Sunday, 14 April 2019

Sejarah Kota Pangkalpinang

Sejarah Kota Pangkalpinang

 “Dari Pangkalpinang, Pangkal Kemenangan Bagi Perjuangan”, demikian satu seloka dari Mantan Presiden Soekarno yang diucapkan di Pangkalpinang saat akan kembali ke Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.

Kota Pangkalpinang adalah salah satu Daerah Pemerintahan Kota di Indonesia yang merupakan Ibu Kota Provinsi dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kota ini terletak di bagian timur Pulau Bangka. Di kota ini Anda akan menemukan keramahan, kerukunan, keragaman adat, tradisi, agama dan budaya yang menyatu harmonis dalam kehidupan masyarakatnya.

Sejarah panjang telah mengiringi Kota Pangkalpinang sejak berdirinya hingga hari ini. Kota Pangkalpinang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang sebelum kekuasaan tersebut runtuh dan menyerahkan Pangkalpinang ke tangan Inggris pada tahun 1812. Pada tahun 1814, Pemerintah Inggris dan Belanda melakukan barter antara Pulau Bangka dengan Cochin di India sehingga Pangkalpinang menjadi milik Belanda. Pada masa Perang Dunia kedua Pemerintah Jepang menguasai Pangkalpinang dari tahun 1942 hingga 1945.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan proklamasi kemerdekaan, Pangkalpinang menjadi bagian dari Indonesia. Pangkalpinang pada awalnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan hingga tahun 2000. Setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia, Pulau Bangka dan Pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah provinsi dengan nama Kepulauan Bangka Belitung. Pangkalpinang pun menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Di Bawah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya

Pangkalpinang semasa di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya dihuni oleh orang-orang Hindu. Selain sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya, Pangkalpinang juga pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram. Pada masa Kerajaan Sriwijawa, Majapahit dan Mataram, Pangkalpinang kurang mendapatkan perhatian, meskipun letaknya sangat strategis di tengah jalur pelayaran internasional. Kurangnya perhatian terhadap Pangkalpinang menyebabkan pangkalpinang menjadi tempat persembunyian bajak laut.

Masa Kekuasaan Kesultanan Johor

Untuk mengatasi masalah keamanan pelayaran di sekitar selat Malaka, Sultan Johor bersama Sutan dan Raja Alam Harimau Garang mengerahkan pasukan ke Pangkalpinang. Setelah misi berhasil dengan baik, Sultan Johor mengembangkan agama Islam. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama. Pangkalpinang kembali menjadi sarang kaum bajak laut.

Masa Kekuasaan Kesultanan Banten

Karena merasa turut dirugikan dengan tidak amannya pelayaran di sekitar perairan Malaka, Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Malaka. Setelah berhasil dikuasai, Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka termasuk Pangkalpinang di dalamnya. Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya. Karena putrinya menikah dengan Sultan Palembang, yaitu Sultan Abdurrahman maka dengan sendirinya Pangkalpinang kembali menjadi kekuasaan kesultanan Palembang.

Masa Kekuasaan Kesultanan Palembang

Pada tahun 1707 Sultan Abdurrahman wafat dan digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur. Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang. Pada tahun 1724 putra Ratu Muhammad Mansyur, Mahmud Badaruddin kembali Palembang dari pamannya dengan bantuan Angkatan Perang dari Sultan Johor. Kekuasaan atas Pangkalpinang selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup.

Penemuan Timah dan Hubungan Dagang dengan VOC

Sekitar tahun 1709 diketemukan timah yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang Johor atas pengalaman mereka di Semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah Pangkalpinang diserbu perahu dari Asia maupun Eropa. 

Perusahaan-perusahaan penggalian timah semakin maju sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang sangat diperlukan.

Sejak tahun 1717 diadakan hubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan VOC, Sultan Palembang berusaha membasmi bajak laut dan penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda melakukan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah secara monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :

Sultan hanya menjual timah kepada kompeni

Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.

Akibat perjanjian ini banyak timah hasil Pangkalpinang yang dijual dengan cara diselundupkan.

Museum Timah Indonesia terletak di jalan Jenderal Ahmad Yani no. 17. Ini adalah satu-satunya museum timah yang ada di Indonesia. Pada tanggal 6 Februari 1949 tempat ini menjadi tempat tinggal bagi pemimpin-pemimpin Indonesia seperti Bung Karno dan H. Agus Salim ketika mereka diasingkan ke Bangka.

Masa Penjajahan Inggris

Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi Kota Pangkalpinang. Pada hari tersebut pihak Belanda menyerahkan pulau Jawa, Timor, Makassar, dan Palembang berikut daerah-daerah takluknya kepada pihak Inggris. Pangkalpinang menjadi jajahan inggris.

Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffles merasa tidak senang dengan penolakan tersebut dan tetap ingin mengambil alih Loji Sungai Aur. Raffles juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pangkalpinang.

Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik Divide et Impera. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II .

Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar Pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Kedua pulau itu pun diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “Duke of Island”.

Masa Penjajahan Belanda

Atas dasar Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali daerah-daerah yang pernah didudukinya pada tahun 1803 dari Inggris, termasuk Pangkalpinang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.

Kecurangan, pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil timah yang tidak menentu yang dilakukan oleh VOC dan Inggris akhirnya akhirnya membuat hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda yang menggali timah secara besar-besaran dan sama sekali tidak memikirkan nasib rakyat sekitar. Perang gerilya pun dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda. Perang gerilya tersebut membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pangkalpinang. Pecahlah perlawanan rakyat melawan Belanda, selama bertahun-tahun rakyat Pangkalpinang mengadakan perlawanan dan berjuang mati-matian untuk mengusir Belanda.

Masa Penjajahan Jepang

Pada saat berkecamuknya Perang Dunia kedua Keresidenan Bangka dipimpin oleh P. Brouwer hingga Bangka diduduki bala tentara Jepang. Walaupun masa kekuasaan Jepang di Pangkalpinang sangat singkat namun penderitaan dan kesengsaraan yang diderita rakyat Pangkalpinang sangat luar biasa karena kekurangan sandang dan pangan untuk kehidupan sehari-hari.

Masa Kemerdekaan Indonesia

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan proklamasi kemerdekaan, Pangkalpinang menjadi bagian dari Indonesia. Pangkalpinang pada awalnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia, Pulau Bangka dan Pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah provinsi dengan nama Kepulauan Bangka Belitung. Pangkalpinang pun menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Hari Ulang Tahun Pangkalpinang

Dari tinjauan sejarah, diketahui bahwa berdirinya Kota Pangkalpinang tepat pada 17 September 1757 yakni di masa pemerintahan Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo.

Kesultanan  Palembang  dipimpin  oleh  Sultan  Mahmud  Badarudin  I  Jayawikromo sampai  ia  wafat  pada  tanggal  17  September  1757. Susuhunan  Ahmad  Najamuddin  Adikusumo menggantikan Sultan Palembang.

Perlu diketahui ciri khas kesultanan, jika pemimpin atau sultan meninggal maka di hari meninggalnya sultan itulah diangkat pengganti untuk meneruskan pemerintahan.

Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hari lahir Kota Pangkalpinang adalah pada tanggal 17 September 1757, bertepatan dengan meninggalnya Sultan Mahmud Badarudin II dan diangkatnya Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikusumo sebagai penggantinya menjadi Sultan Palembang.

Tepat pada 17 September 2016 Kota Pangkalpinang akan memasuki usia yang ke-259 tahun. Selamat Ulang Tahun, Pangkalpinang! Semoga sejarah panjangmu menjadi inspirasi untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Ayo ke Pangkalpinang! Jelajahi sejarahnya! #pesonapangkalpinang


Artikel ini berhasil menjadi salah satu pemenang dalam lomba menulis yang diadakan oleh Bitread Digital Publishing dan Pemerintah Kota Pangkalpinang pada tahun 2016 dalam rangka menyambut ulang tahun kota Pangkalpinang yang ke-259.


Sumber :agungspratama

Sejarah Tanjung Pinang

Sejarah Tanjung Pinang

Tanjungpinang telah dikenal sejak lama. Hal ini disebabkan posisinya yang strategis di Pulau Bintan sebagai pusat kebudayaan Melayu dan lalu lintas perdagangan. Sejarah Tanjungpinang tidak terlepas dari Kerajaan Melayu Johor-Riau.

Nama Tanjungpinang, diambil dari posisinya yang menjorok ke laut yang banyak ditumbuhi sejenis pohon pinang. Pohon yang berada di Tanjung tersebut yang merupakan petunjuk bagi pelayar yang akan masuk ke Sungai Bintan. Tanjungpinang merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan, dimana terdapat kerajaan Bentan yang berpusat di Bukit Batu.

Keberadaan Tanjungpinang semakin dikenal pada masa Kerajaan Johor pada masa Sultan Abdul Jalil Syah yang memerintahkan Laksamana Tun Abdul Jamil untuk membuka suatu Bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan, tepatnya di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau. Bandar yang baru tersebut menjadi Bandar yang ramai yang kemudian dikenal dengan Bandar Riau. Peranan Tanjungpinang sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk Bandar Riau.

Kepiawaian pemerintah pada masa itu menjadikan Bandar Riau merupakan bandar perdagangan yang besar dan bahkan menyaingi bandar Malaka yang masa itu telah dikuasai Portugis dan akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Dalam beberapa riwayat dikisahkan para pedagang yang semulanya ingin berdagang di Malaka kemudian berbelok arah ke Riau, dan bahkan orang-orang Malaka Membeli Beras dan kain di Riau. Hal ini disebabkan bandar Riau merupakan kawasan yang aman dengan harga yang relatif bersaing dengan bandar Malaka.

Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor - Riau. Beberapa kali pusat pemerintahan berpindah - pindah dari Johor ke Riau maupun sebaliknya.

Keberadaan Tanjungpinang semakin diperhitungkan pada peristiwa Perang Riau pada tahun 1782-1784 antara Kerajaan Riau dengan Belanda, pada masa Pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Peperangan selama 2 tahun ini mencapai puncaknya pada tanggal 6 Januari 1784 dengan kemenangan pada pihak kerajaan Melayu Riau yang ditandai dengan hancurnya kapal komando Belanda "Malaka's Wal Faren". Dan mendesak Belanda untuk mundur dari perairan Riau. Bersempena peristiwa tersebut 6 Januari diabadikan sebagai hari jadi Tanjungpinang.

Selang beberapa bulan dari peristiwa tersebut, Raja Haji dan Pasukan Melayu Riau menyerang Malaka sebagai basis Pertahanan Belanda di Selat Malaka. Tetapi dalam peperangan di Malaka tersebut Pasukan Riau mengalami kekalahan dan Raja Haji sebagai komando perang Wafat. Atas perjuangan beliau, Raja Haji kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional.

Dibawah kekuasaan bangsa bugis Riau berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan internasional. Riau tidak hanya menarik pedagang dari tanah bugis tetapi juga Inggris, Cina, Belanda, Arab dan India.

Disisi lain perkembangan kekuatan Politik dan Militer Riau menimbulkan kebimbangan Belanda yang menduduki Malaka saat itu. Dalam tahun 1784, sebuah armada Belanda dengan kekuatan 13 kapal, 1594 prajurit, mengepung dan menyerang Riau(sekarang kawasan Tanjungpinang). Pada 6 Januari 1784 belanda berhasil di paksa mundur ke Malaka berkat bantuan Selangor dan berhasil mengepung Melaka.

Sesudah itu pada 1 Juni 1874 sebuah armada pertempuran dari batavia yang berkekuatan 6 kapal, 326 meriam dan 2130 prajuritnya berhasil memecahkan blokade Bugis atas Malaka. Pertempuran ini telah menewaskan pimpinan tertinggi Bangsa Bugis yaitu Raja Haji yang telah berhasil mengumpulkan kekuatan diantara bangsa Bugis sendiri dan Melayu dalam usahanya mengusir Belanda atas pendudukan Malaka.

Tanjungpinang juga dikenal sebagai Keresidenan Belanda dengan residen pertamanya David Ruhde. Penempatan keresidenan Belanda ini terkait atas penguasaan Wilayah Riau yang sempat mengalami kekalahan pada peperangan di Malaka. Untuk kemudian Belanda membangun Tanjungpinang sebagai Pangkalan Militer.

Kemunduran kerajaan Melayu Riau semakin jelas sejak adanya Traktat London 1828 yang merupakan perjanjian tentang pembagian kekuasaan di Perairan Selat Malaka, dimana wilayah Riau-Lingga dibawah kekuasaan Belanda, Johor-Pahang dan sebagian wilayah semenanjung dikuasai oleh Inggris. Melalui peristiwa ini pulalah yang memisahkan keutuhan kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, dan kemudian Kerajaan ini dikenal dengan sebutan Riau-Lingga. Dan Singapura yang kala itu dibawah kerajaan Riau ditukar ganti dengan Bengkulu yang kala itu di bawah kerajaan Inggris.

Sejak Belanda menguasai wilayah Kerajaan Riau dan campur tangannya dalam Kerajaan, membuat kerajaan Riau mengalami kemunduran, hingga puncaknya terjadi pada saat pemecatan Sultan Riau oleh Belanda pada tahun 1912. Sultan kala itu tidak mau menandatangani Surat pemberhentian tersebut dan lebih memilih untuk pindah ke Singapura. Dan sejak saat itu berakhirlah Kesultanan Riau-Lingga dengan dihapuskannya wilayah Riau-Lingga dari peta Keresidenan Belanda. Dan Keberadaan Tanjungpinang tetap menjadi daerah pusat keresidenan Belanda.

Keberadaan Belanda sempat digantikan Jepang dan Tanjungpinang pada waktu itu dijadikan Pusat Pemerintahan Jepang di wilayah Kepulauan Riau. Dan kemudian kembali lagi dipegang Oleh Belanda.

Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mengakhiri pendudukan belanda atas wilayah Kepulauan Riau. Tahun 1950, Belanda menyerahkan wilayah Kepulauan Riau Kepada pemerintah Indonesia.

Tanjungpinang juga menjadi ibu kota Kepulauan Riau berdasarkan Undang-Undang Nomor 58 1948.Tahun 1957 berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1957 dibentuklah Propinsi Riau dengan ibukotanya Tanjungpinang, namun tahun 1960 ibukota dipindahkan ke Pekanbaru.

Setelah lama menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Riau, kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1983 tanggal 18 Oktober 1983 Tanjungpinang ditetapkan sebagai Kota Administratif.

Dan kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2001 Tanjungpinang ditetapkan sebagai Kota Otonom. Dan saat ini Tanjungpinang menjadi Ibukota Provinsi Kepulauan Riau.

Sumber : tanjungpinang



Wisata Sejarah Tanjungpinang

Wisata Sejarah Tanjungpinang

Tanjungpinang kota bersejarah. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga, Pernah menjadi ibukota Provinsi Riau sebelum dipindahkan ke Pekanbaru, dan setelah itu menjadi ibukota Kabupaten Riau Kepulauan, dan kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau.

Tanjungpinang juga merupakan tempat asalnya bahasa Indonesia yang cikal bakalnya berasal dari bahasa Melayu di pulau Penyengat.

Tanjungpinang memang layak dijadikan kota tujuan wisata sejarah, religi dan budaya. Jejak-jejak sejarah dan kebudayaan Melayu, tersebar di beberapa tempat di kota ini. Antara lain, Monumen Raja Haji Fisabilillah, Mesjid Raya Sultan Riau, Komplek Makam Engku Putri Hamidah, Komplek Makam Raja Haji Fisabilillah, Komplek Makam Raja Ja'afar, Istana Raja Ali, Makam Raja Abdulrahman, Benteng Pertahanan Bukit Kursi, Makam Daeng Marewah, Makam Daeng Celak, Komplek makam Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Situs istana kota Raja atau Kota Lama.

Kota Tanjungpinang tanggal 6 Januari 2018 sudah berusia 234 tahun. Hari jadi Tanjungpinang ini, diperingati dari peristiwa bersejarah dan heroik, saat pasukan Raja Haji Fisabillillah, melawan Belanda. Dengan catatan sejarah yang kaya dan panjang, Tanjungpinang layak menjadi kota tujuan wisata sejarah. Sebab, di ulu Riau atau Sungai Carang inilah nama Riau bermula.

Jejak Sejarah Sungai Carang mulai ditoreh tiga abad silam antara tahun 1672 hingga 1784. Sungai Carang dan Hulu Riau, Tanjung-pinang, adalah ‘jantung’ sejarah dan menjadi pusat emporium dagang dan kejayaan Melayu.  Dalam hikayat negeri Johor, Laksamana Johor Tun Abdul Jamil membangun sebuah negeri setelah ditititahkan oleh Sultan Abdul Jalil Syah, Sultan Johor (1623-1677) yang bersemayam di Pahang, untuk membuat sebuah negeri di Pulau Bintan.Negeri baru yang terletak di Sungai Carang Pulau Bintan itulah yang disebut Riau.

Laksamana Tun Abdul Jamil tidak hanya berhasil membangun kelengkapan untuk menjadikannya benteng pertahanan dengan kelengkapan kapal perang, tapi juga bandar dagang dan ibukota baru Kerajaan Johor pewaris kebesaran Melaka.

Jejak-jejak sejarah itu tersebar sejak dari Sungai Baharu, Kota Lama, Kota Piring, Sungai Timun, Batangan, Kampung Melayu, Sungai Payung, Bukit Galang, Sungai Galang, Pulau Biram Dewa atau Kota Piring, Sungai Pulai, Tanjung Unggat, Anak Kuda Pasir, Sungai Terusan atau Terusan Riau, Pulau Bayan, Kampung Bugis, hingga ke Tanjungpinang, Tanjung Buntung, Teluk Keriting Senggrang, dan Pulau Penyengat yang terletak di muaranya. Selain itu, aliran sejarah yang menghilir dari Sungai Carang itu sesungghnya juga telah menciptakan Tanjungpinang.

Sejak tiga abad silam, Sungai Carang di Hulu Riau serta Tanjungpinang, tidak hanya berperan sebagai pusat emporium dagang, tapi juga menjadi tempat istana-istana megah berdiri pada zaman.Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja membangun istana megah dari batu karang yang ditumbuk bernama Pangkalanrama di sebelah kiri mudik ke hulu Sungai Riau.

Sebuah peta lama milik Belanda di Tanjungpinang Pulau Bintan tahun 1880, Figuratieve kaart van de Nederlandsche Bezitting op het Eiland Bintang yang kini disimpan perpustakaan KITLV di Leiden, Pangkalanrama disebut juga Oud Riouw of Pangkalangrama, Riau Lama atau Pangkalanrama.

Setelah Yang Dipertuan Muda Riau II, Daeng Kemboja, mangkat dalam usia 80 tahun pada 1777, maka pangkat itu kemudian diamanahkan kepada keponakannya, Raja Haji Ibni Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau III yang ketika itu berada di Pahang. Dari Pahang, Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV kembali ke Riau di Sungai Carang.


Kembalinya Raja Haji menandai babak baru dalam jejak-jejak sejarah di Sungai  Carang. Sejak saat itu, Negeri Riau sekali lagi mencapai puncak kemakmurannya sebagai bandar dagang di Selat Melaka.Raja Haji juga membangun istana dengan sebuah balairung berdidinding cermin di Pulau Biram Dewa. Istana itu dikelilingi dengan pagar tembok atau kota dari batu karang ditumbuk yang kemudian ditatah dengan pinggan dan piring serta berhiaskan bocong pada bagian atasnya. Itulah pangkal mula Pulau Biram Dewa masyhur dengan sebutan  Kota Piring.***

Sumber :wisatabatam

SEJARAH KERAJAAN DI DAIK LINGGA, KEPULAUAN RIAU - DAIK LINGGA SEBAGAI PUSAT KERAJAAN JOHOR-RIAU DAN KERAJAAN RIAU LINGGA

SEJARAH KERAJAAN DI DAIK LINGGA, KEPULAUAN RIAU

DAIK LINGGA SEBAGAI PUSAT KERAJAAN JOHOR-RIAU DAN KERAJAAN RIAU LINGGA

Daik Lingga pernah menjadi pusat Kerajaan Johor-Riau pada tahun 1787 hingga 1824 M dan juga merupakan pusat kerajaan Riau Lingga pada tahun 1824 hingga 1903 sedangkan pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau dari tahun 1787 dan pada tahun 1903 hingga 1911 sebagai pusat Kerajaan Riau Lingga

Sultan-Sultan Kerajaan Johor-Riau dan Kerajaan Riau Lingga yang memerintah di Riau-Lingga, sebagai berikut :

1.     Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah l /Raja Sulaiman/Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke Xlll (1722-1760).

Mangkat pada tahun 1760 digelar Marhum Batangan. 

2.     Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah /Raja Abdul Jalil/Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XlV (1760-1761).

Memerintah di Hulu Riau, Bintan.

3.     Sultan Ahmad Riayat Syah / Raja Ahmad/Sultan Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XV (1761).

Mangkat pada tahun 1761 digelar Marhum Tengah.

4.     Sultan Mahmud Syah lll /Raja Mahmud/ Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812).

Pemerintahan dilaksanakan oleh Yamtuan Muda lll, Daeng Kamboja dan Raja Haji Fisabilillah/ Engku Kelana. Sultan Mahmud Syah memerintah di Hulu Riau, Bintan. Pada tahun 1787 memindahkan pusat Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga ke Daik Lingga dan Mangkat pada tahun 1812, dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ Daik Lingga (Mesjid Jami’ Sultan Lingga) dan digelar Marhum Mesjid.

5.     Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah / Tengku Abdul Rahman/ Yang Dipertuan besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I  (1812-1832).

Merupakan Sultan Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll dan Sultan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l setelah kerajaan Johor-Riau dibagi menjadi dua pada tahun 1824,Mangkat dan dimakamkan di Bukit Cengkeh, Daik Lingga.

6.     Sultan Muhammad Muazzam Syah /Tengku Besar Muhammad/Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke ll (1832-1835).

Putra Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Raja Fatimah, memerintah di Daik Lingga dan dimakamkan di Bukit Cengkeh, digelar Marhum Keraton.

7.     Sultan Mahmud Muzaffar Syah /Tengku Mahmud/Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lll (1835-1857).

Putra Sultan Muhammad Muazzam Syah ll, memerintah di Daik Lingga dan pada tahun 1857 Sultan Mahmud Muzaffar Syah dimakzulkan oleh Belanda, Tengku Mahmud meninggalkan Lingga dan akhirnya mangkat di Pahang, digelar Marhum Mangkat di Pahang.

8.     Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV (1857-1883).

Putra Almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga, mangkat dan dimakamkan di Bukit Cengkeh, Daik Lingga.

9.     Sultanah Tengku Embung Fatimah (1883-1885)

Putri Sultan Mahmud Muzaffar Syah

10.   Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll /Raja Abdul Rahman/Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911).

Putra Tengku Embung Fatimah dengan suaminya Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi Yamtuan Muda Riau ke X, adalah Sultan terakhir Kerajaan Riau Lingga.

Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1885-1900, dan memindahkan pusat Kerajaan ke pulau Penyengat pada Tahun 1900-1911.

Pada tanggal 3 Febuari 1911 Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dimakzulkan oleh Residen Belanda (in absentia) di Tanjung Pinang.

Selanjutnya Raja Abdul Rahman beserta keluarga Diraja pindah ke Singapura.

Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) yang memerintah di Riau-Lingga, sebagai berikut :

1.     Yamtuan 1 Daeng Meraweh (1772-1728).

Memerintah di Tanjung Pinang, Bintan. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah /Sultan Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke Xlll, digelar Marhum Sungai Baru.

2.     Yamtuan ll Daeng Celak (1728-1748).

Memerintah di Tanjung Pinang, Bintan. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah /Sultan Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke Xlll, mangkat di Kota Riau.

3.     Yamtuan lll Daeng Kamboja Ibni Daeng Perani (1748-1777).

Memerintah di Tanjung Pinang, Bintan. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah /Sultan Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke Xlll, digelar Marhum Janggut.

4.     Yamtuan lV Raja Haji Fisabilillah Ibni Daeng Celak (1777-1784).

Memerintah di Tanjung Pinang, Bintan. Dilantik oleh Datuk Bendahara Tun Abdul Majid di Pahang mewakili Sultan Mahmud Syah lll /Sultan yang Dipertuan BesarJohor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl di Hulu Riau, digelar Marhum Teluk ketapang (sekarang, Bukit Bendera)

5.     Yamtuan V Raja Ali Ibni Daeng Kamboja (1784-1806).

Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Mahmud Syah lll /Sultan yang Dipertuan Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, digelar Marhum Pulau Boyan.

6.     Yamtuan Vl Raja Ja’ffar Ibnu Raja Haji (1806-1831).

Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Mahmud Syah lll/ Sultan yang Dipertuan Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, digelar Marhum Mangkat di Daik Lingga.

7.     Yamtuan Vll Raja Abdul Rahman Ibni Raja Haji (1831-1844).

Memerintah di pulau Penyengat, mangkat di Penyengat. Dilantik oleh Sultan Mahmud Syah lll/ Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl.

8.     Yamtuan Vlll Raja Ali Ibni Raja Haji (1844-1857).

Memerintah di pulau Penyengat, mangkat di Penyengat. Dilantik oleh Sultan Mahmud Muzaffar Syah /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lll.

9.     Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858).

Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV.

10.            Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899).

Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV.

Lembaga Yamtuan Muda dihapuskan oleh Sultan Riau Lingga yang berakhir tahun 1900 yaitu oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl, yang memindahkan pusat kerajaan Riau Lingga dari Daik ke pulau Penyengat dan menjadikan pulau Penyengat sebagai pusat Kerajaan Riau Lingga pada tahun 1903-1911.

Kerajaan Riau Lingga

Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau .

Kerajaan Riau Lingga memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.

Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berdiri sekitar tahun 1528-1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan Malaka, terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris, pada tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London, yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan Sumatra serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. Hal ini memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan akhirnya pada tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).

Historiografi

Masih terdapat banyak bukti fisik sisa-sisa Kerajaan Riau Lingga di kepulauan Riau, terutama di Daik Lingga sebagai pusat Kerajaan Johor-Riau pada tahun 1787 hingga 1824 M dan juga merupakan pusat kerajaan Riau Lingga pada tahun 1824 hingga 1903, pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau dari tahun 1787 M dan tahun 1903 sebagai pusat Kerajaan Riau Lingga.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Riau Lingga

Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah (Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan diri ke Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada tahun 1526 Portugis berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum Kampar, kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak, Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.

Kerajaan Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, hal ini disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan, Yaitu Tengku Hussain/ Tengku Long dan Tengku Abdul Rahman.

Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat.

Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga, Tengku Hussain masih berada di Pahang .

Sekembalinya tengku Hussain dari Pahang menuntut haknya sebagai putra tertua almarhum Sultan Mahmud Syah lll untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah lll.

Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul Rahman, dikarenakan ketika putra sulungnya Tengku Hussain sebelum pergi ke Pahang Sultan Mahmud Syah lll belum mangkat dan Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat yang pesannya :

Jika Baginda ditakdirkan mangkat, Putra Sulung, yaitu Tengku Hussain/Tengku Long bakal menggantikan sebagai Sultan Johor-Riau.

Putra ke dua Tengku Abdul Rahman yang sangat kuat menjalankan ibadah Islam, agar dapat berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah Haji.

Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap menuntut haknya.

Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.

Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman. Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga.

Kejayaan Kerajaan Riau Lingga

Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858). Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan sebagainya ke Daik.

Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga).
  
Berakhirnya Kerajaan Riau Lingga

Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.

Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut.

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar.

Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll.

Atas pertimbangan jangan terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan.

Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.

Kepulauan Lingga adalah gugusan pulau-pulau di Indonesia, di selatan Kepulauan Riau dan di timur Pulau Sumatera. Garis khatulistiwa melewati kepulauan ini, yaitu di ujung utara Pulau Lingga, pulau utama di kepulauan ini.
Kebanyakan populasi adalah suku Melayu, Bugis dan Tionghoa

Asal Mula Nama Daik dan Lingga

Asal mula nama Daik.

          Disuatu masa berdatanglah para perantau dari Mandir, Pangkalan Lama dan Jambi ke Daik. Sebelum sampai di Daik, Mereka singgah disalah satu pulau yang bernama Mepar (dahulu pulau Mepar bernama pulau Lepa dan lama kelamaan menjadi Mepar). Kemudian menyusuri sungai disekitar pulau Mepar, dalam penyusuran tersebut mereka menancapkan pancang sebagai tanda bahwa mereka telah menyusuri sungai yang bersangkutan. Tanda-tanda itulah yang akhirnya membuat sungai bersangkutan disebut sebagai sungai Tanda. Dari sungai ini mereka melanjutkan perjalanan dan sampailah disebuah tempat yang tanahnya datar, airnya jernih mengalir dari air gunung, ditempat ini mereka sangat terkesan, menurut mereka tempat ini sangat baik. Kesan inilah yang kemudian menjadi nama sungai dan daerah sekitarnya, dengan perkataan lain sungai dan daerah sekitarnya diberi nama Baik. Akan tetapi nama itu lama-kelamaan berubah menjadi Daik, tidak diketahui kapan kata Baik berubah menjadi Daik, mungkin karena sejak seseorang salah dengar sehingga kata Baik menjadi Daik.

Asal mula nama pulau Lingga.

          W.P. Groeneveledt dalam bukunya yang berjudul History Notes on Indonesian and Malay, menyebutkan bahwa nama Lingga berasal dari kata Ling yang berarti Naga dan Ge yang berarti Gigi, tidak jauh berbeda dengan nama yang diberikan oleh para perantau Cina. Menurut para perantau Cina, sebelum mereka sampai di Daik, mereka melihat sebuah gunung (gunung Daik) yang bentuk puncaknya seperti Gigi Naga atau Tanduk Naga yang bercabang dua,(konon, dahulu bercabang tiga) yang mereka sebut Lengge. Istilah Lingga juga terkait dalam pengertian keagamaan agama Hindu, dikarenakan gunung Daik bercabang tiga, dan salah satu puncak gunung menyerupai perlambang phallus, puncak tertinggi dinamakan gunung Daik, terendah disebut gunung Cindai dan puncak yang tengah disebut gunung pejantan.

 Jauh sebelum Daik Lingga dijadikan pusat Kerajaan Johor-Riau oleh Sultan Mahmud Syah lll / Yang dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl dan pusat Kerajaan Riau Lingga oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll yang juga merupakan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l setelah Kerajaan Johor-Riau dipecah menjadi dua yaitu Kerajaan johor dan Kerajaan Riau Lingga pada tahun 1824, pada mulanya daerah Lingga dan sekitarnya didiami oleh Orang Suku Laut, dengan dipimpin oleh kepala sukunya yang disebut Batin.

Kemudian pada akhir abad ke-18 datang Datuk Mata Kuning yang merupakan putra dari Datuk Mata Merah yang berasal dari Pangkalan Lama Jambi datang ke Lingga.Selama beberapa tahun Datuk Mata Kuning Memegang kekuasaan di wilayah Lingga dengan gelar Datuk Megat Kuning.

Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Syah lll /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl memindahkan pusat Kerajaan Johor-Riau dari Hulu Riau Bintan dengan membawa sebanyak 200 kapal perahu layar pindah ke Daik Lingga dan tempat kedudukan Yamtuan Muda juga dipindahkan dari Hulu Riau Bintan ke pulau Penyengat pada tahun yang sama. Sejak saat itu Datuk Megat Kuning menyatakan sebagai hamba Sultan mahmud Syah lll, kemudian Datuk Megat Kuning diangkat menjadi Orang Kaya Temenggung yang bertugas menjaga keamanan perairan Lingga dan bertempat tinggal di pulau Mepar, di pulau Mepar dibangun benteng lengkap dengan meriam-meriam sebagai salah satu benteng pertahanan Kerajaan. Sebelum itu Datuk Kaya Temenggung tinggal di Semarong Daik (Mentok) dan kemudian pindah ke Kopet Daik (Melukap) baru setelah itu pindah ke pulau Mepar dan menetap disana.

Sultan-Sultan yang memerintah di Daik Lingga, sebagai berikut :

1.     Sultan Mahmud Syah lll /Yang Dipertuan Besar Johor-pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812).

Sultan Mahmud Syah lll  /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga XVl, menikah dengan Raja Hamidah /Engku Puteri dengan mas kawinnya adalah Pulau Penyengat Indra Sakti.Sultan Mahmud Syah lll adalah Sultan yang memindahkan pusat Kerajaan Johor-Riau yang sebelumnya  berada di Hulu Riau Bintan pindah ke Daik Lingga. Pada tahun yang sama yaitu tahun 1787, tempat kedudukan Yamtuan Muda juga dipindahkan dari Hulu Riau Bintan ke pulau Penyengat.

Pada tahun 1782, Sultan Mahmud Syah lll dan Bendahara Pahang, Tun Abdul Majid serta pembesar Kerajaan Johor-Riau memenuhi undangan Gubernur Belanda di Malaka.

Sesampainya di Malaka, Sultan Mahmud Syah lll dipaksa menandatangi suatu perjanjian yang sangat merugikan pihak Kerajaan Johor-Riau.

Sejak tahun 1782 hingga 1784 terjadi perlawanan Kerajaan Johor-Riau terhadap belanda yang dikenal dengan Perang Riau.

Ketika sudah di Hulu Riau Bintan atas musyawarah dan mufakat pembesar-pembesar Kerajaan Johor-Riau, Sultan Mahmud Syah lll telah mengirim utusan secara rahasia ke Tempesok Kalimantan untuk menemui Raja Lanun Tempesok agar membantu menyerang Belanda di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Sekitar antara tahun 1782 hingga 1784, sebanyak 40 kapal layar besar yang membawa askar Lanun dari Tempesok datang bersama-sama pasukan Kerajaan Johor-Riau untuk menyerang Belanda di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau dan akhirnya Belanda dapat dikalahkan. Sejak dimulainya Perang Riau tahun 1782-1784 banyak menewaskan ribuan tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. 

Namun pada tahun 1784 Belanda menyerang kembali Kerajaan Johor-Riau dengan membawa pasukan yang lebih banyak dan akhirnya Kerajaan Johor-Riau dapat ditaklukkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Kerajaan Johor-Riau berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Kerajaan Johor-Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan penggantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. 

Dan Kerajaan Johor-Riau ketika itu menjadi sebuah koloni VOC. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Kerajaan Johor-Riau kembali menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagai kelemahan pemerintahan Kerajaan Johor-Riau ketika itu, Kerajaan Johor-Riau kembali dalam pengaruh Belanda pada tahun 1815 ketika seluruh jajahan Belanda dikembalikan oleh Inggris.

Sebelum itu, Pada tahun 1787, Sultan Mahmud Syah lll bersama angkatan sebanyak 200 kapal perahu layar dari Hulu Riau Bintan menuju ke Daik Lingga, sedangkan Bendahara Tun Abdul Majid dengan angkatannya 150 kapal perahu layar meninggalkan Hulu Riau Bintan kembali ke Pahang.

Tidak berapa lama di Daik Lingga, Sultan Mahmud Syah lll pergi ke Trengganu menemui Sultan Mansyur. Pada masa yang lain, Temenggung Abdul Jamal telah dijemput Sultan Mahmud Syah lll dari Daik mengiringi Sultan ke Pahang. Sultan Mahmud Syah lll mengikhtiarkan untuk mengadakan perdamaian dengan Belanda di Malaka serta membatalkan perjanjian terdahulu yang merugikan pihak Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga.

Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat di Daik dan dimakamkan di halaman belakang Mesjid Jami’ Daik Lingga (Mesjid Jami’ Sultan Lingga) dan digelar Marhum Mesjid.

Dimasa pemerintahan Sultan mahmud Syah lll telah membangun benteng pertahanan Kerajaan di Daik Lingga, benteng pulau Mepar, benteng Bukit Ceneng dan benteng Kuala Daik, Mesjid Jami’, Istana Pangkalan Kenanga (Istana Lingga), Istana Kota Baru dan Istana Damnah
 
2.    Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah / Tengku Abdul Rahman/Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll dan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).

Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat.

Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga, Tengku Hussain masih berada di Pahang .

Sekembalinya tengku Hussain dari Pahang menuntut haknya sebagai putra tertua almarhum Sultan Mahmud Syah lll untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah lll.

Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul Rahman, dikarenakan ketika putra sulungnya Tengku Hussain sebelum pergi ke Pahang Sultan Mahmud Syah lll belum mangkat dan Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat yang pesannya :

Jika Baginda ditakdirkan mangkat, Putra Sulung, yaitu Tengku Hussain/Tengku Long bakal menggantikan sebagai Sultan Johor-Riau.

Putra ke dua Tengku Abdul Rahman yang sangat kuat menjalankan ibadah Islam, agar dapat berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah Haji.

Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap menuntut haknya.

Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.

Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman. Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga.

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah terkenal alim dan giat menyebarkan agama Islam dan gemar berpakaian Arab.

Istana Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah di Pangkalan Kenanga, kanan mudik sungai Daik.

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah mangkat pada tahun 1832 (malam Senin, 12 Rabiul Awal 1248 H) dan dimakamkan di Bukit Cengkeh, Daik Lingga.

 3.     Sultan Muhammad Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke ll (1832-1835)

Sultan Muhammad Muazzam Syah adalah putra Sultan Abdul Rahman Syah dengan permaisurinya Raja Fatimah, dilantik menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga ke ll, bergelar Sultan Muhammad Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke ll. Sultan Muhammad Muazzam Syah ll menggemari Arsitektur,pada masa pemerintahannya, membangun Istana yang disebut Keraton, pada masa pemerintahannya dikoordinir seni, ukiran, tenunan, kerajinan emas dan perak. Pusat pertenunan di kampung Mentok Daik, pusat kerajinan di kampung Tembaga Daik, serta merencanakan pembangunan Istana Bilik 44 yang direncanakan untuk semacam Museum Kerajaan, untuk menyimpan barang-barang hasil kerajinan atau menurut sumber lain sebagai tempat tinggal keluarga Diraja, tetapi belum selesai dikarenakan Sultan Muhammad Muazzam Syah ll mangkat.

Sultan Muhammad Muazzam syah ll Mangkat pada tanggal 9 Januari 1841, dimakamkan di Bukit Cengkeh, digelar Marhum Keraton.

4.    Sultan Mahmud Muzaffar Syah / Tengku Mahmud/Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lll (1841-1857)

Sultan Mahmud Muzaffar Syah adalah putra Sultan Muhammad Muazzam Syah ll, dikenal tidak menghargai Belanda, terutama Residen Belanda di Tanjung Pinang Bintan dan Komisaris Belanda di Singapura.

 Sultan Mahmud Muzaffar Syah tidak senang dengan sikap Belanda yang selalu ikut campur urusan Kerajaan Riau Lingga dan sering bepergian keluar daerah seperti ke Singapura, Johor, Pahang, Trenggano, dan sebagainya tanpa memberitahu Residen Belanda di Tanjung Pinang. Karena hal itu, tanggal 23 September 1857 dibacakan surat pemakzulan oleh Komisaris Belanda di Singapura.

Untuk menghindari pengasingan ke Batavia secara diam-diam Tengku Mahmud kembali ke Daik mengambil hartanya tetapi Belanda mengetahui dan tidak membenarkan Tengku Mahmud keluar dari Daik, sehingga Tengku Mahmud membuka jalan dari Istana Damnah menuju Resun, menyusuri sungai hingga ke Pancur dan dengan kapal perahu layar pergi ke Singapura, Pahang, Trenggano, dan menetap di Siam, sehingga keluarganya yang bernama Tengku Syarifah menikah dengan Raja Siam, dan kemudian kembali lagi ke pahang. Tengku Mahmud mangkat pada tanggal 8 Juli 1864 di Pahang didekat pemakaman keluarga Bendahara Pahang (Malaysia) dan digelar Marhum mangkat di Pahang.

5.     Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV (1857-1883)        

Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga menggantikan keponakannya, Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Dilantik berdasarkan perintah dari Gubernur General Belanda di Batavia.

Pengangkatan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll sebagai Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV oleh Belanda, mengakibatkan terjadinya perang Reteh selama 25 hari, dikenal dengan pemberontakan Manhasar ,tapi Reteh akhirnya tunduk kembali kepada Kerajaan Riau Lingga.

Di Masa pemerintahannya, Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll berupaya meningkatkan kehidupan rakyat, antara lain dengan :

Menganjurkan dan menukar tanaman Padi dengan pohon Sagu/ Rumbia dan gambir serta membuka Industri Sagu pada tahun 1860.

Membuka pertambangan Timah di kolong Sultan/ Singkep (ketika itu mandor nya bernama La Abok, seorang Bugis dan kulinya Cina Singkek. Menurut cerita nama inilah menjadi Dabo Singkep sekarang).

Membuka jalan dari Dabo ke Jagoh.

Membuat kapal untuk memperlancar ekspor hasil keluar Kerajaan, antara lain membuat kapal Sri Lanjut, Gempita, Betara Bayu, dan Sri Daik.

Menggalakkan kerajinan rakyat Riau Lingga untuk dipasarkan keluar Kerajaan.

Mendirikan sekolah pada tahun 1875 (kini SD Negeri 001 Daik) dengan guru pertamanya, Qary Sulaiman tamatan Sekolah Raja di Fort de Cock.

Pada zaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll, Kerajaan Riau Lingga mencapai zaman keemasannya, walaupun Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll diangkat oleh Belanda, namun Sultan tidak bekerja sama dengan Belanda dan jumlah penduduk dari berbagai etnis yang bertempat tinggal di Daik pada masa pemerintahannya saja mencapai ± 20.000 jiwa.

Pada tahun 1883 Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll mangkat dan dimakamkan di Bukit Cengkeh, Daik Lingga.

6.       Tengku Embung Fatimah (1883-1885)

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll tidak memiliki putra, maka sebagai penerus Sultan, dilantik Tengku Embung Fatimah yaitu Putri Sultan Mahmud Muzaffar Syah sebagai penerus Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll

Tengku Embung Fatimah merupakan Istri dari Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi Yang Dipertuan Muda ke X yang berkedudukan di pulau Penyengat. Setelah Tengku Embung Fatimah dilantik menjadi Sultanah Kerajaan Riau Lingga ke V di Daik Lingga, maka Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi /Yang Dipertuan Muda ke X selalu pulang pergi dari Penyengat ke Daik, pada masa pemerintahannya, Tengku Embung Fatimah telah mendirikan Istana Pribadi yang disebut Istana Robat, ketika itu Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan sebagainya ke Daik.

Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga).

Pada tahun 1885 atas mufakat raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi Yang Dipertuan Muda ke X/ suami Sultanah Tengku Embung Fatimah, maka ditetapkan Raja Abdul Rahman putra mereka sendiri sebagai pengganti Sultanah Tengku Embung Fatimah.

7.       Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke VI (1885-1911)

Raja Abdul Rahman diangkat menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga ke VI dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke VI didampingi oleh ayahnya Raja Yusuf Al-Ahmadi Yang Dipertuan Muda ke X beserta bundanya Tengku Embung Fatimah, setelah Yamtuan Muda ke X wafat, maka jabatan Yang Dipertuan Muda yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Melayu-Bugis disatukan dengan jabatan Raja oleh Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah ll pada tahun 1899. Kendali pemerintahan dipegang beliau dengan bantuan bundanya Tengku Embung Fatimah, untuk memperkuat kedudukannya Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll menikah dengan Tengku Zahara Yang bergelar Engku Ampuan.

Pada tahun 1903, pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga dipindahkan dari Daik Lingga ke pulau Penyengat oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll, dan Engku Aman Kelang ditunjuk sebagai Wakil Kerajaan Riau Lingga di Daik Lingga.

Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll terang-terangan menantang Belanda, maka pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga.

Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut.

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar.

Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll.

Atas pertimbangan jangan terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan.

Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga secara penuh pada tahun 1913.

Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll beserta keluarga Diraja dan pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga kemudian pergi ke Daik Lingga dengan kapal Sri Daik untuk mengambil harta benda pribadi dan kemudian membawa pula harta pribadi masing-masing di Penyengat, lalu meninggalkan pulau Penyengat menghindari penangkapan oleh Belanda untuk diasingkan ke Batavia menuju ke Singapura.

Pada pagi Minggu, tanggal 28 September 1930 Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Wafat di Singapura dan dimakamkan di Bukit Raden Teluk Belanga Singapura.

Peninggalan-peninggalan Sejarah Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga dan Kerajaan Riau-Lingga, sebagai berikut :

1.     Mesjid Jami’

Mesjid jami’ Sultan Lingga/Mesjid jami’, terletak ditengah-tengah kota Daik. Didirikan oleh Sultan Mahmud Syah lll/Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVI dipusat kota Daik sekitar awal abad 18 Masehi.

          Pada mulanya Mesjid Jami’ hanya menampung 40 orang jamaah, diperbaharuinya Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat di pulau Penyengat Indera Sakti, tempat kedudukan Yamtuan Muda dan Permaisuri Sultan Mahmud Syah lll yaitu Engku Hamidah, di Daik Mesjid Jami’ Sultan Lingga inipun diganti dengan bangunan beton tanpa diberi tiang sebagai penyangga, hingga sekarang Mesjid Jami’ tersebut masih dapat memuat sekitar 400 orang jamaah, dilengkapi dengan tempat berwudhu’ yang berupa perigi/ kolam air, terletak disebelah kanan mesjid.

          Mimbar Mesjid Jami’ di Daik Lingga dan mimbar Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat adalah sama, dibuat oleh pengukir dikawasan Semarang, Jawa Tengah.

          Di belakang Mesjid Jami’ terdapat makam, salah satu diantaranya adalah makam Sultan Mahmud Syah lll/Marhum Mesjid, pendiri Mesjid Jami’. Sebelum Mesjid Jami’ dipugar, atas kemauan Sultan mahmud Syah lll dibangun lagi mesjid di kampung Pahang dan hanya dipakai untuk sekali Jum’at, karena keadaan tanah yang kurang bagus, mesjid yang dibangun di kampung pahang tersebut jadi memburuk,hingga sekarang bangunan mesjid yang berupa reruntuhan tersebut masih dapat kita lihat.

2.     Istana Damnah

Istana Damnah adalah salah satu bangunan yang masih bisa kita lihat walaupun sekarang hanya tinggal reruntuhan. Istana Damnah dibangun pada tahun 1860 pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll/ yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV di Damnah, Daik Lingga. Komplek Istana Damnah yang luasnya ± 5 , merupakan bangunan semi permanen dengan bahan dasar bangunan berupa campuran batu-batu dan semen, seperti pondasi yang dibuat umumnya oleh masyarakat saat ini. Sampai saat ini di area komplek Istana Damnah masih dapat dijumpai puing-puing yang dapat dijadikan bukti-bukti yang memperkuat kenyataan tentang keberadaan Istana Damnah tersebut dimasa lampau.

Terdapat tiang bendera Kerajaan yang unik dan porosnya terbuat dari besi baja cor di Glaseow Inggris (sekarang sebagai tiang bendera di halaman Kantor Bupati Lingga), juga terdapat 2 patung Singa dari keramik Cina (sekarang terdapat di depan Kantor Camat Dabo Singkep).

Jika kita mengamati denah bangunan Istana Damnah, maka akan tampak seperti pola atau motif Gajah Menyusu Anak atau Ibu Menggendong Anak. Pondasi bangunan paling depan yang dulunya merupakan Balai Rung Sari, dibuat dari campuran semen dan batu bata, dikeliingi tangga-tangga kecil yang berjumlah 32 buah, bangunan Balai Rung Sari tidak berlantai panggung.

Semakin masuk kedalam setelah Balai Rung Sari terdapat 2 tangga naik menuju Istana Induk. Tangga ini sejajar menghadap Balai Rung Sari, bangunan ini adalah yang paling terlihat menjolok jika kita melihat dari jalan menuju komplek Istana Damnah tersebut, karena semen pelapis bagian luarnya masih tampak dan terdapat pula pecahan keramik tangga tersebut. Tangga tersebut sangat kokoh dan memiliki gaya arsitektur yang cukup bagus dengan seni yang tinggi untuk ukuran saat itu. Bangunan Istana Induk ini berbentuk pangung, juga diperkuat dengan tonggak semen yang berjumlah 22.

Terpisah dari Istana Induk, yaitu dapur Istana, memiliki sebuah kolam kecil untuk mencuci kaki, kolam tersebut berada di dapur bagian muka yang terbuat dari susunan batu bata. Kolam itu berfungsi untuk mencuci kaki setelah keluar dari dapur untuk menuju Istana Induk, tidak beberapa jauh dari kolam itu terdapat susunan batu bata yang berbentuk persegi panjang yang diperkirakan berfungsi sebagi tempat menghangatkan badan.

Istana itu juga memiliki kamar kecil (WC) dilengkapi dengan kolam penampung. WC itu, menyerupai colos’ete yang umumnya dipakai masyarakat saat ini, hanya saja terbuat dari campuran batu bata yang dilapisi semen.

Disana juga terdapat satu kolam yang nyaris tidak mendapat perhatian, karena hanya berupa cengkungan (kolam tanah biasa), yang terpisah dari dapur. Kolam ini digunakan sebagai tempat pemandian, dikomplek Istana Damnah bagian belakang dibuat parit Istana untuk memisahkan bangunan dengan dunia luar.

Diselah kiri dan kanan komplek Istana terdapat bangunan yang menyerupai tugu sabagai  pintu gerbang masuk komplek Istana Damnah, sebab satu pintu gerbang terdiri dari 2 tiang, saat ini yang tersisa hanya 3 tiang yang dengan bahan dasar bangunan berupa batu bata.

3.     Situs pondasi Bilik 44

Bangunan pondasi Bilik 44 direncanakan Sultan Muhammad Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke II direncanakan sebagai Museum Kerajaan, tempat menyimpan berbagai hasil kerajinan, sumber lain sebahai tempat tinggal keluarga Diraja, tetapi belum sempat siap dikarenakan Sultan Muhammad Muazzam Syah ll mangkat dan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzzafar Syah/ Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke III.

Ukuran pondasi Bilik 44 ini sekitar 48X49 meter dan jumlah pondasi ruangan yang baru disiapkan sebanyak 32 buah. Belum selesainya pembangunan bilik ini disebabkan karena diturunkannya Sultan Mahmud Muzzafar Syah dari tahta pada tanggal 23 September 1857 dan Sultan selanjutnya tidak meneruskan pembangunan tersebut.

4.     Makam Sultan Mahmud syah lll /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl

Sultan Mahmud Syah lll mangkat di Daik Lingga pada tanggal 12 Januari 1812 dan dimakamkan di halaman belakang Mesjid Jami’ dan digelar Marhum Mesjid

5.     Makam Pembesar Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga dan Kerajaan Riau Lingga

Makam kerabat Diraja, Pembesar-Pembesar Kerajaan, dapat dilihat dari bentuk nisan besar dipagari tembok yang sudah runtuh, juga terdapat disekitar Mesjid Jami’.

 6.     Makam Bukit Cengkeh

Makam Bukit Cengkeh terletak di Bukit Cengkeh, Jl. Sultan Abdurrahman, berjarak sekitar 25 meter sebelah barat aliran Sungai Tanda. Pintu gerbangnya terbuat dari besi berukuran tinggi sekitar 2 meter dan terletak di sisi tenggara. Di bagian tengah kompleks makam terdapat bangunan berdenah persegi delapan (oktagonal) yang merupakan cungkup makam salah satu Sultan kerajaan Riau Lingga. Makam ini dikelilingi oleh bangunan yang terbuat dari batu bata dengan posisi melintang.

Di Makam Bukit Cengkeh banyak terdapat makam-makam keluarga Kerajaan. Termasuk makam Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll dan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke 1digelar Marhum Bukit Cengkeh, makam Sultan Muhammad Muazzam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke II digelar Marhum Keraton dan makam Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV.

 7.     Benteng Pulau Mepar

Benteng Pertahanan Pulau Mepar merupakan benteng pertahanan lapis pertama, penuh dengan meriam-meriam besar, salah satunya adalah meriam Sumbing yang memiliki keistimewaan, terletak diatas Bukit Mepar.

Benteng ini berbentuk segi empat, segi tiga dan L.

8.     Benteng Bukit Ceneng

Benteng ini terletak di bukit Ceneng yang jaraknya sekitar 1,5 km dari kampung Seranggong Tanda Hilir.Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III/ Yang Dipertuan Besar Johor-Riau ke XVI.

Di dalam benteng terdapat 19 meriam terbuat dari besi, dua diantaranya bertuliskan angka 1783 dan 1797 serta VOC. Meriam terpanjang berukuran panjang 2,80 m dan berdiameter 12 cm, disebut juga dengan Meriam Tupai Beradu yang diapit kiri-kanan dengan meriam Mahkota Raja.

Dari atas bukit Ceneng kita dapat melihat dengan jelas pulau-pulau lain yang ada disekitarnya, seperti pulau Mepar dan pulau Kelombok. Selain dapat melihat dengan jelas pulau-pulau, kita juga dapat melihat dengan jelas arus lalu lintas perairan disekitarnya, sehingga tempat ini sangat strategis dan dijadikan benteng pertahanan lapis kedua.

9.     Benteng Kuala Daik

Dibenteng Kulala Daik terdapat meriam-meriam yang banyak dan masih terbenam di Kuala Daik, merupakan tempat lalu lintas sungai Daik yang dulunya dalam dan lebar, dapat  dilewati kapal dagang Kerajaan sampai ke kampung Pahang, bahkan sampai ke Pabrik Industri Sagu Kerajaan. Kuala daik berhampiran dengan depan pulau Kelombok. Benteng Kuala Daik ini disebut sebagai benteng pertahanan lapis ketiga.

10.            Benteng Tanjung Cengkeh

11.            Meriam Tegak di Dabo Singkep

Alkisah konon ceritanya seorang putri dari Kerajaan Riau Lingga berkelahi dengan Pangeran, karena sesuatu hal, putri tersebut marah dan menancapkan sebuah meriam, yang sampai sekarang dapat dilihat di daerah pantai batu berdaun, namun meriam tersebut tidak diambil/ dicabut.

12.            Tempat Pemandian Putri Diraja, Lubuk Pelawan

Merupakan tempat pemandian putri-putri Pembesar Kerajaan dan putri Diraja.

13.             Istana Pangkalan Kenanga/ Istana Lingga

Dibangun di Pangkalan Kenanga, Daik Lingga. Yang dilengkapi dengan benteng pertahanan dengan bukit, ditemukan meriam-meriam lama disekitar lokasi Pangkalan Kenanga tersebut baik dalam ukuran kecil maupun besar (sekarang banyak dipindahkan), bahkan ada dua meriam yang terbuat dari tembaga, kemungkinan pada masa lalu meriam-meriam tersebut digunakan sebagai simbol yang berkaitan dengan acara-acara pelantikan atau penobatan Raja.

14.            Hubungan Darat / Laut

Jalan dari Daik ke Tanjung Buton ataupun jalan dari Daik ke Resun dibuka pada waktu Sultan Mahmud Muzaffar Syah/ Tengku Mahmud yang telah dimakzulkan oleh Belanda pada tanggal 23 September 1857 oleh Komisaris Belanda di Singapura dan untuk menghindari pengasingan ke Batavia secara diam-diam Tengku Mahmud kembali ke Daik mengambil hartanya tetapi Belanda mengetahui dan tidak membenarkan Tengku Mahmud keluar dari Daik, sehingga Tengku Mahmud membuka jalan dari Istana Damnah Daik menuju Resun, menyusuri sungai hingga ke Pancur untuk pergi ke Singapura, Pahang, Trenggano, dan Siam.

Jalan dari Dabo ke Jagoh dibuka pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll/ Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV (1857-1883).

15.            Pertambangan Timah

Pertambangan Timah di pulau Singkep yang hingga sekarang masih ada walaupun tidak banyak lagi, mulai dibuka pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV (1857-1883).

16.            Berbagai Nama Kampung

Nama-nama kampung disekitar Bandar Ibukota Negeri Daik dan sekitarnya termasuk dalam kawasan pulau Lingga, Senayang dan Singkep serta gaya bahasa Melayu tinggi dan asli berasal dari Malaka, Johor, Pahang dan Riau Lingga merupakan salah satu bukti kuat pernah dijadikannya Daik Lingga sebagai pusat Kerajaan.

17.            Kebun Sagu/ Rumbia

Pada tahun 1860, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV menganjurkan menanam pohon Sagu/ Rumbia dan membuka Industri Sagu Kerajaan, hingga sekarang Kebun Sagu/ Rumbia dan Pabrik Industri Sagu masih banyak terdapat di pulau Lingga.

18.            Sekolah Kerajaan

Sekolah Kerajaan yang sekarang adalah SD Negeri 001 Daik didirikan pada tahun 1857 pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll/ Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV.

19.            Istana Kota Baru/Istana Robat

Istana Robat dibangun pada masa pemerintahan Sultanah Engku Embung Fatimah sebagai Istana Peradun atau Istana Pribadi, terletak di sekitar kantor Bupati Lingga sekarang.

20.            Makam Merah

Pemberian nama Makam Merah sangat berkaitan dengan latar belakang warna cat yang digunakan adalah berwarna merah, karena itu makam ini disebut dengan Makam Merah, terletak sekitar 800 m dari Istana Damnah. Makam ini beratap seng yang disangga dengan tiang-tiang yang terbuat dari besi yang tingginya sekitar 250 cm, juga berwarna merah. Di Makam Merah terdapat makam Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi /Yang Dipertuan Muda Riau ke X yang wafat pada tahun 1899.

21.          Mercusuar di gugusan pulau Berhala.

Pembangunan Mercusuar/ Menara Api untuk keselamatan dan keamanan pelayaran di Selat Berhala dibangun pada tanggal 24 Nopember 1858 pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll/ Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke IV atas permintaan Mr. Versteegh utusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).

22.            Naskah-naskah Kitab

Dengan adanya Naskah-naskah Kitab tulisan tangan yang masih tersimpan, salah satunya dikediaman Tun Husin, anak dari Tengku Muhammad Saleh Lingga, juga merupakan salah satu bukti kuat bahwa di Damnah Daik sebagai pusat agama Islam pada masa Kerajaan Johor-Riau maupun pada masa Kerajaan Riau Lingga.

23. Benda-benda Cagar budaya dari bahan kuningan

Cukup banyak benda-benda budaya yang pernah diproduksi di Daik yang mulai berkembang pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muazzam syah (1832-1841), lokasi pembuatan kini dikenal dengan Kampung Tembaga. Jenis-jenis benda budaya yang terbuat dari kuningan seperti: paha (tempat meletak makanan/lauk pauk), keto (tempat membuang sampah/ludah), bon (tempat menyimpan jarum, benang, kapur sirih), tepak sirih, sanggan, semerep (untuk meletak kue), talam (tempat menghidang), sangku (tempat cuci tangan), embat-embat (tempat wewangian), kandil (lampu minyak kelapa) dan lain-lain sebagian benda-benda cagar budaya dari kuningan tersebut dan sebagainya masih ada disimpan di Museum Linggam Cahaya.

24.          Senjata Membela Diri dan Berburu

Jenis senjata membela diri dan berburu terdiri dari keris, lembing, sundang, jenawi, badik, kampel, trisula dan toga. Dapat kita lihat di Museum Linggam Cahaya di Damnah Daik.

25.          Alat Kesenian Tradisional

Alat Kesenian Tradisional seperti, Gong, gendang, gambus dan marwas adalah alat-alat kesenian tradisional yang lazim dipakai pada acara adat dan budaya melayu, juga dapat kita lihat di Museum Linggam Cahaya di Damnah Daik Lingga.

26.          Corak - Ragi Tenun dan Tekat Melayu

Kegiatan bertenun kain dan bertekat juga pernah berkembang di Lingga di masa silam seperti pernah ditekuni masyarakat Kampung Mentok, Siak, Sepincan, Tanda dan Gelam. Produksinya yang cukup dikenal antara lain kain telepok, cindai, mastuli, cekal dan gramsut sedangkan hasil tekatan berupa tudong manto, tampok bantal gadok, tampok bantal empet, tampok bantal teluk buaya dan pengait kelambu.

27.          Aneka Ragam Tempayan, Taka dan Botol      
   
Beragam bentuk tempayan, taka dan botol yang terbuat dari tanah. Selain berguna untuk menyimpan air, tempayan juga dipakai untuk menyimpan beras, lobak dan telur asin, benda-benda lama tersebut masih ada disimpan di Museum Linggam Cahaya.

28.         Aneka Piring dan mangkok


Hubungan dagang Kerajaan Riau Lingga dengan Negara luar dimasa silam meninggalkan bukti berupa pinggan/piring, mangkok dan kendi buatan dari Cina mulai dari zaman dinasti Ming, Sung dan Yuan maupun dari daratan Eropa.

Sumber : muizzuddinlingga