memotong binatang pada media menhir.

Seiring dengan kedatangan pedagang dari luar yang berlabuh di Suppa, telah membawah perubahan yang signifikan terhadap kemajuan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Ajatappareng. Hal itu juga yang mendorong terbentuknya persekutuan Ajatappareng yaitu kerajaan Sidenreng, Rapang, Suppa, Sawitto dan Alitta. Hasil identifikasi menunjukan jenis keramik yang paling banyak ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase perkembangan kerajaan di wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya abad ke-16 Masehi. 

Dan fase kemunduran kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Ajatappareng, mulai terjadi pada abad ke-18, seiring dengan penguasan ekonomi oleh Belanda (VOC) pada abad ke-17. Hal itu tergambar melalui kurangnya temuan keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah konfederasi Ajatappareng.

Islamisasi kerajaan-kerajaan diberbagai wilayah Sulawesi pada abad ke-17 Masehi, telah memberi pengaruh pada budaya masyarakat. Salah satu yang dapat terlihat adalah sistem penguburan pada masyarakat di wilayah Ajatappareng, sebelum periode Islam, sistem penguburan dengan menggunakan wadah tempayan berubah menjadi sistem penguburan jirat dan nisan yang berorientasi utara-selatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Terima kasih kepada Drs. Hasanuddin M.Hum, Dra. Bernadeta, Slamet S.Sos, Drs. Budianto Hakim, Dian Purnama, Muhammad Hamzah, Agusjunam Tarrapa dan Andi Hasriani selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2008.
2. Terima kasih kepada Drs. Budianto Hakim, Suryatman SS, dan Hamuddin selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2010.
3. Terima kasih kepada Citra Andari M.Hum Drs. Hasanuddin M.Hum, Ratno Sardi SS, dan Basran Burhan SS selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2011.
4. Terima kasih kepada Fakhri SS, Ade Sahroni ST, Agusjunam Tarrapa, Hamuddin, Arman Usman SE dan Hasri Hamzah selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2012.
5. Terima kasih kepada Bapak Karaeng Dg. Manaring yang telah membantu melakukan klasifikasi terhadap fragmen keramik dan fragmen gerabah.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Muhammad. 2013. Konfederasi Ajatappareng Kajian Sejarah Persekutuan Antarkerajaan di Sulawesi Selatan Abad XVI. Makassar. De Lamacca.

Anonim, 2008. Lontara Alitta. Pinrang. Subdin Kebudayaan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Asba, Rasyid. 2009. Kerajaan Nepo di Sulawesi Selatan: Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional di Tanah Bugis. Makassar. Pusat Kajian Multi Kultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin, Kerja Sama Dinas Komunikasi Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Barru.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang. 2014. Kabupaten Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Pinrang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang. 2014. Kabupaten Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Sidenreng Rappang.

Badaruddin, Andi. 2007. Passaleng Pannessaengngi Mula ri Timpana TanaE ri Sidenreng. Salinan Lontara Sidrap.

Buadara, 2000. Kumpulan Naskah-naskah Sejarah Sawitto, Raja-raja Sawitto, Sejarah perjuangan, Lasinrang dan Pahlawan Kemerdekaan 1945, Acara Adat Istiadat dan Cerita Rakyat. Pinrang.Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Pinrang.

Druce, Steve. 2005. The lands West Of The Lakes: ”The History Of Ajatappareng South Sulawesi, AD 1200 to 1600” being otheis submitted for the degree of DOCTOR of Pilosopy (Phd). Fak. Filsafat University of Hull. Inggris.

Pelras, Christian. 1973. “Sumber Kepustakaan Eropa Barat Mengenai Sulawesi Selatan”, dalam : Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, hal. 41-53.

Poelinggomang, dkk. 2004 Sejarah Sulawesi Selatan jilid I Cetakan Pertama. Makassar: Kerjasama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Balai Penelitian Daerah (Balitbangda) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Edwar. 2002. Makassar Abad XIX : Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Rasyid, Darwas 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk II Pinrang. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 

Simanjuntak Truman, dkk. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.

No comments:

Post a Comment