Sunday, 14 April 2019

Kerajaan Yang Ada Di Riau

Kerajaan Yang Ada Di Riau

1.Kerajaan Pelalawan

1. Sejarah

a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)

Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan, raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.

Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.

Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460), Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.

b.  Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)

Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.

Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.

Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).

Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).

Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.

Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).

Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).

c.  Kerajaan Tanjung Negeri  (1675-1725)

Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691).

Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya, Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.

d.  Kerajaan Pelalawan (1725-1946)

Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750).Pada masa ini diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar,  jauh di hilir Sungai Nilo.

Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).

Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.

Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan Begitu (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. 

Maharaja Lela II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.

2. Silsilah

Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:

a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)

Maharaja Indera (1380-1420)
Maharaja Pura (1420-1445)
Maharaja Laka (1445-1460)
Maharaja Sysya (1460-1480)
Maharaja Jaya (1480-1505).

b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)

Munawar Syah (1505-1511)
Raja Abdullah (1511-1515)
Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
Tun Hitam (1551-1575)
Tun Megat (1575-1590)
Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).

c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)

Maharaja Lela Utama (1675-1686)
Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
Maharaja Muda Lela (1691-1720)
Maharaja Dinda II (1720-1725).

d. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)

Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
Maharaja Lela II (1775-1798)
Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
Syarif Hasyim (1822-1828)
Syarif Ismail (1828-1844)
Syarif Hamid (1844-1866)
Syarif Jafar (1866-1872)
Syarif Abubakar (1872-1886)
Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
Syarif Hasyim II (1892-1930)
Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).

3. Periode Pemerintahan

Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudian Tanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.

4. Wilayah Kekuasaan.

Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.

5. Struktur Pemerintahan

Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.

2.Kerajaan Siak

Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.

Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.

Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.

Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.

Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Berikut adalah daftar sultan-sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (1725-1746)
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II (1746-1765)
Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766)
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780)
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782)
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (17821784)
Sultan Assaidis Asyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810)
Sultan Asyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815)
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854)
Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Kasyim I, 1864-1889)
Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908)
Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin I (Syarif Kasyim II), (1915-1949)

Di Awal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999

 3.Kerajaan Tambusai

Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat

Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:

– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.

– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)
Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.

Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. 

Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. 

Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari pihak Belanda.

Sumber: link

Daftar Raja 

Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
1864-1887: Raja XV. Sultan Abdul Wahid
1887-1916: Raja XVI.Sultan Zainal Abidin
1916: Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.

Sumber : link

(Disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung Raja Tambusai XIX).

Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua dibentuklah Datuk Non Berempat: Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo

Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai.

4. Kerajaan Kandis

Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua yang ada di Indonesia, berdiri pada abad pertama Masehi.Lebih tua dari kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan ini konon terletak di tengah-tengah pulau sumatera. Meskipun telah ditemukan beberapa bukti kuat untuk membuktikan eksistensi kerajaan ini, pemerintah belum berani untuk memasukkan materi Kerajaan Kandis ke kurikulum pembahasan mata pelajaran sejarah baik dari SD sampai SMA.

Alexander The Great sering dikaitkan dengan sejarah pendirian kerajaan ini. Ia sering kita dengar dengan nama Zulqarnaen, sang penakluk dari timur. Pada suatu masa di pengembaraan penaklukannya, ia singgah di sebuah pulau yang sekarang kita kenal dengan nama Sumatera. Di sini ia menikah dengan seorang wanita pribumi dan dikaruniai 2 orang putra. Kedua putranya inilah yang seanjutnya bertahta di Indonesia.

Kerajaan kandis berbentuk lingkaran bertingkat, mirip seperti deskripsi kota Atlantis. Terdapat dua teori yang menjelaskan fenomena ini. Yang pertama, Kota Atlantis yang merupakan misteri kuno global sebenarnya adalah kerajaan Kandis yang berada di Indonesia. Kedua, sang Zulqarnaen (Alexander The Great) menceritakan pengalaman perjalanannya ke kota Atlantis kepada Ke-dua putranya. Lalu kedua putra Alexander merealisasikan apa yang telah di ceritakan oleh ayah mereka.

Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi-nya, kerajaan Kandis membuka sebuah tambang emas yang disebut dengan tambang titah, karena dibuat berdasarkan titah (perintah) raja. Sampai saat ini kita masih dapat menyaksikan bekas dari tambang tersebut, dan merupakan salah satu bukti sejarah tertua di Indonesia.

Bagaimanapun juga, keberadaan Kerajaan Kandis masih memerlukan penelitian lebih lanjut serta penemuan berbagai artefak yang dapat menguatkan posisinya. Sehingga pemerintah akan mempertimbangkan bahwa kerajaan ini layak untuk dimasukkan ke dalam materi pembelajaran sejarah seluruh siswa Indonesia.

 5. Kerajaan Indragiri

Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu Indra yang berarti mahligai dan Giri yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. 

Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :

1. Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada tahun 1298 - 1337 M, beliau adalah Sultan Indragiri pertama yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan Melaka

2. Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun 1337 - 1400 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua

3. Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya. Memerintah pada tahun 1400 - 1473 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga.

4. Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II. Memerintah pada tahun 1473 - 1452 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota Lama.

5. Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 - 1557 M dan merupakan Sultan Indragiri ke lima.

6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada tahun 1557 - 1599 M dan merupakan Sultan Indragiri ke enam.

7. Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1559 - 1658 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.

8. Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun 1658 - 1669 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan.

9. Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1669 - 1676 M dan merupakan Sultan Indragiri ke Sembilan.

10. Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676 - 1687 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sepuluh.

11. Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 - 1700 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.

12. Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 - 1704 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua belas.

13. Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 - 1707 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga belas.

14. Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 - 1715 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat belas.

15. Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada awalnya beliau merupakan Mangkubumi Indragiri kemudian menjadi Sultan Indragiri ke lima belas yang memerintah pada tahun 1715 - 1735 M dan dimakamkan di Kota Lama.

16. Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1735 - 1765 M dan merupakan Sultan Indragiri enam belas. Dimakamkan di Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.

17. Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada tahun 1765 - 1784 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh belas. Dimakamkan di Mesjid Daik Riau

18. Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 - 1815 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan belas. Beliau adalah yang mendirikan kota Rengat dan pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka dari tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat

19. Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada tahun 1815 - 1827 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sembilan belas, beliau pernah bertapa di puncak Gunung Daik.

20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal. Memerintah pada tahun 1827 - 1838 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh.

21. Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah pada tahun 1838 - 1876 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh satu.

22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada tahun 1876 M - hanya seminggu naik tahta kerajaan kemudian meninggal dunia karena sakit dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.

23. Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah. Memerintah pada tahun 1877 - 1883M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua tiga. Dimakamkan di Raja Pura ( Japura)

24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1887 - 1902 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh empat. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat

25. Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada tahun 1902 - 1912 M.

26. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah pada tahun 1912 - 1963 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh lima. Oleh T.N.I diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947.

Sumber : smkmuh2-lomba1

No comments:

Post a Comment