Sejarah Riau : Kerajaan Bentan
Kerajaan Bentan
KOTA Kara adalah sebuah rantai sejarah Melayu yang nyaris
terlupakan. Cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di sana pernah tinggal
bangsawan kerajaan Melayu.
Namun kini, yang tersisa hanyalah bukit, anak sungai, serta
sejumlah batu nisan yang diam. Belakangan, sekitar dua tahun lalu, dipasang
plang yang menunjukkan, itulah lokasi Kota Kara. Dari cerita sejarah, Kota Kara
merupakan tempat dimana Kerajaan Bentan yang notabene kerajaan Melayu pra Islam
mulai ada di Bintan.
Menurut sejarah, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka,
Johor, Riau dan Siak Indrapura, di Kepulauan Riau telah berdiri sebuah kerajaan
yang bernama Kerajaan Bintan. Pusat kerajaannya berada di Pulau Besar yang
kemudian terkenal dengan nama Pulau Bintan.
Konon, pulau ini pada mulanya dihuni oleh pendatang dari
berbagai daerah bahkan ada yang dari Kamboja dan India. Disebabkan keadaan
letaknya yang baik untuk lalu lintas perdagangan di Selat Melaka, menyebabkan
negeri ini cepat berkembang. Diperkirakan sekitar 1100 M tersebutlah seorang
raja yang bernama Raja Asyhar-Aya yang beristrikan Wan Sri Beni, dan dari
perkawinan itu diperolehlah seorang puteri yang kemudian terkenal dengan nama
Puteri Bintan.
Pada waktu sang raja mangkat, Puteri Bintan belumlah dewasa,
maka pemerintahan dipegang oleh Ibunda Wan Sri Beni (1150-1158 M). Beliau ini
pulalah yang merupakan ratu pertama dalam kerajaan Melayu. Kemudian pada akhir
masa Kedatuan Sriwijaya, sekitar tahun 1158 M tersebutlah Raja Tribuana bersama
Demang Lebar Daun turun dari Bukit Siguntang, Palembang, untuk mencari kawasan
baru, dan yang menjadi tujuan pertama adalah Bintan. Ternyata di Bintan telah
ada seorang penguasa bernama Wan Sri Beni.
Syahdan, menurut beberapa cerita,
maka Tribuana yang bergelar Sang Nila Utama itu dikawinkan dengan Puteri Bintan
kemudian dilantik sebagai Raja yang menggantikan kedudukan Ibunda Wan Sri Beni.
Selanjutnya Tribuana Sang Nila Utama melanjutkan
perjalanannya dan sampailah ke suatu tempat yang bernama Temasik. Di Temasik
ini didirikannya pula sebuah kerajaan yang diberi nama Singapura.
Orang-orang di Bintan dan sekitarnya menyebut kata Bintan
biasanya huruf I diganti dengan huruf e. Jadi menyebutnya Bentan bukan Bintan.
Tentang penamaan Bintan itu terdapatlah dua penafsiran,
pertama adalah berasal dari kata "bantai-an"yakni tempat pembantaian
lanun-lanun.
Penafsiran kedua adalah, kononnya ada seorang saudagar yang
bernama Bai-Intan terdampar di pulau itu. Sedangkan tentang Pulau Bintan
dijelaskan dalam kitab yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (1857) susunan
Raja Ali Haji, antara lain : Bintan yaitu di dalam daerah Negeri, satu pulau
yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau.
Adalah ia
bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Beni
namanya, yaitu perempuan. Kemudian datang Raja Tribuana dari Palembang,
diperbuatnya anak angkat. Maka diserahkannya negeri Riau itu dengan segala
takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu.
Adalah Gunung Bintan, Tingginya diperkirakan hanya sekitar
500 meter lebih sedikit dari permukaan laut.
Namun orang-orang Bintan menyebutnya sebagai gunung, karena
memang tak ada lagi puncak gundukan tanah setinggi Gunung Bintan itu di pulau
Bintan.
Di kaki gunung itulah, berlangsung sebuah sejarah yang diam.
Berbagai buku teks sejarah tua memang meyakini, kawasan di kaki gunung bukanlah
sekedar perkampungan biasa sejak ratusan tahun silam.
Di kaki gunung itulah, berlangsung sebuah sejarah yang diam.
Berbagai buku teks sejarah tua memang meyakini, kawasan di kaki gunung bukanlah
sekedar perkampungan biasa sejak ratusan tahun silam.
Setidaknya sejarah pernah mencatat, kawasan di kaki gunung
itu pernah berdiri sebuah kerajaan. Sejumlah buku sejarah, termasuk “Hikayat
Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” yang ditulis Guru Besar UGM Prof
Sulastin Sutrisno memang menguatkan bahwa di kaki gunung itu pernah berdiri
sebuah kerajaan.
Diperkirakan tahun pendirian kerajaan pada sekitar 1100
masehi. Kerajaan yang mengambil ibu kota di Bukit Batu, yang kini adalah sebuah nama kampung persis di kaki
gunung, berdiri setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Rajanya
bernama Azhar Aya, yang setelah wafat digantikan Iskandar Syah.
Setelah Iskandar wafat, karena tak memiliki anak lelaki,
maka ia digantikan istrinya, yang bergelar Permaisuri Iskandar Syah.
Belakangan, sang Ratu pun menikah dengan Sang Sapurba, pimpinan rombongan dari
Sriwijaya yang datang ke Bintan.
Pernikahan itu juga diikuti oleh pernikahan anak Sang
Sapurba, Nila Utama dengan putri Iskandar Syah, Wan Sri Beni. Nila Utama pun
kemudian didaulat menjadi Raja Bentan.
Baru beberapa tahun memerintah, Nila Utama kemudian membuat
kerajaan baru di Pulau Tumasik (Singapura). Dan ternyata, kerajaan di pulau ini
jauh lebih cepat berkembang dari pada yang ada di Bintan.
Kerajaan di Bentan sendiri kemudian diserahkan Nila Utama
kembali kepada ibu mertuanya, Permaisuri Iskandar Syah. Sementara di Singapura,
setelah Nila Utama meninggal, ia digantikan putranya yang bergelar Paduka Sri
Rana Wikrama. Beberapa raja kemudian silih berganti, hingga akhirnya tampuk
pemerintahan berada di tangan Permaisyura, atau disebut pula Prameswara.
Pada sekitar Abad XIV, saat Majapahit menggempur Tumasik,
Prameswara pun menyingkir ke utara, membangun kerajaan baru, Kerajaan Melaka.
Di situlah benang merah tiga kerajaan besar yang memainkan peranan yang juga
cukup besar di Tanah Semenanjung Melayu.
Bila kisah sejarah ini kemudian mendapat pengakuan dari
khalayak umum sebagai kisah yang tinggi tingkat kebenarannya, maka orang-orang
Tanah Bintan pun boleh berbangga. Sebab, dari pulau kecil inilah, lahir
Singapura dan Melaka, dua daerah yang kini secara ekonomi beberapa langkah di
hadapan kita.
Lantas bila menilik lagi satu buku terakhir “Kota Kara dan
Situs-Situs Sejarah Bentan Lama” yang ditulis Aswandi Syahri, di kaki gunung
itu juga pernah berdiri Kota Kara. “Cerita-cerita pusaka yang diwarisi masyarakat
di sekitar kawasan Bukit Batu dan Sekuning menyebutkan, Kota Kara sebagai
tempat raja,” kata Aswandi, yang kini bermukim di Tanjungpinang.
Namun demikian, dari sumber-sumber lain yang digali, kata
Aswandi, Kota Kara adalah sebuah benteng pertahanan, yang dibangun Sultan
Mahmud. Jatuhnya Kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 membuat Sultan Mahmud
yang tengah berkuasa menyingkir ke selatan. Diperkirakan, ia dan rombongan
sampai ke Bintan antara 1512-1513. Kemudian Sultan Mahmud pun membangun basis pertahanan
di sekitar kaki Gunung Bintan.
Kota Kara sendiri lebih sebagai benteng, bukan istana raja.
Meskipun saat itu Sultan Mahmud digelari Portugis sebagai Raja Bentan. Selain
itu, ia berkesimpulan bahwa periode adanya kerajaan di Bintan pada sekitar 1100
masehi itu adalah periode berbeda dengan kemunculan Kota Kara.
Kota Kara baru muncul sekitar 400 tahun kemudian, setelah
Melaka jatuh ke tangan Portugis. Lantas dimana sebenarnya Kota Kara itu
berada? Sekitar dua tahun lalu, Pemprov Kepri memasang plang putih bertuliskan
nama daerah tersebut.
Warga setempat yang sempat ditanya mengaku tidak tahu
persis di mana letak Kota Kara. Yang mereka tahu bahwa kawasan itu adalah
bagian dari Desa Bentan Bukit Bekapur. “Saya tak tahu, di mana posisinya,” kata
seorang warga.
Perkiraaan posisinya melintang Sungai Bintan. ungai Bintan
sendiri hanya berjarak beberapa ratus meter dari plang itu. Pieter James
Bagbie, seorang anggota militer Inggris yang menjelajahi pedalaman Pulau Bintan
dan berkunjung ke Bukit Batu, termasuk Sungai Bintan pada tahun 1840-an.
Sumber :
- Butang Emas
- TribunBatam
No comments:
Post a Comment