Pangeran Antasari - Kesultanan Banjar
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar,
1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada
umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan
sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)
dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para
kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas
dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Silsilah
Semasa muda nama dia adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu
Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman (Sulaiman Dari Banjar). Ayah Pangeran
Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir
adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (Muhammad Dari Banjar) yang gagal naik tahta pada tahun 1785.
Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II (Dinasti Tahmidullah) Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II (Dinasti Tahmidullah) Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Sulaiman Dari Banjar
Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Sulaiman Saidullah
Raja Atas Tahta Kerajaan Negeri Banjar.
Ayah Sunan
Sulaiman Saidullah
Ibu Putri
Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah
Pasangan
1. Nyai Ratna atau Nyai Ratu Intan Sari (Permaisuri)
2. Nyai Cina
3. Nyai Argi
4. Nyai Unangan
5. Nyai Kamala Sari
Anak
1. ♂ Sultan Adam, anak Nyai Ratu Sepuh (Nyai Ratna) binti Kiai Adipati
Singasari)
2. ♂ Pangeran Mangkoe Boemi Nata, anak Nyai Ratu Sepuh
3. ♀ Ratoe Hadji Moesa, anak Nyai Ratu Sepuh
4. ♂ Pangeran Perbatasari, anak Nyai Ratu Sepuh
5. ♂ Pangeran Kassir, anak Nyai Ratu Sepuh
6. ♀ Ratoe Soengging Anoem, anak Nyai Ratu Sepuh
7. ♂ Pangeran Dipati di Mahang (HST)
8. ♂ Pangeran Ahmad
9. ♂ Pangeran Wahid
10. ♂ Pangeran Muhammad
11. ♂ Pangeran Kusairi
12. ♂ Pangeran Hasan
13. ♂ Pangeran Achmid
14. ♂ Pangeran Kasoema Widjaja/Pangeran Berahim
15. ♂ Pangeran Tasin
16. ♂ Pangeran Singa-Sarie
17. ♂ Pangeran Hamim
18. ♀ Ratu Kartasari
19. ♀ Ratu Marta
20. ♀ Ratu Salamah
21. ♀ Gusti Umi/Gusti Kacil
22. ♀ Ratu Mashud/Gusti Hadijah, ibu Pangeran Antasari
Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah
bin Sunan Sulaiman Saidullah/Sunan Nata Alam/Sultan Tahmidullah II adalah
Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1801-1825.[10] Kesultanan Banjar
terletak di Kalimantan Selatan, Indonesia. Adiknya Pangeran Mangku Dilaga
dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anum Mangku Dilaga. Belakangan
Ratu Anum Mangku Dilaga ditahan kemudian dibunuh oleh Sultan Sulaiman karena
diduga akan melakukan kudeta. Jabatan mangkubumi kemudian dipegang oleh
Pangeran Husin dengan gelar Pangeran Mangkubumi Nata putera Sultan Sulaiman
sendiri.[2]
Sultan Sulaiman meninggal 3 Juni 1825. Pada masa Sultan
Sulaiman, pusat pemerintahan berada di Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Sultan Sulaiman dikenal pula dengan nama Sultan Sulaiman Saidullah
II atau Sultan Sulaiman Rahmatullah. Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak
tahun 1767 ketika berusia 6 tahun dari ayahnya Susuhunan Nata Alam agar
penggantinya tetap pada garis keturunannya. Panembahan Sulaiman/Sultan Sulaiman
melantik puteranya Pangeran Adam sebagai raja muda dengan gelar Sultan Adam,
kemudian dia sendiri mengambil gelar Panembahan Sepuh.[2]
Mangkubumi yang menjabat pada masa Sultan Sulaiman adalah:
Ratu Anom Ismail (Pangeran Ismail bin Sunan Nata Alam)[12];
dihukum bunuh oleh Sultan Sulaiman karena diduga (difitnah) akan merencanakan
kudeta.
Pangeran Mangku Bumi Nata (Pangeran Husin bin Sultan
Sulaiman), mangkubumi sejak 1823.
Silsilah
Anak-anak Sultan Sulaiman Saidullah terdiri 18 orang yaitu
anak laki-laki 12 orang dan anak perempuan 6 orang.
Sultan Sulaiman memiliki permaisuri yang merupakan puteri
Adipati Banua Lima (golongan Anang/Nanang-nanangan Raja) yaitu Nyai Ratna
bergelar Nyai Ratu Sepuh binti Kiai Adipati Singasari yang dikaruniai 6 anak yaitu :
Sultan Adam - memiliki 11 anak. Dia leluhur mantan Gubernur
Kalimantan Pangeran Muhammad Noor.
Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangkoe Boemi Nata - menjadi
mangkubumi sejak 1823 memiliki 17 anak.
Pangeran Perbatasari - memiliki 5 anak.
Ratu Haji Musa (menikahi Pangeran Aji Musa ( Raja Kusan II )
- memiliki 3 anak.
Pangeran Kasir[14] - memiliki 5 anak.
Ratu Salamah/Ratu Sungging Anum (menikahi Pangeran Sungging
Anom bin Ratu Anom Mangku Dilaga) - tidak memiliki keturunan.
Putera-puteri dari selir-selir lainnya:
Goesti Hadidjah bergelar Ratoe Masoöd , menikahi Pangeran
Masoöd (orangtua Pangeran Antasari).
Pangeran Tahmid (anak Nyai Argi) [2][15] leluhur mantan
Gubernur Kalsel Gusti Hasan Aman.
Pangeran Singosari, leluhur Sultan Haji Khairul Saleh
Al-Mu'tashim Billah.
Pangeran Musa (anak Nyai Ratna) [2]
Pangeran Sungging Anum (anak Nyai Ratna) [2]
Pangeran Ahmad (anak Nyai Cina) [2]
Pangeran Kacil/Pangeran Hasan?(anak Nyai Cina) [2]
Pangeran Tasin (anak Nyai Cina) [2]
Pangeran Jamain/Pangeran Wahid? (anak Nyai Cina) [2]
Ratu Karta Sari (anak Nyai Unangan) [2] menikahi dengan
Pangeran Kartasari bin Pangeran Sungging Anom bin Ratu Anom Mangku Dilaga.
Ratu Marta [2]
Gusti Kacil/Gusti Umi? [2]
Setelah Sultan Sulaiman Saidullah dilantik, Belanda
mengadakan perjanjian dengan Sultan pada 19 April 1802. Perjanjian hanya
mengingatkan kembali bahwa Kesultanan Banjar telah diserahkan kepada pemerintah
Belanda seperti Perjanjian 1787. Dalam perjanjian itu ditambahkan bahwa Sultan
berusaha menangkap dan menghukum potong kepala orang-orang Dayak yang telah
melakukan pemotongan kepala. Hukuman potong kepala terhadap orang Dayak itu
harus dilakukan dimuka loji Belanda. Selebihnya dalam perjanjian itu
pemerintahan Belanda mengharapkan agar Sultan dapat memelihara kebun-kebun lada
agar hasil lada menjadi lebih baik. Pada tahun 1809, Belanda membuat perjanjian
dengan Sultan Sulaiman yang menitikberatkan pada usaha pemeliharaan kebun lada,
agar lada dapat berproduksi sebagaimana diharapkan oleh Belanda. Dalam
perjanjian itu Belanda tetap mengakui kedaulatan Sultan Banjar dan tidak
menyinggung tentang masalah pemerintahan termasuk hubungan dagang ke luar
negeri. Tahun 1809, Daendels menarik diri dari Banjarmasin.[16]
Sultan Sulaiman menjalin hubungan dengan negara lain,
seperti dengan Kesultanan Buton, melalui suratnya tahun 1811, Sultan Buton
memohon dukungan moral untuk mendapatkan rekomendasi dalam perdagangan.[17]
Inggris
Pada perkembangan selanjutnya, Belanda kalah menghadapi
Inggris dan pada tahun 1811 Belanda menyerahkan Batavia kepada East India Company
(EIC), perusahaan perdagangan Inggris.
East India Company (EIC) mengadakan perjanjian persahabatan
dengan kesultanan Banjar. Dalam perjanjian itu EIC-Inggris tidak menyinggung
masalah kedaulatan pemerintahan Sultan Sulaiman tetapi lebih banyak masalah
perdagangan. EIC Inggris menduduki beberapa daerah yang sebelumnya diduduki
Belanda seperti pulau Tatas (Banjarmasin), Kuin, Paser, Pulau Laut, Pagatan,
dan Bakumpai. Selanjutnya EIC-Inggris mempertahankan dan melindungi hak-hak
Sultan dan kekuasaan Sultan begitu pula hak milik Sultan terhadap serangan
orang Eropa lainnya dan terhadap musuh bangsa Asia. Perjanjian ditanda tangani
oleh Sultan dan para bangsawan kerajaan lainnya yaitu : Pangeran Panambahan
Adam, Pangeran Aria Mangku Negara, Pangeran Kasuma Wijaya (anak Sultan
Sulaiman) dan Pangeran Ahmad (anak Sultan Sulaiman), sedangkan dari pihak
EIC-Inggris diwakili oleh Commissioner D. Wahl.
Perjanjian antara Belanda dan Inggris memutuskan bahwa
Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas wilayah kekuasaannya kemudian
EIC-Inggeris melepaskan kembali Batavia pada tahun 1816. Setelah ditinggalkan
EIC-Inggris pada tahun 1816 dan Belanda kembali datang ke Kesultanan Banjar
kemudian membuat perjanjian dengan Sultan Sulaiman pada tahun 1817 dan tahun
1823.
Perjanjian 1817 dan
1823
Sultan Sulaiman membuat perjanjian pada 1 Januari 1817 yang
merupakan Kontrak Persetujuan Karang Intan I antara Sultan Sulaiman dengan
Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Kemudian pada 13
September 1823 penandatanganan Kontrak Persetujuan Karang Intan II antara
Sultan Sulaiman dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias
Isi Perjanjian-perjanjian itu menyatakan :[1]
Kesultanan Banjar yang mempunyai wilayah pengaruh yang cukup
luas meliputi Kesultanan Berau, Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit, Kotawaringin
dan Lawai (hulu sungai Kapuas). Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa
daerah-daerah itu berada dalam wilayah pendudukan Hindia Belanda.
Orang bukan bangsa Banjar adalah orang asing, seperti :
Bugis, Makassar, Bali, Mandar, Jawa, begitu pula Cina, Eropa dan Arab. Semua
orang asing diperlakukan hukum Eropa oleh Belanda kalau mereka membuat tindak
pidana.
Belanda meminta Sultan agar berusaha menggalakkan tanaman
kopi dan lada.
Surat-surat kepada Gubernur Jenderal Willem Arnold
Alting[18]
Cod. Or. 2239-II (11), Universiteitsbibliotheek, Leiden.
Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold
Alting, 2 Ramadhan 1206 (24 April 1792). Isi : Membicarakan harga barang-barang
yang ditukar antara kedua pihak, serta keluhan bahwa hak Sultan atas separuh
cukai tidak mau dibayar oleh Fetor setempat.
Cod. Or. 2239-II (13) ?? atau 2241 IIa (13),
Universiteitsbibliotheek, Leiden.
Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold
Alting, 20 bulan Safar 1207 (7 Oktober 1792). Isi : Laporan Raja Banjar bahwa
tugasnya sudah dijalankan sesuai dengan perjanjian, yaitu setiap kepala yang
ditunjuk akan membuka kebun lada. Tiap kebun itu dikerjakan oleh 50 orang.
Kalau tidak mengerjakan pekerjaan itu, mereka akan dihukum dengan hukuman
berat. Juga dinyatakan bahwa mereka sudah menerima kiriman 10 tong obat bedil
dan Raja Banjar juga minta dikirimi kertas air emas 12 lembar.
Cod. Or. 2239-II (22), Universiteitsbibliotheek, Leiden.
Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold
Alting, bulan Rabiulakhir 1209 (20 November 1794). Isi : Berita tentang
penyerangan yang diderita dari orang Pasir dan Kutai. Banyak rakyat dibunuh,
yang lain dipaksa mendirikan benteng. Sultan menanti perintah dari Kompeni.
Harapannya agar Gur. Jen. menulis surat kepada Sultan Pasir untuk mengajak
damai. Kalau ditolak, rencananya Pasir akan diserang dari laut oleh Belanda dan
dari darat oleh Banjar. Juga diberitahukan tentang kebun lada yang sedang
dikerjakan.
Cod. Or. 3036-IV (5), Universiteitsbibliotheek, Leiden.
Sultan Banjar , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold
Alting, 9 Zulkaidah 1210 (17 Mei 1796). Isi : Pemberitahuan bahwa Sultan sudah
menerima bingkisan, yang isinya didaftarkan satu per satu
AN. 55, Arkib Negara, Jakarta.
Pangeran Mangkubumi , Banjarmasin → Gur. Jen. , 1 Safar 1239
(7 Oktober 1823). Isi : Pernyataan bahwa Mangkubumi bersedia diangkat sebagai
kepala pemerintah Banjar dan telah bersumpah sesuai dengan perjajian antara
Kompeni dan negeri Banjar.
Muhammad dari Banjar
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan
Kuning[1][2]
Pasangan puteri
dari Sultan Tamjidullah I
Anak
♀ 1. Poetri Lawiyah
♂ 2. Pangeran Abdoe'llah (Putra Mahkota)
♂ 3. Pangeran Rachmat
♂ 4. Pangeran Amir
♂ 5. Goesti Koesin
Sultan Muhammad yang selengkapnya Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah atau Sultan Muhammadillah [4] putera dari Sultan Hamidullah
(il-Hamidullah)/Sultan Kuning adalah Sultan Banjar antara tahun 1759-1761.[5]
Pangeran Muhammad [4] atau Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah putera
dari Sultan Hamidullah/Sultan Kuning - yang berhasil naik tahta setelah
mengkudeta pamannya yang sebenarnya adalah Wali Raja.
Baginda wafat pada 16 Januari 1761, dengan meninggalakan
puteranya yaitu Abdullah yang masih berumur tujuh tahun.[6] Di samping dibantu
oleh Mangkubumi Pangeran Wira Nata (sepupu Sultan Muhammad), Sultan Muhammad
juga dibantu oleh dua orang keponakannya Pangeran Jiwakusuma dan Pangeran
Jiwanegara sebagai menteri koordinator yang masing disebut Maha Mantri Panganan
(Bentara kanan) dan Maha Mantri Pangiwa (Bentara kiri), dan saudara tiri Sultan
Muhammad bernama Gusti Wiramanggala dilantik sebagai salah seorang mantri
sikap[7]
Keturunannya :[8]
Putri Lawiyah, ibu Sultan Sulaiman Saidullah bin Sunan
Sulaiman Saidullah.
Pangeran Abdullah, menikah dengan Ratu Aer Mas binti
Tahmidullah II[9]
Pangeran Rahmat[10]
Pangeran Amir, kakek dari Pangeran Antasari
Gusti Kusin
Kemangkatan Sultan Hamidullah/Sultan Kuning tahun 1734,
menimbulkan pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan sebab putra mahkotanya
belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali
dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah I,
sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan
diserahkan. Pangeran Tamjidillah I sebagai wali sultan mempunyai siasat yang
lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politik berada dalam
tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota
tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya,
yang berarti sama dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga
putra mahkota tidak begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta
kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah I berhasil
berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar
Sultan Sepuh (1734-1759).
Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Muhammad Aliuddin
Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris
yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut tahta dari
pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, karena itu dengan
inisiatif sendiri, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari
kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan
lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak
laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali
tahta pamannya. Sementara itu Sultan Sepuh/Tamjidillah I pada tahun 1747
membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk
mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai
tahun 1787.
Perjanjian 27 Oktober
1756
Ada beberapa perjanjian yang dibuat oleh Tamjidullah I
seperti Perjanjian ini ditandatangani oleh Paduka Seri Sultan Tamjidillah di
Kayu Tangi dalam halaman kediaman Seri Sultan pada tahun seribu tujuh ratus
lima puluh enam hari Arba dua puluh hari bulan Oktober.[11]
Pada 20 Oktober 1756 telah dibuat Perjanjian antara Sultan
Tamjidullah I/Sultan Sepuh dengan VOC, tetapi seminggu kemudian terjadi lagi
perjanjian yang dibuat oleh Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anom adalah gelar
dari Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, menantu Seri Sultan Tamjidillah dan
juga keponakan Sultan dengan Kompeni Belanda.
Perjanjian itu ditandatangani di benteng Tatas pada 27
Oktober 1756. Perjanjian ini dibuat atas inisiatif sendiri dari Ratu Anum dalam
usahanya memperoleh tahta dari mertuanya, sesuai dengan perjanjian bahwa Seri
Sultan Tamjidillah sebetulnya hanya berfungsi sebagai wali, sementara Ratu Anum
belum dewasa. Pasal yang kedua dari perjanjian yang dibuatnya, menjelaskan
usahanya merebut kekuasaan dan juga kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Seri
Sultan Tamjidillah adalah perbuatan seorang jahil yang hendak melenyapkan asal
keturunan Sultan Banjar yang sah. Pasal yang kedua dari perjanjian itu berbunyi
:
Tuan Yang Maha Mulia yang tersebut sesungguhnya perikutan
yang benar dan betul dari tahta kerajaan Banjar dengan sangat kesukaran
dipandang yang kerajaan ini dengan tiada patut adalah memegang mana tahta tahta
kerajaan nenek moyangnya sampai bapanya yang telah wafat Paduka Seri Sultan
Chamidullah selama beberapa dalam suatu juga asal keturunan yang benar dan
diperintahkan maka pada sekarang ini telah diambil tahta kerajaan Tuan Yang
Maha Mulia oleh seorang jahil dengan tiada patut serta memecahkan janjinya di
atas bilik ketiduran bapa Tuan Yang Maha Mulia tatkala pulang kerahmatullah,
mana kala Tuan Yang Maha Mulia digenapi umur delapan belas tahun akan
menyerahkan tahta kerajaan Banjar...[11]
Kelanjutan dari perjanjian yang dibuat bahwa nanti kalau
berhasil Ratu Anom menjadi Sultan dia berjanji akan menyerahkan Kesultanan
Banjar kepada Kompeni Belanda dan jabatannya sebagai Sultan merupakan kerajaan
pinjaman dari kompeni. Sebagai Kerajaan pinjaman Ratu Anom berjanji akan
menyerahkan tiap tahun pada kompeni berupa : 1000 pikul lada hitam, 10 pikul lada
putih, 11 karat batu intan, dan 100 real halus. [11]
Usahanya ini kemudian ternyata tidak berhasil karena itulah
Ratu Anom mencari jalan lain dengan cara keluar dari ibukota Kerajaan,
mengumpulkan kekuatan dan pengikut untuk pada suatu waktu yang tepat akan
menyerang Kerajaan dan merebut tahta dari Seri Sultan Tamjidullah I. Ratu Anom
memilih Tabanio yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan.
Perdagangan Muhammad Aliuddin Aminullah yang juga bergelar Ratu Anom tetap
bermarkas di Tabanio, yang menurut Onderkoopman Ring Holm merupakan pusat
perdagangan gelap yang paling ramai di Kalimantan.
Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dan pengikut yang
besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah melaksanakan maksudnya semula yaitu
merebut kembali tahta kesultanan, dari tugas pamannya yang sekaligus mertuanya,
mengambil hak atas tahta sesuai dengan tradisi yang sah dari kesultanan
Banjarmasin. Menggunakan sejumlah perahu dengan pengikut yang besar, Pangeran
Muhammad Aliuddin Aminullah bertolak dari Tabanio menyusuri Tanjung Silat yang
berombak besar dan kadang-kadang angin bertiup kencang, kemudian memasuki
sungai Barito, terus berbelok ke sungai Martapura, akhirnya sampai ke
Martapura. Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang
Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidullah I
tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut.
Penyerahan Tahta
Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan
darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah I menyerahkan
tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
berkuasa atas kesultanan Banjarmasin.
Secara lahiriah Pengeran Tamjidillah I ikhlas, menyerahkan
tahta kepada keponakannya Pangeran Mohammad Aliuddin, tetapi secara sembunyi
Pangeran Tamjidillah I tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari
tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya
sebagai Sultan.
Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah I membuat
siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran
Tamjidillah I menyerahkan tahta kepada Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : Biarlah tahta direbut
oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Muhammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati
Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan
Pangeran Muhammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu
Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus
dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia
mangkat dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian
Sultan ini akibat diracun.
Bersikap Keras
Terhadap VOC
Meskipun pemerintahan Muhammad Aliuddin Aminullah hanya
berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC,
sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada
harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah
berhubungan dengan Sultan Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan
tidak merasa tersinggung, karena watak Orang Banjar sangat keras kalau dia
tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lilc yang berbunyi
sebagai berikut :
Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya
dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul
kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa
pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah
marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan
buah-buahan yang banyak pada satu tangkai.
Dinasti Tamjidullah I
Siasat Tamjidillah I berhasil, karena Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah mangkat 1761[12], sementara Putera Mahkota masih kecil,
karena itulah jabatan mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali
Sultan yang belum dewasa, dan Tamjidullah I menunjuk puteranya sendiri yaitu
Pangeran Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Sunan
Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke-18.
Cerita lama yang
pernah dialami oleh Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan
Chamidullah/Sultan Kuning mangkat, kembali terulang setelah Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah mangkat. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap
dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam/Sulaiman
Saidullah I mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya.
Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah II yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah.
Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah II yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah.
Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk
mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum
bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya. Siasat selanjutnya ialah Nata
Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801).
Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Tahmidullah II bin
Sultan Tamjidullah I
Pasangan Putri
Lawiyah binti Sultan Tahmidu Billah
Anak
1. ♂ Pengeran Ratu Sultan Soleman[6]
2. ♂ Perdana Menteri Ratu Anom Ismail
3. ♂ Pangeran Nata
4. ♀ Ratu Siti Aermas
5. ♀ Ratu Kasuma
6. ♀ Gusti Kanifah
7. ♀ Gusti .....
Wangsa Dinasti
Banjarmasin
Ayah Sultan Tamjidullah
I
Sunan Nata Alam/Sulaiman Saidullah (ke-1) atau Maulana As
Sulthan Tahmidillah ibni As Sulthan Tamjidillah[7] atau Tahhmid Illah II[8]
atau Panembahan Batoe[9][10] adalah mangkubumi dan Wali Sultan Banjar tahun
1761-1801.[4] Semula ia menjadi mangkubumi Sultan Muhammad (sepupunya), dengan
sebutan Pangeran Nata Mangkubumi. Sejak mangkatnya Sultan Muhammad pada tahun
1761, ia menjadi Wali Sultan dengan gelar Panembahan Kaharoeddin Haliloellah
(EYD: Panembahan Kaharuddin Halilullah)[11][12]. Pada tahun 1762 ia naik tahta
dengan gelar Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762)[12].
Ia menggantikan Sultan Muhammad yang mangkat karena sakit
paru-paru yang dideritanya sejal awal pemerintahnya (1759) dengan meninggalkan
putera-puteri yang masih kecil. Atas perintah Dewan Mahkota tahun 1762
saudaranya yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik menjadi mangkubumi (kepala
pemerintahan).[13] Sejak tahun 1767 ia melantik puteranya yang masih berusia 6
tahun sebagai Sultan dengan gelar Sultan Sulaiman yang dianggap sebagai pewaris
Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad. Sultan Sulaiman
lahir pada tahun 1761 yang merupakan tahun mangkatnya Sultan Muhammad.
Ia juga dikenal dengan nama Sultan Tamidillah (ke-2) atau
Tahmidullah (ke-2)/Sultan Tahmidullah II yang merupakan paduan dari kata Tahmid
dan Allah, secara harafiah Tahmid berarti keadaan menyampaikan pujian atau rasa
syukur berkali-kali (kepada Allah).[14] Sultan Tahmidullah II menikah dengan
Puteri Lawiyah, anak Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad.
Sebagai legitimasi,
maka dalam silsilah raja-raja Banjar menarik garis keturunan pewaris tahta dari
Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad, dan bukan dari garis
keturunan Sultan Tamjidillah (ke-1). Sultan Tamjidillah (ke-1) merupakan
mangkubumi Sultan Kuning (ayahanda Sultan Muhammad). Sultan
Tamjidillah/Tamjidullah (ke-1) atau Sultan Tamjidullah I adalah ayahanda Sultan
Tahmidullah (ke-2)/Sultan Tahmidullah II
Sultan ini banyak memiliki gelar-gelar seperti Panembahan (=
raja kecil), Sultan dan Sunan. Sunan Nata Alam atau Susuhunan Nata Alam adalah
gelar yang digunakannya sejak tahun 1772. Ia juga menggunakan gelar Sunan
Soleman Sa'idallah (Sunan Sulaiman Saidullah), sedangkan puteranya memakai
gelar Sultan Soleman Sa'idallah (Sultan Sulaiman Saidullah), karena persamaan
nama tersebut ia disebut Sulaiman Saidullah I, sedangkan puteranya Sulaiman
Saidullah II. Perbedaanya terletak pada kata Sunan dan Sultan.
Pada masa pemerintahannya pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, tibalah ulama Banjar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
setelah 30 tahun menuntut ilmu di Makkah.
Sunan (Sultan) Soleman Sa'idallah I atau Sultan Tahmidillah
II adalah putera tertua Sultan Tamjidillah I Sultan Tahmidillah II memiliki
sembilan orang, di antaranya tujuh orang dari permaisuri Putri Lawiyah, tiga
laki-laki dan empat perempuan, yaitu [3]:
Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah
Ratu Anom Ismail
Pangeran Nata
Ratu Siti Aermas, menikah dengan Pangeran Abdullah bin
Sultan Muhammadillah
Ratu Kasuma
Gusti Kanifah
Gusti .....
Muhammad Aminullah
Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang
akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran
Tamjidillah tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut. Dengan dasar pertimbangan
supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri,
Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin.
Secara lahiriah Pangeran Tamjidillah ikhlas, menyerahkan
tahta kepada keponakannya Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, tetapi secara
sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari
tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya
sebagai Sultan.
Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah membuat
siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya.
Ketika Pangeran
Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran Mohammad Aliuddin keponakannya,
di hadapan para bangsawan dia mengatakan : “Biarlah tahta direbut oleh Ratu
Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan
ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad Aliuddin
sebagai Sultan.
Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan
Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan
kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia meninggal dengan
meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat
diracun.
Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung 3 tahun, dia
mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha
menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda.
Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung,
karena watak orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung.
Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lile yang
berbunyi sebagai berikut : “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama
halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia
dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan
bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja
sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan
buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”.
Siasat Pengeran Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah meninggal, Putera Mahkota masih kecil, karena itulah
Mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa,
dan dia menunjuk anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan
yang kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan
Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18.
Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya.
Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya.
Pertama-tama dia
berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah
diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak
dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah yang saat itu baru berusia 6 tahun
(1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu
yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah.
Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk
mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum
bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya.
Keterlibatan Kotawaringin
Pangeran Prabu (mangkubumi dari Ratu Bagawan Muda - Raja
Kotawaringin) telah mengambil sebagian peperangan yang dilancarkan Pangeran
Amir terhadap pemerintahan Banjarmasin dengan memihak kepada Sultan Batu (Panembahan
Batuah). Pangeran Prabu juga telah membantu Sultan Batu dalam peperangan
melawan Sultan Sambas.[2]
Gelar-gelar lain
Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya
sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar :
Panembahan Kaharuddin Halil-lillah [12]
Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762)[12]
Abdullah/Amierilmu’minin Abdullah /Ami Ail Mu’minin Abdullah
Susuhunan Nata Alam[12]/Sunan Nata Alam[1]
Pengeran Wiranata[15]
Pangeran Nata[16]/Pangeran Nata Dilaga[17]
Sultan Nata Nagara[18][19]
Panembahan Batuah[15]
Panembahan Ratu[20]
Panembahan Batu[20]/Sultan Batu[2]
Panembahan Nata[12][21]
Pangeran Tahmidillah[3] Sultan Tahmidillah[3] //Sultan
Tahmidullah II[15]/Sultan Tahmidullah[17]
Sultan Sulaiman (1792)[22]
Tuan Sunan Soleman Sa'idallah[1]/Tuan Sunan Sulaiman
Saidullah I/Tuan Sunan Soleman Sa'idallah[1]/Sultan Soliman Shahid Alla[23]
Pangeran Amir
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggalkan
putera-putera yang berhak menggantikan kedudukan sebagai Sultan ketika dia
wafat, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir.[24]
Anak-anak yang berhak atas tahta ini satu persatu meninggal,
Pangeran Abdullah meninggal karena diracun dan dicekik oleh Sultan Tahmidullah
II[25], kemudian disusul Pangeran Rahmad dibunuh atas perintah Sultan
Tahmidullah II. Sekarang menunggu giliran Pangeran Amir menyadari atas kejadian
terhadap saudara-saudaranya, karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan
meninggalkan Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji
ke Mekkah.
Sunan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa
satu-satunya pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran
Amir tidak berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tetapi dia
singgah ke Pasir ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe menyanggupi
memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang Martapura, untuk merebut
tahta dari Pangeran Nata Alam.
Perjanjian ini yang menyebabkan peperangan dan sebagai
peristiwa yang terburuk bagi Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan
perebutan tahta ini bangsa Belanda dan orang-orang Bugis ikut campur tangan.
Dengan demikian peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu suku
Banjar dan suku Bugis, juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang haus
daerah, untuk dijadikan tanah jajahan.
Pada tahun 1785 Pangeran Amir dengan bantuan Arung Tarawe
menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang Bugis dengan kekuatan 60 buah
perahu berangkat dari Pasir melalui Tanjung Silat mendarat di Tabanio,
pelabuhan lada terbesar dari Kesultanan Banjarmasin. Di Tabanio pasukan Bugis
melakukan pembunuhan terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti
persoalan dan tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber
potensial dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan
rakyat, menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan budak oleh orang Bugis, hal
ini menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar.
Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar
terhadap Pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu
perjuangan Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri.
Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam akan
kematian ayah dan saudara-saudaranya.
Penyerangan Pangeran Amir ini menyebabkan Susuhunan Nata
Alam membuat kontrak baru dengan VOC pada tahun 1787 untuk menjaga stabilitas
kekuasaannya agar tetap berada di tangannya dan garis keturunannya. Hal-hal
penting dari perjanjian itu ada 4 point :[1]
Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut
Pulo, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin pada VOC.
Kerajaan Banjar adalah vazal VOC dan Sultan cukup puas
dengan uang tahunan
Pengangkatan Sultan Muda dan Mangkubumi harus mendapat
persetujuan VOC.
Kerajaan Banjar, hanyalah diperintah oleh keturunan Sultan
Nata Alam.
Susuhunan Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran
Amir dengan pasukan Bugis tersebut, dan hanya VOC yang dapat menyelamatkannya,
karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus
meminta bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam
mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng untuk
melindungi kedaulatannya, tetap terikat dengan Kesultanan Banjarmasin tetapi
bukan sebagai penguasa.
Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari
:[1]
Acte van Afstand 13 Agustus 1787
Tractaat 13 Agustus 1787
Proclamatie 1 Oktober 1787
Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April
1789.
Perjanjian ini tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa
Belanda dan bahasa Melayu huruf Arab. Dalam isi perjanjian itu tergambar
situasi politik yang penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang
dipimpin oleh Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam
serbuan yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan orang Bugis
tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir.
Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata,
merupakan pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata.
Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda
menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kesultanan Banjar
hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni Belanda.
Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa :
Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa :
....akan menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta
rakyat maka setelah aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu
bersama-sama dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan
Soleman dan cucundaku Sultan Adam dan Perdana Mantriku Ratu Anom Ismail beserta
sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta kerajaan negeri
Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah dihitung pada hati
kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat tahta kerajaan negeri Banjar
betul kepada perlindungan dan pernaungan kompeni maka dari karena sebab itu
juga dengan surat yang terbuka ini aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku
sendiri baik bagi zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi
waris-warisku turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat
kerajaanku dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau
dan teluk rantau dan sungai-sungai.[1]
Para pembesar kerajaan yang ikut menyaksikan semua
perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain Sunan Nata Alam, Pangeran
Ratu Sultan Soleman dan Sultan Adam adalah : Pangeran Mangkudilaga (anak
Tamjidullah I), Pangeran Aria, Pangeran Isa (anak Tamjidullah I), Pangeran
Zainal, Pangeran Marta, Gusti Tasan serta Perdana Mantri Kerajaan Ratu Anom
Ismail (anak Sunan Nata Alam).[1]
Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula
menandatangani : Kiai Surengrana, Kiai Tumenggung, Kiai Martadangsa, Kiai Maesa
Jaladeri, Kiai Rangga, Kiai Jayengpati, Kiai Durapati, Kiai Surajaya, Kiai
Jayadirana dan Kapitan Kartanegara.[1]
Kemenangan Diplomasi
Bagi Sunan Nata Alam
Kemenangan diplomasi yang diperoleh Pangeran Nata Alam
adalah bahwa kompeni Belanda harus meminjamkan Kesultanan Banjar yang merupakan
pinjaman abadi, tidak boleh dibatalkan kepada Pangeran Nata Alam dan
keturunannya. .....
wakil Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan
Soleman Sa’idullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi
pinjam yang baka tiada boleh mati agar aku dan aku ampunya zuriat yang
mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan cucundaku Sultan
Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan beserta rakyat…[1]
Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa Kesultanan Banjar
sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan (daerah
protektorat), tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan
Banjar menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan
Kompeni Belanda, sebagai kerajaan merdeka.
Kedudukan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka itu dalam hal
penghormatan terhadap wakil Kerajaan Banjar yang akan menghadap Gubernur
Jenderal di Batavia dengan penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana
sambutan terhadap negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan
apabila wakil kompeni Belanda yang akan menghadap Sultan di Bumi Kencana
Kerajaan Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada
pasal 31 :
Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati
dengan menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa
datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka Gurnadur
Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang datang dari
Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India atau yang dibawa dari
pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan itu
hendaklah diberi hormat begitu juga sebagaimana harus dan patut yakni
surat-surat yang dari oleh Gurnadur Jenderal dan Raden van India serta dari
oleh Yang Maha Mulia paduka Seri Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas
kali dan surat dari pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya…[1]
Panggilan atau sebutan terhadap Sultan berbeda dengan
sebutan terhadap Gubernur Jenderal VOC. Kalau terhadap Sultan disebut Yang Maha
Mulia Paduka Seri Sultan, tetapi sebutan untuk Gubernur Jenderal VOC hanya
disebut Paduka Gubernur saja.
Kata-kata penghormatan ini menunjukkan bahwa Kesultanan
Banjar dipandang Belanda sebagai kerajaan besar yang memperoleh kehormatan
sebagai negara merdeka. Hal ini dibuktikan lagi dengan penghormatan 15 kali
tembakan meriam untuk wakil Sultan sedang untuk wakil kompeni hanya dengan 7
kali tembakan meriam. Acte van Afstand ini diperkuat lagi dalam Tractaat 13
Agustus 1787 yang berisi 36 pasal dan ditanda-tangani di ibukota kerajaan, Bumi
Kencana.[1]
Proclamatie 1 Oktober
1787
Kemenangan diplomasi Pangeran Nata Alam bahwa yang
memerintah Kerajaan adalah keturunan Nata Alam, diperkuat lagi dalam
Proclamatie 1 Oktober 1787.
Proklamasi itu selain menyatakan bahwa Kerajaan Banjar
merupakan kerajaan pinjaman dari Kompeni Belanda, juga mempertegas lagi bahwa
keturunan Nata Alam lah yang berhak memerintah kerajaan itu. ......Lagipula
tahta kerajaan itu Tuan Yang Maha Bangsawan Gurnadur Jenderal dan Raden van
Indie menyerahkan pula dari pihak mana Kompeni Wilanduwi seperti ariyati barang
pinjaman yang baka tiada boleh mati kepada Tuan yang Maha Mulia Paduka Seri
Sultan Soleman Sa’idallah agar diperintah dan menyelenggarkan tahta kerajaan….
Dalam perjanjian yang dibuat ini Pangeran Nata Alam menyebut
dirinya sebagai Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah sedangkan cucunya Sultan
Adam Alwasikubillah, kesemuanya ikut menandatangani perjanjian yang dibuat.
Perdana Mantri yang jabatan Perdana Mantri kadang-kadang disebut pula sebagi
Mangkubumi, tetapi dalam Tractaat 1 Oktober sebagai penjelasan dari Proclamatie
1 Oktober, disebut sebagai Wazir mu’adlam.
Traktat 13 Agustus
1787
Dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang terdiri atas 36 pasal
kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi,
sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya.
Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kesultanan Banjar
melepaskan negeri-negeri Pasir dengan daerah takluknya; Pulau Laut beserta
sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabaniau beserta dengan pesisirnya, gunung-gunung
serta separo dari Dusun, Tatas (Banjarmasin) dan Dayak-dayaknya dengan
Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin.
Orang asing selain orang Eropa adalah orang yang bukan anak
Banjar. Orang Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu
dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni Belanda.
Dengan demikian kalau
orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum berdasarkan hukum Kompeni
Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam negeri Kesultanan Banjar.
Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan perniagaan
dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kesultanan Banjar.
Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari Kompeni Belanda
terlebih dahulu.
Vazal VOC
Belanda mengirimkan bantuan dibawah pimpinan Hoffman,
disamping sebagai wakil Belanda dalam masalah kontrak yang baru dibuat juga
sebagai pimpinan bantuan untuk mengusir pasukan Bugis dari Kesultanan
Banjarmasin.
Pasukan Pangeran Nata bersama rakyat Banjar dan dibantu oleh
pasukan VOC berhasil mengusir pasukan Bugis, dan menangkap Pangeran Amir dan
selanjutnya dibuang ke pulau Ceylon (Srilangka).[26] Kemenangan perang berarti
kemenangan bagi Pangeran Nata untuk memperoleh hak waris atas garis keturunan
Sultan Kuning. Berakhirnya perang melawan Pangeran Amir (Sultan Amir), berarti
berakhir pula pertentangan selama periode abad ke- 18 antara keturunan Sultan
Kuning dalam Kesultanan Banjarmasin.
Kemenangan perang ini bagi Belanda, juga merupakan
keuntungan besar sebab, bantuan Belanda bukanlah sia-sia dan hadiah dari
kemenangan itu bagi Belanda sangat besar. Hak politik berada dalam tangan
Belanda atas Kesultanan Banjarmasin bahkan Kesultanan Banjarmasin tak lebih
dari sebuah vazal dari Belanda.
Pembuangan Pangeran Amir dan dukungan politik bagi Pangeran
Natadilaga (Sunan Nata Alam) pada tahun 1787 ini merupakan bukti pertama
kalinya campur tangan Belanda terhadap kerajaan.[27] Walaupun kenyataannya
bukanlah kemenangan yang Belanda peroleh. Sebab Pangeran Nata sekarang mulai
mengatur siasat untuk mengusir kekuatan Belanda dari Kesultanan Banjarmasin.
Tidak dengan kekuatan bersenjata tetapi dengan taktik perdagangan.
Sandiwara Politik
Sejak perjanjian tahun 1787 sampai dengan 1797 merupakan
sandiwara politik Kesultanan Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam
sebagai pemeran utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut
diorganisir untuk merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa
berjalan dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli
sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak 1787. Siasat yang paling berhasil
yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada sehingga
populasi produksi lada berada dalam batas minimal.
Menjelang tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot
ditambah dengan bajak laut yang menutup muara sungai Barito sehingga
melumpuhkan perdagangan VOC. Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di
Banjarmasin disebutkan sebagai berikut :
“Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu “Grootmacht”
seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal Banjar,
begitu lamanya mereka dengan diam-diam menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya
daripada kegagalan pengluasan kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah
perlawanan diam-diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia
telah bertahun-tahun ditipu”.
Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos pengeluaran belaka
dan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian,
sehingga bagi Belanda mempertahankan melanjutkan hubungan dengan Banjarmasin
menjadi beban yang berat. Setelah melihat keberhasilan politik yang dijalankan
maka Pangeran Nata Alam mengirimkan utusan ke pulau Pinang, pusat perdagangan
Inggris untuk bersama-sama mengusir Belanda dari kerajaan Banjarmasin. Begitu
pula dikirim utusan ke Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin.
Kontrak 1797
Kompeni Belanda akhirnya tahun 1797 mengirim komisaris
Francois van Boekholtz ke Banjarmasin dan membuat kontrak tahun 1797 yang
sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan Banjarmasin. Komisaris Francois
van Boekholtz mengadakan pembicaraan dengan Sultan, Sultan Adam dan Wazir Tuan
Raden Dipati Anum Ismail bertempat di istana Bumi Kencana, Martapura mengenai
masalah yang menyangkut kontrak yang dibuat tahun 1787.
Kedatangan Boekholtz ini menemui Sultan dan pembesar istana
kerajaan karena sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif terhadap
perjanjian tahun 1787 khususnya pihak Kesultanan Banjar terdapat sikap
mengabaikan semua isi perjanjian dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian
itu. Selama sepuluh tahun perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak
memperoleh keuntungan sama sekali. Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian
Komisaris Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok ialah :
Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya
diharapkan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan
yang kedua.
Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda
yang telah membantu Kesultanan Banjar untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir
dengan pasukan Bugis-Paser.
Pembicaraan dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan
kesimpulan bahwa Sultan dan seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar
Sultanlah yang memegang seluruh wilayah kerajaan dan memerintah bukan atas
dasar pinjaman dari Kompeni.
Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun 1787
mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak kesukarannya bagi
Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan lada dan lainnya,
kesulitan karena berbeda adat istiadat apalagi terhadap Orang Dayak yang suka
memotong kepala, disamping perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya
Kompeni Belanda mengadakan perjanjian tahun 1789 yang sangat merugikan dan
menunjukkan kekalahan diplomasinya.
Perjanjian itu
terdiri atas 13 pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana Sultan dan di
Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan tandatangan mereka terdiri
dari : Sultan Soleman, Sultan Adam, Panembahan Batu, Ratu Anom Ismail, Pangeran
Ishak dan Pangeran Hasin. Dari pihak Kompeni Belanda adalah : Van Boekholtz
sebagai Komisaris, A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan
Pieter Gerardus van Overstraten.[1]
Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa
Kompeni Belanda menetapkan Sultan Suleman Sa’idallah yang berkuasa memerintah
di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang memelihara Kerajaan itu
sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan dari hasil kerajaan termasuk
segala jenis sarang burung dan semua komoditi perdagangan yang sebelumnya
menjadi hak Kompeni Belanda, sekarang diserahkan kepada Sultan.
.... Maka dari itu sekarang Kompeni tetapkan Tuan Sultan
Suleman Sa’idallah yang kuasa memerintah di atas sekaliannya tanah Kompeni
serta Sultan Suleman pula yang kewakilan dari Kompeni menjaganya dan
memeliharanya seperti Tuan Suleman punya sendiri. Tambahan lagi Tuan Suleman
pula yang menerima hasil-hasil dari sekalian negeri dan desa-desa. ......Lagi
pula Kompeni kasihkan kepada Tuan Suleman keuntungan dari barang yang dapat
keluar dari jenis sarang burung….[1]
Pasal keempat menetapkan bahwa kedaulatan atas daerah Paser
dan Laut Pulo yang telah diambil Kompeni, dikembalikan kepada Sultan. Inilah
bukti kemenangan diplomasi Sultan Nata Alam yang menyebabkan Sultan berkuasa
atas kerajaan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka tanpa camput tangan kompeni
Belanda. Biaya yang dikeluarkan Kompeni Belanda untuk memenuhi isi perjanjian
tahun 1787, tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan Belanda sebelumnya,
dengan kata lain mempertahankan kedudukannya terhadap Kesultanan Banjar,
Kompeni Belanda dihadapkan dengan risiko pengeluaran biaya yang sangat
besar.[1]
Kemerosotan ekonomi dan pendapatan Kompeni Belanda itu
terlihat dari isi Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban Kompeni Belanda
untuk membayar tiap-tiap tahun kepada Pangeran Prabu sebanyak 250 real dan
kepada Ratu Prabu sebanyak 50 real seperti ditetapkan dalam kontrak yang dibuat
oleh Komisaris Cr. Hoffman, Kompeni Belanda menyatakan tidak dapat
membayarnya.[1]
Sultan Nata telah memainkan peranan yang sangat penting bagi
politik kerajaan Banjarmasin dan berhasil mempertahankan kedaulatan dan
keutuhan Kesultanan Banjar dari dominasi kolonialisme Belanda. Walaupun ia yang
menyerahkan kedaulatan kerajaan kepada VOC, tetapi dalam perkembangannya ia
segera menyadari kesalahannya, sehingga ia lalu memerintahkan pemusnahan
kebun-kebun lada yang dikuasai Belanda dan segera menjalin hubungan dengan
Inggris.[27]
Hal ini di bayar
mahal bagi Kesultanan Banjar. Perdagangan merosot akibat kebun lada
dihancurkan, sedangkan komoditi lada merupakan salah satu sumber devisa yang
terpenting bagi Kesultanan Banjarmasin. Akibat dari perdagangan merosot, maka
kekayaan negara juga merosot dan akhirnya lemah, sehingga menjelang abad ke-19
kerajaan Banjarmasin menghadapi Belanda yang sudah cukup kuat, sedangkan
kesultanan sudah sangat lemah. Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan
Nata Alam, Sultan terbesar dalam kerajaan Banjar yang meninggal pada tahun
1801.
Pewaris Kerajaan
Banjar
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku
Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai,
Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan
pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun
Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih
dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian
diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh
Pangeran Antasari.[14] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar
bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862,
bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“ Hidup
untuk Allah dan Mati untuk Allah!
”
”
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para
alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin",
yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti
berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran
Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung
jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito
dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300
prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25
April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari
di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan
pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di
Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai
Barito sampai ke Puruk Cahu.[15]
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan
Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan.
Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan
modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan
akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara
Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk
menyerah, namun dia tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang
ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20
Juli 1861.
“ ...dengan
tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun
dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada
siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan
10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima
tawaran ini.[16] Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah
Kolonial Hindia Belanda:[17]
Antasari dengan anak-anaknya
Demang Lehman
Amin Oellah
Soero Patty dengan anak-anaknya
Kiai Djaya Lalana
Goseti Kassan dengan anak-anaknya
Meninggal Dunia
Monumen Perang Banjar yang dibangun pemerintah Hindia
Belanda untuk mengenang tentaranya yang tewas.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari
kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap,
apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah
Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang
wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya
pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.[18] Perjuangannya
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.[19]
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu
sungai Barito, atas keinginan Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11
November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih
utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut.
Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan
Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan
Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No.
06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[20] Nama Antasari diabadikan
pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi
Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat
nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan
mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp
2.000
Sumber : Wikipedia