Sejarah Tanjung Pinang
Tanjungpinang telah dikenal sejak lama. Hal ini disebabkan
posisinya yang strategis di Pulau Bintan sebagai pusat kebudayaan Melayu dan
lalu lintas perdagangan. Sejarah Tanjungpinang tidak terlepas dari Kerajaan
Melayu Johor-Riau.
Nama Tanjungpinang, diambil dari posisinya yang menjorok ke
laut yang banyak ditumbuhi sejenis pohon pinang. Pohon yang berada di Tanjung
tersebut yang merupakan petunjuk bagi pelayar yang akan masuk ke Sungai Bintan.
Tanjungpinang merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan, dimana terdapat kerajaan
Bentan yang berpusat di Bukit Batu.
Keberadaan Tanjungpinang semakin dikenal pada masa Kerajaan
Johor pada masa Sultan Abdul Jalil Syah yang memerintahkan Laksamana Tun Abdul
Jamil untuk membuka suatu Bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan,
tepatnya di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau. Bandar yang baru tersebut menjadi
Bandar yang ramai yang kemudian dikenal dengan Bandar Riau. Peranan
Tanjungpinang sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk Bandar
Riau.
Kepiawaian pemerintah pada masa itu menjadikan Bandar Riau
merupakan bandar perdagangan yang besar dan bahkan menyaingi bandar Malaka yang
masa itu telah dikuasai Portugis dan akhirnya jatuh ke tangan Belanda.
Dalam beberapa riwayat dikisahkan para pedagang yang semulanya
ingin berdagang di Malaka kemudian berbelok arah ke Riau, dan bahkan
orang-orang Malaka Membeli Beras dan kain di Riau. Hal ini disebabkan bandar
Riau merupakan kawasan yang aman dengan harga yang relatif bersaing dengan
bandar Malaka.
Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau dikenal
sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor - Riau. Beberapa kali pusat
pemerintahan berpindah - pindah dari Johor ke Riau maupun sebaliknya.
Keberadaan Tanjungpinang semakin diperhitungkan pada
peristiwa Perang Riau pada tahun 1782-1784 antara Kerajaan Riau dengan Belanda,
pada masa Pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Peperangan
selama 2 tahun ini mencapai puncaknya pada tanggal 6 Januari 1784 dengan
kemenangan pada pihak kerajaan Melayu Riau yang ditandai dengan hancurnya kapal
komando Belanda "Malaka's Wal Faren". Dan mendesak Belanda untuk
mundur dari perairan Riau. Bersempena peristiwa tersebut 6 Januari diabadikan
sebagai hari jadi Tanjungpinang.
Selang beberapa bulan dari peristiwa tersebut, Raja Haji dan
Pasukan Melayu Riau menyerang Malaka sebagai basis Pertahanan Belanda di Selat
Malaka. Tetapi dalam peperangan di Malaka tersebut Pasukan Riau mengalami
kekalahan dan Raja Haji sebagai komando perang Wafat. Atas perjuangan beliau,
Raja Haji kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional.
Dibawah kekuasaan bangsa bugis Riau berkembang menjadi salah
satu pusat perdagangan internasional. Riau tidak hanya menarik pedagang dari
tanah bugis tetapi juga Inggris, Cina, Belanda, Arab dan India.
Disisi lain perkembangan kekuatan Politik dan Militer Riau
menimbulkan kebimbangan Belanda yang menduduki Malaka saat itu. Dalam tahun
1784, sebuah armada Belanda dengan kekuatan 13 kapal, 1594 prajurit, mengepung
dan menyerang Riau(sekarang kawasan Tanjungpinang). Pada 6 Januari 1784 belanda
berhasil di paksa mundur ke Malaka berkat bantuan Selangor dan berhasil
mengepung Melaka.
Sesudah itu pada 1 Juni 1874 sebuah armada pertempuran dari
batavia yang berkekuatan 6 kapal, 326 meriam dan 2130 prajuritnya berhasil
memecahkan blokade Bugis atas Malaka. Pertempuran ini telah menewaskan pimpinan
tertinggi Bangsa Bugis yaitu Raja Haji yang telah berhasil mengumpulkan
kekuatan diantara bangsa Bugis sendiri dan Melayu dalam usahanya mengusir
Belanda atas pendudukan Malaka.
Tanjungpinang juga dikenal sebagai Keresidenan Belanda
dengan residen pertamanya David Ruhde. Penempatan keresidenan Belanda ini
terkait atas penguasaan Wilayah Riau yang sempat mengalami kekalahan pada
peperangan di Malaka. Untuk kemudian Belanda membangun Tanjungpinang sebagai
Pangkalan Militer.
Kemunduran kerajaan Melayu Riau semakin jelas sejak adanya
Traktat London 1828 yang merupakan perjanjian tentang pembagian kekuasaan di
Perairan Selat Malaka, dimana wilayah Riau-Lingga dibawah kekuasaan Belanda,
Johor-Pahang dan sebagian wilayah semenanjung dikuasai oleh Inggris. Melalui
peristiwa ini pulalah yang memisahkan keutuhan kerajaan
Riau-Johor-Pahang-Lingga, dan kemudian Kerajaan ini dikenal dengan sebutan
Riau-Lingga. Dan Singapura yang kala itu dibawah kerajaan Riau ditukar ganti
dengan Bengkulu yang kala itu di bawah kerajaan Inggris.
Sejak Belanda menguasai wilayah Kerajaan Riau dan campur
tangannya dalam Kerajaan, membuat kerajaan Riau mengalami kemunduran, hingga
puncaknya terjadi pada saat pemecatan Sultan Riau oleh Belanda pada tahun 1912.
Sultan kala itu tidak mau menandatangani Surat pemberhentian tersebut dan lebih
memilih untuk pindah ke Singapura. Dan sejak saat itu berakhirlah Kesultanan
Riau-Lingga dengan dihapuskannya wilayah Riau-Lingga dari peta Keresidenan
Belanda. Dan Keberadaan Tanjungpinang tetap menjadi daerah pusat keresidenan
Belanda.
Keberadaan Belanda sempat digantikan Jepang dan
Tanjungpinang pada waktu itu dijadikan Pusat Pemerintahan Jepang di wilayah
Kepulauan Riau. Dan kemudian kembali lagi dipegang Oleh Belanda.
Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mengakhiri pendudukan
belanda atas wilayah Kepulauan Riau. Tahun 1950, Belanda menyerahkan wilayah
Kepulauan Riau Kepada pemerintah Indonesia.
Tanjungpinang juga menjadi ibu kota Kepulauan Riau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 58 1948.Tahun 1957 berdasarkan Undang-undang
No. 19 Tahun 1957 dibentuklah Propinsi Riau dengan ibukotanya Tanjungpinang,
namun tahun 1960 ibukota dipindahkan ke Pekanbaru.
Setelah lama menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Riau,
kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1983 tanggal 18 Oktober
1983 Tanjungpinang ditetapkan sebagai Kota Administratif.
Dan kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2001
Tanjungpinang ditetapkan sebagai Kota Otonom. Dan saat ini Tanjungpinang
menjadi Ibukota Provinsi Kepulauan Riau.
Sumber : tanjungpinang
No comments:
Post a Comment