Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang
pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun
1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777),
dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar
Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan bekas daerah
milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam
perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari
"negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar). Pada kenyataannya sampai
tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
Sejarah Kerajaan Bulungan
Atraksi Mendayung saat kedatangan pejabat kolonial ke
Kesultanan Bulungan (hingga 1930).
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan
mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda
bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang
tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat
jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk
history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa
Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula
mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang
lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan
penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai
besar yang bernama Sungai Kayan.
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak
seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut
bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu
dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak
laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan.
Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya
memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka
masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan
bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan
didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara
Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita
tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa
Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa
Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir
seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah
keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru
menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian
Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai
seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang
laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan
Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang
puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan
kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah
hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu
ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung
(bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si
Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil
dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya
dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka
tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang
sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah
peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai
Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang
berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika
bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila
melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai
sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya
Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan
saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa
Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju
sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota
Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat
di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di
Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama
Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung
Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk
Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan
Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan
Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh
di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah
perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari
air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka.
Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi
keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan.
Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan,
salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan
ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin
berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan,
ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang
Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang
bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan
tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang
(1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin
oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan,
pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Sultan Bulungan
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih
belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira
Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan
Asung Luwan(1555-1594)
Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril
Mukminin (1731-1777)
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan
Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul
Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1877-1817)
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan
Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan
Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan
Azimuddin.
Sultan Kasimuddin
Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan
Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat
Shah (Sultan Langkat)
Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Orang Belanda menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan
dikenakan kedaulatan Belanda terhadap Kutai pada tahun 1848, dan kemudian
terhadap Bulungan yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politik
pada tahun 1850. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak,
bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk
campur tangan di wilayah ini.
Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah
pengaruh Belanda.
Sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu.
Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk
perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan
penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk
Sulu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk,
yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai
menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada
tahun 1880-an kolonial. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di
Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara
kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte
verklaring, pernyataan "singkat" oleh yang menjual sebagian besar
kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah
hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur,
"administrasi sendiri", pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak
negara pangeran Hindia Belanda.
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di
pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk
orang Belanda, karena Tarakan ibukota daerah.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan
Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah
otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau
"wilayah khusus " pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin,
meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan
wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana.
sumber : http://id.wikipedia.org/
Source : northmelanesian.blogspot.com
No comments:
Post a Comment