"Riwayat Putri Banjar Di Tanah Dayak Makam Putri Ini Di
Desa Jaar Barito Timur"
Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu,
memang agak tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau
kita bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar,
bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan
menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di Desa ...Jaar, di dalam
bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia
adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak
Ma’anyan. Karena itu bagi orang Dayak Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti
dan makna tersendiri.
Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang
Banjar dan Urang Ma’anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan
data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR. Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi
Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma’anyan asal Tamiang Layang, alumnus STT-GKE
Banjarmasin.
Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak
Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar
Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari
dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1585, yang dalam
penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma’i.
Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah
perempuan Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada
Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan,
dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang
bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang
bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu
selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai
ganti orang yang dibunuhnya.
Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat
mengangkat Putri Mayang Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang
bernama Ja’ar –lima kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari
sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan
Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak
Ma’anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan
berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya,
tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya.
Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin
mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya,
dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia
selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil
panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah
berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah kering (tegalan).
Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah
melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah
Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar
Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma’anyan, daerah atau wilayah yang
dikunjungi atau
dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat
berkah-keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di
daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena
daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari. Kendati beragama Islam,
dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir
epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan
tradisional Dayak Ma’anyan. Dalam pola kepemimpinan ini,
satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir
mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum
Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya
kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma’anyan
adalah tata aturan kehidupan.
Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober
1615 atau dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang
Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya
tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah
hingga kering.
Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke
dalam tempayan, jasad Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat
mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka
yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi
yaitu wilayah Jaar sekarang.
Urang Banjar dan Ma’anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan
memang banyak bertutur tentang relasi antara Urang Banjar dan Urang Ma’anyan.
Misalnya dituturkan, orang Ma’anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi.
Karena itu, orang Ma’anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya
sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup
terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu
wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota Banjarmasin.
Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum
berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa
dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara
etnik orang Ma’anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa
yang
merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi
dari Nansarunai.
Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah.
Konon, ia adalah orang Dayak Ma’anyan pertama yang menjadi muallaf dan
mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu
adalah campuran antara suku Dayak Ma’anyan dan mantan prajurit Majapahit yang
masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang
Ma’anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh
dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma’anyan di tempat itu berubah fungsi
menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan
beberapa guci yang menjadi simbol keberadaan orang Ma’anyan.
Orang Dayak Ma’anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey.
Pada awalnya, sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir
dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan
daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma’anyan berkata:
“O … hakahiye sa” (o … begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar,
muslim dan orang Dayak Ma’anyan yang beragama Islam disebut hakey. Adanya kaum
yang bahakey membuat orang Ma’anyan tidak lagi satu warna. Mereka yang bertahan
dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari
tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan
menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang.
Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal
itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang
mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak
Ma’anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat
Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang
disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.
Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak
Ma’anyan setiap kali ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi
orang Ma’anyan. Perekat Sosial Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia
berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata
Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi lisan. Bagi
masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan
sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi
lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara
penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.
Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang
Ma’anyan menguraikan jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu
saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga
identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama
tampak dalam
adagium ‘Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar’.
Namun bagi orang Ma’anyan, adagium bersosok dingin itu tidak
harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi
pertumpahan darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang
memeluk agama Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka
untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan.
Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama
dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber
kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.
Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya
paksa yang tinggi namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama
sekali. Hal ini tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah
makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka
mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah
Ma’anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja
dipugar oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih
dihormati masyarakat setempat. Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri
Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan itu adalah terusan batin
persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma’anyan dengan Urang Banjar. Juga
menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut benang
merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: “Kalian bukan orang
lain.”
Sumber :Putri Mayang Sari
tempat yang sering saya kunjungi..
ReplyDeleteNama anaknya putri Mayang Sari siapa bro
ReplyDeleteAku
ReplyDelete𝚂𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚞𝚕𝚞𝚗 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚣𝚒𝚊𝚛𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚔𝚊𝚖 𝙱𝚎𝚕𝚒𝚊𝚞 𝚗𝚊𝚗𝚝𝚒
ReplyDelete