Kerajaan Yang Ada Di Riau
1.Kerajaan Pelalawan
1. Sejarah
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua,
karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam,
Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan,
raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di
Bukit Tuo (sekarang wilayah Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai
wujud rasa syukur.
Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil
hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin terkenal, dan secara perlahan mulai
menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh
karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai
Kerajaan Pekantua, sebagai bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir
timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil
mengalahkan Pekantua.
Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh
Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460), Maharaja Sysya
(1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir
Pekantua era pra Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi
Pekantua Kampar.
b. Kerajaan Pekantua
Kampar (1505-1675)
Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian
mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang berkuasa pada tahun
1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi
Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua
Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah
(1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah
mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I,
kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis.
Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan.
Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan
Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya
kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di
Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua
Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil
pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin
Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II
meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan negeri
Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau
menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa
(1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun
Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin
Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun
Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah
seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar,
maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang
Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan
Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia
lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk
menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan
menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat
yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman
dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut
digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650),
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama
(1675-1686).
c. Kerajaan Tanjung
Negeri (1675-1725)
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota
kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung
Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja
Wangsa Jaya (1686-1691).
Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah
Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban
jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan
pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan
oleh putranya, Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk
memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para
pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri
lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.
d. Kerajaan Pelalawan
(1725-1946)
Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya,
Maharaja Dinda II (1720-1750).Pada masa ini diperoleh kesepakatan untuk
memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama pernah
dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai
Rasau, salah satu anak Sungai Kampar,
jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat
kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan
itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan
berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau
tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua
Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah
mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu
(1750-1775).
Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan
Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin
Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan
Syarif Ali yang berkuasa di Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan
mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris
Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II
menolaknya, dan memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.
Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat
dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik
Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian,
karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman
melakukan ikatan persaudaraan Begitu (pengakuan bersaudara dunia akhirat)
dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan.
Maharaja Lela II kemudian diangkat
menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela
Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan
gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak saat itu, Kerajaan
Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung
Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.
2. Silsilah
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra
Islam hingga era Islam:
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Maharaja Indera (1380-1420)
Maharaja Pura (1420-1445)
Maharaja Laka (1445-1460)
Maharaja Sysya (1460-1480)
Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Munawar Syah (1505-1511)
Raja Abdullah (1511-1515)
Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
Tun Hitam (1551-1575)
Tun Megat (1575-1590)
Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
Maharaja Lela Utama (1675-1686)
Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
Maharaja Muda Lela (1691-1720)
Maharaja Dinda II (1720-1725).
d. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela
Dipati (1725-1750)
Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
Maharaja Lela II (1775-1798)
Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
Syarif Hasyim (1822-1828)
Syarif Ismail (1828-1844)
Syarif Hamid (1844-1866)
Syarif Jafar (1866-1872)
Syarif Abubakar (1872-1886)
Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
Syarif Hasyim II (1892-1930)
Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
3. Periode Pemerintahan
Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua:
periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih
bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari
Pekantua Kampar, kemudian Tanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini
eksis dari tahun 1380 hingga 1946.
4. Wilayah Kekuasaan.
Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu
luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.
5. Struktur Pemerintahan
Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam
menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar
yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.
2.Kerajaan Siak
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh
Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor
(Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada
di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu
siak-siak yang banyak terdapat di situ.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah
kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang
ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini
tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk
untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan
Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong
pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam
perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh
Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik
berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut
kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah.
Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu
oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan
kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing
pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja
Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di
pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan
Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat
kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura,
pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa
pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil
Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri
Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan
Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief
Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908,
dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama
Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak
mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan
melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih
kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan
baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar
Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan
nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik
Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak
lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan
bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta
uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.
Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di
Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun
1968.
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri
Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar
Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya
disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Berikut adalah daftar sultan-sultan yang pernah memerintah
di Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (1725-1746)
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II (1746-1765)
Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766)
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780)
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782)
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (17821784)
Sultan Assaidis Asyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi
(1784-1810)
Sultan Asyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
(1810-1815)
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin
(1815-1854)
Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I
(Syarif Kasyim I, 1864-1889)
Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin
(1889-1908)
Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin I
(Syarif Kasyim II), (1915-1949)
Di Awal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini
merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian
berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi
Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun
1999
Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau
Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku
Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda,
wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai,
Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV
Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak
(Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)
Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan
Lima Lukah.
Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat
perjanjian dengan pihak Belanda.
Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan
tersebut sebagai landscape.
Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat
pengesahan dari pihak Belanda.
Sumber: link
Daftar Raja
Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul
Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
1864-1887: Raja XV. Sultan Abdul Wahid
1887-1916: Raja XVI.Sultan Zainal Abidin
1916: Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.
Sumber : link
(Disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja
Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku
Sulung Raja Tambusai XIX).
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah
ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua
dibentuklah Datuk Non Berempat: Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo Maharajo, Datuk
Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di
Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja
XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai.
4. Kerajaan Kandis
Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua yang ada di
Indonesia, berdiri pada abad pertama Masehi.Lebih tua dari kerajaan Kutai yang
berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan ini konon terletak di tengah-tengah
pulau sumatera. Meskipun telah ditemukan beberapa bukti kuat untuk membuktikan
eksistensi kerajaan ini, pemerintah belum berani untuk memasukkan materi
Kerajaan Kandis ke kurikulum pembahasan mata pelajaran sejarah baik dari SD
sampai SMA.
Alexander The Great sering dikaitkan dengan sejarah
pendirian kerajaan ini. Ia sering kita dengar dengan nama Zulqarnaen, sang
penakluk dari timur. Pada suatu masa di pengembaraan penaklukannya, ia singgah
di sebuah pulau yang sekarang kita kenal dengan nama Sumatera. Di sini ia
menikah dengan seorang wanita pribumi dan dikaruniai 2 orang putra. Kedua
putranya inilah yang seanjutnya bertahta di Indonesia.
Kerajaan kandis berbentuk lingkaran bertingkat, mirip
seperti deskripsi kota Atlantis. Terdapat dua teori yang menjelaskan fenomena
ini. Yang pertama, Kota Atlantis yang merupakan misteri kuno global sebenarnya
adalah kerajaan Kandis yang berada di Indonesia. Kedua, sang Zulqarnaen
(Alexander The Great) menceritakan pengalaman perjalanannya ke kota Atlantis
kepada Ke-dua putranya. Lalu kedua putra Alexander merealisasikan apa yang
telah di ceritakan oleh ayah mereka.
Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi-nya, kerajaan Kandis
membuka sebuah tambang emas yang disebut dengan tambang titah, karena dibuat
berdasarkan titah (perintah) raja. Sampai saat ini kita masih dapat menyaksikan
bekas dari tambang tersebut, dan merupakan salah satu bukti sejarah tertua di
Indonesia.
Bagaimanapun juga, keberadaan Kerajaan Kandis masih
memerlukan penelitian lebih lanjut serta penemuan berbagai artefak yang dapat
menguatkan posisinya. Sehingga pemerintah akan mempertimbangkan bahwa kerajaan
ini layak untuk dimasukkan ke dalam materi pembelajaran sejarah seluruh siswa
Indonesia.
5. Kerajaan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu �Indra� yang berarti mahligai dan �Giri� yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri,
sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan
Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang
bergelar Narasinga I.
Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana
Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin
Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan
Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang Adapun
Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :
1. Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada
tahun 1298 - 1337 M, beliau adalah Sultan Indragiri pertama yang merupakan
Putra Mahkota dari Kerajaan Melaka
2. Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun
1337 - 1400 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua
3. Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya.
Memerintah pada tahun 1400 - 1473 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga.
4. Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan
Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II. Memerintah pada tahun 1473 - 1452 M
dan merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota Lama.
5. Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 -
1557 M dan merupakan Sultan Indragiri ke lima.
6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada
tahun 1557 - 1599 M dan merupakan Sultan Indragiri ke enam.
7. Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah.
Memerintah pada tahun 1559 - 1658 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.
8. Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun
1658 - 1669 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan.
9. Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun
1669 - 1676 M dan merupakan Sultan Indragiri ke Sembilan.
10. Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676
- 1687 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sepuluh.
11. Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 -
1700 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.
12. Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 - 1704 M
dan merupakan Sultan Indragiri ke dua belas.
13. Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 - 1707 M
dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga belas.
14. Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 - 1715 M
dan merupakan Sultan Indragiri ke empat belas.
15. Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada
awalnya beliau merupakan Mangkubumi Indragiri kemudian menjadi Sultan Indragiri
ke lima belas yang memerintah pada tahun 1715 - 1735 M dan dimakamkan di Kota
Lama.
16. Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah.
Memerintah pada tahun 1735 - 1765 M dan merupakan Sultan Indragiri enam belas.
Dimakamkan di Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.
17. Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada
tahun 1765 - 1784 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh belas. Dimakamkan
di Mesjid Daik Riau
18. Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 - 1815 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke delapan belas. Beliau adalah yang mendirikan kota
Rengat dan pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka
dari tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
19. Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada
tahun 1815 - 1827 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sembilan belas, beliau
pernah bertapa di puncak Gunung Daik.
20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal.
Memerintah pada tahun 1827 - 1838 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua
puluh.
21. Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah
pada tahun 1838 - 1876 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh satu.
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada
tahun 1876 M - hanya seminggu naik tahta kerajaan kemudian meninggal dunia
karena sakit dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.
23. Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan
Husinsyah. Memerintah pada tahun 1877 - 1883M dan merupakan Sultan Indragiri ke
dua tiga. Dimakamkan di Raja Pura ( Japura)
24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah
pada tahun 1887 - 1902 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh empat.
Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
25. Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada
tahun 1902 - 1912 M.
26. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah
pada tahun 1912 - 1963 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh lima. Oleh
T.N.I diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima
T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947.
Sumber : smkmuh2-lomba1
No comments:
Post a Comment