Orang Laut Kepulauan Riau
Penulis dediarman - June 14, 2016
Orang laut atau suku laut adalah kelompok masyarakat yang
mempunyai kebudayaan bahari yang semurni-murninya. Kondisi kekinian, orang laut
banyak yang hidup menetap. Ini berkembang dari konsep awal kategori orang laut.
Menurut Adrian B Lapian (1986 dan 2009), orang laut adalah suku bangsa yang
bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Kepulauan
Riau sekitarnya, dan pantai Johor Selatan.
Berbicara tentang orang laut dapat dipastikan akan berawal
dari soal penamaan. Orang suku laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini
muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu),
maupun diri mereka sendiri. Di Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama
orang pesukuan, yaitu orang yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau
kelompok masyarakat ini dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang
abad 19 terbagi dua. Orang laut atau pesukuan hidupnya ada yang di darat,
teluk, muara sungai dan di laut.
Banyak lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu
pada tempat tinggal, seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan),
Orang Tambus (mendiami Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau
Mapor atau Mapur, Bintan). Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang
laut dinamai juga beragam. Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and
gatherers. Ada juga ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of
the sea. Meski beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan
Riau, termasuk oleh orang Riau daratan, nama orang laut yang paling populer.
Di wilayah laut lain, seperti Sulawesi, kelompok yang masuk
kategori orang laut juga dikenal dengan berbagai nama. Seperti Bajau atau Bajo,
Sama, Samal dan Samal Laut. Disamping itu ada nama suku bangsa Talaud, Tondano,
Tolour, Maranao, Ilanun atau Iranun. Artinya kurang lebih sama dengan suku
laut. Mereka orang laut atau orang air, meski cara hidup mereka sudah menetap,
bermukim dalam rumah dan tidak dalam perahu. Selain itu, ada yang disebut Suku
Urak Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat
Daya), Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies
(Filipina Selatan).
Sejarah
Banyak sekali versi mengenai sejarah asal muasal orang Laut.
Mulai dari pendapat peneliti asing dan Indonesia, juga berasal dari cerita
rakyat yang berkembang di Kepri. BM Syamsuddin (1996) menulis berdasarkan
cerita rakyat, asal muasal orang laut berasal dari garam yang diberikan Raja
Johor kepada seorang nenek sakti. Garam inilah berkat kuasa Allah kemudian
menjelma menjadi orang enam suku. Banyak lagi cerita lisan lain.
Vivienne Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan
raja-raja Melayu. Ini berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus Salatin.
Seseorang yang disebut Raja Chulan turun ke dalam laut dan kawin dengan putri
laut. Kalau putri laut simbolis dari orang laut, maka Sri Tri Buana dan
saudaranya adalah anak dari ayah dan ibu yang berasal dari orang laut. Argumen
menarik lainnya adalah orang laut di Kepri diduga kuat sejumlah peneliti
merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan bangsa Melayu tua. Atau, masuk
dalam proto Melayu yang menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka
pada sekitar 2500-1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM,
terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat
bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau
Sumatra. Sebagian dari kelompok yang terdesak inilah yang saat ini dikenal
sebagai orang laut.
Asal muasal orang laut tak dapat dipisahkan dari persebaran
(migrasi) orang-orang yang tergolong ras Proto Melayu. Orang laut adalah
sisa-sisa mereka. Parsudi (1995), menyebutkan, ras Deutro Melayu mendesak
orang-orang Melayu ke pedalaman, sehingga terdapat percampuran antara orang-orang
dengan ciri-ciri was weddoid dan austroloid dengan ras proto Melayu. Ada juga
yang berdampingan dan bercampur dengan orang ras Deutro Melayu.
Orang laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak
Sriwijaya berkuasa hingga Kesultanan Riau-Johor. Loyalitas orang laut terhadap
sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires, loyalitas orang laut yang disebutnya
orang selat telah dimulai sejak di Palembang. Orang laut membantu sultan saat
mendirikan Kesultanan Melaka. Beberapa suku orang laut jadi tentara raja. Orang
Mepar, Galang, Gelam, Sekanak, Sugi, Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung
armada sultan dari suku Ladi, Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi. Orang
Mantang sebagai pembuat senjata dari besi. Suku Mepar tugasnya mengangkut duta
atau utusan dari luar negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi, Terong
dan Kasu menyuplai agar-agar dan sangu (semacam rumput laut). Pemimpin suku
Mepar di Lingga tugasnya mengatur suku-suku yang mengembara di Perairan Lingga.
Orang laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Melaka
1511, orang laut menjemput sultan di Bintan dan membawanya untuk mengungsi.
Peranan orang laut dalam Sejarah Johor menonjol saaat terjadi krisis kerajaan
1688.Orang laut setia pada sultan yang usianya masih muda dan memihak pada
sultan saat terjadi konflik dalam istana kerajaan. Orang laut juga setia pada
Raja Kecik saat berkonflik dengan Raja Johor yang dapat bantuan dari Orang
Bugis. Saat Raja Kecik kalah dan lari ke Siak, peranan orang laut dalam
Kesultanan Johor semakin kecil dan hilang. Orang Bugis berkuasa untuk menjabat
posisi sentral dalam istana.
Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Data
tahun 1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau
(dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711
orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang
Hutan 2938, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun
berlalu, orang laut di Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim
dan ada yang masih mengembara di laut. Banyak pemukiman orang laut yang
dibangun pemerintah. Sebut saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh,
Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru di Kabupaten Lingga. Di Bintan juga ada di
Air Kelubi, sementara di Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.
Budaya
Ditilik ditilik dari ragam bahasa yang digunakan, orang suku
laut ini dianggap masih serumpun dengan bangsa Melayu. Menurut ahli
sosiolinguistik K Alexander Adeelar (2004), orang laut merupakan varian suku
bangsa Melayu tua apabila dilihat dari ragam bahasa tutur yang dipakai. Argumen
yang dibangun Adeelar merujuk pada pola persebaran elemen-elemen bahasa Melayu
pada masa awal abad ke-16 yang hingga kini masih ditemukan dalam ragam
percakapan modern bahasa Melayu.
Sementara, bagi Lenhart, yang melihat kebudayaan orang suku
laut dari perspektif evolusionis, kebudayaan orang laut secara umum berbeda
dengan budaya orang Melayu. Kendati, masih tampak elemen-elemen ‘Melayu’ dalam
kehidupan kesehariannya. Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam aktivitas
orang laut yang mempraktikkan pantun di waktu senggang. Sementara itu,
perbedaan kultural yang paling kasat mata, terletak pada stuktur sosial (sistem
kekerabatan dan relasi antargender) dan budaya materinya.
Secara struktur sosial, menurut penelitian yang dilakukan
Lenhart, orang laut masih hidup dalam lingkup kelompok yang tidak terlalu besar
atau sekitar lima sampai delapan keluarga inti. Kelompok yang masih dalam satu
kerabat ini dipimpin seorang laki-laki yang ditunjuk melalui sebuah musyawarah.
Pemimpin ini berfungsi sebagai perantara ketika menjalin komunikasi dengan suku
laut yang tersebar di Kepulauan Riau. Walau pemimpinnya seorang laki-laki,
relasi antargender (laki-laki dengan perempuan) cukup egaliter dalam praktik
kehidupan sosialnya.
Hal ini didasari kesepakatan bersama, biasanya dimulai dari
himpunan keluarga terkecil (nuclear family) yang telah menetapkan pembagian
peran secara seksual (division of labour) serta posisi sosial
masing-masing.Pada aspek budaya yang lain, seperti sistem religi, budaya materi
dan ekonominya, masyarakat orang laut merupakan kelompok masyarakat yang hidup
dalam anutan sistem kepercayaan mereka sendiri yang dekat dengan animisme.
Orang laut merupakan suku yang hidup di sampan atau
rumah-rumah perahu (boat-dwellings) dengan mata pencaharian utama sebagai
pencari ikan dan binatang laut lainnya, seperti tripang (timun laut). Model
ekonomi subsistem seperti inilah yang menjadi ciri khas dari kebudayaan mereka.
Namun demikian, dua antropolog, seperti Lenhart dan Chou,
menerangkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan relokasi (permukiman) oleh
Pemerintah Indonesia pada akhir 1980-an hingga periode awal 1990, kebiasaan
atau adat orang laut berangsur menghilang.
Sejak lama Orang laut digiring untuk memeluk satu dari lima
agama formal di Indoneisa. Tak hanya itu, orang laut lantas mulai hidup di
pinggir pantai di rumah-rumah yang terbuat dari kayu yang disediakan
pemerintah. Sejak bermukim ini, orang laut hanya pergi melaut untuk mencari
ikan pada musim tertentu.
Dari peralihan kebiasaan ini, Chou memaparkan bahwa ikan
hasil tangkapan orang laut tidak lagi untuk konsumsi pribadi, tapi dijual
kepada para tauke (juragan ikan) untuk ditimbang berat ikan tangkapannya dan
ditukar dengan uang.
Bajau
Nama bajau atau Bajo seperti juga nama orang laut adalah
exonym, nama yang diberi orang luar. Mereka sendiri menyebut dirinya Orang
Sama. Orang Bajau banyak ditemukan di Perairan Selat Makassar (di Pulau Laut
dan Pantai Timur Kalimantan), sekitar Bontang, Teluk Bone, daerah Nusatenggara
Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Kepulauan Sulu, dan Maluku Utara. Nama
Bajau tak hanya ditemukan di bumi timur Indonesia, tapi juga dibelahan barat,
yakni Kepulauan Anambas, Kepri. Jadi dapat dipastikan orang Bajau pernah
menjelajahi seluruh perairan nusantara, meski sekarang hanya dikenal di bagian
timur Sulawesi, Sabah dan Kepulauan Sulu.
Pengembaraan Orang Bajau di timur nusantara selalu dikaitkan
dengan Kerajaan Johor. Salah satu tradisi lisan mengatakan, Orang Bajau di
Kalimantan Utara adalah keturunan pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan
untuk mengantarkan puterinya, Dayang Ayesha. Ditengah jalan, rombongan diserang
oleh kapal Brunei yang menculik Dayang Ayesha dan membawanya ke Brunai. Sejak itu
Orang Bajau hidup mengembara karena takut pulang ke Johor atau pulang ke Sulu
karena kehilangan putri yang dipercayakan kepada mereka.
Cerita lain mengisahkan, Orang Bajau yang kini hidup di Sulu
dahulunya hidup dalam perahu di Semenanjung Melayu. Kepala Orang Bajau
mempunyai anak yang cantik dan orang darat mempersuntingnya, sehingga ia
menculiknya. Putri itu berhasil meloloskan diri. Sejak itu Orang Bajau berlayar
jauh karena takut dikejar orang darat yang ingin mencari putri tersebut. Versi
lain menyebutkan, Orang Bajau di Timur Sabah merupakan keturunan dari Puteri
Johor yang dalam pelayarannya terbawa angin ribut dan hilang arah. Dalam cerita
Bajau di Pantai Kalimantan Timur, pangeran Johor berlayar terkena angin topan
dan tak bisa kembali. Sultan Johor memerintahkan pelaut Bajau mencari putranya
yang hilang. Mereka berlayar tapi kehilangan arah. Orangh Bajau ini akhirnya
memutuskan menetap di perairan antara Kalimantan, Kepulauan Sulu dan Sulawesi.
Pendapat lain menerangkan, konflik kesultanan Johor 1699
menyebabkan, Orang Laut menyebar keluar dari Perairan Johor. Mereka mengembara
ke arah timur tapi tetap mengingat turun temuruannya di semenanjung Melayu.
Dari berbagai sumber ini, Adrian B Lapian menyebutkan, perlu pengkajian atau
penelusuran lebih jauh mencari hubungan antara Bajau dan Johor. Belum ada fakta
historis yang menunjukkan pertautan ini. ((Dedi Arman SS, Pamong Budaya BPNB
Tanjungpinang)
Sumber: Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut,
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Jakarta: Komunitas Bambu,2009.
Evawarni, Sindu Galba, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang
Laut di Kepri.
Tanjungpinang:Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang,2005.
No comments:
Post a Comment