Thursday, 8 June 2017

Pangeran Antasari - Kesultanan Banjar

Pangeran Antasari - Kesultanan Banjar

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Silsilah

Semasa muda nama dia adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman (Sulaiman Dari Banjar). Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (Muhammad Dari Banjar) yang gagal naik tahta pada tahun 1785. 

Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II (Dinasti Tahmidullah) Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Sulaiman Dari Banjar

Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Sulaiman Saidullah Raja Atas Tahta Kerajaan Negeri Banjar.

Ayah      Sunan Sulaiman Saidullah
Ibu         Putri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah

Pasangan 
           
1. Nyai Ratna atau Nyai Ratu Intan Sari (Permaisuri)
2. Nyai Cina
3. Nyai Argi
4. Nyai Unangan
5. Nyai Kamala Sari

Anak     

1. ♂ Sultan Adam, anak Nyai Ratu Sepuh (Nyai Ratna) binti Kiai Adipati Singasari)
2. ♂ Pangeran Mangkoe Boemi Nata, anak Nyai Ratu Sepuh
3. ♀ Ratoe Hadji Moesa, anak Nyai Ratu Sepuh
4. ♂ Pangeran Perbatasari, anak Nyai Ratu Sepuh
5. ♂ Pangeran Kassir, anak Nyai Ratu Sepuh
6. ♀ Ratoe Soengging Anoem, anak Nyai Ratu Sepuh
7. ♂ Pangeran Dipati di Mahang (HST)
8. ♂ Pangeran Ahmad
9. ♂ Pangeran Wahid
10. ♂ Pangeran Muhammad
11. ♂ Pangeran Kusairi
12. ♂ Pangeran Hasan
13. ♂ Pangeran Achmid
14. ♂ Pangeran Kasoema Widjaja/Pangeran Berahim
15. ♂ Pangeran Tasin
16. ♂ Pangeran Singa-Sarie
17. ♂ Pangeran Hamim
18. ♀ Ratu Kartasari
19. ♀ Ratu Marta
20. ♀ Ratu Salamah
21. ♀ Gusti Umi/Gusti Kacil
22. ♀ Ratu Mashud/Gusti Hadijah, ibu Pangeran Antasari

Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah bin Sunan Sulaiman Saidullah/Sunan Nata Alam/Sultan Tahmidullah II adalah Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1801-1825.[10] Kesultanan Banjar terletak di Kalimantan Selatan, Indonesia. Adiknya Pangeran Mangku Dilaga dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anum Mangku Dilaga. Belakangan Ratu Anum Mangku Dilaga ditahan kemudian dibunuh oleh Sultan Sulaiman karena diduga akan melakukan kudeta. Jabatan mangkubumi kemudian dipegang oleh Pangeran Husin dengan gelar Pangeran Mangkubumi Nata putera Sultan Sulaiman sendiri.[2]

Sultan Sulaiman meninggal 3 Juni 1825. Pada masa Sultan Sulaiman, pusat pemerintahan berada di Karang Intan, Kabupaten Banjar.

Sultan Sulaiman dikenal pula dengan nama Sultan Sulaiman Saidullah II atau Sultan Sulaiman Rahmatullah. Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun dari ayahnya Susuhunan Nata Alam agar penggantinya tetap pada garis keturunannya. Panembahan Sulaiman/Sultan Sulaiman melantik puteranya Pangeran Adam sebagai raja muda dengan gelar Sultan Adam, kemudian dia sendiri mengambil gelar Panembahan Sepuh.[2]

Mangkubumi yang menjabat pada masa Sultan Sulaiman adalah:

Ratu Anom Ismail (Pangeran Ismail bin Sunan Nata Alam)[12]; dihukum bunuh oleh Sultan Sulaiman karena diduga (difitnah) akan merencanakan kudeta.

Pangeran Mangku Bumi Nata (Pangeran Husin bin Sultan Sulaiman), mangkubumi sejak 1823.

Silsilah

Anak-anak Sultan Sulaiman Saidullah terdiri 18 orang yaitu anak laki-laki 12 orang dan anak perempuan 6 orang.

Sultan Sulaiman memiliki permaisuri yang merupakan puteri Adipati Banua Lima (golongan Anang/Nanang-nanangan Raja) yaitu Nyai Ratna bergelar Nyai Ratu Sepuh binti Kiai Adipati Singasari  yang dikaruniai 6 anak yaitu :

Sultan Adam - memiliki 11 anak. Dia leluhur mantan Gubernur Kalimantan Pangeran Muhammad Noor.

Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangkoe Boemi Nata - menjadi mangkubumi sejak 1823 memiliki 17 anak.

Pangeran Perbatasari - memiliki 5 anak.

Ratu Haji Musa (menikahi Pangeran Aji Musa ( Raja Kusan II ) - memiliki 3 anak.

Pangeran Kasir[14] - memiliki 5 anak.

Ratu Salamah/Ratu Sungging Anum (menikahi Pangeran Sungging Anom bin Ratu Anom Mangku Dilaga) - tidak memiliki keturunan.

Putera-puteri dari selir-selir lainnya:

Goesti Hadidjah bergelar Ratoe Masoöd , menikahi Pangeran Masoöd (orangtua Pangeran Antasari).

Pangeran Tahmid (anak Nyai Argi) [2][15] leluhur mantan Gubernur Kalsel Gusti Hasan Aman.

Pangeran Singosari, leluhur Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah.

Pangeran Musa (anak Nyai Ratna) [2]

Pangeran Sungging Anum (anak Nyai Ratna) [2]

Pangeran Ahmad (anak Nyai Cina) [2]

Pangeran Kacil/Pangeran Hasan?(anak Nyai Cina) [2]

Pangeran Tasin (anak Nyai Cina) [2]

Pangeran Jamain/Pangeran Wahid? (anak Nyai Cina) [2]

Ratu Karta Sari (anak Nyai Unangan) [2] menikahi dengan Pangeran Kartasari bin Pangeran Sungging Anom bin Ratu Anom Mangku Dilaga.

Ratu Marta [2]

Gusti Kacil/Gusti Umi? [2]

Setelah Sultan Sulaiman Saidullah dilantik, Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan pada 19 April 1802. Perjanjian hanya mengingatkan kembali bahwa Kesultanan Banjar telah diserahkan kepada pemerintah Belanda seperti Perjanjian 1787. Dalam perjanjian itu ditambahkan bahwa Sultan berusaha menangkap dan menghukum potong kepala orang-orang Dayak yang telah melakukan pemotongan kepala. Hukuman potong kepala terhadap orang Dayak itu harus dilakukan dimuka loji Belanda. Selebihnya dalam perjanjian itu pemerintahan Belanda mengharapkan agar Sultan dapat memelihara kebun-kebun lada agar hasil lada menjadi lebih baik. Pada tahun 1809, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Sulaiman yang menitikberatkan pada usaha pemeliharaan kebun lada, agar lada dapat berproduksi sebagaimana diharapkan oleh Belanda. Dalam perjanjian itu Belanda tetap mengakui kedaulatan Sultan Banjar dan tidak menyinggung tentang masalah pemerintahan termasuk hubungan dagang ke luar negeri. Tahun 1809, Daendels menarik diri dari Banjarmasin.[16]

Sultan Sulaiman menjalin hubungan dengan negara lain, seperti dengan Kesultanan Buton, melalui suratnya tahun 1811, Sultan Buton memohon dukungan moral untuk mendapatkan rekomendasi dalam perdagangan.[17]

Inggris

Pada perkembangan selanjutnya, Belanda kalah menghadapi Inggris dan pada tahun 1811 Belanda menyerahkan Batavia kepada East India Company (EIC), perusahaan perdagangan Inggris.

East India Company (EIC) mengadakan perjanjian persahabatan dengan kesultanan Banjar. Dalam perjanjian itu EIC-Inggris tidak menyinggung masalah kedaulatan pemerintahan Sultan Sulaiman tetapi lebih banyak masalah perdagangan. EIC Inggris menduduki beberapa daerah yang sebelumnya diduduki Belanda seperti pulau Tatas (Banjarmasin), Kuin, Paser, Pulau Laut, Pagatan, dan Bakumpai. Selanjutnya EIC-Inggris mempertahankan dan melindungi hak-hak Sultan dan kekuasaan Sultan begitu pula hak milik Sultan terhadap serangan orang Eropa lainnya dan terhadap musuh bangsa Asia. Perjanjian ditanda tangani oleh Sultan dan para bangsawan kerajaan lainnya yaitu : Pangeran Panambahan Adam, Pangeran Aria Mangku Negara, Pangeran Kasuma Wijaya (anak Sultan Sulaiman) dan Pangeran Ahmad (anak Sultan Sulaiman), sedangkan dari pihak EIC-Inggris diwakili oleh Commissioner D. Wahl.

Perjanjian antara Belanda dan Inggris memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas wilayah kekuasaannya kemudian EIC-Inggeris melepaskan kembali Batavia pada tahun 1816. Setelah ditinggalkan EIC-Inggris pada tahun 1816 dan Belanda kembali datang ke Kesultanan Banjar kemudian membuat perjanjian dengan Sultan Sulaiman pada tahun 1817 dan tahun 1823.

Perjanjian 1817 dan 1823

Sultan Sulaiman membuat perjanjian pada 1 Januari 1817 yang merupakan Kontrak Persetujuan Karang Intan I antara Sultan Sulaiman dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Kemudian pada 13 September 1823 penandatanganan Kontrak Persetujuan Karang Intan II antara Sultan Sulaiman dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias

Isi Perjanjian-perjanjian itu menyatakan :[1]

Kesultanan Banjar yang mempunyai wilayah pengaruh yang cukup luas meliputi Kesultanan Berau, Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit, Kotawaringin dan Lawai (hulu sungai Kapuas). Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah-daerah itu berada dalam wilayah pendudukan Hindia Belanda.

Orang bukan bangsa Banjar adalah orang asing, seperti : Bugis, Makassar, Bali, Mandar, Jawa, begitu pula Cina, Eropa dan Arab. Semua orang asing diperlakukan hukum Eropa oleh Belanda kalau mereka membuat tindak pidana.

Belanda meminta Sultan agar berusaha menggalakkan tanaman kopi dan lada.

Surat-surat kepada Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting[18]

Cod. Or. 2239-II (11), Universiteitsbibliotheek, Leiden.

Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold Alting, 2 Ramadhan 1206 (24 April 1792). Isi : Membicarakan harga barang-barang yang ditukar antara kedua pihak, serta keluhan bahwa hak Sultan atas separuh cukai tidak mau dibayar oleh Fetor setempat.

Cod. Or. 2239-II (13) ?? atau 2241 IIa (13), Universiteitsbibliotheek, Leiden.

Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold Alting, 20 bulan Safar 1207 (7 Oktober 1792). Isi : Laporan Raja Banjar bahwa tugasnya sudah dijalankan sesuai dengan perjanjian, yaitu setiap kepala yang ditunjuk akan membuka kebun lada. Tiap kebun itu dikerjakan oleh 50 orang. Kalau tidak mengerjakan pekerjaan itu, mereka akan dihukum dengan hukuman berat. Juga dinyatakan bahwa mereka sudah menerima kiriman 10 tong obat bedil dan Raja Banjar juga minta dikirimi kertas air emas 12 lembar.

Cod. Or. 2239-II (22), Universiteitsbibliotheek, Leiden.

Sultan Sulaiman , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold Alting, bulan Rabiulakhir 1209 (20 November 1794). Isi : Berita tentang penyerangan yang diderita dari orang Pasir dan Kutai. Banyak rakyat dibunuh, yang lain dipaksa mendirikan benteng. Sultan menanti perintah dari Kompeni. Harapannya agar Gur. Jen. menulis surat kepada Sultan Pasir untuk mengajak damai. Kalau ditolak, rencananya Pasir akan diserang dari laut oleh Belanda dan dari darat oleh Banjar. Juga diberitahukan tentang kebun lada yang sedang dikerjakan.

Cod. Or. 3036-IV (5), Universiteitsbibliotheek, Leiden.

Sultan Banjar , Banjarmasin → Gur. Jen. Willem Arnold Alting, 9 Zulkaidah 1210 (17 Mei 1796). Isi : Pemberitahuan bahwa Sultan sudah menerima bingkisan, yang isinya didaftarkan satu per satu

AN. 55, Arkib Negara, Jakarta.

Pangeran Mangkubumi , Banjarmasin → Gur. Jen. , 1 Safar 1239 (7 Oktober 1823). Isi : Pernyataan bahwa Mangkubumi bersedia diangkat sebagai kepala pemerintah Banjar dan telah bersumpah sesuai dengan perjajian antara Kompeni dan negeri Banjar.

Muhammad dari Banjar

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning[1][2]
Pasangan             puteri dari Sultan Tamjidullah I

Anak     

♀ 1. Poetri Lawiyah
♂ 2. Pangeran Abdoe'llah (Putra Mahkota)
♂ 3. Pangeran Rachmat
♂ 4. Pangeran Amir
♂ 5. Goesti Koesin

Sultan Muhammad yang selengkapnya Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah atau Sultan Muhammadillah [4] putera dari Sultan Hamidullah (il-Hamidullah)/Sultan Kuning adalah Sultan Banjar antara tahun 1759-1761.[5] Pangeran Muhammad [4] atau Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah putera dari Sultan Hamidullah/Sultan Kuning - yang berhasil naik tahta setelah mengkudeta pamannya yang sebenarnya adalah Wali Raja.
Baginda wafat pada 16 Januari 1761, dengan meninggalakan puteranya yaitu Abdullah yang masih berumur tujuh tahun.[6] Di samping dibantu oleh Mangkubumi Pangeran Wira Nata (sepupu Sultan Muhammad), Sultan Muhammad juga dibantu oleh dua orang keponakannya Pangeran Jiwakusuma dan Pangeran Jiwanegara sebagai menteri koordinator yang masing disebut Maha Mantri Panganan (Bentara kanan) dan Maha Mantri Pangiwa (Bentara kiri), dan saudara tiri Sultan Muhammad bernama Gusti Wiramanggala dilantik sebagai salah seorang mantri sikap[7]

Keturunannya :[8]

Putri Lawiyah, ibu Sultan Sulaiman Saidullah bin Sunan Sulaiman Saidullah.
Pangeran Abdullah, menikah dengan Ratu Aer Mas binti Tahmidullah II[9]
Pangeran Rahmat[10]
Pangeran Amir, kakek dari Pangeran Antasari
Gusti Kusin

Kemangkatan Sultan Hamidullah/Sultan Kuning tahun 1734, menimbulkan pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan sebab putra mahkotanya belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah I, sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan diserahkan. Pangeran Tamjidillah I sebagai wali sultan mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politik berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota tidak begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah I berhasil berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sepuh (1734-1759).

Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, karena itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali tahta pamannya. Sementara itu Sultan Sepuh/Tamjidillah I pada tahun 1747 membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787.

Perjanjian 27 Oktober 1756

Ada beberapa perjanjian yang dibuat oleh Tamjidullah I seperti Perjanjian ini ditandatangani oleh Paduka Seri Sultan Tamjidillah di Kayu Tangi dalam halaman kediaman Seri Sultan pada tahun seribu tujuh ratus lima puluh enam hari Arba dua puluh hari bulan Oktober.[11]

Pada 20 Oktober 1756 telah dibuat Perjanjian antara Sultan Tamjidullah I/Sultan Sepuh dengan VOC, tetapi seminggu kemudian terjadi lagi perjanjian yang dibuat oleh Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anom adalah gelar dari Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, menantu Seri Sultan Tamjidillah dan juga keponakan Sultan dengan Kompeni Belanda.

Perjanjian itu ditandatangani di benteng Tatas pada 27 Oktober 1756. Perjanjian ini dibuat atas inisiatif sendiri dari Ratu Anum dalam usahanya memperoleh tahta dari mertuanya, sesuai dengan perjanjian bahwa Seri Sultan Tamjidillah sebetulnya hanya berfungsi sebagai wali, sementara Ratu Anum belum dewasa. Pasal yang kedua dari perjanjian yang dibuatnya, menjelaskan usahanya merebut kekuasaan dan juga kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Seri Sultan Tamjidillah adalah perbuatan seorang jahil yang hendak melenyapkan asal keturunan Sultan Banjar yang sah. Pasal yang kedua dari perjanjian itu berbunyi :

Tuan Yang Maha Mulia yang tersebut sesungguhnya perikutan yang benar dan betul dari tahta kerajaan Banjar dengan sangat kesukaran dipandang yang kerajaan ini dengan tiada patut adalah memegang mana tahta tahta kerajaan nenek moyangnya sampai bapanya yang telah wafat Paduka Seri Sultan Chamidullah selama beberapa dalam suatu juga asal keturunan yang benar dan diperintahkan maka pada sekarang ini telah diambil tahta kerajaan Tuan Yang Maha Mulia oleh seorang jahil dengan tiada patut serta memecahkan janjinya di atas bilik ketiduran bapa Tuan Yang Maha Mulia tatkala pulang kerahmatullah, mana kala Tuan Yang Maha Mulia digenapi umur delapan belas tahun akan menyerahkan tahta kerajaan Banjar...[11]

Kelanjutan dari perjanjian yang dibuat bahwa nanti kalau berhasil Ratu Anom menjadi Sultan dia berjanji akan menyerahkan Kesultanan Banjar kepada Kompeni Belanda dan jabatannya sebagai Sultan merupakan kerajaan pinjaman dari kompeni. Sebagai Kerajaan pinjaman Ratu Anom berjanji akan menyerahkan tiap tahun pada kompeni berupa : 1000 pikul lada hitam, 10 pikul lada putih, 11 karat batu intan, dan 100 real halus. [11]

Usahanya ini kemudian ternyata tidak berhasil karena itulah Ratu Anom mencari jalan lain dengan cara keluar dari ibukota Kerajaan, mengumpulkan kekuatan dan pengikut untuk pada suatu waktu yang tepat akan menyerang Kerajaan dan merebut tahta dari Seri Sultan Tamjidullah I. Ratu Anom memilih Tabanio yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan. Perdagangan Muhammad Aliuddin Aminullah yang juga bergelar Ratu Anom tetap bermarkas di Tabanio, yang menurut Onderkoopman Ring Holm merupakan pusat perdagangan gelap yang paling ramai di Kalimantan.

Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah melaksanakan maksudnya semula yaitu merebut kembali tahta kesultanan, dari tugas pamannya yang sekaligus mertuanya, mengambil hak atas tahta sesuai dengan tradisi yang sah dari kesultanan Banjarmasin. Menggunakan sejumlah perahu dengan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bertolak dari Tabanio menyusuri Tanjung Silat yang berombak besar dan kadang-kadang angin bertiup kencang, kemudian memasuki sungai Barito, terus berbelok ke sungai Martapura, akhirnya sampai ke Martapura. Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidullah I tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut.

Penyerahan Tahta

Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah I menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin.
Secara lahiriah Pengeran Tamjidillah I ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Mohammad Aliuddin, tetapi secara sembunyi Pangeran Tamjidillah I tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan.

Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah I membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah I menyerahkan tahta kepada Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Muhammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati

Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Muhammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia mangkat dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat diracun.

Bersikap Keras Terhadap VOC

Meskipun pemerintahan Muhammad Aliuddin Aminullah hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak Orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lilc yang berbunyi sebagai berikut :

Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai.

Dinasti Tamjidullah I

Siasat Tamjidillah I berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat 1761[12], sementara Putera Mahkota masih kecil, karena itulah jabatan mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan Tamjidullah I menunjuk puteranya sendiri yaitu Pangeran Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Sunan Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke-18.

Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Chamidullah/Sultan Kuning mangkat, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam/Sulaiman Saidullah I mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya.

Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah II yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah.

Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya. Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801).

Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I

Pasangan             Putri Lawiyah binti Sultan Tahmidu Billah

Anak     

1. ♂ Pengeran Ratu Sultan Soleman[6]
2. ♂ Perdana Menteri Ratu Anom Ismail
3. ♂ Pangeran Nata
4. ♀ Ratu Siti Aermas
5. ♀ Ratu Kasuma
6. ♀ Gusti Kanifah
7. ♀ Gusti .....

Wangsa                Dinasti Banjarmasin

Ayah      Sultan Tamjidullah I

Sunan Nata Alam/Sulaiman Saidullah (ke-1) atau Maulana As Sulthan Tahmidillah ibni As Sulthan Tamjidillah[7] atau Tahhmid Illah II[8] atau Panembahan Batoe[9][10] adalah mangkubumi dan Wali Sultan Banjar tahun 1761-1801.[4] Semula ia menjadi mangkubumi Sultan Muhammad (sepupunya), dengan sebutan Pangeran Nata Mangkubumi. Sejak mangkatnya Sultan Muhammad pada tahun 1761, ia menjadi Wali Sultan dengan gelar Panembahan Kaharoeddin Haliloellah (EYD: Panembahan Kaharuddin Halilullah)[11][12]. Pada tahun 1762 ia naik tahta dengan gelar Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762)[12].
Ia menggantikan Sultan Muhammad yang mangkat karena sakit paru-paru yang dideritanya sejal awal pemerintahnya (1759) dengan meninggalkan putera-puteri yang masih kecil. Atas perintah Dewan Mahkota tahun 1762 saudaranya yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik menjadi mangkubumi (kepala pemerintahan).[13] Sejak tahun 1767 ia melantik puteranya yang masih berusia 6 tahun sebagai Sultan dengan gelar Sultan Sulaiman yang dianggap sebagai pewaris Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad. Sultan Sulaiman lahir pada tahun 1761 yang merupakan tahun mangkatnya Sultan Muhammad.
Ia juga dikenal dengan nama Sultan Tamidillah (ke-2) atau Tahmidullah (ke-2)/Sultan Tahmidullah II yang merupakan paduan dari kata Tahmid dan Allah, secara harafiah Tahmid berarti keadaan menyampaikan pujian atau rasa syukur berkali-kali (kepada Allah).[14] Sultan Tahmidullah II menikah dengan Puteri Lawiyah, anak Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad.
 Sebagai legitimasi, maka dalam silsilah raja-raja Banjar menarik garis keturunan pewaris tahta dari Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad, dan bukan dari garis keturunan Sultan Tamjidillah (ke-1). Sultan Tamjidillah (ke-1) merupakan mangkubumi Sultan Kuning (ayahanda Sultan Muhammad). Sultan Tamjidillah/Tamjidullah (ke-1) atau Sultan Tamjidullah I adalah ayahanda Sultan Tahmidullah (ke-2)/Sultan Tahmidullah II
Sultan ini banyak memiliki gelar-gelar seperti Panembahan (= raja kecil), Sultan dan Sunan. Sunan Nata Alam atau Susuhunan Nata Alam adalah gelar yang digunakannya sejak tahun 1772. Ia juga menggunakan gelar Sunan Soleman Sa'idallah (Sunan Sulaiman Saidullah), sedangkan puteranya memakai gelar Sultan Soleman Sa'idallah (Sultan Sulaiman Saidullah), karena persamaan nama tersebut ia disebut Sulaiman Saidullah I, sedangkan puteranya Sulaiman Saidullah II. Perbedaanya terletak pada kata Sunan dan Sultan.
Pada masa pemerintahannya pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, tibalah ulama Banjar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah 30 tahun menuntut ilmu di Makkah.
Sunan (Sultan) Soleman Sa'idallah I atau Sultan Tahmidillah II adalah putera tertua Sultan Tamjidillah I Sultan Tahmidillah II memiliki sembilan orang, di antaranya tujuh orang dari permaisuri Putri Lawiyah, tiga laki-laki dan empat perempuan, yaitu [3]:
Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah
Ratu Anom Ismail
Pangeran Nata
Ratu Siti Aermas, menikah dengan Pangeran Abdullah bin Sultan Muhammadillah
Ratu Kasuma
Gusti Kanifah
Gusti .....

Muhammad Aminullah

Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidillah tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut. Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin.

Secara lahiriah Pangeran Tamjidillah ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, tetapi secara sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan.

Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya.

 Ketika Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran Mohammad Aliuddin keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : “Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad Aliuddin sebagai Sultan.
Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia meninggal dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat diracun.

Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung.

Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lile yang berbunyi sebagai berikut : “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”.

Siasat Pengeran Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal, Putera Mahkota masih kecil, karena itulah Mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan dia menunjuk anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18.

Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya.

Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah.

Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya.

Keterlibatan Kotawaringin

Pangeran Prabu (mangkubumi dari Ratu Bagawan Muda - Raja Kotawaringin) telah mengambil sebagian peperangan yang dilancarkan Pangeran Amir terhadap pemerintahan Banjarmasin dengan memihak kepada Sultan Batu (Panembahan Batuah). Pangeran Prabu juga telah membantu Sultan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas.[2]

Gelar-gelar lain

Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar :
Panembahan Kaharuddin Halil-lillah [12]
Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762)[12]
Abdullah/Amierilmu’minin Abdullah /Ami Ail Mu’minin Abdullah
Susuhunan Nata Alam[12]/Sunan Nata Alam[1]
Pengeran Wiranata[15]
Pangeran Nata[16]/Pangeran Nata Dilaga[17]
Sultan Nata Nagara[18][19]
Panembahan Batuah[15]
Panembahan Ratu[20]
Panembahan Batu[20]/Sultan Batu[2]
Panembahan Nata[12][21]
Pangeran Tahmidillah[3] Sultan Tahmidillah[3] //Sultan Tahmidullah II[15]/Sultan Tahmidullah[17]
Sultan Sulaiman (1792)[22]
Tuan Sunan Soleman Sa'idallah[1]/Tuan Sunan Sulaiman Saidullah I/Tuan Sunan Soleman Sa'idallah[1]/Sultan Soliman Shahid Alla[23]

Pangeran Amir

Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggalkan putera-putera yang berhak menggantikan kedudukan sebagai Sultan ketika dia wafat, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir.[24]

Anak-anak yang berhak atas tahta ini satu persatu meninggal, Pangeran Abdullah meninggal karena diracun dan dicekik oleh Sultan Tahmidullah II[25], kemudian disusul Pangeran Rahmad dibunuh atas perintah Sultan Tahmidullah II. Sekarang menunggu giliran Pangeran Amir menyadari atas kejadian terhadap saudara-saudaranya, karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan meninggalkan Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Sunan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa satu-satunya pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran Amir tidak berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tetapi dia singgah ke Pasir ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe menyanggupi memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang Martapura, untuk merebut tahta dari Pangeran Nata Alam.

Perjanjian ini yang menyebabkan peperangan dan sebagai peristiwa yang terburuk bagi Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan perebutan tahta ini bangsa Belanda dan orang-orang Bugis ikut campur tangan. Dengan demikian peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu suku Banjar dan suku Bugis, juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang haus daerah, untuk dijadikan tanah jajahan.

Pada tahun 1785 Pangeran Amir dengan bantuan Arung Tarawe menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang Bugis dengan kekuatan 60 buah perahu berangkat dari Pasir melalui Tanjung Silat mendarat di Tabanio, pelabuhan lada terbesar dari Kesultanan Banjarmasin. Di Tabanio pasukan Bugis melakukan pembunuhan terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti persoalan dan tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber potensial dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan rakyat, menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan budak oleh orang Bugis, hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar.

Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar terhadap Pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu perjuangan Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri. Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam akan kematian ayah dan saudara-saudaranya.

Penyerangan Pangeran Amir ini menyebabkan Susuhunan Nata Alam membuat kontrak baru dengan VOC pada tahun 1787 untuk menjaga stabilitas kekuasaannya agar tetap berada di tangannya dan garis keturunannya. Hal-hal penting dari perjanjian itu ada 4 point :[1]

Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut Pulo, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin pada VOC.
Kerajaan Banjar adalah vazal VOC dan Sultan cukup puas dengan uang tahunan
Pengangkatan Sultan Muda dan Mangkubumi harus mendapat persetujuan VOC.
Kerajaan Banjar, hanyalah diperintah oleh keturunan Sultan Nata Alam.

Susuhunan Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis tersebut, dan hanya VOC yang dapat menyelamatkannya, karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus meminta bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng untuk melindungi kedaulatannya, tetap terikat dengan Kesultanan Banjarmasin tetapi bukan sebagai penguasa.

Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari :[1]

Acte van Afstand 13 Agustus 1787
Tractaat 13 Agustus 1787
Proclamatie 1 Oktober 1787
Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789.

Perjanjian ini tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu huruf Arab. Dalam isi perjanjian itu tergambar situasi politik yang penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam serbuan yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan orang Bugis tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir.

Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata, merupakan pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata. Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kesultanan Banjar hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni Belanda.

Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa :

....akan menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta rakyat maka setelah aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu bersama-sama dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam dan Perdana Mantriku Ratu Anom Ismail beserta sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta kerajaan negeri Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah dihitung pada hati kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat tahta kerajaan negeri Banjar betul kepada perlindungan dan pernaungan kompeni maka dari karena sebab itu juga dengan surat yang terbuka ini aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku sendiri baik bagi zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi waris-warisku turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat kerajaanku dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau dan teluk rantau dan sungai-sungai.[1]

Para pembesar kerajaan yang ikut menyaksikan semua perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain Sunan Nata Alam, Pangeran Ratu Sultan Soleman dan Sultan Adam adalah : Pangeran Mangkudilaga (anak Tamjidullah I), Pangeran Aria, Pangeran Isa (anak Tamjidullah I), Pangeran Zainal, Pangeran Marta, Gusti Tasan serta Perdana Mantri Kerajaan Ratu Anom Ismail (anak Sunan Nata Alam).[1]

Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula menandatangani : Kiai Surengrana, Kiai Tumenggung, Kiai Martadangsa, Kiai Maesa Jaladeri, Kiai Rangga, Kiai Jayengpati, Kiai Durapati, Kiai Surajaya, Kiai Jayadirana dan Kapitan Kartanegara.[1]

Kemenangan Diplomasi Bagi Sunan Nata Alam

Kemenangan diplomasi yang diperoleh Pangeran Nata Alam adalah bahwa kompeni Belanda harus meminjamkan Kesultanan Banjar yang merupakan pinjaman abadi, tidak boleh dibatalkan kepada Pangeran Nata Alam dan keturunannya. .....

wakil Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan Soleman Sa’idullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi pinjam yang baka tiada boleh mati agar aku dan aku ampunya zuriat yang mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan beserta rakyat…[1]

Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan (daerah protektorat), tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Banjar menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan Kompeni Belanda, sebagai kerajaan merdeka.

Kedudukan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka itu dalam hal penghormatan terhadap wakil Kerajaan Banjar yang akan menghadap Gubernur Jenderal di Batavia dengan penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana sambutan terhadap negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan apabila wakil kompeni Belanda yang akan menghadap Sultan di Bumi Kencana Kerajaan Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada pasal 31 :

Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati dengan menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang datang dari Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India atau yang dibawa dari pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan itu hendaklah diberi hormat begitu juga sebagaimana harus dan patut yakni surat-surat yang dari oleh Gurnadur Jenderal dan Raden van India serta dari oleh Yang Maha Mulia paduka Seri Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas kali dan surat dari pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya…[1]

Panggilan atau sebutan terhadap Sultan berbeda dengan sebutan terhadap Gubernur Jenderal VOC. Kalau terhadap Sultan disebut Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, tetapi sebutan untuk Gubernur Jenderal VOC hanya disebut Paduka Gubernur saja.

Kata-kata penghormatan ini menunjukkan bahwa Kesultanan Banjar dipandang Belanda sebagai kerajaan besar yang memperoleh kehormatan sebagai negara merdeka. Hal ini dibuktikan lagi dengan penghormatan 15 kali tembakan meriam untuk wakil Sultan sedang untuk wakil kompeni hanya dengan 7 kali tembakan meriam. Acte van Afstand ini diperkuat lagi dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang berisi 36 pasal dan ditanda-tangani di ibukota kerajaan, Bumi Kencana.[1]

Proclamatie 1 Oktober 1787

Kemenangan diplomasi Pangeran Nata Alam bahwa yang memerintah Kerajaan adalah keturunan Nata Alam, diperkuat lagi dalam Proclamatie 1 Oktober 1787.
Proklamasi itu selain menyatakan bahwa Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pinjaman dari Kompeni Belanda, juga mempertegas lagi bahwa keturunan Nata Alam lah yang berhak memerintah kerajaan itu. ......Lagipula tahta kerajaan itu Tuan Yang Maha Bangsawan Gurnadur Jenderal dan Raden van Indie menyerahkan pula dari pihak mana Kompeni Wilanduwi seperti ariyati barang pinjaman yang baka tiada boleh mati kepada Tuan yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah agar diperintah dan menyelenggarkan tahta kerajaan….

Dalam perjanjian yang dibuat ini Pangeran Nata Alam menyebut dirinya sebagai Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah sedangkan cucunya Sultan Adam Alwasikubillah, kesemuanya ikut menandatangani perjanjian yang dibuat. Perdana Mantri yang jabatan Perdana Mantri kadang-kadang disebut pula sebagi Mangkubumi, tetapi dalam Tractaat 1 Oktober sebagai penjelasan dari Proclamatie 1 Oktober, disebut sebagai Wazir mu’adlam.

Traktat 13 Agustus 1787

Dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya.

Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kesultanan Banjar melepaskan negeri-negeri Pasir dengan daerah takluknya; Pulau Laut beserta sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabaniau beserta dengan pesisirnya, gunung-gunung serta separo dari Dusun, Tatas (Banjarmasin) dan Dayak-dayaknya dengan Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin.
Orang asing selain orang Eropa adalah orang yang bukan anak Banjar. Orang Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni Belanda.

Dengan demikian kalau orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum berdasarkan hukum Kompeni Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam negeri Kesultanan Banjar.

Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan perniagaan dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kesultanan Banjar. Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari Kompeni Belanda terlebih dahulu.

Vazal VOC

Belanda mengirimkan bantuan dibawah pimpinan Hoffman, disamping sebagai wakil Belanda dalam masalah kontrak yang baru dibuat juga sebagai pimpinan bantuan untuk mengusir pasukan Bugis dari Kesultanan Banjarmasin.

Pasukan Pangeran Nata bersama rakyat Banjar dan dibantu oleh pasukan VOC berhasil mengusir pasukan Bugis, dan menangkap Pangeran Amir dan selanjutnya dibuang ke pulau Ceylon (Srilangka).[26] Kemenangan perang berarti kemenangan bagi Pangeran Nata untuk memperoleh hak waris atas garis keturunan Sultan Kuning. Berakhirnya perang melawan Pangeran Amir (Sultan Amir), berarti berakhir pula pertentangan selama periode abad ke- 18 antara keturunan Sultan Kuning dalam Kesultanan Banjarmasin.

Kemenangan perang ini bagi Belanda, juga merupakan keuntungan besar sebab, bantuan Belanda bukanlah sia-sia dan hadiah dari kemenangan itu bagi Belanda sangat besar. Hak politik berada dalam tangan Belanda atas Kesultanan Banjarmasin bahkan Kesultanan Banjarmasin tak lebih dari sebuah vazal dari Belanda.

Pembuangan Pangeran Amir dan dukungan politik bagi Pangeran Natadilaga (Sunan Nata Alam) pada tahun 1787 ini merupakan bukti pertama kalinya campur tangan Belanda terhadap kerajaan.[27] Walaupun kenyataannya bukanlah kemenangan yang Belanda peroleh. Sebab Pangeran Nata sekarang mulai mengatur siasat untuk mengusir kekuatan Belanda dari Kesultanan Banjarmasin. Tidak dengan kekuatan bersenjata tetapi dengan taktik perdagangan.

Sandiwara Politik

Sejak perjanjian tahun 1787 sampai dengan 1797 merupakan sandiwara politik Kesultanan Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut diorganisir untuk merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak 1787. Siasat yang paling berhasil yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada sehingga populasi produksi lada berada dalam batas minimal.

Menjelang tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot ditambah dengan bajak laut yang menutup muara sungai Barito sehingga melumpuhkan perdagangan VOC. Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di Banjarmasin disebutkan sebagai berikut :

“Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu “Grootmacht” seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya daripada kegagalan pengluasan kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia telah bertahun-tahun ditipu”.

Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos pengeluaran belaka dan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian, sehingga bagi Belanda mempertahankan melanjutkan hubungan dengan Banjarmasin menjadi beban yang berat. Setelah melihat keberhasilan politik yang dijalankan maka Pangeran Nata Alam mengirimkan utusan ke pulau Pinang, pusat perdagangan Inggris untuk bersama-sama mengusir Belanda dari kerajaan Banjarmasin. Begitu pula dikirim utusan ke Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin.

Kontrak 1797

Kompeni Belanda akhirnya tahun 1797 mengirim komisaris Francois van Boekholtz ke Banjarmasin dan membuat kontrak tahun 1797 yang sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan Banjarmasin. Komisaris Francois van Boekholtz mengadakan pembicaraan dengan Sultan, Sultan Adam dan Wazir Tuan Raden Dipati Anum Ismail bertempat di istana Bumi Kencana, Martapura mengenai masalah yang menyangkut kontrak yang dibuat tahun 1787.

Kedatangan Boekholtz ini menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif terhadap perjanjian tahun 1787 khususnya pihak Kesultanan Banjar terdapat sikap mengabaikan semua isi perjanjian dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu. Selama sepuluh tahun perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok ialah :

Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya diharapkan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan yang kedua.
Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda yang telah membantu Kesultanan Banjar untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis-Paser.

Pembicaraan dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Sultan dan seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar Sultanlah yang memegang seluruh wilayah kerajaan dan memerintah bukan atas dasar pinjaman dari Kompeni.

Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun 1787 mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak kesukarannya bagi Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan lada dan lainnya, kesulitan karena berbeda adat istiadat apalagi terhadap Orang Dayak yang suka memotong kepala, disamping perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya Kompeni Belanda mengadakan perjanjian tahun 1789 yang sangat merugikan dan menunjukkan kekalahan diplomasinya.

Perjanjian itu terdiri atas 13 pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana Sultan dan di Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan tandatangan mereka terdiri dari : Sultan Soleman, Sultan Adam, Panembahan Batu, Ratu Anom Ismail, Pangeran Ishak dan Pangeran Hasin. Dari pihak Kompeni Belanda adalah : Van Boekholtz sebagai Komisaris, A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan Pieter Gerardus van Overstraten.[1]

Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa Kompeni Belanda menetapkan Sultan Suleman Sa’idallah yang berkuasa memerintah di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang memelihara Kerajaan itu sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan dari hasil kerajaan termasuk segala jenis sarang burung dan semua komoditi perdagangan yang sebelumnya menjadi hak Kompeni Belanda, sekarang diserahkan kepada Sultan.

.... Maka dari itu sekarang Kompeni tetapkan Tuan Sultan Suleman Sa’idallah yang kuasa memerintah di atas sekaliannya tanah Kompeni serta Sultan Suleman pula yang kewakilan dari Kompeni menjaganya dan memeliharanya seperti Tuan Suleman punya sendiri. Tambahan lagi Tuan Suleman pula yang menerima hasil-hasil dari sekalian negeri dan desa-desa. ......Lagi pula Kompeni kasihkan kepada Tuan Suleman keuntungan dari barang yang dapat keluar dari jenis sarang burung….[1]

Pasal keempat menetapkan bahwa kedaulatan atas daerah Paser dan Laut Pulo yang telah diambil Kompeni, dikembalikan kepada Sultan. Inilah bukti kemenangan diplomasi Sultan Nata Alam yang menyebabkan Sultan berkuasa atas kerajaan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka tanpa camput tangan kompeni Belanda. Biaya yang dikeluarkan Kompeni Belanda untuk memenuhi isi perjanjian tahun 1787, tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan Belanda sebelumnya, dengan kata lain mempertahankan kedudukannya terhadap Kesultanan Banjar, Kompeni Belanda dihadapkan dengan risiko pengeluaran biaya yang sangat besar.[1]

Kemerosotan ekonomi dan pendapatan Kompeni Belanda itu terlihat dari isi Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban Kompeni Belanda untuk membayar tiap-tiap tahun kepada Pangeran Prabu sebanyak 250 real dan kepada Ratu Prabu sebanyak 50 real seperti ditetapkan dalam kontrak yang dibuat oleh Komisaris Cr. Hoffman, Kompeni Belanda menyatakan tidak dapat membayarnya.[1]

Sultan Nata telah memainkan peranan yang sangat penting bagi politik kerajaan Banjarmasin dan berhasil mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Kesultanan Banjar dari dominasi kolonialisme Belanda. Walaupun ia yang menyerahkan kedaulatan kerajaan kepada VOC, tetapi dalam perkembangannya ia segera menyadari kesalahannya, sehingga ia lalu memerintahkan pemusnahan kebun-kebun lada yang dikuasai Belanda dan segera menjalin hubungan dengan Inggris.[27]

Hal ini di bayar mahal bagi Kesultanan Banjar. Perdagangan merosot akibat kebun lada dihancurkan, sedangkan komoditi lada merupakan salah satu sumber devisa yang terpenting bagi Kesultanan Banjarmasin. Akibat dari perdagangan merosot, maka kekayaan negara juga merosot dan akhirnya lemah, sehingga menjelang abad ke-19 kerajaan Banjarmasin menghadapi Belanda yang sudah cukup kuat, sedangkan kesultanan sudah sangat lemah. Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan Nata Alam, Sultan terbesar dalam kerajaan Banjar yang meninggal pada tahun 1801.

Pewaris Kerajaan Banjar

Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[14] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

“              Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!    
           ”
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[2]

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perlawanan terhadap Belanda

Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[15]

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“              ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...   ”

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.[16] Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[17]

Antasari dengan anak-anaknya

Demang Lehman
Amin Oellah
Soero Patty dengan anak-anaknya
Kiai Djaya Lalana
Goseti Kassan dengan anak-anaknya

Meninggal Dunia

Monumen Perang Banjar yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang tentaranya yang tewas.

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.[18] Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.[19]

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[20] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000


Sumber : Wikipedia