Friday, 27 October 2017

MASA AWAL HINGGA BERKEMBANGNYA KERAJAAN AJATAPPARENG (ABAD 14 – 18)

MASA AWAL HINGGA BERKEMBANGNYA KERAJAAN AJATAPPARENG (ABAD 14 – 18)


Muhaeminah1 dan Makmur2
Email : minbalar@gmail.com dan makmurdpmks@gmail.com
Balai Arkeologi Makassar
Jln. Pajjiayang No. 13 Sudaing Raya Makassar


Abstrak

Ajatappareng merupakan persekutuan lima kerajaan Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi ini terbentuk pada abad ke-15 Masehi. Persekutuan Ajatappareng berada di pesisir barat pantai pulau Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bukti arkeologi di wilayah Ajatappareng Provinsi Sulawesi Selatan, dengan menggunakan metode penelitian yaitu, survei dan wawancara kemudian melakukan ekskavasi test-pit pada beberapa situs. Hal ini dilakukan untuk menegaskan eksistensi suatu wilayah sebagaimana diungkapkan pada manuskrip lontara. Survei dan ekskavasi test-pit yang telah dilakukan pada situs kemudian dikumpulkan untuk dianalisis demi mengetahui pertanggalan relatif dari data naskah dan artefak yang ditemukan. Hasil penelitian membuktikan bahwa, nilai arkeologisnya sangat penting yaitu ditemukan beberapa benda artefak dan fitur berupa masjid kuno, makam kuno, benteng tanah, sumur kuno, alat mata panah, mata uang, batu dakon, lesung, keramik dan gerabah.

Kata Kunci: Naskah lontara, situs, artefak.

PENDAHULUAN

Ajatappareng adalah persekutuan kerajaan yang terletak di sebelah barat Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Kerajaan tersebut merupakan gabungan lima kerajaan yaitu Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi ini terbentuk pada abad ke- 15 Masehi dan terkenal sebagai penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni Luwu, Bone, dan Gowa (Poelinggomang, 2004: 42). Persekutuan Ajatappareng yang telah menguasai pesisir barat pantai Sulawesi Selatan, dikenal sebagai bagian dari jaringan perdagangan asia seperti Sidenreng dan Suppa (Asba, 2009: 2).

Kajian tentang persekutuan Ajatappareng telah banyak diulas oleh banyak peneliti, salah satunya adalah Muahammad Amir (2013) dalam bukunya Konfederasi Ajatappareng, dalam buku tersebut mulai membahas asal mula berdirinya kerajaan, seperti kisah datangnya To Manurung untuk mendamaikan konflik-konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil. Juga dibahas latar belakang terbentuknya konfederasi kerajaan Ajatappareng, yaitu perkembangan perdagangan dan tingginya permintaan hasil-hasil pertanian, hingga munculnya konflik antar kerajaan dalam perluasan wilayah kekuasaan, sehingga kerajaan Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, melakukan pertemuan di Suppa pada abad ke-16 M, untuk melakukan persekutuan Ajatappareng. 

Paska persekutuan terbentuk, nampak eksistensi persekutuan Ajatappareng makin maju, itu ditandai hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544, seorang pedagang asal Portugis. Kemajuan perdagangan hasil-hasil pertanian telah mengundang kerajaan yang lebih besar untuk melakukan penguasaan, hal itu terjadi ketika kerajaan Gowa yang dipimpin oleh raja Tunipallanga Ulaweng (1546-1565), menginvasi Suppa, Sawitto, dan Alitta dan berhasil ditaklukkan.

Wilayah persekutuan Ajatappareng secara arkeologis belum banyak terungkap melalui penelitian-penelitian selama ini. Sehingga permasalahan yang penting untuk diketahui adalah sejak kapan kerajaan dikawasan Ajatappareng terbentuk, dan berkembang menjadi kerajaan konfederasi Ajatappareng? Agar dapat memberikan gambaran kronologi relatif masa keberlangsungan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng.

Untuk mengungkap jejak terbentuknya masa kerajaan di wilayah Ajatappareng, dilakukan penelusuran terhadap data arkeologi yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan yang berada diwilayah Ajatappareng. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu memberikan gambaran terhadap toponim baik dalam aspek keletakan, bentuk maupun temuan-temuan berupa artefak dan fitur. Metode pengumpulan data dengan cara melakukan studi pustaka, observasi langsung kelapangan dengan teknik survei permukaan tanah, kegiatan ini dilakukan dengan cara mengamati permukaan tanah dengan jarak dekat, pengamatan tersebut untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteksnya dan lingkungan sekitarnya dan melakukan wawancara dengan masyarakat (Truman Simanjuntak dkk, 2008:22). 

Analisis yang dilakukan yaitu mengidentifikasi artefak yang ditemukan baik dari segi keanekaragaman jenis dan bentuk. Setelah dilakukan pengidentifikasian maka tahapan selanjutnya dilakukan klasifikasi dan perbandingan artefak, agar dapat memberikan gambaran kronologi relatif okupasi Ajatappareng. Daerah penelitian yang menjadi objek meliputi bekas wilayah persekutuan Ajatappareng yaitu Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang, penelitian ini berlangsung dari Tahun 2008, 2010, 2011 dan 2012.

DESKRIPSI TEMUAN ARKEOLOGI DAN NASKAH LONTARA

Kerajaan Sawitto

Kerajaan Sawitto secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚42’50.61” LS, 119˚37’49.69” BT. Pada masa Addatuang Sawitto “La Paleteang” sebagai salah satu kerajaan penting di wilayah Ajatappareng. Infrastruktur kerajaan Sawitto kini masih bisa terlihat seperti benteng tanah, di dalam Naskah menyebutkan “bentengnge” yaitu benteng Kerajaan Sawitto, bentuk aslinya melingkar dan sangat luas (Buadara, 2000: 4). Benteng ini sekarang tidak sempurna dan dijadikan pematang sawah, area sekitarnya telah diubah menjadi persawahan. Istana kerajaan Sawitto juga masih bisa terlihat berada di poros jalan Pinrang–Rappang atau terletak kurang lebih 2 km ke arah timur dari pusat ibukota Pinrang, menurut keterangan salah seorang kerabat raja Sawitto (A. Sawerigading) bahwa sebelum istana dari bahan batuan ini dibangun, sebelumnya adalah istana dari bahan kayu. Berikut ini temuan arkeologis di wilayah kerajaan Sawitto :

1. Makam pra-Islam, berupa penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat), ditemukan di Makam Puang Coco di Bulu’, terdapat di Kelurahan Memorang Kecamatan Mattiro Bulu’ Kabupaten Pinrang. Situs Makam ini berada di tengah pemukiman penduduk, pada makam tersebut terdapat gundukan tanah, serta pecahan keramik dan gerabah (tempayan) yang dipergunakan untuk menyimpan abu jenazah, namun gerabah (tempayan) tersebut sudah tidak ada yang utuh.

2. Makam pada masa Islam, cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di kompleks makam Latenri Tatta Matinroe, berada di sebelah timur benteng tanah Sawitto, makam Puang Walli di Sekkang Ribba di Kampung Sekkange Kelurahan Benteng Kecamatan Sawitto, makam Arung Makkori, terletak di Desa Makkori Kecamatan Mattiro Sompe, makam To Salama di Cempa, termasuk dalam Desa Mattunru-Tunru, makam Petta Malae di Desa Paleteang, makam Makkaraka di Leppangeng, berada jalan poros dari Mandar ke Pare-pare, kompleks makam Jampue Sawitto di Desa Lapamessang. Pada makam tersebut terdapat beberapa corak nisan makam berbentuk hulu badi, gadah, dan batu tegak (menhir). Pada makam-makam tersebut masih dikunjungi oleh masyarakat dengan niatan akan sukses dalam usaha perdagangan, pertanian, pendidikan, pernikahan dan perantauan. Kemudian apabila berhasil akan kembali lagi memberikan sesajian.

3. Masjid tua Lapamessang didirikan pada tahun 1750 M, mesjid tua ini berbentuk persegi empat, beratap tumpang sebagaimana masjid kuna lainnya di Sulawesi Selatan, terdapat di Desa Lapamessang.

4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16.

Kerajaan Suppa

Kerajaan Suppa secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚55’26.40” LS, 119˚33’59.11” BT. Christian Pelras menggambarkan peran penting Suppa pada abad ke- 16 Masehi, menyangkut jazirah selatan Sulawesi. Ia menjelaskan bahwa perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53). 

Dalam mitologi lagaligo diceritakan bahwa Suppa adalah sebuah kerajaan besar, sangat penting di pantai barat yang berhadapan dengan selat Makassar. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa persekutuan lima Ajatappareng dapat terbentuk karena adanya prakarsa dari Suppa (Amir, 2013: 52). Berikut ini jenis temuan arkeologis di wilayah kerajaan Suppa:

1. Makam pra-Islam, diwilayah kerajaan Suppa berupa pemakaman dari wadah tempayan (kremasi) cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di situs Makkarawie termasuk dalam wilayah Dusun Lekessi Kelurahan Watang Suppa Kecamatan Suppa, situs Langkanange berada dalam wilayah administrasi Dusun Bela-Belawae Desa Polewali Kacematan Suppa, situs Bulu Tanae (Garessi) berada dalam wilayah administrasi Dusun Garessi Desa Lautang Salo, situs Perengki, situs ini berada dalam wilayah Dusun Perengki Desa Tasiwalie Kecamatan Suppa. Ditempat-tempat tersebut ditemukan fragmen tulang manusia yang sudah terbakar dan berasosiasi dengan fragmen keramik dan gerabah, yang terlihat pada pinggir lubang galian ilegal yang dilakukan oleh masyarakat. Selain makam berupa wadah tempayan di situs Langkanange juga ditemukan makam yang orientasinya timur-barat, memiliki nisan menhir dan makam ini masih dikeramatkan oleh masyarakat.

2. Makam pada masa Islam terdapat di situs Jerae, situs ini merupakan kompleks makam raja-raja Suppa, didalam kompleks makam Jerae terdapat makam Wali Suppa, Arung Pone Besse Kajuara dan Datu Suppa XX bernama Tenri Awaru. Pada makam Jarae memperlihatkan nisan Islam dengan tipe Aceh, hulu keris, pallus berbentuk selinder, gada polos, dan nisan pipih. Hampir semua makam yang teridentifikasi memiliki motif jirat sulur daun, hiasan medalion dan memiliki inkripsi aksara arab. Di situs Cempae juga ditemukan sebuah makam kuna, tetapi kondisinya sudah rusak.

3. Lokasi upacara turun kesawah (mappalili) terdapat di situs Lawaramparang, berada diwilayah administrasi Kelurahan Watang Suppa Kecamatan Suppa, dan berada di pinggir laut. Di situs ini terdapat pusat pemujaan adalah sebuah pohon beringin besar dan sumur ditepi laut dengan mata air yang terus mengalir.

4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16, Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa abad ke 18-19.

Kerajaan Sidenreng dan Rappang

Kerajaan Sidenreng dipimpin oleh Addatuang Sidenreng yang bernama Lapateddungi dan Kerajaan Rappang dipimpin oleh Arung Rappang yang bernama Lapakallongi. Kerajaan Sidenreng secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚56’39.30” LS, 119˚50’49.88” BT, sedangkan kerajaan Rappang secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚53’41.60” LS, 119˚48’22.21” BT. Hasil survei temuan arkeologis sebagai berikut:

1.Makam pra-Islam situs Sereang, terletak terletak di Desa Kanie, Kecamatan Maritengngae. Pada area pemukiman tua ini ditemukan beberapa keramik kuna yang masih utuh. Keramik ini adalah hasil penggalian liar, penduduk setempat menjelaskan bahwa guci stoneware ini berisi abu jenazah dan ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan manik-manik.

2. Makam pada masa Islam cukup banyak dan tersebar diberbagai tempat antara lain di situs Wengeng Desa Taluna Kecamatan Watang Sidenreng, makam Syekh Bojo di Desa Allekkuang Kecamatan Maritengngae, makam Bocco-bocco dan makam Tau Maupe ini terdapat di tengah-tengah area persawahan Watang Sidenreng di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, makam Belokka, terletak di Desa Belokka Kecamatan Pancalautan. Bentuk nisan yang ditemukan berbentuk gadah segi delapan, pipih, dan secara umum berbentuk menhir. Pada makam-makam tersebut masih dikunjungi oleh masyarakat untuk berdoa dan melepas nasar.

3. Tempat pemujaan, terdapat di situs Possiq Wanua Sidenreng di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, situs Bulubangi di Desa Massepe Kecamatan Tellu Limpoe dan situs Belokka di Desa Belokka Kecamatan Pancalautan. Media ritualnya berupa menhir yang menjadi pusat upacara yang berkaitan dengan pertanian. Upacara ritual, kini masih banyak pengunjungnya pada harihari tertentu yaitu kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian sebagai rasa syukur, dengan memotong binatang seperti kambing dan ayam.

4. Masjid tua Allekkuang, berada di Desa Allekkuang Kecamatan Maritengngae. Denah lantai Masjid kuna Allekkuang berbentuk persegi empat berukuran 40 x 40 meter. Tiang-tiangnya terdiri atas kayu bulat yang disusun berpasangpasangan sebanyak 9 pasang pada keempat sisinya dan satu tiang yang berdiri sendiri di bagian tengah. Atap berbentuk tumpang tiga, model limasan. Pada bagian puncak terdapat bangunan segi delapan yang terpisah dengan atap utama antara atap dengan bangunan segi delapan tersebut terdapat dinding-dinding yang memiliki jendela kecil.

5. Lupang batu, ditemukan di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng. Sebanyak 3 buah lumpang batu, dengan jejak pakai pada permukaan dan dasar lubang yang cukup halus, memberikan petunjuk fungsi profan yaitu untuk pengolahan padi atau biji-bijian.

6. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Vietnam (abad 14-15), Ming abad ke 15-16, Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa abad ke 18-19.

Kerajaan Alitta

Kerajaan Alitta secara astronomi terletak pada titik koordinat 3°52'44.5" LS dan 119°40'52.8" BT. Dijelaskan dalam naskah lontara keberadaan kerajaan Alitta tidak terlepas dari kedatangan To Manurung yang disebut We-Bungko-bungko di sumur bidadari (Sumur Manurung La Pakkita). Arung Alitta disebut Lamassora, kawin dengan bidadari We-Bungko-bungko (Anonim, 2008: 2). Berikut ini temuan tinggalan arkeologis di kerajaan Alitta adalah:

1. Sumur Kuno bentuknya bulat dengan diameter 2,65 cm dan kedalaman 2,74 cm. Dibagian pinggir dari sumur telah direnovasi berupa plasteran semen agar pinggir sumur tidak roboh.

2. Senjata tajam berupa mata tombak yang berukuran panjang 21 cm, bagian cabang ujung bawah 3 cm. Mata tombak tersebut dalam keadaan berkarat dan tidak utuh.

3. Mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500 tertera gambar ayam jantan.

4. Benteng tanah, saat ini telah menjadi jalanan, area pemukiman dan kebun. Sehingga kelihatan tidak jelas lagi bentuknya. Fungsi benteng tanah pada awalnya dijadikan bangunan dinding keliling yang melindungi istana, perkampungan dan petinggi kerajaan

5. Fragmen keramik tertua yang ditemukan adalah fragmen keramik Yuan (abad 13-14), fragmen keramik Dehua (abad 13-14), fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16), fragmen keramik Ming (abad 15-16) dan fragmen keramik Ching (abad 17-18).

SINTESA SITUS KERAJAAN AJATAPPARENG

Masa Awal Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng

Berdasarkan sumber naskah lontara Sidenreng “Passaleng pannessaengngi mula ritimpa’natanae ri Sidenreng“, mengungkapkan bahwa awal mula berdirinya Sidenreng dan Rappang tidak lama setelah berdirinya kerajaan Bone pada abad ke- 14 Masehi, tahun 1326 Masehi (Badaruddin, 2007: 147).

Fakta arkeologis yang ditemukan di area wilayah Ajatappareng, berupa sebaran fragmen keramik Yuan (abad 13-14) di kerajaan Sawitto, kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga ditemukan fragmen keramik Dehua (abad 13-14) meski jumlahnya tidak banyak. Dan juga fragmen keramik Vietnam (abad 14-15) dan fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16) di kerajaan Sidenreng dan Rappang. Hasil indentifikasi keramik tersebut menunjukan kronologi relatif antara abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi, merupakan fase awal masa kerajaan diwilayah Ajatappareng. Kehadiran keramik diberbagai kerajaan di wilayah Ajatappareng, memperlihatkan adanya kontak antara masyarakat lokal dengan masyarakat dari luar, karena keramik menjadi barang yang diperdagangkan dengan hasil pertanian.

Sumber: Hasil Penelitian Arkeologi 2008, 2010, 2011, 2012 Balai Arkeologi Makassar Sebagian besar keramik dipergunakan untuk wadah penguburan, hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan fragmen tulang manusia yang terbakar. Masyarakat setempat menjelaskan bahwa guci stonewere ini berisi abu jenazah dan ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan manik-manik. 

Tradisi penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat) nampak sudah berkembang sejak abad ke-13 Masehi dan meluas, bukan hanya di kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng tetapi di berbagai daratan bugis, seperti di Bone, Wajo dan Enrekang. Masa Berkembang Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng ketika bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, pedagang melayu mengalihkan kegiatan perdagangan mereka di berbagai bandar niaga bagian timur, termasuk bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi, seperti Siang, Bacukiki, Suppa, Tallo dan Somba Opu (Poelinggomang dkk, 2004:271). Pada abad ke-16 Masehi, perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53). 

Secara geografis kerajaan Suppa memang punya nilai strategis karena berada di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan selat Makassar, sehingga kerajaan Suppa menjadi bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan. Sedangkan kerajaan Sidenreng dan Rappang merupakan wilayah daratan yang kaya akan sumber daya alam. Kesuburan kedua daerah ini kini masih terlihat, berdasarkan produksi beras Kabupaten Pinrang (Suppa) Tahun 2013 sebanyak 604.975 Ton (BPS Pinrang. 2014:172) dan produksi beras Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2013 sebanyak 463.001 Ton (BPS Sidrap. 2014:128). Kesuburan itu pula yang mendorong hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544 asal Portugis, pedagang Melayu, Malaka, Arab dan Turki.  

Hasil identifikasi menujukan jenis keramik yang paling banyak ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase berkembangan kerajaan di wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya abad ke-16 M, khusunya kerajaan Suppa dan Sidenreng Rappang, karena dikerajaan itu banyak ditemukan fragmen keramik Ming (abad 15-16). Jejak arkeologis lain bisa kita lihat dimasa berkembangnya kerajaan diwilayah Ajatappareng adalah banyak dan luasnya sebaran makam, bukan hanya makam raja-raja lokal akan tetapi juga ditemukan makam kuna ulama dari luar Indonesia antara lain dari Mekah, Turki dan masih ada dikenal dari Arab Saudi. Selain makam juga terdapat masjid tua, mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500-an tertera gambar ayam jantan.

Puncak kejayaan tersebut tidak lepas dari hasil konfederasi persekutuan Lima Ajatappareng (Kerajaan Sidenreng, Rappang, Suppa, Sawito dan Alitta) yang dibentuk pada masa kekuasaan Lapancaitana menjadi Datu Suppa ke-7 (1582-1603), yang merangkap sebagai Addatuang Sawitto ke-7 dan arung Rappang ke-7. Pada tahun 1582, Lapancaitana mengundang dua raja Ajatappareng yaitu Addatuang Sidenreng Lapateddungi (1523-1564) pada tahun 1544, ia terlebih dahulu singgah di Suppa sebelum melanjutkan perjalanan ke Siang dan Gowa. Versi lain menceritakan bahwa putra sulung berkuasa di Sawitto anak ke-dua berkuasa di Sidenreng dan yang bungsu berkuasa di Alitta. 

Ke dua versi ini menceritakan bahwa anak ke-tiga berkuasa di Rappang dan anak ke-empat di Suppa. Ke dua versi ini bersumber dari tradisi lisan, tampaknya berkaitan dengan tempat atau lokasi di mana tradisi itu dikisahkan. Maksudnya, bahwa ketika tradisi itu diceritakan di daerah Sidenreng, Suppa, Rappang dan Alitta maka yang sulung dari lima bersaudara adalah Sawitto (Druce, 2005: 166-167).

Sumber lain menyebutkan bahwa persekutuan lima Ajatappareng di pelopori oleh Datu Suppa La Makkarawi, persekutuan ini dilaksanakan dalam suatu kampung di sebut Suppa, kemudian diabadikan menjadi Ajatappareng. 

Pembentukan persekutuan ini bertepatan dengan dicetuskannya Tellupoccoe di Timurung pada tahun 1582. Perjanjian persekutuanl lima Ajatappareng dicetuskan di Suppa yang melibatkan lima kerajaan, masing-masing diwakili oleh para penguasa dari lima kerajaan yaitu, kerajaan Suppa diwakili oleh La Makkarawi, kerajaan Sawitto diwakili oleh Lapaleteang, kerajaan Sidenreng diwakili oleh Lapateddungi, kerajaan Rappang diwakili oleh Lapakallongi dan kerajaan Alitta juga diwakili oleh Lapakallongi yang merangkap sebagai Arung Alitta. (Rasyid, Darwas, 1985: 88-91). Atas persekutuan tersebut maka ke lima kerajaan sepakat membentuk persaudaraan yang erat.

Setelah Konfederasi Ajatappareng terwujud, mereka membentuk kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh di pesisir barat Sulawesi Selatan (Druce, Stephen C. 2009. Op.cit., hlm. 233-234. Dalam Amir. 2013:104). Dalam sumber lontara disebutkan bahwa Suppa dan Sawitto berhasil menaklukkan beberapa daerah yaitu Leworeng, Lemo-Lemo, Bulu Kapa, Bonto-Bonto, Bantaeng, Segeri, dan Passokreng. Selain itu juga menaklukan Baroko, Toraja, Mamuju, Kaili, Kali dan Toli-Toli (Amir 2013:104-105). Hal tersebut dilakukan untuk menopang Suppa sebagai bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan.

Masa Mundurnya Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng Kemunduran kerajaan-kerajaan diwilayah Ajatappareng, tidak lepas dari pengaruh kedatangan Belanda (VOC), yang menjalankan kebijakan monopoli ekonomi. Pertentangan dan permusuhan antara VOC dan kerajaan Gowa-Tallo, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya dalam bentuk perang Makassar pada Desember 1666 sampai 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa kerajaan Gowa-Tallo untuk menandatangani perjanjian Bungaya (Poelinggomang, 2002:35). 

Hal itu berinflikasi langsung terhadap kerajaan diwilayah Ajatappareng, karena kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan yang menaklukkan kerajaan Suppa dan Sawitto (Amir, 2013:114). Kemunduran kerajaan lima Ajatappareng diperkirakan pada abad ke 18 Masehi, itu terlihat dari hasil identifikasi kurangnya temuan keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah konfederasi Ajatappareng.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian di wilayah Ajatappareng dapat memberikan gambaran okupasi wilayah Ajatappareng sudah ada sebelum abad ke-13 Masehi, seiring dengan perkembangan kehidupan sosial pada abad ke-14 Masehi yang telah kompleks, mendorong masyarakat untuk mendirikan kerajaan. 

Kompleksitas kehidupan sosial itu dapat tergambar melaluit emuan keramik Yuan (abad 13-14) di kerajaan Sawitto, kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga ditemukan fragmen keramik Dehua (abad 13-14), yang sebagian besar difungsikan sebagai wadah penguburan, hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan fragmen tulang manusia yang terbakar. Pada fase awal kerajaan ini juga telah muncul tradisi kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian sebagai rasa syukur, dengan memotong binatang pada media menhir.

Seiring dengan kedatangan pedagang dari luar yang berlabuh di Suppa, telah membawah perubahan yang signifikan terhadap kemajuan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Ajatappareng. Hal itu juga yang mendorong terbentuknya persekutuan Ajatappareng yaitu kerajaan Sidenreng, Rapang, Suppa, Sawitto dan Alitta. Hasil identifikasi menunjukan jenis keramik yang paling banyak ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase perkembangan kerajaan di wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya abad ke-16 Masehi. 

Dan fase kemunduran kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Ajatappareng, mulai terjadi pada abad ke-18, seiring dengan penguasan ekonomi oleh Belanda (VOC) pada abad ke-17. Hal itu tergambar melalui kurangnya temuan keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah konfederasi Ajatappareng.

Islamisasi kerajaan-kerajaan diberbagai wilayah Sulawesi pada abad ke-17 Masehi, telah memberi pengaruh pada budaya masyarakat. Salah satu yang dapat terlihat adalah sistem penguburan pada masyarakat di wilayah Ajatappareng, sebelum periode Islam, sistem penguburan dengan menggunakan wadah tempayan berubah menjadi sistem penguburan jirat dan nisan yang berorientasi utara-selatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Terima kasih kepada Drs. Hasanuddin M.Hum, Dra. Bernadeta, Slamet S.Sos, Drs. Budianto Hakim, Dian Purnama, Muhammad Hamzah, Agusjunam Tarrapa dan Andi Hasriani selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2008.
2. Terima kasih kepada Drs. Budianto Hakim, Suryatman SS, dan Hamuddin selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2010.
3. Terima kasih kepada Citra Andari M.Hum Drs. Hasanuddin M.Hum, Ratno Sardi SS, dan Basran Burhan SS selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2011.
4. Terima kasih kepada Fakhri SS, Ade Sahroni ST, Agusjunam Tarrapa, Hamuddin, Arman Usman SE dan Hasri Hamzah selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2012.
5. Terima kasih kepada Bapak Karaeng Dg. Manaring yang telah membantu melakukan klasifikasi terhadap fragmen keramik dan fragmen gerabah.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Muhammad. 2013. Konfederasi Ajatappareng Kajian Sejarah Persekutuan Antarkerajaan di Sulawesi Selatan Abad XVI. Makassar. De Lamacca.

Anonim, 2008. Lontara Alitta. Pinrang. Subdin Kebudayaan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Asba, Rasyid. 2009. Kerajaan Nepo di Sulawesi Selatan: Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional di Tanah Bugis. Makassar. Pusat Kajian Multi Kultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin, Kerja Sama Dinas Komunikasi Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Barru.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang. 2014. Kabupaten Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Pinrang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang. 2014. Kabupaten Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Sidenreng Rappang.

Badaruddin, Andi. 2007. Passaleng Pannessaengngi Mula ri Timpana TanaE ri Sidenreng. Salinan Lontara Sidrap.

Buadara, 2000. Kumpulan Naskah-naskah Sejarah Sawitto, Raja-raja Sawitto, Sejarah perjuangan, Lasinrang dan Pahlawan Kemerdekaan 1945, Acara Adat Istiadat dan Cerita Rakyat. Pinrang.Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Pinrang.

Druce, Steve. 2005. The lands West Of The Lakes: ”The History Of Ajatappareng South Sulawesi, AD 1200 to 1600” being otheis submitted for the degree of DOCTOR of Pilosopy (Phd). Fak. Filsafat University of Hull. Inggris.

Pelras, Christian. 1973. “Sumber Kepustakaan Eropa Barat Mengenai Sulawesi Selatan”, dalam : Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, hal. 41-53.

Poelinggomang, dkk. 2004 Sejarah Sulawesi Selatan jilid I Cetakan Pertama. Makassar: Kerjasama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Balai Penelitian Daerah (Balitbangda) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Edwar. 2002. Makassar Abad XIX : Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Rasyid, Darwas 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk II Pinrang. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 

Simanjuntak Truman, dkk. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.

Asal Usul Melanau

ASAL USUL MELANAU

Bagi sebahagian besar penduduk negeri Sarawak, ‘Melanau’ adalah satu bangsa yang sama seperti bangsa Iban, Melayu, Cina dan sebagainya. Ramai yang tidak mengetahui asal-usul dan makna perkataan ‘Melanau’.

Kira-kira setengah abad yang lalu, semasa Daerah Bintulu masih dalam jagaan Kerajaan Kesultanan Brunei, kerap kali Baginda Sultan datang ke Bintulu untuk melihat keadaan daerah ini serta memungut hasil daripada penduduknya. Pada suatu hari, sedang sebuah perahu kerajaan Brunei belayar menuju ke Kuala Bintulu, tiba-tiba bertembunglah perahu itu dengan beberapa buah perahu yang menuju ke destinasi yang sama. Nakhoda pun bertanya dengan seorang kelasinya, “Perahu siapakah yang banyak di hadapan kita?” Jawab kelasi itu, “Perahu orang memanau, Datuk.” Sari sehari ke sehari perkataan ‘memanau’ ini dengan tidak disedari oleh sesiapa bertukar menjadi ‘Melanau’.

‘Panau’, begitulah asal perkataan yang sebenar dalam dialek Bintulu yang mana bererti salah satu pekerjaan yang boleh didapati dalam daerah Bintulu pada masa ini. Pekerjaannya ialah menangkap ikan duai, ikan jamah dan sebagainya. Pekerjaan ini dilakukan oleh enam hingga sepuluh orang serta lengkap dengan perkarangan yang dinamakan “Idus” dalam dialek Bintulu serta perahu yang besar sebab orang yang bekerja ‘panau’ harus pergi ke tengah laut sejauh enam atau tujuh batu. Daun-daun ‘mulong’ dijadikan umpan. Di tengah-tengah laut inilah kadang-kadang terjadi ribut yang kencang dan gelombang besar yang datang dengan tiba-tiba. Sekiranya mereka memakai perahu yang kecil sudah tentu mereka karam dan boleh jadi nyawa mereka juga mungkin terancam.

Kiranya saudara berasal dari tempat yang penduduknya orang ‘Melanau’, janganlah berkecil hati apabila dipanggil orang ‘Melanau’ kerana ia bukanlah merendah martabat, pangkat dan bangsa. Ianya adalah semata-mata satu pekerjaan yang dipusakai oleh datuk-nenek moyang kita.

Andaian lain tentang asal nama Melanau ialah kaitannya dengan nama ‘Meranau’ (Maranao) atau ‘Mindanau’ (Mindanao). ‘Maranau’ atau ‘Marinau’ ialah nama suku kaum di Mindanao Tengah (lanun) yang sering menyerang kawasan persisiran Sarawak yang didiami orang Melanau sekarang.

BAHASA

Bahasa Melanau tergolong di bawah induk bahasa Malayo-Polinesia atau Austronesia. Bahasa Austronesia ialah bahasa yang tersebar daripada keluarga bahasa Austris dalam kebudayaan Dong Son di selatan Negeri China dalam tahun 2500 S.M.

Kelompok dialek Melanau dapat dipecah kepada empat kelompok penempatan yang utama.

1. Kawasan Rajang:
– Belawai, Rajang, Paloh, Daro, dan Matu
2. Kawasan Mukah:
– Mukah, Jebungan, Penakub, Teh, Sesok, dan kawasan persekitaran Mukah-Dalat
3. Kawasan Balingian-Tatau:
– Tatau : Sungai Balingian, Sungai Tatau terutama di muara sungai dan kawasan persisiran
4. Kawasan Bintulu
– Sungai Kemena dan Sebiew

Dalam “Sarawak Gazzette” 1972, I.C.F.S. Clayre menyatakan bahawa orang-orang Siteng di Mukah adalah hampir sama dengan bahasa orang-orang Melanau di Tatau. Bahasa ini pula ada persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang Punan Ba. Clayre seterusnya menerangkan bahawa dialek Melanau di Bintulu adalah hampir sama dengan bahasa kaum Sekapan di Belaga, yang mempunyai banyak bunyi sebuta / y /, / z /, dan / q /.

Dalam kertas kerjanya bertajuk “Bahasa Melanau: Satu Tanggapan Awal” yang dibentangkan dalam Seminar Budaya Melanau 1988, Encik Zaini Ozea dari Dewan Bahasa dan Pustaka Cawangan Sarawak menyatakan bahasa bahasa Bintulu mempunyai hubungan yang dekat atau banyak persamaan dengan bahasa Melanau. Walaupun bahasa Bintulu tidak dapat difahami oleh Melanau lain kecuali melalui pembelajaran, namun bahasa itu masih dapat dianggap sebagai bahasa orang Melanau kerana pengenalpastiaan Melanau di Bintulu tidak hanya pada aspek-aspek lain seperti adat resam.

Friday, 20 October 2017

TUGU RAJA ALAM - MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU

TUGU RAJA ALAM

 MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU

ASAL NAMA KOTA TANJUNG REDEB

Tanjung berarti tanah atau daratan yang menjorok kelaut atau menjorok ketengah sungai. Contohnya Tanjung Mangkalihat, Tanjung Batu, Tanjung Bohe yang berada di tepi laut. 

Tanah atau daratan yang luas menjorok kelaut itulah yang disebut dengan Tanjung. Sedikit berbeda dengan Tanjung Redeb atau Tanjung Selor misalnya, Tanjungnya berada dalam sungai, tanah atau daratan yang menjorok dalam sungai, tetapi biasanya yang disebut Tanjung itu adalah akibat dari sungai terbelah menjadi dua. 

Tetapi ada juga yang lain.  Contoh : akibat belokan sungai, belokan sungai yang menjorok disebut Tanjung sedangkan seberangnya yang terkikis disebut Teluk.

Tanjung Redeb adalah Tanjung hasil belahan dari satu sungai, yaitu sungai Berau atau Kuran yang membelah menjadi dua sungai, atau sungai Berau bercabang dua. Dari sungai Berau bercabang dua tersebut menjadi sungai Segah dan sungai Kelay. 

Ujung awal dimulainya sungai membelah, atau daratan yang menjorok diapit dua sungai membentuk Tanjung, disebut Tanjung. Yang kemudian hari Tanjung itu dikenal  dengan nama Tanjung Redeb.

Kenapa Tanjung Redeb ?

Tanjung sudah dibahas diatas, sedangkan kata Redeb kita bahas sekarang. Redeb berasal dari nama pohon, yaitu pohon Dadap atau dikenal juga dengan pohon Raddab dalam bahasa Banua (Berau). Pohon Raddab itu tumbuh subur diujung Tanjung, tinggi dan besar, waktu musim berbunga, pohon Raddab berbunga lebat sampai menutupi semua daunnya yang berwarna hijau. Bunga pohon Raddab berwarna merah. Dilihat dari tengah sungai, bunga merah itu indah sekali.

Pada masa lalu masyarakat Berau belum mengenal kendaraan darat seperti sepeda, motor, maupun mobil. Mereka hanya mengenal perahu atau kapal,  jadi perahu adalah alat transportasi satu-satunya yang paling modern pada masa itu, perahu yang diberi kain layar disebutnya perahu layar. Lalu lalang perahu di sungai Berau, ada yang masuk menyusuri sungai Kelay atau masuk menyusuri sungai Segah, bunga dadap atau raddab  yang tumbuh diujung tanjung itu terlihat indah sekali. Maka tanjung yang semula belum punya nama itu disebut mereka dengan Tanjung Raddab, Tanjung yang ada pohon Raddab-nya.

Bahasa Berau Tanya : “Andai mana dangkita”  
jawab :”andai Tanjung” 
Tanya : “Tanjung apa” 
jawab : “Tanjung Raddab”

Dengan berjalannya waktu, setelah merdeka mulailah berdatangan suku bangsa lain ke Tanjung Raddab. 

Petugas pemerintah seperti guru, polisi, tentara, pengadilan, kejaksaan, bahkan Bupati berganti-ganti. Mereka yang datang pada umumnya mengganti hurup “a” pada kata Raddab menjadi hurup “e” dan mengurangi “d” yang dobel menjadi satu”d” saja. Karena para pendatang menganggap kata Raddab itu adalah bahasa asli Banua (Barrau) yang sebenarnya adalah Redeb. Sepengetahuan mereka orang Banua tidak bisa menyebut hurup “e”, hurup “e” berubah menjadi hurup “a” dalam bahasa Banua.  

Maka berubahlah kata Raddab itu menjadi Redeb. Beberapa kali pergantian pejabat Bupati sepakat kata Raddab berubah menjadi Redeb dalam bahasa Indonesia. Akhirnya semua instansi yang ada di kota Tanjung Redeb sepakat  menyebut kota Tanjung Redeb sampai saat ini.

Ternyata pemahaman diatas adalah pemahaman yang keliru, benar-benar keliru. Pohon tersebut namanya adalah pohon Dadap, dalam bahasa Banua (Berau) disebut dengan Pohon Raddab, seharusnya tidak boleh dirubah atau di Indonesia-kan menjadi Redeb, dengan demikian maka otomatis merubah arti dan makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Raddab tersebut.

Oleh karena itu seharusnya segera dikembalikan nama asli kota Tanjung Redeb tersebut menjadi Kota Tanjung Raddab, yang berasal dari kata Pohon Dadap atau pohon Raddab. Karena  sampai saat ini belum ditemukan arti kata Redeb sebenarnya, kecuali berasal dari kata Raddab.


RAJA ALAM

Kalimantan Timur memiliki sejarah yang sangat universal dengan kerajaan Kutai, sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu di masing-masing daerah Kabupaten Kota juga mempunyai sejarah kerajaan atau kesultanan masing-masing, seperti kesultanan Paser, Kerajaan Kutai, kesultanan Bulungan, dan Kesultanan Berau. Belum lagi sejarah masa penjajahan Belanda. 

Perlawanan rakyat terhadap Belanda, seperti peristiwa perlawanan Raja Alam melawan Belanda di Kesultanan Tanjung yang sekarang dikenal dengan kesultanan Sambaliung, penyerangan sekutu di Balikpapan, Tarakan dan sempat membombardir Keraton Gunung Tabur dan Keraton Sambaliung di Tanah Berau. Dengan  ditandai runtuhnya Keraton Gunung Tabur pada bulan Januari tahun 1945, penyerangan itu dilakukan oleh tentara sekutu pada perang dunia ke dua untuk melumpuhkan tentara Jepang.

Mari kita mulai berbicara sejarah singkat Kerajaan Berau.  Kabupaten Berau memiliki dua orang tokoh yang memiliki nama besar dalam perjalanan sejarahnya. Nama besar tersebut sampai saat ini masih mengaung dan selalu menjadi buah bibir dimana-mana. Tokoh Besar tersebut adalah Baddit Dipatung yang diberi gelar Adji Surya Natakasuma  Raja Pertama Berau yang mampu menyatukan rakyat Berau, nama besar Adji Surya Natakasuma diabadikan sebagai nama Korem yang berkedudukan di Samarinda dengan nama Korem Adji Surya Natakasuma, dan Sultan Alimuddin dikenal dengan Sultan Raja Alam  yang dianggap membangkang terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dan berperang melawan kolonial Belanda. Nama besar Raja Alam diabadikan olek Batalion 613 Tarakan dengan nama Batalion 613 Raja Alam.

Selain itu Berau juga mempunyai seorang tokoh perempuan yang sangat Legendaris  dalam ceritera-ceritera rakyat Berau, dia adalah Legenda Putri Kannik Sanifah. Ketika Ayahandanya bersama rakyat Negeri Pantai sudah panik dan nyaris kalah melawan pasukan julung-julung yang menyerang negerinya.Kannik Sanifah tampil dengan akal pikirnya yang cerdas dan cemerlang, dapat memukul mundur pasukan julung-julung yang bagaikan monster memenuhi sungai dan menyeranga rakyat. Namun sayang nasibnya tidak secantik dan seelok parasnya. Ia kemudian difitnah, dan dikucilkan oleh masyarakatnya sendiri dan kemudian dibuang ketengah lautan.

Baddit Dipatung dalam legenda rakyat diceriterakan sebagai titisan Dewa. Waktu masih bayi ditemukan oleh seorang kakek, namanya  Inni Baritu disebuah bambu besar  yang terbelah diantara ruas-ruasnya. 

Dibelahan bambu itulah bayi ditemukan yang kemudian dikenal dengan nama Baddit Dipatung( pecah / keluar dari bambu besar/petung ). Dirumah istri Inni Baritu yang dikenanl dengan nama Inni Kabayan dalam waktu yang nyaris bersamaan menemukan bayi dikeranjang ( kurindan ). 

Keranjang itu tempat Inni Kabayan menyimpan benang dan kain yang dibuatnya sendiri. Bayi tersebut kemudian diberi namaBaddit Dikurindan.Kedua bayi yang ditemukan Inni Kabayan dan Inni Baritu itu kemudian dipelihara oleh tujuh putri Puan Dipantai Rangga Batara sampai dewasa.

Setelah dewasa Baddit Dipatung dan Baddit Dikurindan oleh rakyatnya yang terdiri dari tujuh Banua yaitu rakyat Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Rantau Suwakung , dan Rantau Bunyut sepakat untuk menjodohkan kedua titisan Dewa itu menjadi suami istri dan kemudian Baddit Dipatung diangkat menjadi 

Raja pertama dengan gelar Adji Surya Natakasuma  ( 1400 – 1432 ) didampingi oleh istri tercintanya Baddit Dikurindan yang bergelar Adji Permaisuri. Baddit Dipatung inilah cikal bakal yang menurunkan raja-raja dan sultan kerajaan Berau yang kemudian terbagi menjadi dua  kesultanan, yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.

Raja kedua Adji Nikullam 1432-1461, raja ketiga Adji Nikutak 1461-1492, raja keempat Adji Nigindang 1492-1530, raja kelima Adji Panjang Ruma 1530-1557, raja keenam Adji Tumanggung Barani 1557-1589, raja ketujuh Adji Sura Raja 1589-1623, raja kedelapan Adji Surga Balindung 1623-1644, raja kesembilan Adji Dilayas 1644-1673.

Pada masa raja ke- 9 Raja Adji Dilayas mempunyai putra dua orang yang berbeda ibu. Permaisuri pertama melahirkan anak si Amir namanya yang kemudian bergelar Adji Pangeran Tua. Setelah Permaisuri wafat, Adji Dilayas kawin lagi dengan Ratu Agung.Perkawinan ini melahirkan pula seorang putra Hasan namanya, kemudian bergelar Adji Pangeran Dipati.Setelah Ayahda Adji Dilayas wafat kedua putranya sama-sama ingin menjadi raja. 

Maka Atas kesepakatan, wilayah Kerajaan Barrau atau Kuran di bagi menjadi dua yaitu :

Daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Barrau, dari Tanjung Mangkalihat, Teluk Sumbang sampai kehulu sungai Kelay menjadi kekuasaan Adji Pangeran Tua, sedangkan;

Daerah sebelah Utara sungai Kuran, dari hulu sungai Segah sampai perbatasan Bulungan menjadi kekuasaan Adji Pangeran Dipati.

Sedangkan yang menjadi Raja Kerajaan Barrau diatur secara bergantian dari pihak Adji Pangeran Tua maupun Adji Pangeran Dipati, sampai dengan keturunannya.

Hasil musyawarah berlanjut pada pengangkatan raja yang ke- 10 kerajaan Barrau.

Raja Kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua ( 1673-1700 ), sedangkan Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat pemerintahan Pangeran Tua ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab yang bernama Mustafa.Sedangkan sebelumnya masih menganut kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.

Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.

Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning ( 1700-1720 )sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya. Disini Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan mulai timbulnya keretakan dan perpecahan.

Setelah Adji Kuning wafat baru Hasanuddin diangkat menjadi raja ke – 13 dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin. Sultan Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun  (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya  diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770 ). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja Barrau.

Sultan Muhammmad Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu Datu Amiril Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu Syaifuddin, dan Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok, sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.

Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum Di Kuran.  Karena ketika beliau wafat tahun 1767 dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung  sekarang. Sedangkan Sultan Zainal   Abidin   kawin  dengan   Adji   Galuh    putri   kesultanan Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara. 
          
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam.Tata pemerintahan diatur sedemikian rupa.Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat jabatan Menteri, Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.

Atas kesepakan untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di pindahkan ke Muara Bangun.Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan cocok untuk pertanian.Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan pemakaman didekat istana itu.
            
Orang-orang Solok yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di Tabbangan dan orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.

Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat pada tahun 1800 dimakamkan di Muara  Bangun dan selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun. Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat dengan baik dan tangga untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar pengunjung yang datang kemakam tersebut bisa dengan nyaman.Makam asli masih menggunakan mesan batu alam tempo dulu tanpa ukiran.Disekitarnya banyak makam-makam tua bermesan batu alam pula, serta makam masyarakat Kampung Bangun di sekitarnya. 

Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800 -  1834). Kejadian ini sangat menyinggung perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kedua kali, karena seharusnya dari keturunannya yang menjadi raja.

Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja Alam memerintah selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat pemerintahan di Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur  yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi menjadi dua kesultanan yaitu Kesultanan Tanjung, yang kemudian hari dikenal dengan kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.

Disamping permasalahan keluarga dan keturunan sebagai pemicu perpecahan juga andil besar dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan strategi adu domba, salah satu keturunan menjadi sahabat belanda dan pihak keturunan lain dijauhi Belanda. Akhirnya Raja Alam dianggap sebagai perompak dan bajak laut yang selalu mengganggu kapal-kapal Belanda dan kapal dagang yang dilindungi pasukan Laut Hindia Belanda di kawasan selat Sulawesi antara Tanjung Mangkaliat dengan Tanah Kuning. Akhirnya Raja Alam ditangkap dan dibuang ke Makassar.

PERANG MELAWAN ANGKATAN LAUT BELANDA

Seperti diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa Belanda sudah datang ke Nusantara sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya adalah berdagang, namun lama kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah, dengan menguasai wilayah-wilayah subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke Nusantara, Belanda menggunakan politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan Belanda memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di Nusantara.

Bangsa Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau ( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900, Berayu menurut sejarawan Indonesia ) pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19. Dengan kehadiran Belanda di Barrau,  Raja Alam merasa terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan Belanda. Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke Barrau, Raja Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Orang Belanda dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.

Permaisuri Raja Alam seorang putri yang berasal dari kesultanan Wajo yang bernama Andi Nantu. Raja Alam bersahabat dengan raja-raja di Makassar. Sedangkan Sultan Hasanuddin raja Makassar merupakan musuh bebuyutannya Belanda. Sultan Hasanuddin tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda di Makassar. Sejak perjanjian Bongaya antara Makassar dan Belanda tahun 1667 ditandatangani, Hasanuddin tetap tidak mau mengakui penjajah Belanda dan tetap mengadakan perlawanan. Pada masa itulah orang-orang Bugis banyak meninggalkan tanah kelahirannya  dengan menggunakan perahu pinisi mencari tanah baru dirantau orang. Banyak yang sampai di Pulau Borneo, masuk ke Paser, Kutai dan Barrau.

Pada masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun 1810 banyak mendapat simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela Raja Alam ( di Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).
            
Dengan persahabatan Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan kurang bersahabat dengan Sultan Gunung Tabur dan Belanda, itu merupakan alasan yang kuat bagi Belanda untuk menekan Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan ketika Belanda mampu mengambil simpati Sultan Muhammad Badaruddin Sultan Gunung Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling bahu membahu dalam perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.

Raja Alam mendapat sambutan baik dari luar maupun dari rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan dan keberaniannya semakin mendapat simpati. Raja Alam seorang raja yang memiliki semangat juang dan cinta tanah air. Ia tetap mempertahankan  Barrau, Raja Alam tidak rela Barrau disentuh dan diinjak oleh orang asing. Dan semua rakyat pengikutnya dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk raja dan daerah mereka. Dukungan dari rakyat Bugis dan dukungan dari raja Solok  dari keturunan kakek  buyutnya membuat Raja Alam semakin kuat. Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan keraton Raja Alam, sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan Lungsuran Naga, Laut Batu Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta Tembudan. Pantai dan laut antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung Mangkalihat di kuasainya. Dengan kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing yang akan masuk mendekati Tanjung Mangkalihat diusir, kecuali kapal yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk, kapal-kapal Belanda juga diusir.

Raja Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan perahu-perahu perang Bugis yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih. Batu Putih dipimpin oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin. Selain bantuan dari Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin oleh Syarif Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja Alam mendapat bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang berasal dari tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.
            
Melihat gelagat Raja Alam yang semakin memperkuat armada laut dan pertahanannya, kesempatan baik untuk memecah belah rakyat Barrau, Belanda dengan akal liciknya bersahabat dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin. Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan tipu muslihat orang kulit putih.

Ketegangan antara kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan Belanda semakin memanas dan memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk menjalin persahabatan dan hubungan perdagangan, namun pihak Raja Alam menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip tanah Barrau tidak boleh dikotori dan diinjak-injak oleh orang asing yang berkulit putih seperti Belanda.
            
Pada tahun 1833 beberapa armada Belanda didatangkan dari Makassar menuju Barrau dengan persenjataan lengkap. Dengan tidak disangka-sangka oleh pasukan Belanda, ditengah perjalanan saat melewati laut Batu Putih di hadang pasukan armada laut Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih sederhana dibanding dengan Belanda. Pasukan Raja Alam yang gagah berani  dapat memukul mundur armada Belanda yang sengaja didatangkan itu.
            
Dengan dilakukannya penyerangan itu  Raja Alam dianggap oleh Belanda sebagai Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh sebagai perompak lanun dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat yang mendukungnya, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah perjuangan. Bagi yang mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah patriot-patriot pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.
            
Awal tahun 1834 secara tidak terduga tiba sebuah kapal perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan menempuh perjalanan panjang dari Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan kemudian berputar menuju Barrau di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai realisasi perjanjian antara Sultan Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang menjanjikan bantuan kepada Kerajaan Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan imbalan keuntungan perdagangan, atau karena terganggu keamanan pasukan Belanda yang melintasi wilayah Batu Putih dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin putra Raja Alam dan mengharuskan mereka mundur dan kembali ke Makassar. Alasan Belanda pasukannya melintasi Batu Putih adalah mengawal keamanan perdagangan rakyat dengan Hindia Belanda.
            
Kedatangan Belanda dimanfaatkan oleh Sultan Barrau, dengan ajakan bersahabat dan mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dengan bersumpah setia kepada Guberneman. Dan Belanda berjanji akan membantu Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan setiap ada pemberontakan.

Sesuai kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan April 1834 menyiapkan pasukan Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet De Heldin, De Briik Siwa, Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang dilengkapi dengan perahu-perahu laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet. Pasukan itu bergerak melintasi laut Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat. Gemuruh kapal perang yang siap dengan tentara laut pilihan dan senjata semi modern sudah mendekati Mangkalihat, pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk Sumbang sudah mengetahui gelagat kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi tidak bisa disampaikan kepada pemimpin pasukan di Batu Putih karena keterbatasan transportasi. Informasi kedatangan pasukan laut Hindia Belanda tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus melintasi Pulau Kaniungan Besar, menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung Perepat dan mendekati Pulau Manimbora. Disana pasukan laut Batu Putih siap menghadang
            
Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut menyerang Batu Putih, dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling bahu membahu pasukan Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan Hindia Belanda menerjang kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah beberapa buah kapal pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan, dengan gagah berani pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia Belanda yang sudah menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi modern, sedangkan pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan satu persatu ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak, parang yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur. Setelah perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat. Dengan amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama peperangan di laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang berjatuhan, untungnya putra Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri bersama beberapa orang pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda meneruskan peperangannya ke benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan dengan gagah berani, tetapi sama saja mereka kalah hebat dan kalah persenjataan. Benteng Dumaring di tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang pahlawan yang tersungkur mencium bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju muara Lungsuran Naga dan masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai Kuran tentara laut Belanda dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.
            
Syarif Dakula yang telah lebih dahulu bergerak kesungai Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima Limboto yang bertahan diperairan sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan laut Belanda. Perang pecah kembali di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran Petta dan Panglima Limboto. Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam peluru pasukan laut Belanda. Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan diri ketepi sungai dan lari masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya semua kapal yang menahan pasukan Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan diri berenang disungai ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sangat memilukan. Pertahanan Batu Putih sudah patah, pertahanan di Dumaring sudah dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah, tinggal pertahanan terakhir di sungai Gayam.

Ibu Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan didampingi putranya Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan mereka pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur pasukan Belanda. Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat menyerang setelah memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di Dumaring, perang sungai di sungai Kuran.
            
Pasukan Raja Alam yang telah dipersiapkan itu hancur cerai berai, akhirnya ibu kota dan pusat pemerintahan di Sungai Gayam dapat dikuasai Belanda. Sedangkan Raja Alam bersama sebagian pasukannya mundur kepedalaman sungai Kelay, keraton Raja Alam di sungai Gayam dibakar oleh pasukan Belanda. Tidak ada satu rumahpun yang tertinggal semua dibakar habis dengan maksud pasukan Raja Alam tidak bisa menyusun kekuatan lagi.

Raja Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan semangat membara untuk mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih tersisa dan melakukan perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja Alam bersama putranya Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu pasok makanan oleh suku Dayak Ga’ai, Punan, dan Lebbo. Melihat gelagat pergerakan pasukan Raja Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda, pasukan laut dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai Barrau. Belanda menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.

Sultan Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih sudah memindahkan Istananya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan menjaga keamanan dan menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam disungai Gayam yang sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk dalam wilayah kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam. Keinginan Belanda pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan pasukan Belanda untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai Kelay, namun dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan masih berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh saudara sendiri.

Belanda menangkap rakyat yang tidak berdosa dan menyiksanya dengan maksud agar Raja Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama raja alam tidak mau keluar dan menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa oleh tentara belanda, dalam kurun waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang menjadi bulan-bulan tentara Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan kembali, agar dilihat oleh rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay. Melihat banyak rakyatnya yang disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan terharu, walaupun pengorbanan rakyatnya  adalah bagian perjuangan mempertahankan tanah air.

Sebagai Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya, akhirnya Raja Alam dengan gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi undangan Belanda untuk berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya dalam perundingan  yang telah diskenario Belanda, Raja Alam ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut, dan mengganggu keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut Sulawesi. Kemudian Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi Djalaluddin, putrinya Ratu Ammas Mira, Syarif  Dakula bersama anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar, karena Raja Alam tidak mau mengakui kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke Makassar  Syarif Dakula memberontak dan mengamuk dalam kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan istrinya Ratu Ammas Mira dipulangkan ke Batu Putih.
            
Menurut tokoh Dayak Ahi di Tembudan yang mendukung perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan Kapiten Tembaga mereka bahu membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan dan mempertahankan Batu Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka berperang habis-habisan untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak Ahi diperitahkan membuat benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu Putih dibumi hanguskan oleh Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal pasukan Raja Alam, laskar tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di Linggo dan Tembudan mundur masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya. Semangat membara dengan pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling bahu membahu, namun senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus kalah. Selama perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring, Linggo, Tembudan dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan rakyatnya Dayak Ahi dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan selalu maju paling depan.
            
Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning mengirim surat ke pada Hindia Belanda di Banjarmasin, permohonan itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya di Barrau walaupun dengan syarat harus mengakui dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.
            
Pada tanggal 24 Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di Sungai Gayam telah hancur porak poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam tidak mungkin kembali ke Tanjung Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda. Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan Belanda,  Raja Alam membangun pemerintahan di  sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan rakyatnya.

Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional. Raja Alam di makamkan di sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum di Rindang. Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Batu Putih itu sampai sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama Batalion 613 Raja Alam  Tarakan.
            
Raja Alam meninggalkan sejarah yang telah ditorehnya, seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan, kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah melupakan  perjuangan Raja Alam sampai kapanpun.


TUGU RAJA ALAM

Dari sejarah dan perjuangan Raja Alam sepanjang hayat untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan cinta tanah air yang tidak terbantahkan tersebut, sudah sepantasnya oleh masyarakat Kabupaten Berau, oleh Pemerintah Kabupaten Berau mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya dan yang paling terbaik. 

Penghargaan dan penghormatan tersebut menjadikan sebagai simbol Kebanggaan masyarakat Kabupaten Berau yang tangguh, pantang menyerah, pemberani, perkasa, pekerja keras, pantang putus asa, rela berkorban, berjuang sepanjang hayat, cinta tanah air, bersatu untuk membangun Berau. 

Simbol semangat itu direalisasikan dan diabadikan dengan membangun sebuah Tugu Besar TUGU RAJA ALAM  setinggi 50 meter, dengan lokasi di Ujung Tanjung kota Tanjung Redeb. Dibawah tugu Raja Alam itu ditulis SELAMAT DATANG DIKOTA TANJUNG REDEB KOTA SANGGAM atau WEL COME TO TANJUNG RADDAB CITY dan Sejarah Perjuangan Raja Alam. Patung besar itu, dibagian dalam ada ruang, ruang itu dijadikan untuk semacam Museum mini untuk memajang foto-foto Raja Alam dan sejarah Raja Alam dan foto Bupati dari pertama sampai dengan sekarang dilengkapi dengan keterangan masa tugasnya.

Jadi fungsi Tugu Raja Alam selain sebagai simbol kebanggaan masyarakat Berau yang tangguh dan pekerja keras, juga dijadikan tempat rekreasi, hiburan, pendidikan dan ilmu pengetahuan masyarakat yang berkunjung kesana.

Penulis adalah :
Kepala Bidang Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Berau

Episode 2015-2016

Sumber : SAPRUDIN ITHUR