MASA AWAL HINGGA BERKEMBANGNYA KERAJAAN AJATAPPARENG (ABAD 14 – 18)
Muhaeminah1 dan Makmur2
Email : minbalar@gmail.com dan makmurdpmks@gmail.com
Balai Arkeologi Makassar
Jln. Pajjiayang No. 13 Sudaing Raya Makassar
Abstrak
Ajatappareng merupakan persekutuan lima kerajaan Sidenreng,
Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi ini terbentuk pada abad ke-15 Masehi.
Persekutuan Ajatappareng berada di pesisir barat pantai pulau Sulawesi Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bukti arkeologi di wilayah Ajatappareng Provinsi
Sulawesi Selatan, dengan menggunakan metode penelitian yaitu, survei dan wawancara
kemudian melakukan ekskavasi test-pit pada beberapa situs. Hal ini dilakukan untuk
menegaskan eksistensi suatu wilayah sebagaimana diungkapkan pada manuskrip lontara. Survei dan
ekskavasi test-pit yang telah dilakukan pada situs kemudian dikumpulkan untuk dianalisis
demi mengetahui pertanggalan relatif dari data naskah dan artefak yang ditemukan. Hasil
penelitian membuktikan bahwa, nilai arkeologisnya sangat penting yaitu
ditemukan beberapa benda artefak dan fitur berupa masjid kuno, makam kuno,
benteng tanah, sumur kuno, alat mata panah, mata uang, batu dakon, lesung,
keramik dan gerabah.
Kata Kunci: Naskah lontara, situs, artefak.
PENDAHULUAN
Ajatappareng adalah persekutuan kerajaan yang terletak di
sebelah barat Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Kerajaan tersebut merupakan
gabungan lima kerajaan yaitu Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto dan Alitta, aliansi
ini terbentuk pada abad ke- 15 Masehi dan terkenal sebagai penghasil beras terbesar di
Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni Luwu,
Bone, dan Gowa (Poelinggomang, 2004: 42). Persekutuan Ajatappareng yang
telah menguasai pesisir barat pantai Sulawesi Selatan, dikenal sebagai bagian dari
jaringan perdagangan asia seperti Sidenreng dan Suppa (Asba, 2009: 2).
Kajian tentang persekutuan Ajatappareng telah banyak diulas
oleh banyak peneliti, salah satunya adalah Muahammad Amir (2013) dalam
bukunya Konfederasi Ajatappareng, dalam buku tersebut mulai membahas asal mula
berdirinya kerajaan, seperti kisah datangnya To Manurung untuk mendamaikan
konflik-konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil. Juga dibahas latar belakang
terbentuknya konfederasi kerajaan Ajatappareng, yaitu perkembangan perdagangan dan tingginya
permintaan hasil-hasil pertanian, hingga munculnya konflik antar kerajaan dalam
perluasan wilayah kekuasaan, sehingga kerajaan Sidenreng, Suppa, Rappang,
Sawitto dan Alitta, melakukan pertemuan di Suppa pada abad ke-16 M, untuk
melakukan persekutuan Ajatappareng.
Paska persekutuan terbentuk, nampak eksistensi
persekutuan Ajatappareng makin maju, itu ditandai hadirnya beberapa
pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544, seorang pedagang asal
Portugis. Kemajuan perdagangan hasil-hasil pertanian telah mengundang kerajaan
yang lebih besar untuk melakukan penguasaan, hal itu terjadi ketika kerajaan Gowa
yang dipimpin oleh raja Tunipallanga Ulaweng (1546-1565), menginvasi Suppa, Sawitto,
dan Alitta dan berhasil ditaklukkan.
Wilayah persekutuan Ajatappareng secara arkeologis belum
banyak terungkap melalui penelitian-penelitian selama ini. Sehingga
permasalahan yang penting untuk diketahui adalah sejak kapan kerajaan dikawasan Ajatappareng
terbentuk, dan berkembang menjadi kerajaan konfederasi Ajatappareng? Agar
dapat memberikan gambaran kronologi relatif masa keberlangsungan
kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng.
Untuk mengungkap jejak terbentuknya masa kerajaan di wilayah
Ajatappareng, dilakukan penelusuran terhadap data arkeologi yang berkaitan
dengan kerajaan-kerajaan yang berada diwilayah Ajatappareng. Jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif yaitu memberikan gambaran terhadap toponim baik dalam aspek
keletakan, bentuk maupun temuan-temuan berupa artefak dan fitur. Metode
pengumpulan data dengan cara melakukan studi pustaka, observasi langsung kelapangan
dengan teknik survei permukaan tanah, kegiatan ini dilakukan dengan cara
mengamati permukaan tanah dengan jarak dekat, pengamatan tersebut untuk mendapatkan
data arkeologi dalam konteksnya dan lingkungan sekitarnya dan melakukan wawancara
dengan masyarakat (Truman Simanjuntak dkk, 2008:22).
Analisis yang dilakukan
yaitu mengidentifikasi artefak yang ditemukan baik dari segi keanekaragaman
jenis dan bentuk. Setelah dilakukan pengidentifikasian maka tahapan selanjutnya
dilakukan klasifikasi dan perbandingan artefak, agar dapat memberikan gambaran
kronologi relatif okupasi Ajatappareng. Daerah penelitian yang menjadi objek meliputi
bekas wilayah persekutuan Ajatappareng yaitu Kabupaten Sidrap dan
Kabupaten Pinrang, penelitian ini berlangsung dari Tahun 2008, 2010, 2011 dan 2012.
DESKRIPSI TEMUAN ARKEOLOGI DAN NASKAH LONTARA
Kerajaan Sawitto
Kerajaan Sawitto secara astronomi berada pada titik
koordinat 03˚42’50.61” LS, 119˚37’49.69” BT. Pada masa Addatuang Sawitto “La Paleteang”
sebagai salah satu kerajaan penting di wilayah Ajatappareng. Infrastruktur
kerajaan Sawitto kini masih bisa terlihat seperti benteng tanah, di dalam Naskah menyebutkan
“bentengnge” yaitu benteng Kerajaan Sawitto, bentuk aslinya melingkar dan
sangat luas (Buadara, 2000: 4). Benteng ini sekarang tidak sempurna dan dijadikan pematang
sawah, area sekitarnya telah diubah menjadi persawahan. Istana kerajaan Sawitto juga
masih bisa terlihat berada di poros jalan Pinrang–Rappang atau terletak kurang
lebih 2 km ke arah timur dari pusat ibukota Pinrang, menurut keterangan salah seorang
kerabat raja Sawitto (A. Sawerigading) bahwa sebelum istana dari bahan batuan ini
dibangun, sebelumnya adalah istana dari bahan kayu. Berikut ini temuan arkeologis
di wilayah kerajaan Sawitto :
1. Makam pra-Islam, berupa penguburan tempayan yang
dikremasi (pembakaran mayat), ditemukan di Makam Puang Coco di Bulu’, terdapat di
Kelurahan Memorang Kecamatan Mattiro Bulu’ Kabupaten Pinrang. Situs
Makam ini berada di tengah pemukiman penduduk, pada makam tersebut
terdapat gundukan tanah, serta pecahan keramik dan gerabah (tempayan)
yang dipergunakan untuk menyimpan abu jenazah, namun gerabah
(tempayan) tersebut sudah tidak ada yang utuh.
2. Makam pada masa Islam, cukup banyak dan tersebar
diberbagai tempat antara lain di kompleks makam Latenri Tatta Matinroe, berada di
sebelah timur benteng tanah Sawitto, makam Puang Walli di Sekkang Ribba di
Kampung Sekkange Kelurahan Benteng Kecamatan Sawitto, makam Arung
Makkori, terletak di Desa Makkori Kecamatan Mattiro Sompe, makam To
Salama di Cempa, termasuk dalam Desa Mattunru-Tunru, makam Petta Malae
di Desa Paleteang, makam Makkaraka di Leppangeng, berada jalan poros
dari Mandar ke Pare-pare, kompleks makam Jampue Sawitto di Desa
Lapamessang. Pada makam tersebut terdapat beberapa corak nisan makam berbentuk
hulu badi, gadah, dan batu tegak (menhir). Pada makam-makam tersebut
masih dikunjungi oleh masyarakat dengan niatan akan sukses dalam usaha
perdagangan, pertanian, pendidikan, pernikahan dan perantauan. Kemudian apabila
berhasil akan kembali lagi memberikan sesajian.
3. Masjid tua Lapamessang didirikan pada tahun 1750 M,
mesjid tua ini berbentuk persegi empat, beratap tumpang sebagaimana masjid kuna
lainnya di Sulawesi Selatan, terdapat di Desa Lapamessang.
4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti
Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16.
Kerajaan Suppa
Kerajaan Suppa secara astronomi berada pada titik koordinat
03˚55’26.40” LS, 119˚33’59.11” BT. Christian Pelras menggambarkan peran
penting Suppa pada abad ke- 16 Masehi, menyangkut jazirah selatan Sulawesi. Ia
menjelaskan bahwa perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum
Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan
Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa
dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53).
Dalam mitologi
lagaligo diceritakan bahwa Suppa adalah sebuah kerajaan besar, sangat penting di pantai
barat yang berhadapan dengan selat Makassar. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa
persekutuan lima Ajatappareng dapat terbentuk karena adanya prakarsa dari
Suppa (Amir, 2013: 52). Berikut ini jenis temuan arkeologis di wilayah kerajaan
Suppa:
1. Makam pra-Islam, diwilayah kerajaan Suppa berupa
pemakaman dari wadah tempayan (kremasi) cukup banyak dan tersebar diberbagai
tempat antara lain di situs Makkarawie termasuk dalam wilayah Dusun Lekessi
Kelurahan Watang Suppa Kecamatan Suppa, situs Langkanange berada dalam
wilayah administrasi Dusun Bela-Belawae Desa Polewali Kacematan Suppa, situs Bulu
Tanae (Garessi) berada dalam wilayah administrasi Dusun Garessi
Desa Lautang Salo, situs Perengki, situs ini berada dalam wilayah Dusun
Perengki Desa Tasiwalie Kecamatan Suppa. Ditempat-tempat tersebut ditemukan fragmen
tulang manusia yang sudah terbakar dan berasosiasi dengan fragmen keramik
dan gerabah, yang terlihat pada pinggir lubang galian ilegal yang dilakukan
oleh masyarakat. Selain makam berupa wadah tempayan di situs Langkanange juga
ditemukan makam yang orientasinya timur-barat, memiliki nisan menhir dan
makam ini masih dikeramatkan oleh masyarakat.
2. Makam pada masa Islam terdapat di situs Jerae, situs ini
merupakan kompleks makam raja-raja Suppa, didalam kompleks makam Jerae terdapat
makam Wali Suppa, Arung Pone Besse Kajuara dan Datu Suppa XX bernama
Tenri Awaru. Pada makam Jarae memperlihatkan nisan Islam dengan tipe
Aceh, hulu keris, pallus berbentuk selinder, gada polos, dan nisan pipih.
Hampir semua makam yang teridentifikasi memiliki motif jirat sulur daun, hiasan
medalion dan memiliki inkripsi aksara arab. Di situs Cempae juga ditemukan
sebuah makam kuna, tetapi kondisinya sudah rusak.
3. Lokasi upacara turun kesawah (mappalili) terdapat di
situs Lawaramparang, berada diwilayah administrasi Kelurahan Watang Suppa
Kecamatan Suppa, dan berada di pinggir laut. Di situs ini terdapat pusat pemujaan
adalah sebuah pohon beringin besar dan sumur ditepi laut dengan mata air yang
terus mengalir.
4. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti
Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Ming abad ke 15-16,
Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa abad ke 18-19.
Kerajaan Sidenreng dan Rappang
Kerajaan Sidenreng dipimpin oleh Addatuang Sidenreng yang
bernama Lapateddungi dan Kerajaan Rappang dipimpin oleh Arung
Rappang yang bernama Lapakallongi. Kerajaan Sidenreng secara astronomi berada
pada titik koordinat 03˚56’39.30” LS, 119˚50’49.88” BT, sedangkan kerajaan
Rappang secara astronomi berada pada titik koordinat 03˚53’41.60” LS, 119˚48’22.21”
BT. Hasil survei temuan arkeologis sebagai berikut:
1.Makam pra-Islam situs Sereang, terletak terletak di Desa
Kanie, Kecamatan Maritengngae. Pada area pemukiman tua ini ditemukan beberapa
keramik kuna yang masih utuh. Keramik ini adalah hasil penggalian liar,
penduduk setempat menjelaskan bahwa guci stoneware ini berisi abu jenazah dan
ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan manik-manik.
2. Makam pada masa Islam cukup banyak dan tersebar
diberbagai tempat antara lain di situs Wengeng Desa Taluna Kecamatan Watang
Sidenreng, makam Syekh Bojo di Desa Allekkuang Kecamatan Maritengngae, makam
Bocco-bocco dan makam Tau Maupe ini terdapat di tengah-tengah area
persawahan Watang Sidenreng di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, makam
Belokka, terletak di Desa Belokka Kecamatan Pancalautan. Bentuk nisan
yang ditemukan berbentuk gadah segi delapan, pipih, dan secara umum
berbentuk menhir. Pada makam-makam tersebut masih dikunjungi oleh masyarakat untuk
berdoa dan melepas nasar.
3. Tempat pemujaan, terdapat di situs Possiq Wanua Sidenreng
di Desa Empagae Kecamatan Watan Sidenreng, situs Bulubangi di Desa Massepe
Kecamatan Tellu Limpoe dan situs Belokka di Desa Belokka Kecamatan
Pancalautan. Media ritualnya berupa menhir yang menjadi pusat upacara
yang berkaitan dengan pertanian. Upacara ritual, kini masih banyak
pengunjungnya pada harihari tertentu yaitu kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian sebagai rasa syukur, dengan
memotong binatang seperti kambing dan ayam.
4. Masjid tua Allekkuang, berada di Desa Allekkuang
Kecamatan Maritengngae. Denah lantai Masjid kuna Allekkuang berbentuk persegi empat
berukuran 40 x 40 meter. Tiang-tiangnya terdiri atas kayu bulat yang
disusun berpasangpasangan sebanyak 9 pasang pada keempat sisinya dan satu tiang yang
berdiri sendiri di bagian tengah. Atap berbentuk tumpang tiga, model
limasan. Pada bagian puncak terdapat bangunan segi delapan yang terpisah
dengan atap utama antara atap dengan bangunan segi delapan tersebut terdapat
dinding-dinding yang memiliki jendela kecil.
5. Lupang batu, ditemukan di Desa Empagae Kecamatan Watan
Sidenreng. Sebanyak 3 buah lumpang batu, dengan jejak pakai pada
permukaan dan dasar lubang yang cukup halus, memberikan petunjuk fungsi profan
yaitu untuk pengolahan padi atau biji-bijian.
6. Temuan keramik yang dapat dikenali berasal dari dinasti
Yuan abad ke 13-14, Sawankhalok dari Thailand abad ke 14-16, Vietnam (abad
14-15), Ming abad ke 15-16, Ching abad ke 17-18, Jepang abad ke 18-19 dan Eropa
abad ke 18-19.
Kerajaan Alitta
Kerajaan Alitta secara astronomi terletak pada titik
koordinat 3°52'44.5" LS dan 119°40'52.8" BT. Dijelaskan dalam naskah lontara
keberadaan kerajaan Alitta tidak terlepas dari kedatangan To Manurung yang disebut
We-Bungko-bungko di sumur bidadari (Sumur Manurung La Pakkita). Arung Alitta disebut
Lamassora, kawin dengan bidadari We-Bungko-bungko (Anonim, 2008: 2). Berikut ini
temuan tinggalan arkeologis di kerajaan Alitta adalah:
1. Sumur Kuno bentuknya bulat dengan diameter 2,65 cm dan
kedalaman 2,74 cm. Dibagian pinggir dari sumur telah direnovasi berupa
plasteran semen agar pinggir sumur tidak roboh.
2. Senjata tajam berupa mata tombak yang berukuran panjang
21 cm, bagian cabang ujung bawah 3 cm. Mata tombak tersebut dalam keadaan
berkarat dan tidak utuh.
3. Mata uang kuno berbentuk keping, diantaranya adalah mata
uang bertuliskan huruf Arab berangka tahun 1500 tertera gambar ayam jantan.
4. Benteng tanah, saat ini telah menjadi jalanan, area
pemukiman dan kebun. Sehingga kelihatan tidak jelas lagi bentuknya. Fungsi
benteng tanah pada awalnya dijadikan bangunan dinding keliling yang melindungi
istana, perkampungan dan petinggi kerajaan
5. Fragmen keramik tertua yang ditemukan adalah fragmen
keramik Yuan (abad 13-14), fragmen keramik Dehua (abad 13-14), fragmen keramik
Swankhalok (abad 14-16), fragmen keramik Ming (abad 15-16) dan fragmen
keramik Ching (abad 17-18).
SINTESA SITUS KERAJAAN AJATAPPARENG
Masa Awal Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng
Berdasarkan sumber naskah lontara Sidenreng “Passaleng pannessaengngi mula ritimpa’natanae ri Sidenreng“, mengungkapkan bahwa awal
mula berdirinya Sidenreng dan Rappang tidak lama setelah berdirinya kerajaan
Bone pada abad ke- 14 Masehi, tahun 1326 Masehi (Badaruddin, 2007: 147).
Fakta arkeologis yang ditemukan di area wilayah
Ajatappareng, berupa sebaran fragmen keramik Yuan (abad 13-14) di kerajaan Sawitto,
kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga ditemukan fragmen keramik
Dehua (abad 13-14) meski jumlahnya tidak banyak. Dan juga fragmen keramik Vietnam
(abad 14-15) dan fragmen keramik Swankhalok (abad 14-16) di kerajaan Sidenreng dan
Rappang. Hasil indentifikasi keramik tersebut menunjukan kronologi relatif
antara abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi, merupakan fase awal masa kerajaan
diwilayah Ajatappareng. Kehadiran keramik diberbagai kerajaan di wilayah
Ajatappareng, memperlihatkan adanya kontak antara masyarakat lokal dengan masyarakat dari
luar, karena keramik menjadi barang yang diperdagangkan dengan hasil pertanian.
Sumber: Hasil Penelitian Arkeologi 2008, 2010, 2011, 2012
Balai Arkeologi Makassar Sebagian besar keramik dipergunakan untuk wadah penguburan,
hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan fragmen tulang
manusia yang terbakar. Masyarakat setempat menjelaskan bahwa guci
stonewere ini berisi abu jenazah dan ada pula beberapa tulang manusia, mata uang dan
manik-manik.
Tradisi penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat) nampak sudah berkembang sejak abad ke-13 Masehi dan meluas, bukan hanya di kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng tetapi di berbagai daratan bugis, seperti di Bone, Wajo dan Enrekang. Masa Berkembang Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng ketika bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, pedagang melayu mengalihkan kegiatan perdagangan mereka di berbagai bandar niaga bagian timur, termasuk bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi, seperti Siang, Bacukiki, Suppa, Tallo dan Somba Opu (Poelinggomang dkk, 2004:271). Pada abad ke-16 Masehi, perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53).
Secara geografis kerajaan Suppa memang punya nilai strategis karena berada di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan selat Makassar, sehingga kerajaan Suppa menjadi bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan. Sedangkan kerajaan Sidenreng dan Rappang merupakan wilayah daratan yang kaya akan sumber daya alam. Kesuburan kedua daerah ini kini masih terlihat, berdasarkan produksi beras Kabupaten Pinrang (Suppa) Tahun 2013 sebanyak 604.975 Ton (BPS Pinrang. 2014:172) dan produksi beras Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2013 sebanyak 463.001 Ton (BPS Sidrap. 2014:128). Kesuburan itu pula yang mendorong hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544 asal Portugis, pedagang Melayu, Malaka, Arab dan Turki.
Tradisi penguburan tempayan yang dikremasi (pembakaran mayat) nampak sudah berkembang sejak abad ke-13 Masehi dan meluas, bukan hanya di kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng tetapi di berbagai daratan bugis, seperti di Bone, Wajo dan Enrekang. Masa Berkembang Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng ketika bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, pedagang melayu mengalihkan kegiatan perdagangan mereka di berbagai bandar niaga bagian timur, termasuk bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi, seperti Siang, Bacukiki, Suppa, Tallo dan Somba Opu (Poelinggomang dkk, 2004:271). Pada abad ke-16 Masehi, perdagangan di Siang dan Suppa telah berkembang dengan pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Siang. Nama Siang (Sciom atau Ciom) pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis yang bertarikh 1540 (Pelras, 1973: 53).
Secara geografis kerajaan Suppa memang punya nilai strategis karena berada di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan selat Makassar, sehingga kerajaan Suppa menjadi bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan. Sedangkan kerajaan Sidenreng dan Rappang merupakan wilayah daratan yang kaya akan sumber daya alam. Kesuburan kedua daerah ini kini masih terlihat, berdasarkan produksi beras Kabupaten Pinrang (Suppa) Tahun 2013 sebanyak 604.975 Ton (BPS Pinrang. 2014:172) dan produksi beras Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2013 sebanyak 463.001 Ton (BPS Sidrap. 2014:128). Kesuburan itu pula yang mendorong hadirnya beberapa pedagang dari luar antara lain Antonio De Paiva pada Tahun 1544 asal Portugis, pedagang Melayu, Malaka, Arab dan Turki.
Hasil identifikasi menujukan jenis keramik yang paling banyak ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase
berkembangan kerajaan di wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya
abad ke-16 M, khusunya kerajaan Suppa dan Sidenreng Rappang, karena dikerajaan itu
banyak ditemukan fragmen keramik Ming (abad 15-16). Jejak arkeologis lain
bisa kita lihat dimasa berkembangnya kerajaan diwilayah Ajatappareng adalah banyak
dan luasnya sebaran makam, bukan hanya makam raja-raja lokal akan tetapi juga
ditemukan makam kuna ulama dari luar Indonesia antara lain dari Mekah, Turki dan
masih ada dikenal dari Arab Saudi. Selain makam juga terdapat masjid tua, mata uang kuno
berbentuk keping, diantaranya adalah mata uang bertuliskan huruf Arab berangka
tahun 1500-an tertera gambar ayam jantan.
Puncak kejayaan tersebut tidak lepas dari hasil konfederasi
persekutuan Lima Ajatappareng (Kerajaan Sidenreng, Rappang, Suppa, Sawito dan
Alitta) yang dibentuk pada masa kekuasaan Lapancaitana menjadi Datu Suppa ke-7
(1582-1603), yang merangkap sebagai Addatuang Sawitto ke-7 dan arung Rappang
ke-7. Pada tahun 1582, Lapancaitana mengundang dua raja Ajatappareng yaitu
Addatuang Sidenreng Lapateddungi (1523-1564) pada tahun 1544, ia terlebih dahulu
singgah di Suppa sebelum melanjutkan perjalanan ke Siang dan Gowa. Versi lain
menceritakan bahwa putra sulung berkuasa di Sawitto anak ke-dua berkuasa di
Sidenreng dan yang bungsu berkuasa di Alitta.
Ke dua versi ini menceritakan bahwa anak
ke-tiga berkuasa di Rappang dan anak ke-empat di Suppa. Ke dua versi ini
bersumber dari tradisi lisan, tampaknya berkaitan dengan tempat atau lokasi di mana
tradisi itu dikisahkan. Maksudnya, bahwa ketika tradisi itu diceritakan di daerah Sidenreng, Suppa, Rappang dan Alitta maka yang sulung dari lima bersaudara adalah
Sawitto (Druce, 2005: 166-167).
Sumber lain menyebutkan bahwa persekutuan lima Ajatappareng
di pelopori oleh Datu Suppa La Makkarawi, persekutuan ini dilaksanakan
dalam suatu kampung di sebut Suppa, kemudian diabadikan menjadi Ajatappareng.
Pembentukan persekutuan ini bertepatan dengan dicetuskannya Tellupoccoe di Timurung
pada tahun 1582. Perjanjian persekutuanl lima Ajatappareng dicetuskan di Suppa
yang melibatkan lima kerajaan, masing-masing diwakili oleh para penguasa dari
lima kerajaan yaitu, kerajaan Suppa diwakili oleh La Makkarawi, kerajaan Sawitto diwakili
oleh Lapaleteang, kerajaan Sidenreng diwakili oleh Lapateddungi, kerajaan
Rappang diwakili oleh Lapakallongi dan kerajaan Alitta juga diwakili oleh
Lapakallongi yang merangkap sebagai Arung Alitta. (Rasyid, Darwas, 1985: 88-91). Atas
persekutuan tersebut maka ke lima kerajaan sepakat membentuk persaudaraan yang erat.
Setelah Konfederasi Ajatappareng terwujud, mereka membentuk
kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh di pesisir barat
Sulawesi Selatan (Druce, Stephen C. 2009. Op.cit., hlm. 233-234. Dalam Amir.
2013:104). Dalam sumber lontara disebutkan bahwa Suppa dan Sawitto berhasil menaklukkan
beberapa daerah yaitu Leworeng, Lemo-Lemo, Bulu Kapa, Bonto-Bonto, Bantaeng,
Segeri, dan Passokreng. Selain itu juga menaklukan Baroko, Toraja,
Mamuju, Kaili, Kali dan Toli-Toli (Amir 2013:104-105). Hal tersebut dilakukan untuk
menopang Suppa sebagai bandar niaga terbesar di pesisir barat Sulawesi Selatan.
Masa Mundurnya Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Ajatappareng Kemunduran kerajaan-kerajaan diwilayah Ajatappareng, tidak
lepas dari pengaruh kedatangan Belanda (VOC), yang menjalankan
kebijakan monopoli ekonomi. Pertentangan dan permusuhan antara VOC dan kerajaan
Gowa-Tallo, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya dalam bentuk perang Makassar
pada Desember 1666 sampai 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa kerajaan
Gowa-Tallo untuk menandatangani perjanjian Bungaya (Poelinggomang, 2002:35).
Hal itu berinflikasi langsung terhadap kerajaan diwilayah Ajatappareng, karena
kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan yang menaklukkan kerajaan Suppa dan
Sawitto (Amir, 2013:114). Kemunduran kerajaan lima Ajatappareng diperkirakan pada abad
ke 18 Masehi, itu terlihat dari hasil identifikasi kurangnya temuan
keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah
konfederasi Ajatappareng.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian di wilayah Ajatappareng dapat
memberikan gambaran okupasi wilayah Ajatappareng sudah ada sebelum abad ke-13
Masehi, seiring dengan perkembangan kehidupan sosial pada abad ke-14 Masehi yang
telah kompleks, mendorong masyarakat untuk mendirikan kerajaan.
Kompleksitas
kehidupan sosial itu dapat tergambar melaluit emuan keramik Yuan (abad 13-14) di
kerajaan Sawitto, kerajaan Suppa, kerajaan Alitta, di kerajaan Alitta juga
ditemukan fragmen keramik Dehua (abad 13-14), yang sebagian besar difungsikan sebagai
wadah penguburan, hal itu terlihat adanya asosiasi temuan fragmen keramik dengan
fragmen tulang manusia yang terbakar. Pada fase awal kerajaan ini juga telah muncul
tradisi kepercayaan terhadap arwah leluhur dengan mempersembahkan sesajian
sebagai rasa syukur, dengan memotong binatang pada media menhir.
Seiring dengan kedatangan pedagang dari luar yang berlabuh
di Suppa, telah membawah perubahan yang signifikan terhadap kemajuan
kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Ajatappareng. Hal itu juga yang mendorong
terbentuknya persekutuan Ajatappareng yaitu kerajaan Sidenreng, Rapang, Suppa,
Sawitto dan Alitta. Hasil identifikasi menunjukan jenis keramik yang paling banyak
ditemukan adalah keramik Ming (abad 15-16), nampaknya fase perkembangan kerajaan di
wilayah Ajatappareng berlangsung dari abad ke-15 sampai puncaknya abad ke-16
Masehi.
Dan fase kemunduran kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam
persekutuan Ajatappareng, mulai terjadi pada abad ke-18, seiring dengan penguasan ekonomi
oleh Belanda (VOC) pada abad ke-17. Hal itu tergambar melalui kurangnya temuan
keramik Ching (abad 17-18), Jepang (abad 18-19) dan Eropa (abad 18-19) di berbagai wilayah konfederasi Ajatappareng.
Islamisasi kerajaan-kerajaan diberbagai wilayah Sulawesi
pada abad ke-17 Masehi, telah memberi pengaruh pada budaya masyarakat. Salah
satu yang dapat terlihat adalah sistem penguburan pada masyarakat di wilayah
Ajatappareng, sebelum periode Islam, sistem penguburan dengan menggunakan wadah
tempayan berubah menjadi sistem penguburan jirat dan nisan yang berorientasi
utara-selatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Terima kasih kepada Drs. Hasanuddin M.Hum, Dra.
Bernadeta, Slamet S.Sos, Drs. Budianto Hakim, Dian Purnama, Muhammad Hamzah, Agusjunam
Tarrapa dan Andi Hasriani selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten
Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2008.
2. Terima kasih kepada Drs. Budianto Hakim, Suryatman SS,
dan Hamuddin selaku anggota tim penelitian arkeologi Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan
Tahun 2010.
3. Terima kasih kepada Citra Andari M.Hum Drs. Hasanuddin
M.Hum, Ratno Sardi SS, dan Basran Burhan SS selaku anggota tim penelitian arkeologi
Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2011.
4. Terima kasih kepada Fakhri SS, Ade Sahroni ST, Agusjunam
Tarrapa, Hamuddin, Arman Usman SE dan Hasri Hamzah selaku anggota tim penelitian
arkeologi Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Tahun 2012.
5. Terima kasih kepada Bapak Karaeng Dg. Manaring yang telah
membantu melakukan klasifikasi terhadap fragmen keramik dan fragmen gerabah.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Muhammad. 2013. Konfederasi Ajatappareng Kajian
Sejarah Persekutuan Antarkerajaan di Sulawesi Selatan Abad XVI. Makassar. De
Lamacca.
Anonim, 2008. Lontara Alitta. Pinrang. Subdin Kebudayaan.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Asba, Rasyid. 2009. Kerajaan Nepo di Sulawesi Selatan:
Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional di Tanah Bugis. Makassar. Pusat
Kajian Multi Kultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin,
Kerja Sama Dinas Komunikasi Informasi Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Barru.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang. 2014. Kabupaten
Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Pinrang.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang. 2014.
Kabupaten Pinrang Dalam Angka. Kabupaten Sidenreng Rappang.
Badaruddin, Andi. 2007. Passaleng Pannessaengngi Mula ri
Timpana TanaE ri Sidenreng. Salinan Lontara Sidrap.
Buadara, 2000. Kumpulan Naskah-naskah Sejarah Sawitto,
Raja-raja Sawitto, Sejarah perjuangan, Lasinrang dan Pahlawan Kemerdekaan 1945, Acara
Adat Istiadat dan Cerita Rakyat. Pinrang.Kantor Departemen Pendidikan
Nasional Kabupaten Pinrang.
Druce, Steve. 2005. The lands West Of The Lakes: ”The
History Of Ajatappareng South Sulawesi, AD 1200 to 1600” being otheis submitted for the
degree of DOCTOR of Pilosopy (Phd). Fak. Filsafat University of Hull.
Inggris.
Pelras, Christian. 1973. “Sumber Kepustakaan Eropa Barat
Mengenai Sulawesi Selatan”, dalam : Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, hal. 41-53.
Poelinggomang, dkk. 2004 Sejarah Sulawesi Selatan jilid I
Cetakan Pertama. Makassar: Kerjasama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Balai
Penelitian Daerah (Balitbangda) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
Cabang Provinsi Sulawesi Selatan.
Poelinggomang, Edwar. 2002. Makassar Abad XIX : Studi
Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Rasyid, Darwas 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk II Pinrang.
Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Simanjuntak Truman, dkk. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.