Gajah Mada
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gajah Mada Maha Patih Majapahit : Kurun 1334 – Kurun 1359
Penguasa monarki : Tribhuwana, Wijayatunggadewi dan Hayam
Wuruk
Didahului oleh : Arya Tadah (Mpu Krewes)
Digantikan oleh 6 Mahamantri
Agung
Meninggal : 1364
Kebangsaan : Majapahit
Agama : Hindu
Gajah Mada (wafat kurun 1364) adalah seorang panglima perang
dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut
berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai
kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa Pemberontakan Ra Kuti pada masa
pemerintahan Sri Jayanagara, yang
mengangkatnya sebagai Patih.
Sejarah Pemberontak
Ra Kuti
Dharmaputra, Majapahit adalah sebuah jabatan yang dibentuk
oleh Raden Wijaya raja pertama Kerajaan Majapahit, yang beranggotakan tujuh
orang, antara lain, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak,
dan Ra Pangsa. Ketujuh orang ini semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa
pemerintahan raja kedua, yaitu Jayanagara.
Jabatan Dharmaputra
Adanya jabatan Dharmaputra diketahui dari naskah Pararaton.
Jabatan ini tidak pernah dijumpai dalam sumber-sumber sejarah lainnya, baik itu
Nagarakretagama ataupun prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja
Majapahit.
Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang
Dharmaputra. Pararaton hanya menyebutkan bahwa para Dharmaputra disebut sebagai
pengalasan wineh suka, yang artinya "pegawai istimewa yang disayangi
raja". Mereka dikisahkan diangkat oleh Raden Wijaya dan tidak diketahui
lagi keberadaannya setelah tahun 1328.
Pemberontakan Ra Semi
Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih
Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut
dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di
mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama
Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena
terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk
menghukum Nambi.
Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih
berada di Lamajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun
bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh
pendukungnya, termasuk Ra Semi.
Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 Ra Semi melakukan
pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung
Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316.
Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi
terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah
Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di
mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.
Pemberontakan Ra Kuti
Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan para
Dharmaputra yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi
langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
pemberontakan Ra Semi. Meskipun demikian, Jayanagara sekeluarga berhasil
melarikan diri dengan dikawal para prajurit bhayangkari yang dipimpin seorang
bekel bernama Gajah Mada.
Setelah mengamankan rajanya di desa Badander, Gajah Mada
kembali ke ibu kota untuk mencari dukungan. Ia mengumpulkan para pejabat di
rumah tumenggung amancanegara (semacam wali kota) dan mengabarkan kalau
Jayanagara telah meninggal di pengungsian. Para pejabat tampak menangis sedih.
Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan
rakyat, maka Gajah Mada pun memberi tahu keadaan yang sesungguhnya, bahwa raja
masih hidup.
Akhirnya, dengan kerja sama yang baik antara Gajah Mada,
para pejabat, dan segenap rakyat ibu kota, Ra Kuti dan komplotannya berhasil
dimusnahkan. Ra Kuti merupakan perwira Majapahit yang berasal dari daerah
Pajarakan sekarang Kabupaten Probolinggo.
Peristiwa Ra Tanca
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup
setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti tahun 1319.
Dikisahkan pada tahun 1328 Ra Tanca menemui Gajah Mada untuk
menyampaikan keluhan istrinya. Istri Ra Tanca mendengar berita bahwa Jayanagara
melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat untuk menikah. Konon
Jayanagara sendiri berniat mengawini kedua adiknya itu. Tanca meminta agar
Gajah Mada, yang saat itu menjadi abdi kesayangan Jayanagara, supaya mengambil
tindakan pencegahan. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan Ra
Tanca. Hal ini membuat Ra Tanca merasa tersinggung.
Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Suatu hari ia
dipanggil untuk mengobati sakit bisul yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar
raja hanya ada ia, Jayanagara, dan Gajah Mada. Usai melakukan terapi
pembedahan, tiba-tiba Tanca menusuk Jayanagara sampai tewas. Seketika itu pula
Gajah Mada ganti membunuh Tanca.
Perbuatan Gajah Mada membunuh Tanca tanpa pengadilan
menimbulkan kecurigaan. Sejarawan Slamet Muljana menyimpulkan kalau dalang
pembunuhan Jayanagara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri.
Menurut Pararaton saat itu Gajah Mada sedang menjabat
sebagai patih Daha, di mana rajanya
adalah Dyah Wiyat. Meskipun ia dekat dengan Jayanagara, pastinya ia pun lebih
dekat dengan Dyah Wiyat. Nampaknya Gajah Mada sengaja memancing amarah Tanca
dengan pura-pura tidak peduli supaya Tanca sendiri yang mengambil tindakan.
Siasat Gajah Mada ini berjalan baik. Tanca pun membunuh raja, dan kemudian
langsung dibunuh oleh Gajah Mada seolah untuk menghilangkan jejak.
Dengan demikian, Gajah Mada telah berhasil menyelamatkan
Dyah Wiyat dari nafsu buruk Jayanagara tanpa harus mengotori tangannya dengan
darah raja tersebut.
Daha adalah pusat pemerintahan Kerajaan Medang periode
terakhir (Airlangga) setelah pemindahan dari Kahuripan dan juga pusat
pemerintahan Kerajaan Kadiri sebagai salah satu lanjutannya. Daha sekarang
merupakan bagian dari Kota Kediri. Kerajaan Negara Daha adalah nama sebuah
kerajaan yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan pada abad ke-15 sampai 16. Daha
Utara adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Kalimantan Selatan. Daha Barat adalah nama sebuah kecamatan yang
berada di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Daha
Selatan adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Sejarah Sri Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 - wafat: 1328) adalah raja kedua
Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri
Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan
Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan
Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden
Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan
Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh
hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang
sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian
menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau "istri yang
dituakan di istana".
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya
Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari
dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal
24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga,
jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara
Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran
Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan
prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya
bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu
Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan
Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan
dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara Petak.
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai
yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara
juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota.
Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara
dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu
saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti
Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara
adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka.
Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan,
karena nama tersebut bermakna "jahat" dan "lemah", hal itu
dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral namun lemah sebagai
penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa pemerintahannya.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan
ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara
menetapkan susunan Mahamantri Katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu
sebagai berikut:
Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata
Pemberontakan yang
Terjadi Part 1
Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak
pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara
adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni.
Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik takhta,
yaitu dilakukan oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora pada
tahun 1300. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena Jayanagara
baru menjadi raja pada tahun 1309. Mungkin yang benar ialah, pemberontakan
Ranggalawe terjadi ketika Jayanagara diangkat sebagai raja muda atau putra
mahkota.
Pararaton juga memberitakan pemberontakan Juru Demung tahun
1313, Gajah Biru tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta Ra Semi
tahun 1318. Akan tetapi, menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan Gajah Biru
mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi
mati bersama Nambi tahun 1316.
Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton juga
disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung
Sorandaka. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut dipadamkan
langsung oleh Jayanagara sendiri.
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang diberitakan
Pararaton, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu
kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum pemberontak, sedangkan Jayanagara
sekeluarga terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit
bhayangkari.
Pemimpin prajurit bhayangkari yang bernama Gajah Mada
kembali ke ibu kota menyusun kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat
dan rakyat ibu kota, Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan.
Pemberontakan yang Terjadi
Part 2
Sewaktu menjadi raja, Jayanegara masih berusia muda sehingga
dimanfaatkan orang-orang yang merasa tidak puas untuk memberontak. Mereka
merasa tidak puas terhadap kebijakan Raja terdahulu, yaitu Raden Wijaya, yang
menurut ukuran mereka tidak memberikan kedudukan yang mereka inginkan, dianggap
tidak sepadan dengan jasanya sewaktu berjuang bersama Raden Wijaya. Maka,
timbullah beberapa pemberontakan pada masa Raja Jayanegara, diantaranya adalah:
Pemberontakan
Ranggalawe (1309) => Ranggalawe sangat kecewa karena tidak diberi
kedudukan Patih di Istana Majapahit, dia hanya diberikan kedudukan yang lebih
rendah sebagai penguasa wilayah. Pemberontakannya dapat segera dihancurkan.
Pemberontakan Lembu
Sora (1311) => Lembu Sora memberontak karena mendapat hasutan dari
seorang pejabat Majapahit yang bernama Mahapati. Mahapati sebenarnya juga musuh
dalam selimut bagi Raja Jayanegara, yang selalu membuat intrik dan konspirasi
dalam Istana. Pemberontakan Lembu Sora dapat digagalkan pihak Istana.
Pemberontakan Nambi
(1316) => Nambi memberontak karrena ambisi ayahnya Aria Wiraraja agar
Nambi menjadi raja. Sehingga meskipun Nambi sudah diberi kedudukan yang tinggi
sebagai Patih istana, tetap saja ia memberontak. Dia bersama ayahnya sempat
membuat pertahanan di Pajarakan, tetapi akhirnya dapat dihancurkan juga.
Pemberontakan Kuti
(1319) => Kuti dapat menduduki istana kerajaan sehingga Raja Jayanegara
terpaksa meninggalkan Istana. Oleh para Bhayangkari Kerajaan di bawah pimpinan
Gajah Mada, raja disembunyikan di tempat yang sangat dirahasiakan yaitu di desa
Badander. Atas inisiatif dan usaha dari Gajah Mada maka akhirnya pihak kerajaan
dapat menyusun kekuatan dan merebut kembali istana. Akhirnya raja Jayanegara
dapat kembali lagi ke istana.
Hubungan dengan Cina
Daratan Cina saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan atau bangsa
Mongol. Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris bernama Odorico da
Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan
Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa,
namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal ini mengulangi
kegagalan mereka pada tahun 1293.
Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian
membaik. Catatan dinasti Yuan menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim
duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini
diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara
sendiri.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut
kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan
Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul
desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh
Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang
saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan
tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak
peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk
mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh
Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan
segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton
Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di
Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang
tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia
dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga
dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai
Buddha jelmaan Amoghasiddhi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh
karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja
yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi
Gaja Mada menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan
kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke
puncak kejayaannya.
Sejarah Tribhuwana
Wijayatunggadewi Ratu Majapahit
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit
yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar
abhisekanya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Silsilah Tribhuwana
Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat
Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan
Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama
Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai
penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya
terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara
meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua putri.
Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria, yaitu
Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari
perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian
diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan
Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Pemerintahan
Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas
perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal
tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana
pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik
takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara,
tetapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden
Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa
keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga
pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi
suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah
Sadeng dan Keta.
Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra
Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana
pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya,
Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah
Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit
tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak
(rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di
bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan
wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343
Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian
seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk
menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian
menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan
Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya
hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana
adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang
tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih
menjadi ratu Majapahit.
Akhir Hayat
Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun
1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi
Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan
pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi
raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian
Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal
dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam
Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu
Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa
Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa,
yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa
sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh
sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan
mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih
kontroversial. Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya
sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia dan persatuan Nusantara.
Awal karier
Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini
disimpan di museum Trowulan, Mojokerto.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat
pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang
naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan
Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan
bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan
merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca
yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun
1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan
kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya
kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada
digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam
atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan
khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan
Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya
pada tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia
diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah (Mpu
Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada
dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung
menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan
menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap
Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun
1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu
Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit
setelah terbunuhnya Jayanagara.
Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun
1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia
akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi)
bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab
Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut
“ Sira
Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun
huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti :
“ Ia,
Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada
berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan)
melepaskan puasa ”
Invasi
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya,
Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan
penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik
(sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama
dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok,
dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga
(Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang,
Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang
menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke
wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram,
Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar,
Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor,
dan Dompo.
Dilema
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi
Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini
mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum
disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu
1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII [17] dan
Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam
Kidung Panji Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda[18] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357)
bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan
hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri.
Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar
Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu.
Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka
sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda
mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan
Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan
rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya
gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam
Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih
menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal
ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda.
Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri
Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja
menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di
Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa
pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah
dari Madakaripura.
Akhir hidup
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya
Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada
telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau
1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan
dalam memerintah kerajaan. Raja Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta
Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun yang
sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih empat
Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya membantunya
dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung
lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah
Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai
Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Penghormatan
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada
sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal
kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering
menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa
ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang
berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi
nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas
negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang
pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu
telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang
bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya
dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai
sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas
kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan
karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.
No comments:
Post a Comment