Pada suatu masa dahulu, terdapat sekelompok besar manusia
yang mendiami sebuah rumah panjang di sebuah tempat yang disebut Indai di
Tuaran. Rumah panjang itu sangatlah panjang sehingga jika terjadi kematian di
ujung rumah panjang itu pada siang hari maka berita itu hanya akan diketahui
oleh orang yang berada di ujung rumah panjang yang satu lagi pada besok
harinya. Jikalau seseorang memetik ranting selasih dan berjalan dari hujung ke
hujung rumah panjang itu, ranting selasih itu akan menjadi layu pada saat orang
itu sampai di hujung rumah panjang itu.
Jumlah penduduk di rumah panjang itu sangatlah banyak
sehingga apabila pelepah kelapa jatuh di jalan utama perkampungan itu pada
siang hari, pada petang hari semua daun dari pelepah itu akan tertanggal habis
daripada batangnya (kerana dipijak-pijak). Dan pada petang hari, ketika
perempuan-perempuan dari perkampungan itu menuju ke sungai berdekatan untuk
mencuci periuk nasi mereka sebelum memasak nasi untuk makan petang, jumlah
kerak nasi yang terbuang di sungai dapat menghalang aliran air.
Suatu hari, seorang wanita tua bernama Odun Lumbanyang
tinggal di salah satu bilik di bagian tengah rumah panjang itu telah pergi ke
sebuah rawa untuk menangkap ikan menggunakan sebuah jaring penangkap ikan.
Namun anehnya, tidak seperti sebelumnya dia menangkap banyak ikan, kali ini dia
tidak berhasil menangkap walau seekor ikan pun. Dia mencoba menjala terus
tetapi tetap tidak berhasil menangkap seekor ikan kecuali seekor ketam kecil.
Dia membuang ketam itu namun tetap terjala lagi, dan berapa
kali dia membuang ketam itu jauh-jauh tetap saja ketam itu tetap terjala
dijaring ikannya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil ketam itu dan
meletakkannya di dalam “baraitnya”.
Dan walaupun dia masih mencoba menangkap ikan di
bagian-bagian lain rawa tersebut sehingga tengah hari, dia tetap tidak
menangkap apa-apa. Kerana kelelahan, di memutuskan untuk pulang ke rumah dan
ketika hampir sampai ke rumah, dia tiba-tiba merasa kasihan dengan ketam di
baraitnya itu karena menurutnya masih terlalu kecil untuk dimakan. Dia kemudian
meletakkan ketam itu di sebuah mangkuk dari tempurung kelapa, dengan air yang
cukup untuk ketam itu tenggelam.
Ketika dia bangun pada siang besoknya, dia terkejut karena
mendapati bahwa ketam kecil itu sudah membesar dalam satu malam, memenuhi
mangkuk tempurung kelapanya. Dia kemudian memutuskan untuk meletakkan ketam itu
ke dalam “tagu” (sebuah bekas/kontainer yang diperbuat dari kulit pohon)
Pada pagi besoknya, ketam itu membesar lagi, memenuhi
seluruh “tagu” itu. Kerana tidak memiliki wadah yang cukup besar untuk ketam
itu, dia memutuskan untuk meletakkan ketam itu di sebuah kolam tempat kerbau
berkubang, di depan rumahnya. Pada besok paginya, ketam itu membesar menjadi
sangat besar sampai memenuhi kolam kubangan kerbau itu.
Pada malam itu, ketam itu memberitahu orang tua itu dalam
mimpinya, dia berkata, “terima kasih karena telah menjaga saya. Saya sebenarnya
datang kepada kamu karena suatu tujuan penting. Saya di sini datang untuk
melindungi perkampungan ini dari seekor naga yang cukup kuat, yang akan
menyerang perkampungan ini dari arah laut. Saya akan berangkat malam ini karena
saya akan membesar lagi menjadi lebih besar untuk melawan naga itu di kuala
sungai, dan jika ada siapapun yang kelak melihat air sungai menjadi berwarna
putih ketika masa air pasang, maka kamu akan mengetahui bahwa itulah darah saya
yang akan mengalir keluar pada hari saya melawan naga itu.” Pada besok harinya,
ketam itu sudah tiada lagi di kolam kubangan itu. Setelah beberapa hari
berlalu,Odun Lumban diberitahu bahwa air sungai telah menjadi putih tepat pada
air pasang, dia spontan teringat kembali kata-kata ketam yang muncul dalam
mimpinya.
Karena merasa risau dengan ketam itu, dia menaiki perahunya
lalu menuju ke kawasan tepi laut, dan sungguh benar ketamnya itu sedang
berlawan dengan seekor naga, dengan ukuran yang sangat besar.
Pada suatu ketika salah satu dari penyepit ketam itu hampir
patah karena sengitnya perlawanan itu, wanita tua itu kemudian ke dalam hutan
untuk mengambil mengambil rotan dan membantu mengikat penyepit ketam yang
cedera itu, ini berhasil memberikan kekuatan baru kepada ketam itu sehingga
pada pertarungan seterusnya, akhirnya ketam itu berjaya memenangi perlawanan,
membunuh naga itu.
Dengan ucapan selamat tinggal, ketam itu kemudiannya
menyelam memasuki laut, sementara Odun Lumban memutuskan untuk mengambil
beberapa dari tulang naga itu sebagai cenderamata dari peristiwa hebat itu.
Ketika di hadapan rumah panjang, dia menanam tulang itu di hadapan berenda
rumahnnya. Tidak lama setelah itu tumbuhlah pokok kolian dari tulang itu.
Namun ajaibnya pokok kolian ini mengeluarkan buah yang
terbuat daripada emas. Apabila pokok itu menjadi semakin besar, lebih banyak
buah emas yang dikeluarkannya, seluruh penduduk rumah panjang itu mulai memetik
dan memiliki ketulan-ketulan buah emas yang semakin hari semakin membanyak,
yang kemudiannya dari emas itu mereka membuat peralatan rumah dari emas
tersebut- senduk, pinggan, pemarut kelapa (Pongonguan), alat penampi
(lilibu/rilibu) dan sebagainya.
Sebuah perkampungan yang hari ini bernama Selupoh (beberapa
kilometer dari Indai), terutamanya di sekitar sebuah tasik kecil (yang
merupakan bagian dari sungai Tauran) saat ini berhadapan dengan kediaman OKK
Imbun Orow, yang biasa disebut sebagai Libu-Libu karena pernah ditemukan dua
alat penampi (lilibu) di kawasan tersebut. Akan tetapi artifak bersejarah itu
sudah dibawa keluar ke daerah lain dan saat ini hilang tidak diketahui. Sebuah
pemarut kelapa emas dan pencedok nasi emas (kikiriw) juga ditemukan di beberapa
tempat di Tuaran.
Tidak lama kemudian, penduduk Indai menjadi begitu kaya, dan
dari kekayaan mereka itu timbul sifat tinggi diri dan angkuh. Pada suatu hari,
dua orang lelaki Indai yang nakal dan jahat telah merancang suatu penipuan
besar. Mereka telah mengambil sebiji batu besar lalu mengukirnya menjadi sebuah
bulatan dan melapisinya dengan emas dari pohon kolian itu. Mereka membawa
bebola emas yang berisi batu itu ke Bongawan dengan sebuah bot dan pergi
menemui pemilik sebuah tajau besar atau guci yang sangat berharga dan
disanjungi di daerah Bongawan, yang dipanggil Gurunon.
Kedua penipu itu menawarkan bola emas mereka untuk
ditukarkan dengan Gurunon, akan tetapi tajau suci itu merupakan ikon spiritual
dan simbol kemegahan penduduk Bongawan dan tidak ternilai harganya, sehingga
pemilik tajau itu menolak tawaran tersebut.
Akan tetapi setelah beberapa kali dipujuk oleh kedua penipu
itu dengan meyakinkan betapa besarnya nilai bola emas itu, pemilik Gurunon itu
akhirnya bersetuju untuk menukarkan Gurunon itu dengan bebola emas dari pohon
Kolian Indai yang memang sudah terkenal dan termashyur di mana-mana.
Dengan kegembiraan yang meluap, kedua penipu itu menaiki
sampan mereka dan menuju ke laut untuk pulang ke Indai. Akan tetapi salah
seorang dari mereka tidak dapat menahan kegembiraannya, mulai bernyanyi sekuat
hatinya, “Salu-salu bulawan, nokotuhun Gurunon!” (Setelah keliru untuk emas,
Gurunon
telah menjadi rendah!)
Dia malah menyanyikan lebih kuat lagi sekalipun temannya
yang satu sudah menyuruhnya supaya diam. Seorang yang kebetulan berada di
tebing sungai mendengar nyanyian itu, dia tertanya-tanya mengapa lelaki itu
menyanyikan demikian. Akan tetapi orang itu tahu nama Gurunon, sebuah tajau
yang sangat terkenal dan dipuja-puja di kalangan kaum Dusun di Bongawan.
Kedua lelaki itu bergegas ke rumah pemilik Gurunon itu, dan
berdasarkan kejadian itu dia menanyakan apa yang dimaksudkan oleh panyanyi yang
menyanyikan “Salu-salu bulawan, nokotuhun Gurunon!” kerana takut dengan apa
yang terjadi kemudian mereka membelah bebola emas itu dan dengan sangat
terkejut mendapati ternyata di dalamnya hanyalah batuan belaka.
Berita itu menjadi sebuah tamparan hebat untuk masyarakat
tersebut dengan perasaan ngeri dan marah yang teramat sangat. Perasaan marah
yang meluap-luap untuk membalas dendam, kerana perasaan aib menguasai msyarakat
Dusun Bongawan tersebut, mereka memutuskan untuk melakukan pembalasan dendam ke
atas orang-orang Indai yang sudah pasti sebuah balas dendam yang dahsyat dan
mematikan. Dengan menggunakan keahlian para ahli sihir yang paling berkuasa
(Bobolian), mereka pertama-tama menghantar tiga ekor naga yang dipanggil
Topirik (ertinya,makhluk yang menyeret ke atas), karena naga itu menghinggapi
hujung sebuah pohon hutan berdekatan dengan rumah panjang Indai.
Hari demi hari banyak kanak-kanak didapati hilang tanpa
jejak, semua usaha mencari kanak-kanak itu tidak berhasil menemukan walau satu
pun dari mereka. Akan tetapi penduduk Indai menyedari bahwa semua kanak-kanak
yang hilang itu ialah kanak-kanak yang pergi bermain di hutan. Oleh kerana itu,
beberapa orang dewasa, yaitu pahlawan dihantar untuk mengintip kanak-kanak
tersebut agar diketahui apa sebenarnya yang menyebabkan mereka hilang.
Kelompok pengintip itu akhirnya melihat ada naga di atas
sepohon pokok tinggi di mana dari naga itu diturunkan banyak “sungut” (semacam
tentakel) yang sangat cantik, bercahaya dan mengedipkan kilauan cahaya yang
berwarna-warni.
Karena sangat tertarik dengan “tali” aneh yang tidak pernah
mereka lihat sebelumnya, kanak-kanak itu bermain dengan “tali” tersebut. Hujung
tentakel semacam “tali” itu akan berputar/bergulung dan menggangkat naik
(pirik) kanak-kanak itu dan dengan serta merta dilahap oleh makhluk itu.
Dalam aksi pembalasan dendam itu, penduduk kampung telah
datang lalu memotong tentakel Topirik, meskipun kelihatan seperti naga, namun
memiliki badan pendek seperti tunggul kayu. Akan tetapi kulitnya bersisik, sama
seperti tantakelnya, bercahaya dan memancarkan cahaya dengan cahaya yang
berwarna-warni. Walaupun demikian, penduduk menyadari bahwa serangan mematikan
dari makhluk Topirik hanyalah suatu permulaan untuk kejadian yang lebih dahsyat
yang akan menyusul.
Untuk merayakan keberhasilan mereka menyelesaikan misteri,
gaibnya anak-anak dan keberhasilan membunuh naga itu, mereka mengambil kulit
Topirik, mengeringkannnya untuk dibuat gendang. Akan tetapi mereka terkejut
apabila pukulan pertama ke atas gendang itu, gendang itu mengeluarkan bunyi
yang aneh, gendang itu berkata: “Tob, tob, Mitobok” (Tob, tob, saling menikam
satu sama lain!), dan penduduk kampung itu seakan-akan dipukau dengan
serta-merta mengambil pisau dan parang dan mulai saling menikam satu sama lain,
melupakan siapa mereka, menyebabkan ratusan terbunuh.
Tanpa mengetahui apa penyebabnya mereka saling berbunuhan,
mereka sekali lagi memukul gendang itu dan sekali lagi gendang itu berbunyi,
“Tob, tob, Mitotok” (Tob, tob, saling menetak/memarangi satu sama lain!) dan
penduduk kampung sekali lagi seperti dipukau tidak sadarkan diri mengambil
parang dan pedang kemudian mulai saling menetak sesama mereka, sekali lagi
ratusan penduduk kampung mati. Menyadari kengerian dari kuasa sihir yang
mematikan dari gendang itu, mereka memutuskan untuk mengakhiri bahaya itu
dengan membakar gendang itu.
Mereka menyangka bahwa mereka sudah mengatasi dan melalui
malapetaka buruk itu. Namun masih ada yang lebih buruk dan paling ngeri yang
akan menyusul tiba. Orang Dusun Bongawan kemudian menghantar “kepala babi
terbang” ke rumah panjang Indai, dengan dahsyatnya, hinggap dan bertenggek di
atas Sinunkiap (bahagian dari bumbung/atap rumah yang dapat dibuka untuk cahaya
masuk), dan mulai berkokok seperti ayam jantan.
Setiap kali kepala babi terbang itu berkokok, ratusan orang
yang mendengar kokokannya akan serta-merta jatuh mati. Kepala babi itu kemudian
akan terbang ke atas“Sinungkiap” lain di bahagian lain rumah panjang itu, dan
sekali lagi mulai berkokok sehingga menyebabkan ratusan lagi mati.
Penduduk Indai dicengkam ketakutan dan menyedari tidak ada
yang dapat mereka lakukan untuk melawan bahaya yang mengerikan itu telah
mengambil keputusan untuk menginggalkan rumah panjang itu. Empat kelompok besar
dibentuk, kelompok pertama memilih untuk berhijrah ke Kadamaian di Kota Belud,
kelompok kedua memilih untuk berhijrah ke lembah Tambunan, kelompok ketiga
memilih berhijrah ke dataran Keningau, dan kelompok yang keempat pula berhijrah
ke Nunuk Ragang.
Ini merupakan pengakhiran untuk Indai. Selepas penghijrahan
itu, tempat itu dibiarkan untuk beberapa abad lamanya, dan kaum Lotud yang baru
kemudian datang menetap di Tuaran tidak berani untuk mendirikan penempatan di
kawasan tersebut kerana percaya tempat itu telah disumpahi atau dikutuk. Indai
tidak pernah diduduki lagi sehingga pada awal tahun 1950-an ketika beberapa
dari kaum Lotud membuka kawasan tersebut.
Di antara yang paling awal membuka kawasan tanah tersebut
untuk pertanian dan penempatan ialah pakcik saya (abang ibu saya), Ipos Undugan
(Mohd Salleh Undugan) dan sepupu saya dan anak abang Ipos Undugan, OKK Imbun
Orow.
Ketika mereka membuka kawasan tersebut dengan membersihkan
pohon-pohon besar yang sudah tumbuh meninggi setelah ratusan tahun
ditinggalkan, mereka menemukan sangat banyak tajau/guci yang digunakan sebagai
keranda, buktinya terdapat tulang di dalamnya.
Tajau-tajau tersebut masih terdapat di situ. Sudah banyak
desakan ditujukan kepada pihak Muzeum untuk menanggung penelitian geologi di
kawasan tersebut, akan tetapi tidak tindakan yang diambil, ini dapat menjadi
kehilangan besar untuk sejarah kita.
Di salah satu bahagian dari paya itu merupakan sungai,
sejumlah besar kulit kepah lama ditemukan terkubur di satu tompok tanah. Ketika
menyediakan sebidang tanah untuk membina rumah berdekatan dengan rumah besar
lama kepunyaan OKK Indan (kemudiannya Tun Hamdan Abdullah) di Kg. Lumpiring,
Tuaran, orang menemukan timbunan harta karun yang berupa senjata (parang,
pedang, lembing, perisai,dll) di sana, yang dipercayai harta karun yang
ditinggalkan oleh penduduk Indai sebelum mereka berhijrah menuju penempatan
baru. Mereka sudah tentu merasa putus asa dengan ketidakmampuan senjata-senjata
itu ketika menghadapi kekuatan dahsyat dari Sindaat (sihir) orang Dusun
Bongawan.
Sekitar awal tahun 1990-an, saya berkeputusan untuk melihat
sendiri kesan-kesan dari rumah panjang tersebut di Kg. Indai Baru. Terdapat
barisan longgokan tanah dari sarang semut (puzsu) yang menurut orang-orang tua
merupakan tompokan dari arang dapur (ropuhan) rumah panjang lama yang jatuh ke
tanah. Debu arang dan tanah selalunya akan mengumpan anai-anai untuk membuat
busut sarang mereka di sana. OKK Panglima Liput Erah bahkan pernah menunjukkan
kepada kami kira-kira kedudukan di mana pohon Kolian itu dulunya berdiri.
Kisah kehancuran Indai tanpa disangsikan diperkira merupakan
sebuah kisah benar, sebuah kejadian sejarah, dari kaum Lotud Tuaran. Cerita
Indai memang memiliki unsur-unsur Ghaib, akan tetapi ia dapat dipercayai dan
dikenali sebagai kekuatan sihir, terutama pada zaman-zaman dahulu kala.
Sumber kisah diterjemahkan dan digubah dr article bertajuk:FB Aki Rumantai dan "Kadazandusun didn't originated from Nunuk Ragang", dari Raymond Tombung
No comments:
Post a Comment