Kerajaan Tidung
Wilayah kerajaan Tidung, Kalimantan Timur |
Berdiri : 1551-1916
Didahului oleh : Kerajaan
Tidung kuno
Digantikan oleh : Tarakan
Ibu kota : Kota Tarakan
Bahasa : Tidung
Agama : Islam
Pemerintahan : Monarki
-Raja pertama : Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet
-Raja terakhir : Datoe
Adil
Sejarah
-Didirikan : 1557
-Zaman kejayaan : 1551-1787
-Krisis suksesi : 1916
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan
Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di
Kalimantan Utara, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung,
terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.[1]
Daftar isi :
1 Riwayat
2 Daftar Silsilah Raja-Raja Tidung
2.1 Raja-raja dari Kerajaan Tidung Kuno
2.2 Dinasti Tengara
2.3 Raja-raja dari Dinasti Tengara
3 Hubungan dengan Kesultanan lain
3.1 Hubungan dengan Kesultanan Sulu
3.2 Hubungan dengan Kesultanan Bulungan
3.3 Hubungan dengan Kesultanan Banjar
3.4 Hubungan dengan Kesultanan Berau
4 Demografi kawasan
5 Wilayah Kekuasaan
6 Referensi
7 Lihat pula
8 Pranala luar
Riwayat
Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah
memerintah dikalangan Suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang
sudah terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain (Salimbatu,
Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten Bulungan), (Malinau Kota, Kabupaten
Malinau), (Sesayap, Kabupaten Tana Tidung), (Sembakung, Kabupaten Nunukan) ,
(Kota Tarakan) dan lain-lain hingga ke daerah (Sabah, Malaysia) bagian
selatan.[2]
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan Suku Tidung
tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara
riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang
terakhir bernama Benayuk.[2] Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena
ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat
sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air
(sungai) berikut warganya.[2] Peristiwa tersebut di kalangan Suku Tidung
disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari
Menjelutung]].[2]
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa
pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim.[2] Perhitungan musim
tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim
terdapat 12 purnama.[2] Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan +kurang
lebih dengan tahun Hijriah.[2] Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang
beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan
keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung
tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.[2]
Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman kerajaan
Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana
diketahui bahwa dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang
terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :[2]
Dialek bahas Tidung Malinau
Dialek bahasa Tidung Sembakung.
Dialek bahas Tidung Sesayap.
Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung
Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan
kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka
tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing.[2]
Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan Benayuk di Menjelutung
runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar
kemudian membangun pemukiman baru.[2] Salah seorang dari keturunan Benayuk yang
bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si
Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul,
Sembakung dan Lumbis.[2]
Daftar Silsilah
Raja-Raja Tidung
Raja-raja dari
Kerajaan Tidung Kuno
Kerajaan Tidung Kuno adalah Suatu Pemerintahan yang dipimpin
oleh seorang Raja, dimana pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah dengan
wilayah yang kecil/kampung.[3]
Benayuk dari Sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan
± 35 Musim).[3] Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa
malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga
mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai)
berikut warganya.[3] Peristiwa tersebut di kalangan Suku Tidung disebut Gasab
yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Menjelutung.[3]
Yamus (Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim) Selang 15
(lima belas).[3] Musim setelah Menjelutung runtuh seorang keturunan Benayuk
yang bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai
raja yang kemudian memindahkan pusat pemukiman ke Binalatung (Tarakan).[3]
Yamus memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim, setelah wafat Yamus
digantikan oleh salah seorang cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang).[3]
Ibugang (Aki Bugang), Ibugang beristrikan Ilawang (Adu
Lawang) beranak tiga orang.[3] Dari ketiga anak ini hanya seorang yang tetap
tinggal di Binalatung yaitu bernama Itara, yang satu ke Betayau dan yang satu
lagi ke Penagar.[3]
Itara (Lebih kurang 29 Musim), Itara memerintah selama 29
(dua puluh sembilan) musim.[3] Setelah wafat Anak keturunan Itara yang bernama
Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah selama 25 (dua puluh
lima) musim.[3]
Ikurung (Lebih kurang 25 Musim), Ikurung beristrikan Puteri
Kurung yang beranakkan Ikarang yang kemudian menggantikan ayahnya yang telah
wafat.[3]
Ikarang (Lebih kurang 35 Musim), di Tanjung Batu
(Tarakan).[3] Ikarang memerintah selama 35 (tiga puluh lima) musim di Tanjung
Batu (Tarakan).[3]
Karangan (Lebih kurang Musim), Karangan yang bristrikan
Puteri Kayam (Puteri dari Linuang Kayam) yang kemudian beranakkan Ibidang.[3]
Bengawan (Lebih kurang 44 Musim), Diriwayatkan sebagai
seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di pesisir
melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang yaitu dari Tanjung
Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia).[3]
Diriwayatkan pula bahwa Raja Bengawan sudah menganut Agama Islam dan memerintah
selama 44 (empat puluh empat) musim.[3] Setelah Bengawan wafat ia digantikan
oleh puteranya yang bernama Itambu.[3]
Itambu (Lebih kurang 20 Musim).[3]
Aji Beruwing Sakti (Lebih kurang 30 Musim).[3]
Aji Surya Sakti (Lebih kurang 30 Musim).[3]
Aji Pengiran Kungun (Lebih kurang 25 Musim).[3]
Aji nata Djaya (Kurang 20 Musim).[3]
Pengiran Tempuad (Lebih kurang 34 Musim), Pengiran Tempuad
kemudian kawin dengan raja perempuan Suku Kayan di Sungai Pimping bernama
Ilahai.[3]
Aji Iram Sakti (Lebih kurang 25 Musim) di Pimping,
Bulungan.[3] Aji Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung.[3]
Setelah Aji Iram Sakti wafat kemudian digantikan oleh kemanakannya yang bernama
Aji Baran Sakti yang beristrikan Adu Idung.[3] Dari perkawinan ini lahirlah
Datoe Mancang.[3]
Aji Baran Sakti (Lebih kurang 20 Musim).[3]
Datoe Mancang (Lebih kurang 49 Musim), diriwayatkan bahwa
masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat puluh sembilan)
musim.[3]
Abang Lemanak (Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan,
setelah Abang Lemanak wafat, ia kemudian digantikan oleh adik bungsunya yang
bernama Ikenawai (seorang wanita).[3]
Ikenawai bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim), Ikenawai
bersuamikan Datoe Radja Laut keturunan Radja Suluk bergelar Sultan
Abdurrasid.[3]
Dinasti Tengara
Dahulu kala kaum Suku Tidung yang bermukim di pulau Tarakan,
populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin
yang telah melahirkan Dynasty Tengara.[3] Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang
ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung
sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun
1076-1156.[3] Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di
kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216.[3] Lalu bergeser lagi,
tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada
tahun 1216-1394.[3] Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau
Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni,
sekitar tahun 1394-1557.[3]
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta
kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah
Tarakan Timur.[4]
Raja-raja dari Dinasti Tengara
Silsilah raja dari dinasti tengara, yaitu:[4]
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring
gelar Datoe Maoelana adalah putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
Datoe Adil (1896-1916)
Hubungan dengan Kesultanan lain
Hubungan dengan Kesultanan Sulu
Dikatakan Sultan Sulu yang bernama Sultan Salahuddin-Karamat
atau Pangiran Bakhtiar telah menikah dengan seorang gadis Tionghoa yang berasal
dari daerah Tirun (Tidung).[5] Dan juga karena ingin mengamankan wilayah
North-Borneo (Kini Sabah) selepas mendapat wilayah tersebut dari Sultan Brunei,
seorang putera Sultan Salahuddin-Karamat iaitu Sultan Badaruddin-I juga telah
memperisterikan seorang Puteri Tirun atau Tidung (isteri kedua) yang merupakan
anak kepada pemerintah awal di wilayah Tidung.[5] (Isteri pertama Sultan
Badaruddin-I, dikatakan adalah gadis dari Soppeng, Sulawesi Selatan.[5] Maka
lahirlah Datu Lagasan yang kemudian menjadi Sultan Sulu bergelar, Sultan Alimuddin-I
ibni Sultan Badaruddin-I).[5] Dari zuriat Sultan Alimuddin-I inilah dikatakan
datangnya Keluarga Kiram dan Shakiraullah di Sulu.[5]
Maka dari darah keturunan dari Puteri Tidung ini lahirlah
seorang putera bernama Datu Bantilan dan seorang puteri bernama Dayang
Meria.[5] Datu Bantilan kemudiannya menaiki takhta Kesultanan Sulu
(menggantikan abangnya Sultan Alimuddin-I) pada tahun sekitar 1748, bergelar
Sultan Bantilan Muizzuddin.[5] Adindanya Dayang Meria dikatakan menikah dengan
seorang pedagang Tionghoa, dan kemudiannya melahirkan Datu Teteng atau Datu
Tating.[5] Dan dari zuriat Sultan Bantilan Muizzuddin inilah datangnya Keluarga
Maharajah Adinda, yang kini merupakan "Pewaris Sebenar" kepada
Kesultanan Sulu mengikut Sistem Protokol Kesultanan yang dipanggil "Tartib
Sulu".[5]
Dikatakan juga pewaris sebenar itu bergelar, Duli Yang Maha
Mulia (DYMM) Sultan Aliuddin Haddis Pabila (Wafat pada 30 Juni 2007 di Kudat,
Sabah).[5] Dan juga dinyatakan bahawa Putera Mahkota kesultanan Sulu kini
adalah putera bungsu kepada DYMM Sultan Aliuddin yang bernama Duli Yang Teramat
Mulia (DYTM) Datu Ali Aman atau digelar juga sebagai "Raja Bongsu-II"
(*Gelaran ini mungkin mengambil sempena nama moyang mereka yang bernama Raja
Bungsu atau Pengiran Shahbandar Maharajalela, yang merupakan putera-bongsu
kepada Sultan Muhammad Hassan dari Brunei.[5] Dikatakan Raja Bungsu ini telah
dihantar ke Sulu menjadi Sultan Sulu menggantikan pamannya Sultan Batarasah
Tengah ibnu Sultan Buddiman Ul-Halim yang tiada putera.[5] Ibu Raja Bungsu ini
adalah puteri kepada Sultan Pangiran Buddiman Ul-Halim yang menikah dengan
Sultan Muhammad Hassan).[5]
Dan kerana mahu rakyat Sulu memahami akan HAK "Pewaris
Kedua" dalam Kesultanan Sulu, maka DYTM Datu Raja Bongsu-II ini telah
mengutuskan sepupunya Datu Lajamura Bin Datu Wasik ke Sulu untuk memberi
penerangan kepada seluruh rakyat Sulu akan HAK Keluarga Maharaja Adinda.[5]
Maka kehadiran Datu Lajamura Bin Datu Wasik di Sulu adalah selaku Pegawai WAKIL
penerangan dari Keluarga Maharaja Adinda atau (The Maharaja Adinda Royal House
Representative Officer).[5]
Hubungan dengan Kesultanan Bulungan
Di antara kedua kerajaan tersebut terdapat hubungan yang
erat, sebagaimana layaknya seperti orang bersaudara karena saling diikat oleh
tali Perkawinan.[5] Meskipun demikian proses saling memengaruhi tetap berjalan
secara halus dan tersamar, karena salah satu di antaranya ingin lebih dominan
dari yang lainnya.[5] Dengan Demikian tidak dapat dielakkan bahwa persaingan
terselubung antara keduanya merupakan masalah laten yang ada kalanya mencuat
kepermukaan.[5] Dalam hal ini pihak penjajah Hindia Belanda cukup jeli
memanfaatkan masalah itu, maka semakin besar masalah hubungan kedua kerajaan,
bahkan menjadi konflik politik yang tajam, sehingga akhirnya Kerajaan dari Suku
kaum Tidung dengan Kesultanan Bulungan mengakhiri hubungan kerja sama.[5]
Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365
menyebutkan Tirem (=Tirun/Tidung) sebagai salah satu negeri yang telah
ditaklukkan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada.[5] Menurut Hikayat Banjar,
sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata (Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa),
pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar) yang ke-2 pada
masa Hindu, penguasa Karasikan sudah menjadi taklukannya.[5] Karasikan adalah
sebutan dari Kesultanan Banjar untuk Kerajaan Tidung.[5] Karasikan dalam
Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah di atas angin (= negeri di
sebelah timur atau utara) yang telah ditaklukkan.[5] Karasikan (= Tarakan)
dianggap sebagai salah satu vazal Banjarmasin, sehingga ketika Banjarmasin
jatuh ke tangan VOC sebagai daerah protektorat (= tanah pinjaman) pada 13
Agustus 1787 maka vazal-vazal Banjarmasin oleh Sultan Tamjidullah I diserahkan
kepada VOC, maka Karasikan atau wilayah Suku Tidung ini menjadi wilayah VOC.[5]
Karasikan yaitu wilayah Suku Tidung meliputi utara Kalimantan Timur hingga
daerah-daerah pada Divisi Tawau dan sekitarnya termasuk pulau Sipadan dan
Ligitan, sehingga tidak mengherankan ketika VOC membuat peta tahun 1787,
wilayah VOC lebih ke utara daripada perbatasan Kalimantan Timur-Sabah yang ada
pada masa kini.[5]
Hubungan dengan Kesultanan Berau
Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan
Sendiri Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran
siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan
pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara bangun hampir tiada berfungsi
lagi.[6] Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung
berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan
membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.[6]
Demografi kawasan
Arsitektur rumah adat suku tidung |
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk
aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni: Tidung, Bulungan, dan Dayak
yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan,
dan Kebudayaan Pedalaman.[5]
Kaum Suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan
pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit di tepian sungi-sungai di pedalaman
umumnya dalam radius muaranya.[5] Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di
kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama di kawasan Tanjung Palas dan
Tanjung Selor.[5] Sedangkan kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan
Pedalaman.[5] Kalangan suku Dayak yang terdengar dan Populer adalah bernama
suku Dayak Kenyah.[5] Suku Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa mereka
tersebar di kawasan pedalaman dan dan memiliki berbagai macam nama.[5] Adapun
mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan,
di samping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan.[5] Berdasarkan
dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu di
kawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni:
Kerajaan dari kaum Suku Tidung dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan.[5]
Kerajaan dari kaum Suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di
Salimbatu, Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.[5]
Wilayah Kekuasaan
Kerika diperintah oleh Raja Bengawan pada masa Kerajaan
Tidung Kuno, wilayah kekuasaan kerajaan ini telah lebih besar dari wilayah
Kabupaten Bulungan sekarang, Jika digambarkan wilayah tersebut meliputi Tanjung
Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di kudat, Malaysia.[4] Pada
perkembangan kemudian, wilayah kekuasaan kerajaan tidung semakin meluas
sehingga meliputi beberapa daerah, yaitu: beluran, betayau, bunyu, Kalabakan,
Labuk, Lumbis, Malinau, Mandul, Mentarang, Nunukan, Pulau Sebatik, Salim Batu,
Sebuku, Sekatak, Sembakung, Serudung, Sesayap, Semendalen, Soembol, dan Tarakan.[4]
Di daerah Beluran, kekuasaan kerajaan tidung juga menguasai beberapa Suku Dayak
yang telah mendiami daerah tersebut, yaitu Ulun Aboy Tidung, Ulun Adang, Ulun
Belusu, Ulun Daye, Ulun Kelabat, Ulun Krayan, Ulun Libun, Ulun Mentarang, Ulun
Punan, Ulun Putuk, Ulun Saban, Ulu Tenggalan, dan Ulun Tubu.[4] Bahkan sebelum
dipersatukan ke dalam satu kerajaan atau masih dikenal sebagai Kerajaan Tidung
Kuno, wilayah kekuasaan kerajaan ini masing-masing mempunyai kerajaan yang
berdiri sendiri seperti, Raja Berusu (Belusu), Raja Tenggalan/Ngabok, Raja
Punan, dan Raja Ulun Daya/Aboi Tidoeng.[4]
Referensi
^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1855). Tijdschrift voor Indische
taal-, land-, en volkenkunde. Lange & Co. hlm. 423. Text "Bagian
4" ignored (help)
^ a b c d e f g h i j k l kerajaan tidung bagb 1 diakses 1
April 2015
^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab
ac ad ae af ag ah ai aj ak silsilah kerajaan tidung diakses 1 April 2015
^ a b c d e f kerajaan tidung diakses 1 April 2015
^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab
ac ad ae af ag ah Sejarah dan kebudayaan tidung di kabupaten malinau
^ a b historis asal usul berau
Lihat pula
Suku Tidung
Kesultanan Bulungan
Kota Tarakan
Kabupaten Tana Tidung
Kabupaten Bulungan
Kabupaten Nunukan
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
Arkeologi Pusat Juga Meneliti Keberadaan Kerajaan Tidung
Melayu dari Utara
Source :wikipedia
No comments:
Post a Comment