Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir semua ahli
sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah
daerah Aceh.(Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang
masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret
1963, yaitu :
- Islam untuk
pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari
Arab.
- Daerah yang
pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan
Islam yang pertama adalah di Pasai.
- Dalam proses
pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil
peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
- Keterangan Islam
di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India,
dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11). Dan jalur yang digunakan
adalah:
a. Perdagangan, yang
mempergunakan sarana pelayaran
b. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang
berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai
sufi pengembara.
c. Perkawinan, yaitu
perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia,
yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat
muslim.
d. Pendidikan.
Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran
Islam.
e. Kesenian. Jalur
yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam
itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia
telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua
daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia.
Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar,
karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia,
India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor
penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1. Letaknya sangat
strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2. Pengaruh Hindu –
Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan
rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.(A.Mustofa,
Abdullah, 1999: 53)
Sedangkan Hasbullah
mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan
Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara
lain :
a. Agama Islam tidak
sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala
golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan
mengucap dua kalimah syahadat saja.
b. Sedikit tugas dan
kewajiban Islam
c. Penyiaran Islam
itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d. Penyiaran Islam
dilakukan dengan cara bijaksana.
e. Penyiaran Islam
dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh
golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal
masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa
sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu:
1. Portilitas (siap
pakai) sistem keimanan Islam.
2. Asosiasi Islam
dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi
dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya
raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan
penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3. Kejayaan militer.
Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
4. Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5. Mengajarkan
penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru,
khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6. Kepandaian dalam
penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan
kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja
Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh
dari Pasai.
7. Pengajaran
tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui
faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh
Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas
negeri ini.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam
di Aceh.
1. Zaman Kerajaan
Samudra Pasai
Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad
ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama
Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/
abad ke-15 H). (Mustofa Abdullah, 1999: 54)
Pada tahun 1345,
Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman
pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al,
2000: 135)
Keterangan Ibnu
Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan
dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem
pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh
pemerintahan merangkap tokoh agama
d. Biaya pendidikan
bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136)
Pada zaman kerajaan
Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga
tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai
banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang
berpendidikan”.(M.Ibrahim, et.al, 1991: 61)
Menurut Ibnu
Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di
Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu
Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada
para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di
Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan
para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin
dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau
halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru
duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid
menghadap guru.
2. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam
kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin
(tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang
baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak
merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan
bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29)
Kerajaan Islam
Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan
dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid,
tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata
negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur
sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad
ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke
enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun
1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim.
Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu
Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga
tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa,
Abdullah, 1999: 54)
Dengan demikian
pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Kerajaan Aceh
Darussalam
Proklamasi kerajaan
Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan
Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah
diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial
yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung),
yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang
letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari
jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim,
yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim, et.al.,
1991: 75)
Jenjang pendidikan
yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah
(Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap
gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
- Sebagai tempat
belajar Al-Qur’an
- Sebagai Sekolah
Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu
agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya
adalah sebagai berikut:
- Sebagai tempat
ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
- Sebagai tempat
sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
- Tempat kenduri
Maulud pada bulan Mauludan.
- Tempat menyerahkan
zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
- Tempat mengadakan
perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
- Tempat
bermusyawarah dalam segala urusan
- Letak meunasah
harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana
yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim, 1991:
76)
Selanjutnya sistem
pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang
diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab,
meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat
masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri,
terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang
yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka
harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah
tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil
mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan
akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim. (Hasbullah, 2001: 32)
Bidang pendidikan
di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu
terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan yaitu:
1. Balai Seutia
Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama,
ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Seutia
Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran.
3. Balai Jama’ah
Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana
berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya.
Aceh pada saat itu
merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di
dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut
ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah
menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur
Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan
pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama
dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai
ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama.
Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi
kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang
pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu
Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan
mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad
Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. (M.Ibrahim,et.al., 1991: 88)
Tokoh pendidikan
agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia
merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf
yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar
Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga
ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau
lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang
mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub,
Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga
lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia
menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam
bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam
kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab
Bustanul Salatin.
Pada masa
kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat
beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman,
yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat
banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan
Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode
berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang
Islam.(M.Ibrahim,et.al., 1991: 89)
KESIMPULAN
Pendidikan merupakan suatu proses belajar engajar yang
membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan
mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan
dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan
terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil)
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam
di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama
serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan
Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang
menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat
pengkajian Islam.
Sumber : syauqiridha.blogspot.my
No comments:
Post a Comment