Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)
Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga terbesar di
dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan Pulau Borneo
adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan pegunungan di sebelah
timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu dengan puncak
setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu rata-rata 24-25
derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.
Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan penduduk
di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah yang
sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau Borneo
ini adalah artefak dari Kerajaan Kutai yaitu dari masa abad ke-4 M yang
beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan
temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutai adalah temuan artefak
yang tertua di Nusantara ini.
Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh di
sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan
Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.
Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan
di Pulau Borneo ini.
Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang eropa
pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama
Ludovico de Verthema yaitu pada tahun 1505 M yang kemudian dilanjutkan dengan
orang Portugis yang bernama Rui de Brito 1514, Tom Pires pada tahun 1515 M dan Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul
oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1521 yaitu dalam
perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris
dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal sejak
abad ke-15 M.
Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol {bahasa Latin:
Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk
antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang
banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa
disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol,dari sebutan orang-orang
eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei,karena saat itu Kerajaan Brunei
merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap
orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei [3]
sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian
dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai
hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.
Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman
Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, tetapi seluruh ABK dibunuh penduduk
sebagai pembalasan atas perampasan oleh VOC terhadap dua jung Banjar yang
berlabuh di Banten tanun 1595. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain Billah,
Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin atas
insiden 1607 dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga
ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.
Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis
pertama antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun
1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC
dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa
hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.
Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di
Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada
tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara
lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan
membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC
kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat
Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat
lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.
Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang dimulai pada
awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka sampai abad
ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini disamping
Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana, kesultanan
Sambas dan Kesultanan Pontianak.
Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada paruh
ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini
termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara
ini kemudian digantikan oleh Inggris.
Setelah selesai perang dengan Napoleon, Belanda kemudian
menempati lagi posisinya di Nusantara ini termasuk di Pulau Borneo namun kali
ini aktivitas Belanda tidak lagi atas nama VOC tetapi langsung oleh Kerajaan
Belanda dengan nama Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1819 M Sultan Pontianak ke-3 (Sultan Syarif Usman
Al Qadri) ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeling Pontianak.
Sampai tahun 1839 M, pengaruh kekuasaan di Pulau Borneo ini
terbagi dalam 3 kawasan kekuasaan yaitu Sebelah barat daya di kuasai oleh
Kesultanan Brunei, sebelah timur laut dikuasai oleh Kesultanan Sulu dan sebelah
tengah dan selatan di kuasai Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar
wilayahnya diperolehnya dari Sultan Banjar, Tamjidullah I pada Perjanjian 20
Oktober 1756. Sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei dan Kesultanan
Sulu kemudian direbut oleh James Brooke yang menjadi Raja di Sarawak.
Aktivitas Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Borneo ini jauh
lebih agresif daripada masa VOC yang lalu karena saat itu Belanda bersaing
keras dengan Inggris dalam merebut pengaruh di Pulau Borneo ini apalagi setelah
diangkatnya James Brooke (orang Inggris) yang menjadi Raja Putih di Sarawak
pada tahun 1841.
Untuk mengantisipasi ekspansi pengaruh dari James Brooke ke
wilayahnya, maka Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai tahun 1846 M
mengadakan perjalanan Tim Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang menyusuri
seluruh tepi batas wilayahnya dengan wilayah yang dikuasai James Brooke. Tim Ekspedisi
pertama dipimpin oleh Letnan II D. van Kessel yang menjelajahi arah barat dan
kemudian dilanjutkan oleh Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. CM. Schwaner
yang menjelajahi arah timur.
Pada awalnya wilayah tengah dan selatan Pulau Borneo yang
dikuasai Belanda ini dibagi oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam 3 Afdeling
yaitu Afdeling Pantai Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling
Pontianak.
Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Afdeling
Sambas dan Afdeling Pontianak menjadi bernama Borneo Westkust membagi secara
keseluruhan wilayahnya terbagi dalam 2 wilayah administrasi yaitu Borneo
Westkust (Borneo sebelah barat) dan Borneo Zuid Oostkust (Borneo sebelah tengah
dan timur) nama ini selanjutnya berganti menjadi Borneo Westerafdeling dan
Borneo ZuidOostterafdeling.
Untuk mempersatukan wilayah borneo, maka pada tahun 1894,
atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah
mengumpulkan semua orang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung,
dohong..se-borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi yang juga dihadiri oleh
Afdeling Pontianak, yang waktu itu masih perwira pengganti yang didatangkan
dari Bogor. sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih
tersisa. Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu Tempat
Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda
agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya
dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua
materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah,
besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk
mengangkutnya.
Pada akhir masa kolonialisme Belanda di Pulau Borneo ini
terdapat 2 daerah Residentie yaitu Residentie Pontianak dan Residentie
Banjarmasin.
Kalimantan Barat
Lambang Kalimantan Barat
"Akcaya"
(Bahasa Indonesia: "Tak Kunjung Binasa")
Berkas:Locator kalbar final.png
Peta lokasi Kalimantan Barat
Koordinat
Dasar hukum
Tanggal penting 1 Januari 1957 (hari jadi)
Ibu kota Pontianak
Gubernur Drs. Cornelis MH
Luas 146.807 km²
Penduduk 4.073.304 (sensus 2004)
Kepadatan
Kabupaten 10
Kodya/Kota 2
Kecamatan 136
Kelurahan/Desa 1445
Suku Suku Dayak , Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku Jawa,
Suku Madura, Suku Bugis
Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%),
Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lain-lain (1,7%)
Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu, Bahasa
Tionghoa
Zona waktu WIB
Lagu daerah Cik Cik Periook
Kalimantan Tengah
Lambang Kalimantan Tengah
Isen Mulang
(Bahasa Sangen: Pantang Mundur)
Berkas:Locator kalteng final.png
Peta lokasi Kalimantan Tengah
Koordinat
Dasar hukum
Tanggal penting 23 Mei 1957 (hari jadi)
Ibu kota Palangka Raya
Gubernur Agustin Teras Narang, SH
Luas 157.983 km²
Pantai: 750 km
Penduduk 2.004.110 (2006)
Kepadatan 12/km²
Kabupaten 13
Kodya/Kota 1
Kecamatan 88
Kelurahan/Desa 1.136
Suku Suku Dayak (Ngaju, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Siang,
Murung, Dusun, Bawo, Dayak Sampit, Ot Danum, Dayak Kotawaringin, Taboyan), Suku
Banjar, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bugis
Agama Islam (69,67%), Protestan (16,41%), Hindu (10,69),
Katolik (3,11%), Buddha (0,12%)
Bahasa Bahasa Dayak, Bahasa Indonesia
Zona waktu WIB
Lagu daerah Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu,
Saluang Kitik-Kitik, Manasai
Kalimantan Selatan Lambang Kalimantan Selatan
Lambang Kalimantan Selatan
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
(Bahasa Banjar: Tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari
awal sampai akhir)
Berkas:Locator kalsel final.png
Peta lokasi Kalimantan Selatan
Koordinat
Dasar hukum
Tanggal penting 14 Agustus 1950 (hari jadi)
Ibu kota Banjarmasin
Gubernur Drs. H. Rudi Ariffin
Luas 36.985 km²
Penduduk 3.054.129 (2002)
Angka kematian anak: 67/1.000 kelahiran
Kepadatan
Kabupaten 11
Kodya/Kota 2
Kecamatan 138
Kelurahan/Desa 1.958
Suku Banjar, Bukit, Bakumpai, Dusun Deyah, Maanyan
Agama Islam (96,80%), Protestan (28,51%), Katolik (18,12%),
Hindu (9,51%), Buddha (17,59%)
Bahasa Bahasa Indonesia(id), Bahasa Banjar (bjn), Bahasa
Bakumpai (bkr), Bahasa Bukit (bvu), Bahasa Dusun Deyah (dun), Bahasa Maanyan
(mhy)
Zona waktu WITA
Lagu daerah Ampar-ampar Pisang
Kalimantan Timur Lambang Kalimantan Timur
Ruhui Rahayu
(Bahasa Banjar: "semoga Tuhan memberkati")
Berkas:Locator kaltim final.png
Peta lokasi Kalimantan Timur
Koordinat 113°44' - 119°00' BT
4°24' LU - 2°25' LS
Dasar hukum UU No. 25 Tahun 1956
Tanggal penting 1 Januari 1957
Ibu kota Samarinda
Gubernur Awang Faroek Ishak
Luas 245.237,80[1] km²
Penduduk 2.750.369[1] jiwa (2004)
Kepadatan 11,22[1] jiwa/km²
Kabupaten 10
Kodya/Kota 4
Kecamatan 122[2]
Kelurahan/Desa 191 / 1.347[2]
Suku Jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak
(9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%.[3]
Agama Islam (85,2%), Kristen (Protestan & Katolik)
(13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (2000)
Bahasa Bahasa Indonesia, Banjar, Dayak, Kutai
Zona waktu WITA (UTC+8)
Lagu daerah Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur
Etimologi
* Pertama Borneo dari kata Kesultanan Brunei Darussalam yang
sebelumnya merupakan kerajaan besar dan luas (mencakup Serawak dan sebagian
Sabah karena sebagian Sabah ini milik kesultanan Sulu-Mindanao. Para pedagang
Portugis menyebutnya Borneo dan digunakan oleh orang-orang Eropa. Namun
penduduk asli menyebutnya sebagai pulo Klemantan.
* Kedua menurut Crowfurd dalam Descriptive Dictionary of the
Indian Island (1856), kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga sehingga pulau
Kalimantan adalah pulau mangga namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau
dongeng dan tidak populer.
* Ketiga menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S
vol XV part 3 hlm 79 menyebutkan kebiasaan bangsa India kuno menyebutkan nama
tempat sesuai hasil bumi seperti jewawut dalam bahasa sanksekerta yawa sehingga
pulau itu disebut yawadwipa yang dikenal sebagai pulau Jawa sehingga
berdasarkan analogi itu pulau itu yang dengan nama Sansekerta Amra-dwipa atau
pulau mangga.
* Keempat menurut dari C.Hose dan Mac Dougall menyebutkan
bahwa kata Kalimantan berasal dari 6 golongan suku-suku setempat yakni Dayak
Laut (Iban), Kayan, Kenya, Klemantan, Munut, dan Punan. Dalam karangannya,
Natural Man, a Record from Borneo (1926), C Hose menjelaskan bahwa Klemantan
adalah nama baru yang digunakan oleh bangsa Melayu.
* Kelima menurut W.H Treacher dalam British Borneo dalam
jurnal M.B.R.A.S (1889), mangga liar tidak dikenal di Kalimantan utara. Lagi
pula Borneo tidak pernah dikenal sebagai pulau yang menghasilkan mangga malah
mungkin sekali dari sebutan Sago Island (pulau Sagu) karena kata Lamantah
adalah nama asli sagu mentah.
* Keenam menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya
Sriwijaya (LKIS 2006), kata Kalimantan bukan kata melayu asli tapi kata
pinjaman sebagai halnya kata malaya, melayu yang berasal dari India (malaya
yang berarti gunung). Kalimantan atau Klemantan berasal dari Sanksekerta,
Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]:
musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana
menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang
kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya
diturunkan menjadi Kalimantan
Nama lain
* "Waruna Pura"
* "Tanjungpura" (Bakulapura) artinya pulau yang
banyak memiliki tanjung (bakula), nama kerajaan Tanjungpura yang sering dipakai
sebagai nama pulaunya.
* "Hujung Tanah" atau "Ujung Tanah"
adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja
Pasai, nampaknya ini adalah nama yang dipakai oleh penduduk Sumatera dan
sekitarnya untuk menyebut pulau Kalimantan.
* "Pulau Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan
dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari Majapahit mengenai akan dikuasai Tanah Jawa
oleh bangsa Jepang yang datang dari arah pulau Kencana (Kalimantan).
* "Jaba Daje" artinya "Jawa di Utara (dari
pulau Madura) sebutan suku Madura terhadap pulau Kalimantan.
Masa Republik Indonesia Serikatan Tengah sebagai pemekaran dari Kalimantan Selatan.
Setelah mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA
mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan
menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Maka dibentuklah Dewan
Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang menjadi Daerah Istimewa
Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, Sultan Hamid
II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri
atas 13 kerajaan sebagai swapraja.
Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember 1946, dan
selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan
Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara.
Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan
Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan
Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa
Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan
Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal
akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari 1948.
Gubernur Kalimantan dalam pemerintahan Pemerintah RI di
Yogyakarta, yaitu Pangeran Muhammad Noor, mengirim Cilik Riwut dan Hasan Basry
dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi kekuatan
NICA. Pada tanggal 17 Mei 1949, Letkol Hasan Basry selaku Gubernur Tentara ALRI
Wilayah IV Pertahanan Kalimantan memproklamirkan sebuah Proklamasi Kalimantan
yang isinya bahwa "Daerah Kalimantan Selatan" (daerah-daerah di luar
Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Kalimantan Timur) tetap
sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia yang telah
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Gubernur Militer ini
merupakan upaya tandingan terhadap terbentuknya Dewan Banjar yang didirikan
Belanda.
Di masa Republik Indonesia Serikat, Kalimantan menjadi
beberapa daerah yaitu :
1. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
2. Daerah Istimewa Kalimantan Timur
3. Dayak Besar
4. Daerah Banjar
5. Federasi Kalimantan Tenggara
Sejak tahun 1938, Borneo-Hindia Belanda (Kalimantan)
merupakan satu kesatuan daerah administratif di bawah seorang gubernur, yang
berkedudukan di Banjarmasin, dan memiliki wakil di Volksrad. Wakil Kalimantan
di Volksrad :
1. Pangeran Muhammad Ali (sebelum 1935) digantikan anaknya,
2. Pangeran Muhammad Noor (1935-1939) digantikan oleh,
3. Mr. Tadjuddin Noor (1939-1945)
* Gubernur Borneo
1. Dr. A. Haga (1938-1942), gubernur dari Kegubernuran
Borneo berkedudukan di Banjarmasin
2. Pangeran Musa Ardi Kesuma (1942-1945), Ridzie Kalimantan
Selatan dan Tengah
3. Ir. Pangeran Muhammad Noor (2 September 1945), gubernur
Kalimantan berkedudukan di Yogyakarta
4. dr. Moerjani (14 Agustus 1950), gubernur Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin
5. Mas Subarjo (1953-1955), gubernur Kalimantan berkedudukan
di Banjarmasin
6. Raden Tumenggung Arya Milono (1955-1957), gubernur
Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Pembentukan kembali provinsi Kalimantan tanggal 14 Agustus
1950 sesudah bubarnya RIS, diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan
Selatan (dahulu bernama provinsi Kalimantan, salah satu provinsi pertama).
Tahun 1957 Kalimantan dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Selanjutnya tahun 1958, terbentuklah
propinsi Kaliman
Wilayah Barito, Kapuas dan Kotawaringin sangat kaya akan
sumber daya alam (SDA). Namun sayang selama tergabun dengan Kalimantan Selatan,
tak menikmati hasil kekayaan itu. Dalam kondisi memprihatinkan ini, muncul
keinginan tokoh Dayak untuk memiliki provinsi sendiri yang terpisah dari
Kalsel. ELLEN D, Palangka Raya
KEINGINAN terbentuknya provinsi sendiri ini menghasilkan
Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) tanggal 20 Juli 1950 di Desa
Tangkahen. Sahari Andung merupakan ketuanya. Dalam kongres SKDI di Desa Bahu
Palawa tanggal 15 – 22 Juli 1953, muncul keinginan masyarakat Dayak agar
diberikan daerah otonom lepas dari Kalsel. Kongres tersebut mengeluarkan mosi
Nomor 1/Kong/1953 tanggal 22 Juli 1953 yang isinya mendesak pemerintah pusat
membentuk Provinsi Kalteng sebelum Pemilu 1955 dengan wilayah meliputi
Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin. Namun, mosi itu tak ditanggapi oleh
Mendagri masa itu.
Alasan pemerintah pusat saat itu, Kalteng belum mampu
membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai daerah otonom dan keadaan keuangan
negara masih belum mengizinkan membentuk provinsi baru. Sumber daya manusia
(SDM) di wilayah ini terutama tenaga terampil dan terdidik untuk tugas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga dinyatakan masih kurang.
“Masyarakat Dayak Kalteng sangat menyesalkan pidato radio
Mendagri (masa itu, Red) yang menyatakan belum saatnya dibentuk Provinsi
Kalteng karena penduduknya baru mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Dikatakan pula
suku Dayak belum menjadi suatu komunitas yang memiliki ketetapan
hidup/masyarakat yang mapan dan belum ada kaum intelektualnya. Sebenarnya
alasan itu sangat lemah dan dicari-cari,” demikian sekilas isi buku sejarah
perjuangan pembentukan Provinsi Kalteng yang ditulis Drs F Sion Ibat dan
Chornain Lambung SmHk ini.
Meskipun tuntutan tak dipenuhi, semangat isen mulang
(pantang mundur) untuk mencapai provinsi otonom tetap tertanam di hati
masyarakat Dayak saat itu. Di satu sisi, tokoh Dayak menggelar konser rakyat
Kalteng yang dipelopori Mahir Mahar. Di sisi lain, para pemuda di bawah
pimpinan Christian Simbar alias Uria Mapas bergelar Mandulin tengah berjuang
mengangkat senjata melalui Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS). Anggota
GMTPS bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan. Karena itu, GMTPS
disinyalir oleh pihak keamanan sebagai gerakan yang membuat keamanan tak
stabil.
Momentum ini digunakan kongres mendesak pemerintah pusat
agar segera membentuk Provinsi Kalteng. Kongres Rakyat Kalteng kemudian digelar
di Gedung Chung Hua Tsung Hui, Jalan P Samudera Banjarmasin tanggal 2 – 5
Desember 1956. Sementara kongres berlangsung, pasukan GMTPS melakukan
perjuangan bersenjata di daerah pedalaman. Sejak arena kongres, Sahari Andung
sudah menduga akan ada penangkapan. Dugaan itu betul karena sekembalinya dari
kongres, Sahari Andung, Willy Djimat dan Robert Bana ditangkap di tempat
masing-masing oleh pihak keamanan dan dijebloskan ke penjara Teluk Dalam,
Banjarmasin selama tiga bulan.
“Tanggal 19 Oktober 1953, markas induk GMTPS di Desa Bundar
diserang aparat Kepolisian Buntok sehingga menimbulkan korban warga sipil,
yaitu Tina (murid sekolah rakyat/SR) yang mati/meninggal di tempat. Getuk dan
Nyurek (masyarakat) mengalami luka serius. Akibat serangan polisi, 86 anggota
GMTPS dipimpin Christian Simbar melakukan serangan balik terhadap markas
Kepolisian Buntok pada 22 November 1953. Pertempuran itu membawa banyak korban
baik dari aparat keamanan, pegawai negeri, masyarakat sipil maupun GMTPS.
Markas polisi dikepung dari dua jurusan sehingga tak ada jalan keluar dan
banyak dari mereka yang jadi korban,” tulis kedua penulis pada halaman 22.
Pemilu 1955 menghentikan kegiatan fisik GMTPS karena tak
ingin dikatakan sebagai pihak yang membuat kekacauan. Pasca pemilu, kontak
senjata kembali terjadi. Antara lain di Pujon pada November 1955, kontak
senjata di Desa Madara dengan TNI, Desa Butong, Desa Hayaping dan Desa Lahei.
Dalam bentrok fisik tentara dan GMTPS di Hayaping pada 15 Desember 1955, Rusine
Tate yang istri Christian Simbar menjadikan dirinya umpan untuk ditangkap
Batalyon 605 sehingga pasukan GMTPS dapat menghindar dan menyelamatkan diri.
Kegiatan fisik GMTPS semakin meningkat pada 1956 karena
belum ada tanda-tanda keseriusan pemerintah membentuk Provinsi Kalteng. Kontak
senjata dengan aparat keamanan sering terjadi. Akhirnya, berdasarkan Surat
Keputusan Mendagri tanggal SK Nomor U/34/41/24 tanggal 28 Desember 1956, kantor
persiapan Provinsi Kalteng mulai dibentuk terhitung 1 Januari 1957. Pemerintah
pusat melalui siaran radio juga meminta agar kontak senjata dihentikan.
Pantia Penyelesaian Korban Kekacauan Daerah (PPKKD) Kalteng
yang diketuai Mahir Mahar dibentuk. Tugasnya, melakukan pembicaraan dengan
GMTPS. Tanggal 1 Maret 1957, terjadilah perundingan di Desa Madara, Buntok.
Perundingan menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain pembentukan
Provinsi Kalteng dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan
Kotawaringin dapat disetujui pemerintah. Tidak ada tuntutan/proses hukum atas
semua korban, baik dari pihak GMTPS maupun pihak aparat keamanan dan penyaluran
anggota GMTPS yang berminat menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri.
Kemudian, bantuan modal bagi anggota GMTPS yang ingin berusaha sesuai
keahliannya dan penyerahan senjata GMTPS kepada pemerintah melalui upacara
adat. Perundingan dalam perkembangannya berakhir dengan pembentukan Provinsi
Kalteng pada 23 Mei 1957 dengan Tjilik Riwut sebagai gubernur pertamanya.
“Kalteng adalah satu-satunya provinsi yang dibentuk dengan
UU Darurat. Pembentukannya merupakan titik temu antara tuntutan masyarakat
Dayak baik melalui perundingan maupun gerakan bersenjata GMTPS dengan
keseriusan pemerintah dalam menyikapi tuntuta tersebut. Selanjutnya, setiap
tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalteng,” tulis Sion Ibat
dan Chornain Lambung. (habis) ==> Dari situs koran lokal "Kalteng Pos
Online"
Sumber : indonesiakitakaya
Katuranggan Ayam Aduan Yang Paling Di Takuti
ReplyDelete