Sejarah Palembang dan
Fakta bahwa Sepanjang Zaman Kota Palembang Pernah Mempunyai 6 Lambang
Palembang
merupakan nama salah satu kota di Sumatera, tepatnya di Sumatera Selatan. Kota
yang terkenal dengan Jembatan Ampera dan Makanan Khas Pempek ini, merupakan
sebuah kota yang memiliki nilai sejarah yang tinggi di dalam perjalanannya.
Hingga saat ini, kota Palembang menjadi kota yang berkembang, dan merupakan
salah satu kota terbesar di Sumatera pada khususnya dengan menempati peringkat
kedua, dan Indonesia pada umumnya dengan peringkat ke-8.
Arti Nama Palembang
Nama
Palembang banyak mempunyai arti dari berbagai sumber para ahli. Mereka
mengatakan kata tersebut berasal dari Lembang atau Lembeng, yaitu tanah yang
berlekuk, tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama di dalam
air.
Untuk
arti lain dari Lembang adalah tidak tersusun rapi, terserak-serak. Sedangkan
menurut bahasa Melayu, lembang berarti air yang merembes atau rembesan air.
Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat.
Menurut
sumber lainnya, Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, atau
tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan
tanah yang berair.
lni
tidak jauh dari kenyataan yang ada, bahkan pada saat sekarang, yang dibuktikan
oleh data statistik tahun 1990, bahwa masih terdapat 52,24% tanah yang
tergenang di kota Palembang. Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang
ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-anak sungai yang mengalir di tengah
kota.
Kondisi
alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk
memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis,
efisien, dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi
alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu
mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
•
Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan
•
Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki
dataran rendah
•
Daerah pesisir timur laut
Ketiga
kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam
pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang
berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu
dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan
tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang
menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman
klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan
Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani
dikawasan Nusantara.
Lahirnya Nama Palembang
Kapan
nama Palembang “lahir”, tepatnya belum dapat diperkirakan. Apakah nama ini
lahir sejak Sriwijaya runtuh, atau sebaliknya, nama Palembang lahir lebih
dahulu sebelum nama Sriwijaya “lahir”?
Banyak
sumber-sumber sejarah di zamannya yang menentukan lahirnya kota Palembang.
Seperti sumber kronik China, Jawa, Islam, dan Melayu. Namun, sumber-sumber
tersebut masih simpang siur dalam penentuannya. Yang jelas, dari sumber-sumber
tersebut, tercatat dari tahun 1225 hingga di tahun 1612.
Sejarah
Melayu aslinya ditulis sekitar tahun 1511, ditulis kembali dari pelbagai versi,
antaranya oleh Abdullah ibn Abdulkadir Munsyi yang menulis kembali teks tahun
1612. Teks yang menceritakan Palembang dari Sejarah Melayu:
“…..
ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama
rajanya, asalnya daripada anak-cucu Raja Sulan; Muara Tatang nama sungainya.
Adapun negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka Muara
Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah
bukit Seguntang Mahameru namanya.”
Sejarah dan Perkembangan Palembang
Palembang
merupakan kota tertua di Indonesia, berumur setidaknya 1324 tahun, hal ini
berdasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M), yang ditemukan di Bukit
Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah
Wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya
pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka
tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.
Prasasti
Batu bersurat, ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi sungai Kedukan
Bukit, yakni diantara Bukit Siguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926
dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu kuno. Prasasti tersebut oleh
penduduk kampung Kedukan Bukit waktu itu dijadikan semacam tumbal bila akan
mengikuti lomba Bidar, yakni dengan cara meletakkan di haluan Bidar yang akan
diperlombakan.
Konon,
Bidar atau Perahu yang digentoli dengan batu “sakti-bertuah” itu senantiasa
menang berlomba. Kemudian Batu-bersurat Kedukan Bukit itu ditelaah oleh para
pakar sejarah dan kebudayaan, diantaranya Prof. M. Yamin yang menyatakan,
itulah proklamasi (penggalian/pemindahan) ibukota Sriwijaya (dari tempat lain)
ke Bukit Seguntang.
Prasasti
Kedukan Bukit itu berbunyi sebagai berikut :
1.
Swasti cri cakawarsatita 605 ekadaci cu
2.
Klapaksa wulan waicakha dapunta hiyang nayik di
3.
samwau manalap siddhayatra disaptami cuklapaksa
4.
Wulan jyesta dapunta hiyang marlapas dari Minanga
5.
Tamvan mamawa yam wala dualaksa danan koca
6.
Duaratus cara di samwau danan jalan sariwu
7.
Tluratus sapulu dua wannakna datam di Mukha Upang
8.
Sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan
9.
Laghu mudita datam marwuat wanua
10.
Criwijava siddhayatra subhiksa.
(Sumber
: Prof. Poerbacaraka, G. Coedes, Prof. Dr. Ph.S. Van Ronkel Dr. Buchari, Prof.
Slametmulyana)
Kota
Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya.
Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu
Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan
Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama
Singapura kepada Tumasik.
Sewaktu
pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama
pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan
Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan
Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya
kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka
Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar
Syah.
Hubungan Palembang dengan Kerajaan
Sriwijaya
Sriwijaya,
seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun
waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara
sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan
mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam
spektrum luas.
Pusat
pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi
kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para
pemimpin setempat (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan
hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan
politik di Asia Tenggara.
Ada
tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada
abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :
“...Negara
ini terletak di Laut Selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat.
Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan
bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang,
rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan.
Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu
milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati.
Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.”
Tentunya
banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut asing
seperti Cina, Arab, dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah
yang mereka lihat dan dengar. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan
keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di
Tiggris.
Kota
Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika
dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan
(dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah
perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina
mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat
bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut
pajak.
Sedangkan
bagi pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah yang bertiang. Mereka
mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut
atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan
lama). Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad
ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan.
Keruntuhan
Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran
dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan
setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari
kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh
dan Semenanjung Malaysia.
Dari
sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan
tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja
Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar
Cina tahun 1374 dan 1375.
Maharaja
ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan
oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para
pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau
Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah
dia berperang melawan orang-orang Siam.
Dari
Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah
membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan
terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya. Palembang sendiri setelah
ditinggalkan Parameswara menjadi chaos.
Majapahit
tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang
Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang
dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan,
yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.
Meskipun
setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak
pimpinan dari Majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka.
Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut
dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris
dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang
guna memberantas para bajak laut ini.
Pada
tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah
menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa
bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung di tengah pasar
ibukota. Namun, beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada
tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang
disegani di Palembang.
Chiang
Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina, sebetulnya kedudukan ini adalah
suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum,
imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang.
Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200.
Masa Kesultanan Palembang
Berbicara
mengenai asal-usul kota Palembang, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadikan kota Palembang sebagai
ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-olah diturunkan kepada Kesultanan
Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani
dikawasan Nusantara. Palembang pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan
Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah
Wangsa Sailendra/Turunan Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja
Pertama.
Menurut
Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa
pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina di Palembang adalah akibat kebangkitan
Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan
Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546,
yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari
Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri
ke Palembang.
Para
pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan
Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton
pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT.
Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri. Dari bentuk
keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan
lingkungan melayu di sekitarnya.
Pada
abad ke-17, terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan
melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh
kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palembang, memutus hubungan
ideologi dan kultural dengan pengaruh pusat kerajaan kerajaan Mataram di Jawa
(1643-1651). Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang
Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Kimas Hindi/Kimas Cinde/Sunan Cinde Walang),
menyatakan dirinya sebagai sultan pertama, dan memproklamirkan kota Palembang
sebagai ibukota Kesultanan Palembang Darussalam, setara dengan Sultan Agung di
Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahman, yang kemudian dikenal
sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706).
Keraton
Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang
atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman
memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat
perdangangan).
Sultan
Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757), adalah merupakan
tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya.
Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton
Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota
Palembang).
Selain
itu, dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda,
yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin
Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu
lebensraum dari kekuasaan Palembang.
Batanghari
Sembilan adalah satu konsep Melayu – Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin
yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau
penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada di
tangan Sultan yang berkuasa),
Dari
seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan
dan terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan
paling baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa.
Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang
biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan.
Kemungkinan
perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang
memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan
dengan segala peralatannya. Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya
pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan
memperkuat pertahanannya.
Ini
dibuktikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin yang mendirikan keraton Kuto Besak
pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud
Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa
tersebut.
Sebelum
jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud
Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan
pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud
Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk
dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.
Masa Belanda
Tanggal
7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota
Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak
terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat
Pemerintah Belanda pertama.
Palembang
sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam pada saat di bawah pemerintah
kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada
awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, di zaman Kesultanan lebih
dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu
lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur
masyarakat tradisional dan feodalistis.
Keseluruhan
sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan
nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa – Kawi yang berarti barang
katanya, diturut, diindahkan. Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun
aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat
dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa.
Contoh
nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana
paramiji dan alingan (struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang
memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya pengerajin tembaga
(Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi
pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji
maupun alingan (orang yang dialingi/dilindungi).
Hasil
produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan. Contoh lain
dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu kepandean
adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga
dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan. Pemukiman ini
dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi
atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan
alim ulama disekitar Mesjid Agung.
Demikian
pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen
yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayah-wilayah
dimana kelompok tertentu bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman
orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali.
Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris
J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah.
Pemecahan
ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memceah
masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tunduk pada
administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala
diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah,
yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut
diangkat menjadi Demang.
Demang
adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada
waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan
16 kampung di seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1
sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 ulu.
Pemberian
nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi
kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung
tersebut menjadi 43 buah kampung, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan
14 kampung berada di seberang ulu.
Dapat
diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukanlah
wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya.
Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim,
dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung. Oleh karena Kepala Kampung
hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka
mempunyai Kepala dan wijk tersendiri.
Untuk
golongan Cina, kepalanya di angkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer,
yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling
(India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa
Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang
akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana
begi kedudukannya.
Pemerintah
Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan
kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk
menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah
Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan
Kota dipilih oleh penduduk kota.
Sebenarnya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan
pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang
menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai
pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri,
jasa-jasa perdagangan dan menjadi markas para pengusaha.
Kemudian
kota Palembang dijadikan Gameente / haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906
tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942.
Era Zaman Jepang
Di
zaman penduduk Jepang (1942-1945), tepatnya Jepang tanggal 16 Februari 1942,
Jepang masuk ke kota Palembang. Secara struktural tidak ada perubahan kedudukan
kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku – Co dan
mereka dibawah koordinasi Gun – Co.
Tugasnya
dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan
barisan di kalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang,
Tonari – Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu
kampung. Tonari – gumi dipimpin oleh seorang Ku – Mi – Co (Ketua RT).
Palembang
Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga
kemerdekaan RI.
Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah
Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945, berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 tahun
1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II
Palembang.
Demikian
artikel tentang perjalanan panjang sejarah kota Palembang, semoga dapat
memberikan inspirasi dan wawasan yang bermanfaat bagi kita semua.
Sumber
:
1.
http://siradel.blogspot.com/2010/08/palembang.html
2.
http://palembangtempodulu.multiply.com/photos/album/94
3.
http://www.palembang.go.id/
Palembang betul pusat sriwijaya.th 672 sebenarnya menurut catatan itsing datang ke sriwijaya ia sebut kerajaan shelefoshe, ibu kotanya foshe yg terletak di sungai foshe. Merujuk sebutan itsing itu nama ibukota shelifoshe sama dengan nama ujung kerajaannya yakni foshe, nama sungainya sama dengan nama ibu kota yakni sungai foshe. Maka nama sungai dan ibukota sriwijaya adalah kota jaya dan sungai jaya. Kemudian itsing menyebut dari shelufoshe/ sriwijaya menuju negri moloyo/ melayu terus ke chaca/ kedah. Kemudian ke india. Th 683 terjadi pwristiwa Sidhayatra/ ekspansi. Th 684 dapunta membuat taman kebun. Sri kstra. Th 685 itsing dari india kembali ke cina. Itsing singgah lagi ke kedah ia menyebut kedah sekarang sudah jadi chelefoshe/ sriwijaya, kemudian itsing singgah juga ke moloyo ia menyebut moloyo/ melayu sekarang sudah jadi shelefishe/ sriwijaya juga. Tanpa sengaja itsing dari moloyo berlayar ke cina. 6 bulan kemudian itsing mengisahkan datang lagi ke kota foshe ibukota shelefoshe dan menetap 10 th di kota foshe ibukota shelefoshe.itsing juga menyebut ada negri tohlang pohwang slapon. Dari keterangan itsing dan prasasti sidhayatra 683 dapat di tarik kesimpulan 1. Tidak ada perpindahan ibukota Sriwijaya/ shelefoshe. th 672 itsing sebut ibukota shelefoshe dengan sebutan yg sama pd th 685 yakni foshe sama dengan th 672. Kalau terjadi perpindahan pasti itsing akan menyebut ibukota shelefoshe th 685 dengan sebutan yg berbeda dengan th 672. 2.Tidak ada pergantian nama kerajaan sriwijaya. Itsing masih menyebut kerajaan sriwijaya/ Shelefoshe pada th 685 masih sama dengan th 672 yakni kerajaan shelefoshe.
ReplyDelete3. Itsing menyebut th 685 kedah dan melayu sudah menjadi milik shelefoshe/ sriwijaya.
4. Th 683 sidhayatra Sriwijaya/ ekspansi sriwijaya adalah kerajaan sriwijaya menaklukan minangatamwan.
5. Minangatamwan kemungkinan besar melayu atau kedah.
6. Ada kerajaan yg se jaman dengan selefoshe/ sriwijaya yakni moloyo, kedah tohlang pohwang/ slapon.
Selang beberapa abad lamanya sriwijaya menguasai asia tenggara dengan segala pasang surutnya. Kemudian sekitar th 1250an datanglah sang sapurba ke palembang. Dari palembang kembali terulang babak penyebaran raja raja palembang ini ke asia tenggara. Dari palembang ke tanjung pura ( kalimantan)
Dari palembang ke bintan, singa pura, malaka, johor, perak, pahang terus keseluruh negri melayu. Dari palembang keminangkabaw (darmasraya, melayu pura, pagaruyung, indra pura).