Sejarah Perdamaian Tumbang Anoi, Kahayan,Central Borneo
Terjadinya perang
antar suku Dayak Ngaju dari Kahayan, Kalimantan Tengah dengan suku Dayak Kenyah
Mahakam, Kalimantan Timur sebagai akibat adanya kesalah fahaman yang titik akar
permasalahannya adalah memperebutkan lokasi tempat berusaha pengambilan (memanen)
getah Nyatu.
Lokasi tempat usaha
pengambilan getah Nyatu ini sehari harinya adalah tempat usaha memanen getah
Nyatu oleh orang Dayak Ngaju Kahayan. Lokasi daerah tempat pengambilan getah
Nyatu ini terletak di antara perbatasan wilayah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur tepatnya di pegunungan Puruy Ayau dan Puruk Sandah. Di mana
perang antar Suku Dayak ini semakin memanas di kedua belah pihak dengan cara
saling kayau mengayau.
Sehingga terjadi peristiwa yang di kenal dengan nama Kayau
100 yang artinya : Telah terjadi pertempuran /perang di Tumbang Tuan sebelah
Udik Tumbang Toyus di Sei Barito Hulu atau pertempuran di Datah Nalau,
Kalimantan Timur.
Mengayau artinya: Memburu / mencari kepala manusia, biasanya
mengayau di lakukan oleh satu orang sampai dengan tiga orang.Kalau pada waktu
terjadinya perang jika pihak musuh kalah maka kepalanya akan di potong dan di
ambil sebagai bukti bahwa salah satu dari kelompok tersebut menang perang.
Penyerangan pertama
kali di lakukan oleh Pihak suku Dayak Kenyah yang di pimpin oleh Panglima
perang yang bernama:
*Sangiang Hadurut
*Tingang Koai
Daerah daerah yang
menjadi sasaran serangan Kayau meliputi:
*Kurun Tampang
*Sei Miri dan Sei Hamputung
*Pajangei *Sei
Beringei dan Sei Rungan dan lain lain
Pada akhirnya Pihak
suku Dayak Ngaju dari Kahayan mengadakan serangan balasan Kayau juga yang di
pimpin oleh empat orang bersaudara kandung yang tergolong sebagai Panglima
perang yaitu:
*Undeng sebagai
pimpinan perang
*Teweng
*Batoe
*Beneng
Keempat orang Panglima
perang ini berasal dari Kampung Batu Nyiwuh atau kalau sekarang Wilayah
Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Para Panglima yang
gagah berani ini telah di pilih oleh seluruh warga Masyarakat Dayak Ngaju dari
Kahayan dengan cara terlebih dulu melakukan ritual Menajah Antang.
Menajah Antang artinya: Memanggil roh halus dari alam gaib
dengan ritual khusus yang jika datang akan berbentuk dalam wujud seperti burung
elang Menajah Antang ini merupakan kebudayaan leluhur orang Dayak Kalimantan
secara turun temurun dan yang bisa melaksanakan ritual ini hanya Orang Dayak
yang mengerti tentang bahasa leluhur Dayak, bahasa Sangiang, bahasa Nahu dan
menganut agama Kaharingan biasanya Menajah Antang di lakukan oleh : Basir,
Pisur atau Tukang Tawur yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib di Borneo.
Menajah Antang atau
Najah Antang biasanya di gunakan untuk berbagai keperluan yang penting ,salah
satunya untuk meramal kesuksesan atau kegagalan sebelum berangkat perang. Pihak
Dayak Ngaju dari Kahayan mengirim utusan Kayau kepada Pihak Dayak Kenyah di
Kalimantan Timur dengan membawa tutuk bakaka yang berupa sababulu dengan Mandau
yang artinya sebagai isyarat pemberitahuan akan di adakannya peperangan .
Sababulu adalah
sepotong bamboo yang di hiasi dan di tancapkan di tanah dengan di selipi pesan
khusus bahwa Pihak Dayak Ngaju dari Kahayan siap untuk menanti kedatangan Kayau
Kenyah di Tumbang Tuan sebelah udik Tumbang Topus di sei Barito Hulu untuk
bertempur/ perang secara terbuka dan berhadap hadapan.
Dalam melakukan
serangan balasan ini Pihak Dayak Ngaju Kahayan mengirim pasukan sebanyak 200
(dua ratus) orang dengan menggunakan 8 (delapan) regeh ( sejenis perahu )yang
terbuat dari kulit kayu yang di dempul memakai damar hutan (nyating dalam
bahasa Dayak Ngaju ).
Di pertempuran yang
pertama Panglima Undeng dan pasukannya mengalami kekalahan dan mereka mundur
menuju Desa Long Bagun. Sedangkan pada pertempuran yang kedua kalinya semua
anak buah Panglima Undeng dan teman temannya tewas terbunuh sedangkan yang
selamat dan hidup hanya para Panglimanya saja yaitu:
*Panglima Undeng
*Panglima Teweng
*Panglima Batoe
*Panglima Beneng
Di pihak Dayak Kenyah
juga mengalami hal yang sama pimpinan perang Sangiang Hadurut dan semua anggota
pasukannya tewas terbunuh dalam perang terbuka secara berhadap hadapan tersebut
, termasuk Tingang Koai yang bunuh diri karena merasa malu telah menjadi
tawanan oleh pihak musuh.
Kesimpulannya: Antara
ke dua kubu yang sedang bertikai /berperang tidak ada yang menang atau kalah.
Perselisihan atau salah faham sering terjadi antar suku
Dayak di Kalimantan yang berakhir dengan peristiwa berdarah atau perang Kayau,
karena tidak adanya keseragaman ketentuan hukum adat untuk seluruh masyarakat
suku Dayak di Kalimantan.
Perang Kayau yang
terjadi antar suku Dayak di pedalaman tersebut akhirnya di ketahui oleh pihak
pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh Kalimantan Barat
yang berusaha mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian tersebut dengan
cara berusaha untuk menghentikan perang Kayau yang sedang terjadi dan berusaha
untuk menetapkan keseragaman hukum adat untuk seluruh masyarakat suku Dayak di
Kalimantan.
Tujuan di adakannya hukum adat ini sebagai pedoman kebersamaan
untuk persatuan, pegangan serta penafsiran untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang sewaktu waktu bisa saja terjadi. Damang Batoe di Tumbang Anoi
dan Tamanggung Tendan di Pulau Puruk, Bukit Batu Desa Tumbang Manange atau Upon
Batoe ( sekarang Kecamatan Tewah) ke dua orang tokoh masyarakat Dayak ini
berinisiatif untuk melakukan pertemuan damai antara para pemimpin suku Dayak
dari seluruh Kalimantan.
Dan oleh Damang Batoe
pertemuan besar Tokoh Tokoh masyarakat Dayak seluruh Kalimantan tersebut disanggupi
untuk di laksanakan di rumah adat Betang milik Damang Batoe yang akhirnya di
kenal dengan nama “Damai Tumbang Anoi”, tapi sayangnya sekarang rumah adat
Betang milik Damang Batoe yang bersejarah ini hanya tinggal tiang tiangnya
saja.
Maka di mulailah persiapan selama 3 (tiga) tahun untuk dapat
terlaksananya pertemuan besar adat yang rencananya akan di hadiri oleh sekitar
lebih kurang dari 600 (enam ratus) orang utusan dari seluruh daerah Kalimantan
dan sekitar lebih dari 1000 (seribu) orang dan rapat akan di laksanakan selama
tiga bulan yang tentu saja membutuh dana yang besar untuk konsumsi para tamu
dan keperluan lainnya
Untuk melaksanakan persiapan menyambut kedatang para
utusan besar tersebut , maka Damang Batoe dan penduduk Tumbang Anoi :
* membuka ladang di beberapa bukit yang di tanami parey
(padi), ubi kayu (jawaw) selama tiga tahun.
*Menyediakan sekitar kurang lebih 60 ekor kerbau.
*Menyediakan lebih dari 100 (seratus) ekor sapi.
*Ratusan ekor babi
dan ayam.
setelah berakhir
musim panen rapatpun dapat terlaksana dengan sukses di rumah adat Betang milik
Damang Batoe selaku pengundang yang di hadiri oleh para Tokoh atau Pemimpin
masyarakat suku Dayak dari seluruh Kalimantan.
Nama nama para utusan yang telah hadir di pertemuan Damai
Tumbang Anoi ini adalah :
*Utusan tetap dari seluruh Kalimantan sebanyak 125 ( seratus
dua puluh lima) orang.
*Utusan dari Kerajaan Banjar Kayu Tangi oleh Pangeran
Hidayatullah di kirim utusan khusus sebanyak 3 (tiga) orang.
* Utusan dari Solo sebanyak 3 (tiga) orang.
*Para pemimpin dari seluruh suku Dayak Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, berjumlah sebanyak 60
(enam puluh ) orang :
1 (satu) orang dari masing masing suku terkecuali Brunai yang
pada saat itu di berada di bawah jajahan Inggris.
*Utusan dari Kesultanan Kalimantan Barat yaitu Raden Mas
Brata Kusuma Jaya.
*Utusan dari
pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh di hadiri oleh
Controleur C.W.Aernout.
Daptar nama nama
utusan pemimpin dari daerah tertentu yaitu:
*Utusan dari Kalimantan Timur :
1.Ketua : Bang Cuk Lui ( suku Dayak Kenyah)
2.Wakil Ketua : Bang
Lawing
3.Anggota :
Taman Jajit.
Taman Kuling
Haji Burit ( utusan
dari Kutai) Haji Bamin
*Utusan dari Tanah Siang :
1.Ketua : Tamanggung Anur Tiang ( Ayahanda dari Tamanggung
Silam)
2.Pembantu : 2 (dua) Orang
*Utusan dari Kuala Kapuas :
1.Ketua : Juragan
Timbang
2.Peserta : Raden Yohanes
3. Damang Bahandang Balau
*Utusan dari Tuyun :
Tamanggung Sandin
*Utusan dari Batu
Nyiwuh :
a. Undeng
b.Teweng
c. Batoe
e. Beneng
Keempat orang utusan
ini tidak memiliki gelar keningratan atau hanya rakyat jelata biasa saja.
Utusan dari Kuala
Kurun :
a.Tamanggung Panji
b.Damang Suan
c.Langkahan
*Utusan dari Hurung
Bunut :
a.Unjung
b.Singa Bungai
*Utusan dari Bukit
Rawi :
a.Tamanggung Sura
Jaya Pati (Lawak) mengirim wakilnya : cucunya yang bernama Luther Nuhan
(Abdullah Nuhan).
*Utusan dari Sei
Rungan :
a.Damang Singa dari
Tumbang Malahoi
*Utusan dari Sei Manuhing :
a.Damang Bakal dari
Luwuk Tukau
*Utusan dari Pulau Petak :
a.Damang Anum Jayakersa
*Utusan dari Muara
Kuatan :
a.Raden Huda Jaya
Pati Rapat
Damai Tumbang Anoi di laksanakan pada tanggal 22 Mei s/d 24
July 1894 yang tertulis dalam buku sejarah Kabupaten Kuala Kapuas , sedangkan
menurut masyarakat Tumbang Anoi rapat berlangsung pada tahun 1883 yang hampir
bersamaan dengan meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883. Tetapi dalam buku
sejarah Kalimantan Barat rapat Damai Tumbang Anoi pada tahun 1894
Setelah rapat
berakhir dengan sukses selama lebih kurang dari 3 (tiga) bulan yang menetapkan
kesepakatan dalam 2 (dua) hal yaitu :
1.Menghentikan secara menyeluruh permusuhan /pertikaian
antar suku atau kayau mengayau dan permusuhan dengan pihak pemerintah Hindia
Belanda.
2.Menetapkan hukum adat yang berlaku sama untuk seluruh
masyarakat suku Dayak di seluruh Kalimantan.
Catatan di bawah ini: Berkaitan dengan tulisan tersebut di atas Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas
Desa Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Tumbang Anoi adalah
salah satu desa yang berada di kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah
bagi perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk
mengakhiri tradisi mengayau pada tahun 1894 Tumbang Anoi adalah salah satu
pusat permukiman penduduk Suku Dayak Kadorih, salah satu subsuku Dayak Ot Danum
di hulu Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi dihuni oleh 418 warga
dari 116 keluarga Tumbang Anoi berjarak sekitar 300 kilometer arah utara
Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, tempat itu masih
harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tujuh jam, dilanjutkan dengan
menggunakan perahu motor menyusuri Sungai Kahayan ke arah hulu selama dua jam
dari Tumbang Marikoi,Ibu kota Kecamatan Damang Batu.
Sumber : Ester Kusumanegara
Undeng teweng asal tumbang miri, dan sandungnya ada ditumbang miri sampai skrg
ReplyDelete