PELURUSAN SEJARAH ARUNG PALAKKA VS. SULTAN HASANUDDIN
A. LATAR BELAKANG
Perang Wajo – Bone adalah salahsatu peristiwa besar pada
pertengahan abad-17. Dampak perang antar dua negeri yang terikat dalam
persekutuan Mattellumpoccoe (Persekutuan Bone, Wajo dan Soppeng) ini
menimbulkan efek domino yang memicu peristiwa-peristiwa penting setelahnya,
hingga memetakan gejolak politik jazirah Sulawesi sampai abad- 20.
Tersebutlah La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh Petta
Matinroe ri Bukaka Arumpone – XIII, seorang raja yang sholeh dan terkenal teguh
memegang syariat Islam. Sribaginda yang adalah Mangkau' ri Bone (berdaulat
penuh) dalam kedudukannya sebagai Raja Bone, dipandang sebagai Amirul Mukminin
Tanah Bone. Maka Sribaginda memandang bahwa menanamkan Sara' (syariat) dalam
kehidupan pangadereng (adat istiadat) adalah mutlak dalam tata kehidupan Negara
dan rakyat Tana Bone. Segala hal yang bertentangan dengan Syariat Islam seperti
pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang, perjudian, meminum minuman keras dan
perbudakan difatwakan haram seketika itu di Tana Bone dan negeri taklukannya.
Sebagaimana halnya pada segala kebijakan baru dalam suatu
pemerintahan pada segala zaman, Fatwa yang serta merta itu tidak dapat diterima
sepenuhnya oleh rakyat Tana Bone. Pada sebagian rumpun keluarga bangsawan yang
terbiasa dengan tatanan lama, memandang hal ini adalah suatu pendurhakaan
terhadap leluhur, termasuk dalam hal ini adalah : We Tenri Soloreng Makkalarue Datu Pattiro, ibunda ArumponE sendiri. Maka para pangeran yang tidak setuju
karena merasa dirugikan oleh "undang-undang baru" Raja Bone,
melakukan pembangkangan dengan segera memohon perlindungan kepada We Tenri
Soloreng MakkalaruE Datu Pattiro. Dalam pemikirannya, tidaklah mungkin jika La
Maddaremmeng tega dan berani melawan sosok wanita yang melahirkannya.
Namun lain halnya bagi Baginda La Maddaremmeng, menjalankan
amanah sebagai Amirul Mukminin bahwa hukum syariat berlaku bagi seluruh kaum
Mukmin dan seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Islam Bone, tidak memandang
siapapun, termasuk ibundanya sendiri yang memimpin kaum pembangkan. Maka dengan
hati tetap, bagindapun melakukan penyerangan ke Pattiro dalam tahun 1640.
Demi mengetahui jika puteranya benar-benar hendak
menangkapnya, Datu Pattiro bersama pengikutnya sudah terlebih dahulu menyingkir
ke Kerajaan Gowa untuk meminta perlindungan kepada I Manuntungi DaEng Mattola
KaraEng Ujung KaraEng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papambatunna
Sombayya Gowa – XV (1639-1653) atau kerap pula disebut sebagai Sultan Muhammad
Said.
Keputusan meminta perlindungan pada Kerajaan Gowa, ditempuhnya
mengingat bahwa Kerajaan Gowa adalah satu-satunya kekuatan yang disegani
Kerajaan Bone. Bahkan pada masa itulah, Kerajaan Gowa telah mencapai masa
keemasannya sebagai Kekaisaran Timur yang berpengaruh dengan daerah taklukannya
meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur pada saat ini.
Berbagai upaya ditempuh oleh Sultan Malikussaid untuk
mendamaikan perseteruan ibu dan anak itu, yakni dengan mengirim utusan ke
Mangkau'E ri Bone kiranya dapat bersikap lunak dalam menerapkan hukum Syariat
Islam, termasuk dalam hal ini memaafkan ibundanya dan para pengikutnya. Namun
pendirian Baginda Raja Bone tetap teguh, bahkan menuntut Raja Gowa agar segera
mengekstradisi para pelarian dari Bone itu. Maka terjadilah ketegangan antara
keduanya, masing-masing penguasa terkuat dan paling berpengaruh di Sulawesi
Selatan pada masanya.
Sementara itu, upaya Baginda La Maddaremmeng untuk
menegakkan syariat Islam semakin gencar. Segenap raja-raja tetangga baik kawan
maupun lawan dicelanya apabila tidak menjalankan syariat Islam sebagaimana
mestinya. Bahkan lebih jauh lagi, dalam tahun 1643 daerah-daerah perbatasan
Tana Bone dan Wajo yang dianggapnya tidak mentaati syariat Islam diperanginya.
Maka Kerajaan Wajo mengangkat senjata melawan Tana Bone yang dipandangnya
sebagai arogansi, dipimpin langsung oleh rajanya, yakni : I La Sigajang Tobunne
PawElaiyye ri Attang Patila Arung Matoa Wajo – XIX (1639-1643).
Peperangan berlangsung sengit selama dua bulan dengan korban
berjatuhan yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Daerah Pammana yakni
disebelah selatan sungai Patila yang merupakan wilayah Wajo terdekat dari batas
wilayah Tana Bone, menjadi medan laga memerah darah. Hingga suatu ketika, I La
Sigajang Tobunne gugur ditengah pertempuran yang berkecamuk itu. Namun dengan
segera, Dewan Adat Tana Wajo mengkonsolidasi diri ditengah suasana genting
dengan menobatkan La Makkaraka Topatemmui sebagai Arung Matoa Wajo – XX
(1643-1648), sehingga tidak terjadi kekosongan pucuk pimpinan tertinggi pada
negeri yang sedang dilanda penyerbuan Tana Bone itu. Maka perlawanan tetap
dilanjutkan !.
Gugurnya I La Sigajang Tobunne Arung Matoa Wajo – XIX
membuat Sultan Malikussaid Sombayya Gowa murka. Perlu kiranya dikemukakan pada
bagian ini, bahwa I La Sigajang Tobunne adalah cucu La MungkacE Touddama Petta
MatinroE ri Kannana Arung Matoa Wajo – XI.
Bahwa La MungkacE Touddama adalah satu diantara Tokoh Besar
Tana Wajo yang memiliki perhubungan emosional dengan penguasa Kerajaan Gowa
sebelumnya. Sejak I TEpu KaraEng DaEng Parabbung Somba Gowa – XIII hingga I
Mangngurangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna Somba Gowa –
XIV (ayahanda Sultan Malikussaid) dan I Malingkaan DaEng Manyonri Sultan
Abdullah Awwalul Islam KaraEng Matoaya ri Tallo’ telah berguru ilmu Tata
Negara, Astronomi, Pilsafat dan Pertanian kepada La MungkacE Touddama di Wajo.
Bahkan sekembalinya ke Gowa, Sultan Alauddin senantiasa mendudukkan tongkat La
MungkacE Touddama disampingnya, sebagai tanda hormat pada gurunya tersebut.
Maka tewasnya Raja Wajo yang adalah cucu La MungkacE Touddama tersebut adalah
panggilan pessE (solidaritas) bagi Raja Gowa dengan segera memaklumkan perang
terhadap Raja Bone dalam tahun 1644.
Menyangkut prihal diatas, penulis berpandangan bahwa alasan
yang biasa dikemukakan sebagian peneliti, bahwa penyerbuan Gowa ke Bone adalah
hukuman yang ditimpakan Sultan Malikussaid kepada La Maddaremmeng disebabkan
kedurhakaannya pada ibundanya, adalah kurang tepat adanya. Walaupun tentu saja
disepakati bahwa alasan sesungguhnya adalah dalam rangka memperebutkan
keunggulan (dominasi) sebagai Kerajaan paling berpengaruh di jazirah Sulawesi.
Pandangan ini didasarkan penulis pada pemahaman terhadap
karakter berbudaya Bugis Makassar yang sejak dulu sangat berhati-hati dalam
mencampuri ranah siri rumpun keluarga orang lain. Kiranya adalah hal yang
mustahil jika Sultan Malikussaid, seorang penguasa utama yang terkenal arif
serta didampingi mangkubuminya yang cendekia (I Mangadacina DaEng Sitaba
KaraEng Patingaloan KaraEng Tallo Tumabbicara Butta Gowa) begitu sembrono
mencampuri urusan keluarga Raja lain sedemikian jauhnya. Hal yang hasilnya amat
tidak sepadan jika dengan mengorbankan nyawa pasukannya serta menanggung biaya
mobilisasi penyerbuan yang tidak sedikit.
Sepanjang perjalanan ke Wajo, iring-iringan bala tentara
Kerajaan Gowa senantiasa menggalang persekutuan dengan kerajaan-kerajaan yang
dilaluinya, termasuk Kerajaan Sidenreng. Maka terhimpunlah pasukan sekutu yang
amat besar, menyerbu bagai air bah memasuki kancah peperangan Wajo dan Bone di
medan Patila.
Menghadapi pasukan gabungan Gowa, Wajo, Sidenreng dan
lainnya yang berjumlah besar serta masih segar, pasukan Bone yang dipimpin
langsung La Maddaremmeng serta dibantu oleh saudaranya, yakni : La Tenroaji
Tosenrima, seketika itu terdesak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasukan
Bone yang kelelahan itu terpukul mundur. Baginda La Maddaremmeng dan La
Tenroaji mundur hingga di negeri Larompong yang termasuk adalah termasuk dalam
wilayah kerajaan Luwu. Hingga pada akhirnya, Baginda La Maddaremmeng terkepung di
daerah Cimpu lalu tertawan oleh pasukan gabungan. Sementara itu, La Tenroaji
berhasil meloloskan diri.
Peperangan yang menelan banyak korban jiwa para ksatria itu
berakhir dengan mengukuhkan kemenangan pasukan Gowa beserta sekutunya. Baginda
La Maddaremmeng ditawan disalahsatu kubu pertahanan pasukan Gowa di Sanrangang.
Lontara Bone menggambarkan kondisi pahit pada ketika itu, bahwa :
"Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.." (diperbudaklah Bone
selama tujuh belas tahun). Hal yang menjadi kelaziman pada masa itu, bahwa
pihak yang kalah pemenang senantiasa dijadikan abdi oleh pihak pemenang.
Terlepas kesesuaiannya menurut pertimbangan kemanusiaan, namun semuanya
menerima sebagai hal yang normative.
Setelah menguasai Kotaraja Bone sepenuhnya, Baginda Sultan
Malikussaid mengumpulkan Ade' PituE (Dewan Hadat Kerajaan Bone yang berjumlah 7
orang) seraya memaklumatkan kedaulatan Gowa atas Kerajaan Bone. Baginda meminta
kepada dewan tersebut agar segera menunjuk seorang Raja Bone yang baru,
pengganti La Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh yang kini ditawan pasukan Gowa.
Namun baginda Sultan Malikussaid mempersyaratkan kiranya Mangkau' Bone yang
baru tersebut harus tunduk terhadap kekuasan Kerajaan Gowa sebagai pemegang
supremasi tunggal di Sulawesi.
Namun dewan Ade' PituE merasa tidak mampu mendapatkan figur
yang sesuai dengan persyaratan tersebut. Bahkan kemudian meminta agar kiranya
sekalian Sultan Malikussaid sendirilah yang menjadi Mangkau Bone. Tetapi Sultan
Malikussaid menolak permintaan itu karena memahami Pangadereng yang berlaku di
Bone, bahwa seorang Raja Bone adalah mutlak keturunan ManurungngE ri Matajang,
pendiri kerajaan Bone yang sekaligus juga sebagai Mangkau' Bone I. Hal yang
sama halnya dengan di Gowa, bahwa seorang Raja Gowa mestilah keturunan Manurungnga
ri TamalatE, pendiri dan Somba Gowa I. Begitulah halnya dengan karakter dan
azas moral seorang Raja yang menurunkan bangsawan, yakni senantiasa mewasiatkan
kepada anak turunannya untuk selalu mawas diri yang disebut dalam khazanah
Paseng Ugi', yakni : Naita alEna na pakalebbi'i bali na (tahu diri serta
memuliakan sesamanya bangsawan).
Berhubung penolakannya tersebut, Raja Gowa kemudian
menawarkan jabatan itu kepada Mangkubuminya, yakni : I Mangada'cina DaEng
Sitaba KaraEng Patinggaloan KaraEng Tumabbicara Butta Gowa. Namun mangkubumi
yang arif bijaksana itu menolak dengan alasan yang sama pula. Akhirnya Sultan
Malikussaid meminta kepada pamannya, yakni KaraEng Sumanna untuk menerima
jabatan tersebut, mengingat Kerajaan Bone haruslah secepatnya memiliki pucuk
pimpinan pemerintahan agar tidak terjadi kekacauan dimasyarakatnya yang baru
saja kalah perang itu. Suatu jabatan yang bukan dimaksudkan untuk menduduki
tahta Mangkau’ Bone, melainkan selaku pelaksana tugas pemerintahan belaka.
KaraEng Sumanna menerimanya sesaat. Kemudian atas
persetujuan Sultan Malikussaid , beliau menunjuk Tobala Arung TanEtEriawang
Petta PakkanynyarengnE yang adalah salahseorang anggota Dewan Hadat Ade' PituE
untuk bertindak sebagai jennang (Gubernur) yang melaksanakan pemerintahan di
Bone sebagai perpanjangan tangan Pemerintahan Kerajaan Gowa.
Adapun halnya dengan La Tenroaji Tosenrima yang berhasil
meloloskan diri di pengepungan Cimpu, beliau berhasil menyusup kembali ke
Kotaraja Bone. Secara diam-diam, beliau mendatangi satu demi satu para pangeran
Bone yang masih setia pada Kerajaan Bone yang sesungguhnya tidak pernah rela
terjajah oleh Kerajaan Gowa. Maka beliaupun berhasil dengan gerakan bawah tanah
tersebut, mengkonsolidasi para tokoh-tokoh Kerajaan Bone dengan membentuk sebuah
Pasukan yang cukup kuat. Rakyat Bone kemudian mendaulat beliau sebagai Raja
Bone yang sah, menggantikan kakaknya yang sedang berada dalam tawanan Kerajaan
Gowa.
Mengetahui perihal pemberontakan rakyat Bone yang dipimpin
oleh La Tenroaji tersebut, Sultan Malikussaid murka. Baginda sendiri memimpin
pasukan Gowa yang terkonsolidasi dengan pasukan-pasukan kerajaan sekutunya
(Wajo dan Sidenreng) menyerbu Tana Bone yang sudah dikuasai La Tenroaji dan
segenap lasyarnya. Setelah mengetahui jika pasukan gabungan dalam perjalanan
memasuki wilayah Bone, La Tenroaji memobilisasi pasukannya ke bukit PassEmpe',
suatu areal perbukitan yang tidak jauh dari Kotaraja dan sangat ideal untuk
dijadikan basis pertahanan. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit di PassEmpe'
yang tertulis dalam kenangan Lontara Bilang (catatan harian Raja-raja Gowa)
sebagai : Bundu'ka ri PassEmpe' (Peperangan di PassEmpe').
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, memakan
korban yang tidak sedikit pada kedua belah pihak. Hingga pada penghujung perang
itu, basis pertahanan pasukan La Tenroaji dapat dibobol oleh pasukan gabungan
yang lebih banyak serta berpengalaman. Peristiwa pahit ini kemudian tertulis
pada Lontara Bone sebagai : BEtaE ri PassEmpe' (Kekalahan di PassEmpe),
kemudian La Tenroaji digelari pula sebagai : Betta'E ri PassEmpe' (Sang Jagoan
di PassEmpe') atas keberaniannya yang mencengankan kawan maupun lawannya.
Akhirnya baginda La Tenroaji tertawan oleh pasukan gabungan hingga kemudian
diasingkan ke negeri Siang (Pangkep kini) sampai wafatnya. Maka baginda diberi
gelar anumerta : Petta MatinroE ri Siang. Demikianpula dengan para pangeran dan
tokoh-tokoh Bone dan Soppeng yang membantunya, semuanya ditawan ke Gowa sebagai
budak kalah perang, suatu peristiwa yang terjadi dalam tahun 1643.
Kemenangan perang Gowa bersama sekutunya di PassEmpe'
mendatangkan keuntungan yang luar biasa. Kerajaan Gowa kini menjadi
satu-satunya pemegang supremasi di jazirah Sulawesi dan sekitarnya. Namun bagi
kerajaan Bone dan Soppeng, kekalahan itu berdampak penderitaan dan penghinaan
yang luar biasa. Para pangeran dan rakyat serta segenap harta kedua negeri itu
dibagi-bagikan kepada negeri penakluknya sebagai rampasan perang.
Adapun halnya Kerajaan Wajo sebagai sekutu pihak pemenang,
menolak pembagian rampasan perang yang diberikan oleh Sultan Malikussaid. La
Makkaraka Topatemmui Arung Matoa Wajo - XX menolak memperbudak orang Bone dan
Soppeng disebabkan karena dipandangnya kedua negeri itu adalah saudara sesuai
dengan Perjanjian LamumpatuE ri Timurung. Suatu perjanjian yang
mempersaudarakan 3 Negeri, yakni : Bone, Wajo dan Soppeng dalam tahun 1582 yang
kemudian lebih dikenal sebagai TellumpoccoE. "Adalah pantangan memperbudak
saudara sendiri !", demikian kata Arung Matoa Wajo kala itu.
Maka pada babak selanjutnya, penawanan para bangsawan Bone –
Soppeng kiranya adalah penghujung riwayat “perang Patila” yang kemudian
melahirkan 2 tokoh besar Sulawesi pada kurang lebih 20 tahun kemudian, yakni :
La Tenri Tatta DaEng SErang Arung Palakka Petta MalampE’E Gemme’na Sultan
Sa’aduddin dan I Mallombassi DaEng Mattawang KaraEng BontomangapE Sultan
Hasanuddin. Kehadiran kedua tokoh yang menjadi pemeran utama Perang Makassar
dalam paruh kedua abad – 17.
B. BABAK TUMBUHNYA DUA TOKOH UTAMA
Tersebutlah La Pottobunne' Arung Tana Tengnga sekeluarga
adalah termasuk tawanan perang BEtaE ri PassEmpe'. Baginda bersama ayahanda (
La Sangaji KaraEng LoE Arung Tana Tengnga Toa) beserta isteri dan anak-anaknya
berada di Gowa sebagai tawanan kalah perang. Mereka dibagi-bagikan pada para
penguasa Gowa dengan dipekerjakan sebagai abdi istana. La Pottobunne' Arung
Tana Tengnga kadang-kadang dijadikan sebagai pembawa tombak Sultan Malikussaid
atau pada KaraEng Tumabbicara Butta Gowa beserta keluarga Sultan yang lain.
Namun penawanan Gowa terhadap keluarga bangsawan tinggi Bone – Soppeng ini
sesungguhnya dijalankan dengan perlakuan sebaik-baiknya. Mereka diberikan rumah
kediaman yang cukup layak dalam kompleks Balla’ Lompoa (Istana Somba Gowa) dan
diberikan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adalah seorang pangeran kecil dari kamp tawanan, yakni La
Tenri Tatta, putera La Pottobunne' yang baru berumur 11 tahun. Masa kecil
seorang pangeran yang semestinya penuh warna keceriaan dan kemuliaan dalam istana
negerinya sendiri, namun terpaksa dijalani sebagai pangeran tawanan yang penuh
keprihatinan di istana penakluk negerinya.
Bahwa diberitakan La Tenri Tatta adalah anak yang
"ditakdirkan" dengan penuh talenta sejak lahirnya. Ia bergaul dengan
anak-anak sebayanya yang kebanyakan terdiri dari para pangeran Gowa.
Sebagaimana halnya aktifitas keseharian para Ana' KaraEng (Pangeran) yang
bermain sambil berlatih aneka permainan rakyat dan olahraga ketangkasan seperti
Mallogo, maggasing, marraga (sepak takraw), menca' (pencak silat), maka La
Tenri Tatta yang disapa sebagai DaEng SErang dalam kompleks istana Gowa,
dikenal sebagai pemain yang paling mahir dan menonjol diantara teman-teman
sepermainannya. Salah seorang pangeran lainnya yang dianggap setara dalam hal
kemahiran permainan ketangkasan, adalah : I Mallombasi DaEng Mattawang yang
adalah putera kesayangan Sultan Gowa sendiri. Walaupun demikian, kedua pangeran
kecil yang berlainan poros ini sangat akrab dan saling menghormati satu sama
lainnya.
Mendapati puteranya tercinta sebagai "anak gaul"
walaupun berstatus "anak tawanan" dalam kompleks istana Gowa, We
Tenrisui yang merupakan pemegang tahta Mario kerap menyebut La Tenri Tatta
kecil sebagai "Datu Mario". Hal itu dapat dimengerti sebagai ungkapan
rasa sayang seorang ibu yang disertai "rasa iba" terhadap nasib
malang puteranya yang tumbuh ditengah situasi "terhina" sebagai budak
tawanan perang.
Kepribadian DaEng SErang yang sopan dan cekatan membuatnya
disenangi oleh para penghuni istana, sehingga kerap ditugaskan oleh Mangkubumi
kerajaan sebagai pembawa pekinangan (Tempat Sirih) pada berbagai acara penting
istana. Tentu saja sebagai seorang pembawa tempat sirih, ia senantiasa duduk
dibelakang Sang Mangkubumi yang arif bijaksana tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa I
Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingalloang yang juga menjabat sebagai
KaraEng Tumabbicara Butta Gowa (Mangkubumi) adalah seorang tokoh besar Gowa
yang arif dan cendekia. Beliau terkenal hingga jauh ke benua Eropa. Dennys
Lombard (1996) menyebutnya sebagai Pria Agung (The Great Man) yang telah
mempelajarai Bahasa Latin, Spanyol, Portugal, Belanda dan lainnya serta
menguasainya dengan sangat baiknya hingga menyamai native speakernya sendiri.
Pastor Alexander de Rhodes S.J ketika singgah di Sulawesi Selatan serta bertemu
dengan KaraEng Pattingalloang mengungkapkan kekagumannya dalam tulisannya
tentang tokoh besar itu, dikutip, sebagai berikut :
"..jika kita mendengarkan omongannya tanpa melihat
orangnya, pasti kita mengira bahwa dia adalah orang Portugal sejati. Karena dia
berbahasa Portugal sama fasihnya dengan orang Lisbon. Ia menguasai denganbaik
segala misteri kita dan telah membaca dengan seksama semua kisah raja-raja kita
di Eropa dengan keinginantahuan yang besar. Diantara koleksinya terdapat karya
Founder Louis de Granada O.P yang telah dibacanya dalam bahasa aslinya. Namun
yang paling mengagumkan dari KaraEng Pattingalloang adalah cintanya pada
ilmu-ilmu exacta. Ia selalu membaca buku-buku kita dan khususnya mengenai
Matematika, ia begitu ahli dan begitu besar cintanya pada setiap bagian ilmu
ini sehingga mengerjakannya siang dan malam.." (Muh. Hasir Sonda,
Pattinggalloang : Intelektual, Aktual, pada masanya – Artikel).
KaraEng Pattingalloang memiliki pula perpustakaan yang luar
biasa dengan berbagai koleksi buku, Bola Dunia dari kayu/tembaga dan berbagai
atlas dunia dari Eropa. Selain itu, baginda pula memiliki laboratorium yang
berisi berbagai prisma, Teropong Bintang dan lainnya. Hal inilah sehingga
KaraEng Patingalloang dikagumi para orang Eropa berkat penguasaanya dalam
bidang Matematika, Geografi, Astronomi dan Optik sebagai seorang negarawan dan
ilmuwan yang rasional sehingga sangat berperan dalam mengantarkan Kerajaan Gowa
menuju Dinamika Global.
Demi melihat potensi alami bocah pangeran taklukan itu
sebagai baja unggul yang belum tergosok, maka Sang Mangkubumi yang visioner itu
tertarik untuk "ikut membentuk" bakal tokoh sejarah yang mungkin saja
diprediksinya akan menjelma sebagai tokoh yang lebih besar dari dirinya
sendiri. Maka terjalinlah kedekatan "khusus" antara La Tenri Tatta
dengan KaraEng Patingalloang sesungguhnya adalah moment paling berpengaruh yang
membentuk kemampuan intelektual dan leadership seorang "Kaisar
Sulawesi" beberapa tahun kemudian.
Tidak begitu banyak reverensi didapati yang menguraikan
tentang perhubungan pribadi La Tenri Tatta dan I Mallombassi. Umur mereka amat
sebaya dan jika ada yang lebih tua diantaranya, maka I Mallombassi lebih tua
setahun dari La Tenri Tatta. Hal yang mendasari sebagaimana diuraikan pada
Lontara Bilang, bahwa : I Mallombasi Muhammad Bakir DaEng Mattawang dilahirkan
pada malam Ahad, 7 Jumadilakhir 1040 Hijriah (12 Januari 1631). Kemudian pada
Lontara Akkarungeng Bone dikhabarkan bahwa penawanan La Pottobunne’ Arung Tana
Tengnga beserta keluarganya ke Gowa berlangsung pada tahun 1643 ketika La Tenri
Tatta berumur 11 tahun. Maka dari inilah dapat diperkirakan jika La Tenri Tatta
dilahirkan pada tahun 1632, lebih muda setahun dari I Mallombassi.
Sebagaimana halnya dengan La Tenri Tatta, KaraEng
Patingngalloang dapat melihat pula keutamaan talenta dalam diri I Mallombassi.
Maka kedua pangeran ini diasuhnya dengan melimpahkan segenap ilmu pengetahuan
yang dimilikinya dengan penuh kesungguhan. Sebagai dua orang “seperguruan” yang
dididik khusus oleh guru yang sama, maka kedua pangeran dari negeri berbeda ini
mestilah memiliki keakraban khusus.
Sejak remaja belia, I Mallombassi telah dipersiapkan oleh
ayahandanya sedemikian rupa untuk menjadi penerus tampuk kekuasaan di Gowa yang
sedang dirundung pertikaian dengan VOC. Beliau lahir dan tumbuh besar dalam
suasana Kerajaan Gowa seringkali melakukan peperangan diseputar wilayah timur
Nusantara. Pada usia remaja, beliau sudah dipercayakan sebagai panglima untuk
suatu ekspedisi memadamkan pemberontakan di Timor. Selain itu, ia pula diangkat
menjadi KaraEng Tu Makkajannangang (semacam panglima sekaligus pelatih pasukan
khusus). Suatu jabatan yang tentu saja tidak dilimpahkan begitu saja karena
beliau adalah putera Raja Gowa, melainkan berkat talenta khususnya sebagai wira
yang cakap dan mumpuni. Setelah itu, beliaupun menerima tahta sebagai KaraEng
BontomangapE, suatu lili (anak kerajaan bawahan Gowa). Bahkan pada banyak
kesempatan, I Mallombassi dipercayakan untuk melakukan perundingan dengan
kerajaan-kerajaan bawahan/taklukan Gowa yang sedemikian luas wilayahnya itu.
Suatu pertanda kemampuan diplomasi yang tentunya tidak dimiliki sembarang
tokoh, terlebih-lebih bagi seorang pangeran remaja berumur kurang dari 20 tahun
ketika itu.
Sementara itu, La Tenri Tatta yang bagaimanapun adalah
merupakan pangeran tawanan yang jauh dari negerinya, sedapat mungkin menimba
ilmu sebanyak-banyaknya pada KaraEng Pattingngalloang. Sebagai seorang tawanan,
tentu saja tidak memungkinkan mendapatkan “latihan super” sebagaimana saudara
seperguruannya, yakni : I Mallombassi. Namun dalam hal ini, Sang Guru yang
bijak itu rupanya berusaha pula mengisi “anak pungutnya” ini dengan
pengalaman-pengalaman berharga pula. Pada berbagai kesempatan, La Tenri Tatta
diikutkannya pada sidang-sidang kerajaan serta pertemuan/perundingan dengan
berbagai pihak dengan Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta didudukkannya dibelakangnya
sebagai pembawa tempat sirih pinang. Maka La Tenri Tatta dapatlah menyimak
dengan leluasa, sekaligus menimba pengalaman-pengalaman berharga.
Kedua pangeran dari latar berbeda ini tumbuh sebagai remaja
dan menjalani peran kesejarahannya masing-masing. Perhubungan keduanya
dipertautkan oleh seorang guru yang sama. Lebih daripada itu, keduanya
dipermenantukan oleh KaraEng Patingngalloang, guru mereka tercinta. I
Mallombassi pertamakali menikahi puteri KaraEng Pattingngalloang yang bernama I
Mammi DaEng Sangnging. Kemudian DaEng Sangnging wafat dalam umur yang masih
muda, maka I Mallombassi dinikahkan lagi dengan adik DaEng Sangnging, yaitu : I
BatE DaEng Tommi KaraEng PambinEang. Adapun halnya dengan La Tenri Tatta, pada
Panguriseng Soppeng didapati bahwa beliau dinikahkan dengan I Mangkawani DaEng
TalElE, salah seorang puteri KaraEng Pattingngalloang yang lain. Maka kedua
pangeran ini sesungguhnya adalah saudara lago atau pada daerah Bugis dikenal
sebagai : Silessureng Massellaleng (saudara sejalan).
C. MEMENUHI TUGAS KESEJARAHAN
Bahwa menjalani hidup, tiada lain adalah memenuhi tugas
taqwa yang diamanahkan Allah SWT sesuai kapasitas peran masing-masing
hamba-Nya. Maka dalam pelaksanaannya itulah kemudian menjadi torehan yang dapat
dikenang oleh generasi pelanjutnya. Kiranya inilah yang dimaksudkan sebagai
Sejarah Hidup. Hal yang menjadi bacaan dari masa ke masa serta menjadi ibrah
bagi masa kini. Maka memahami sejarah hidup dua tokoh utama Sulawesi Selatan
dalam abad – 17 sesungguhnya dapat dilihat dengan jelas sebagai 2 tokoh yang
sukses menjalani peran kesejarahannya masing-masing.
Perang Makasar yang berlangsung dengan dahsyatnya,
menempatkan 2 tokoh yang bersahabat itu pada 2 kutub yang berlawanan. Pasca
wafatnya Sultan Malikussaid Sombayya Gowa XV pada tanggal 5 Nopember 1653, maka
dalam bulan itu pula dinobatkan penggantinya, yakni : I Mallombassi Muhammad
Bakir DaEng Mattawang selaku Somba Gowa XVI dengan gelar Sultan Hasanuddin.
Setahun kemudian, KaraEng Pattingngaloang wafat pula pada tanggal 15 September
1654 dengan nama anumerta Tumenanga ri BontobiraEng. Sebagai penggantinya
selaku KaraEng Tumabbicara Gowa (Mangkubumi), diamanahkan kepada puteranya,
yaitu : KaraEng Karunrung.
Mangkubumi yang baru ini adalah seorang tokoh berwatak
keras. Beliau berpandangan bahwa kondisi genting yang sedang dihadapi Gowa
dalam rangka menyiapkan pertahanan dalam menghadapi serbuan VOC yang dapat
terjadi sewaktu-waktu, maka prioritas utama yang harus ditempuh adalah
percepatan pembangunan Benteng Somba Opu, benteng pertahanan utama Kerajaan
Gowa. Olehnya itu, beliau mengerahkan tawanan Bone – Soppeng serta mendatangkan
sebagian besar dari negeri asal mereka masing-masing sebanyak kurang lebih
10.000 orang. Mereka dipekerjakan dengan tangan besi, dibawah ayunan cambuk dan
siksaan. Hal yang terpaksa “didiamkan” oleh Sultan Hasanuddin dengan pikiran
demi suatu kepentingan yang lebih besar untuk semuanya. Bahwa Kerajaan Gowa
adalah benteng utama dan satu-satunya pintu utama yang dapat membendung dan
menghalau kekuatan asing (VOC) di Sulawesi Selatan. Sekiranya Gowa tidak mampu
bertahan, maka bumi Sulawesi Selatan mestilah terjatuh dalam cengkraman
penguasa “kafir”, sebagaimana yang telah terjadi di Pulau Jawa, Maluku,
Sumatera dan lainnya.
Sambil mengerjakan benteng pertahanan Somba Opu, Sultan
Hasanuddin aktif melakukan penyerbuan ke kekuasaan VOC diluar Gowa. Pada bulan April
1655, Sribaginda sendiri memimpin penyerangan ke pertahanan VOC di Buton. Maka
yang memimpin percepatan pembangunan benteng Somba Opu adalah Mangkubumi
KaraEng Karunrung. Hal yang dijalankannya dengan amat keras, mengakibatkan
protes keras La Potto Bunne’ Arung Tana Tengnga (ayahanda La Tenri Tatta),
sehingga berujung hukuman mati yang menggiriskan bagi Pangeran Soppeng
tersebut. Kepedihan yang teramat dalam bagi La Tenri Tatta bersaudara dan
ibundanya yang sudah tua. La Tenri Tatta akhirnya memulai menyusun rencana,
hingga pada bulan September 1660 beliau bersama para Bangsawan Bone - Soppeng
sesama tawanan dapat membawa lari ibunda, saudara-saudara serta kurang lebih
10.000 pekerja paksa kembali ke Soppeng. Inilah awal geliat tokoh La Tenri
Tatta, perjuangan tiada henti hingga mencetuskan Perang Makassar.
Bahwa Sultan Hasanuddin yang diamanahi sebagai Raja Gowa
yang berkewajiban membendung kekuatan VOC yang hendak menguasai Sulawesi
Selatan serta kawasan Nusantara pada umumnya. Sementara itu, La Tenri Tatta
yang kemudian dinobatkan sebagai Arung Palakka lalu menjadi Raja Bone (Mangkau
Bone) diamanahkan pula untuk membebaskan negerinya dari cengkraman Kerajaan
Gowa. Situasi dan kondisi masa itu yang serba sulit baginya, hingga beliau
menuruti nasehat Sultan Buton, bahwa : satu-satunya kekuatan yang dapat diajak
untuk bekerjasama dalam menandingi kekuatan Kerajaan Gowa hanyalah VOC. Maka
meletuslah Perang Makassar yang hebat itu.
Perang Makassar yang berujung pada Bongaais Verdrag
(Perjanjiaan Bongaya) sebagaimana disebut Lontara Bilang sebagai Cappayya ri
Bongaya berlangsung pada tanggal 18 Nopember 1667. Oleh beberapa penulis buku
sejarah yang mengambil reverensi dari catatan Belanda diantaranya buku harian
Admiral Spellman,mengesankan jika itu perang ethnic. Suatu pertikaian besar
yang melibatkan VOC bersama orang-orang Bugis pada suatu pihak melawan
orang-orang Makassar. Hal yang sesungguhnya keliru dan mengkristal menjadi
suatu paradigma hingga generasi masa sekarang. Bahwa pijakan berpikir yang didasari
dari sumber-sumber dan kaca mata berpikir orang-orang Belanda mengenai perihal
ini, secara tidak langsung melancarkan propaganda idealism yang semestinya
tidak berkelanjutan sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Bahwa Perang Makassar bukanlah perang antar suku bangsa,
melainkan perang antar kerajaan sesuai kondisi politik menurut situasinya
masing-masing. Kerajaan Gowa yang berbahasa tutur Makassar berada dalam pihak
bertahan bersama Kerajaan Wajo dan Luwu yang berbahasa tutur Bugis. Sementara
pada sisi penyerang adalah Kerajaan Bone dan Soppeng yang dibantu oleh
Sidenreng dan Kerajaan-Kerajaan berbahasa tutur Makassar dari kawasan TuratEa
(Binamu, ArungkEkE, dll). Maka bagaimana ini bisa kemudian disebut dan
dikesankan sebagai “perang antar suku” ?.
Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, sebagian besar
panglima Kerajaan Gowa secara terang-terangan mengajukan protesnya kepada
Sultan Hasanuddin. Mereka merasa belumlah kalah dan masih ada harapan untuk
memenangkan perang. Namun Sultan Hasanuddin hanya menggelengkan kepala seraya
berkata : “Keberanian tidaklah cukup untuk menjadi seorang pemimpin, lebih dari
itu dibutuhkan kearifan..”. Sri Baginda memandang bahwa menang atau kalah dalam
peperangan Makassar ini hanyalah menguntungkan 1 pihak belaka, yaitu : VOC.
Andaikan pihak Kerajaan Gowa beserta sekutunya mampu bertahan dan memenangkan
perang itu, tetaplah pula mengorbankan nyawa saudara-saudara sebangsa sendiri.
Hal yang semestinya tidak terjadi namun terlanjur jua sejak berlangsungnya perang
Gowa – Bone yang dilakoni oleh para pendahulunya.
Kiranya inilah yang menjadi satu-satunya penyesalan
Sribaginda hingga mengundurkan diri dengan sukarela sebagai Raja Gowa pada
tanggal 29 Juni 1669, dimana 5 hari sebelumnya Sribaginda sendiri memimpin
perang terakhirnya melawan VOC dan sekutu-sekutunya dalam mempertahankan
Benteng Somba Opu. Tahta Kerajaan Gowa diserahkannya kepada puteranya, yaitu :
I Mappasomba DaEng Nguraga Sultan Amir Hamzah yang masih berusia 13 tahun.
Kurang dari setahun kemudian, yakni pada hari kamis, 23 Muharram 1081 Hijriah
(12 Juni 1670), Sultan Hasanuddin wafat dengan tenang disertai gelar
terakhirnya : Tumenanga ri Balla’ Pangkana dalam umur yang sesungguhnya masih
muda, yaitu : 39 Tahun.
Prof. Dr. K.H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dalam suatu
artikelnya (Mingguan Abadi, 1955) yang kemudian dirangkum dan diterbitkan dalam
suatu buku (“Dari Perbendaharaan Lama”, Pustaka Panjimas, 1982, Jakarta)
mengungkapkan kekagumannya kepada Raja Pahlawan Sultan Hasanuddin, sebagai
berikut :
“Hasanuddin memang seseorang pahlawan gagah berani dan
perkasa. Raja Besar yang tidak dapat dibantah. Seorang penyiar Agama Islam dan
penentang maksud Portugis dan Belanda hendak memaksakan Agama Kristen ke dalam
daerahnya. Dan ingin mempersatukan Sulawesi Selatan (serta Sulawesi Barat kini
; penulis) dibawah satu kekuasaan, berpusat di Goa, dibawah perintahnya
sendiri. Kadang-kadang beliau bersikap keras dan kejam kepada setiap yang
menentang rencananya. Bugis dan Makassar terdiri daripada beberapa buah
kerajaan. “Sombayya di Gowa, Mangkau di Bone, Addatuang di Sidenreng dan Pajung
di Luwu”. Masing-masing berdiri sendiri. Hasanuddin sadar bahwa dialah yang
lebih banyak bertanggungjawab mempersatukan daerah itu, sebab dia yang terletak
dimuka sekali, di pantai Jumpandang (Makassar). Dan dari daerahnya pula mulai
Agama Islam masuk. Di daerahnya pula mulai Kompeni menjatuhkan jangkar
penjajahan.” (Dari Perbendaharaan Lama, halaman 58 – 59).
Dalam hal ini penulis kurang sepakat jika Sultan Hasanuddin
disebutkan sebagai seorang ambisius yang melakukan ekspansi-ekspansi serta
melakukan penaklukan-penaklukan diseluruh kawasan Indonesia Timur. Bahwa
sesungguhnya Sribaginda tiada lain hanyalah berusaha membendung pengaruh dan hasrat
Kolonialisme yang dilancarkan sejak awal abad – 17. Perihal penaklukan Bone dan
Soppeng serta kerajaan-kerajaan lain dalam kawasan Indonesia bagian Timur,
sesungguhnya bukanlah Sultan Hasanuddin yang melakukan penaklukan itu.
Melainkan oleh kakeknya, yakni : I Mangngurangi DaEng Mangrabia Sultan Alauddin
Tumenanga ri Gaukanna Somba Gowa – XIV .
Sebelum VOC Belanda menginjakkan kakinya di Jazirah
Sulawesi, sejarah mencatat perihal Sultan Alauddin. Sribaginda adalah seorang
Raja Gowa yang brilliant sangat “aktif” melakukan penyerangan keluar Butta
Gowa. Hal yang tidak dapat pula sertamerta dipahami sebagai upaya “Kolonialisme
Lokal” sekiranya hendak disamakan dengan tindakan dan cara berpikir Bismarck
yang mempersatukan Jerman dengan “besi dan api”. Hanya dalam kurun waktu 12
tahun (1626 – 1638), Sultan Alauddin didampingi Mangkubuminya (KaraEng
Matoayya) berhasil menaklukkan Kerajaan Buton, Pancana (Muna), Banggai, Gapi,
Sula, Bima, Dompu, Sumbawa, KEngkElu (Tambora), Kutai, Berau, Bolong (Tana
Toraja), serta negeri-negeri dalam wialayah Sulawesi Selatan lainnya (baca
Ligtvoet, 1880;90).
Tahta Kerajaan Gowa beserta negeri takluknya tersebut
kemudian diwariskan kepada Sultan Malikussaid yang kemudian mengembangkannya
hingga pada penguasaan Bone dan Soppeng. Hal yang kemudian dapat dilihat jika
motivasi penyerangan terhadap kedua negeri utama Tana Bugis tersebut disebabkan
karena hal lain yang dapat dimaklumi menurut cara berpikir pada zaman itu.
Hingga kemudian, tahta dan negeri taklukan tersebut diwariskan kepada Sultan
Hasanuddin. Namun selain kekuasaan yang besar tersebut, Sultan Hasanuddin
diwarisi pula hal lain yang amat berat, yaitu : Pertentangan dengan VoC Belanda
dan bibit permusuhan dengan Bone – Soppeng. Hal yang sesungguhnya berat
disandangnya, namun harus jua dijunjungnya sebagai amanat ksatria !.
Adapun halnya dengan La Tenri Tatta To Unru DaEng SErang
Arung Palakka Sultan Saaduddin Petta MalampE’E Gemme’na yang kemudian disebut
pula sebagai sebagai Datu Tungke’na Tana Sempugi, kini tercapai cita-citanya
untuk memerdekakan negerinya (Bone dan Soppeng). Kemenangannya kemudian semakin
kukuh setelah memenangkan perang dengan Kerajaan Wajo yang ditandai dengan
penyerbuannya terhadap Benteng Tosora serta gugurnya La Tenri Lai’ To Sengngeng
Petta MatinroE ri SalEkona Arung Matoa Wajo XXIII. Maka penandatanganan kalah
perang oleh Tana Wajo terhadap Arung Palakka dan sekutunya dilakukan oleh La
Palili' Tomalu' Puanna La Cella' yang kemudian dikukuhkan sebagai Arung Matoa
Wajo XXIV (1670-1679).
Namun diluar dari perkiraan siapapun ketika itu, La Tenri
Tatta tidaklah berhenti berkiprah setelah kemenangan bersamanya dengan VOC atas
Kerajaan Gowa dan sekutunya. Tokoh besar ini memiliki cita-cita yang lebih dari
sekedar memerdekakan negerinya dari kekuasaan Gowa. Jauh dari lubuk hatinya,
tokoh yang merasakan sendiri pahit penderitaan yang diakibatkan pertikaian
antar sesama anak bangsa ini, sangat merindukan persatuan dan kesatuan anak
negeri ini. Maka tidak ada lain yang diupayakannya kemudian, selain dari menyusun
serta mengupayakan suatu konsep yang kiranya dapat mempersatukan segenap negeri
di Sulawesi Selatan sebagai “satu keluarga”.
Secara pribadi, La Tenri Tatta adalah sahabat Admiral
Cornelis Janszoon Spellman, panglima pasukan VOC sekutunya dalam memenangkan
Perang Makassar. Setelah Perjanjian Bongaya, keduanya adalah sekutu dan mitra
yang menentukan kebijakan perihal nasib Kerajaan-Kerajaan Lokal di Sulawesi
Selatan. Namun setelah Spellman ditarik ke Batavia, maka penggantinya mulai
bertingkah selaku penguasa tunggal bagi segenap pribumi Sulawesi Selatan,
sebagaimana yang terjadi di Sumatera, Jawa dan negeri-negeri lainnya. Mereka
mulai melakukan ancang-ancang untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal hal
yang amat tidak diterima baik oleh La Tenri Tatta.
Adalah hal yang tak dapat ditawar bagi La Tenri Tatta, bahwa
keberadaan VOC di Sulawesi tiada lain hanya berwenang dalam penguasaan terhadap
perdagangan dan kepelabuhanan. Mereka hanyalah “pengusaha” belaka yang tidak
berwenang mencampuri urusan politik setempat. Sekiranya terjadi benturan
kepentingan antara VOC dan Raja- Raja setempat, maka tidak dibenarkan bagi VOC
jika terjun langsung berhubungan dengan Raja tersebut, apalagi jika bermaksud
menghukumnya dengan penyerbuan militer. Segala hal yang menyangkut antara
penguasa setempat dengan petinggi VOC haruslah melalui La Tenri Tatta yang
mendirikan istananya di Bontoala.
Telaahan La Tenri Tatta perihal sejarah masa lalu yang
mengakibatkan pertikaian tiada henti antar kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan hingga peristiwa salahsatunya berujung pada penawanannya sekeluarga di
Gowa, dimaknainya dengan sungguh-sungguh. Sri Baginda mulai menggali
nilai-nilai yang sesungguhnya dapat mempersatukan segenap suku bangsa di
Sulawesi Selatan dalam suatu kesamaan persepsi nilai moral. Maka didapatinya
konsep Siri na PessE (harkat martabat dan solidaritas kemanusiaan) yang kiranya
adalah azas yang menjiwai moral seluruh anak negeri di Sulawesi Selatan. Hingga
kemudian, Dwi Tunggal azas itulah yang dijadikannya sebagai pilar kesadaran
kesatuan berbangsa yang disebutnya sebagai “Sempugi”, dimana Tana Sulawesi
Selatan dan Barat hingga Toli-Toli di Sulawesi Tengah disebutnya sebagai “Tana
Sempugi”.
Sejak dihinggapi kesadaran nilai kesatuan Tana Sempugi, La
Tenri Tatta Arung Palakka kini menjadi suatu sosok yang amat diwaspadai oleh
VOC. Demikian pula halnya dengan La Tenri Tatta sendiri, senantiasa menampilkan
eksistensi kemitraannya dihadapan VOC. Sri Baginda menjalankan strategi jangka
panjang untuk menyatukan Raja-Raja seluruh kawasan Sempugi (Sulawesi Selatan,
Barat dan Tengah) dalam suatu hubungan darah yang terpusat di Bone. Hal yang
jelas-jelas bertentangan dengan politik kolonialisme VOC sejak pertamakalinya
bercokol di Nusantara. Maka terjadilah beberapakali bentrokan dengan VOC.
Salahsatu diantaranya yang paling mencekam VOC ketika pada tahun 1694 La Tenri
Tatta meninggalkan Makassar menuju Cenrana, Bone. Dari sana, Sri Baginda
menyiagakan pasukan infantry sejumlah 60.000 personel yang sewaktu-waktu siap
dikerahkan menyerang kedudukan VOC yang terpusat di Fort Rotterdam.
Sebagaimana diketahui, La Tenri Tatta tidak memiliki anak
kandung. Bahwa dalam pikiran beliau, perekat paling kuat yang dapat menyatukan
Raja-Raja dalam kawasan Tana Sempugi adalah melalui perhubungan darah. Maka
dilangsungkannya Politik Perkawinan dimulai pada kemenakannya yang
dipersiapkannya selaku penggantinya, yaitu : La Patau Matanna Tikka WalinonoE
La Tenribali MalaE Sangra Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng
Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng.
La Patau adalah putera adik kandung La Tenri Tatta, yaitu :
We MappolobombangngE Ida Ompo MaddanrengngE ri Palakka MatinroE ri
Ajappasareng. We MappolobombangngE inilah yang dinikahkan dengan La Pakkokoi
ToangkonE TadampaliE Arung Timurung Petta Ugi Ranreng Tuwa Wajo (putera La
Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh ArumponE MatinroE ri Bukaka) sehingga
kemudian melahirkan La Patau. Pada diri La Patau inilah La Tenri Tatta melihat
suatu harapan cerah yang dapat menyatukan Sulawesi, mengingat percampuran darah
Bone, Soppeng dan Wajo pada nazab keturunannya.
La Patau pertamakali dinikahkan dengan We Ummung Datu
Larompong Petta MatinroE ri Bola Jalajja’na, puteri Settiaraja Sultan Ahmad
Muhyiddin Petta MatinroE ri Tompotikka Datu Luwu dengan We Diyo’ DaEng Massiseng
Petta I Takalara MatinroE ri LawElareng, melahirkan : 1. We Batari Toja DaEng
Talaga Petta MatinroE ri TippuluE Mangkau ri Bone XVII Pajung ri Luwu XXI, 2.
La Temmasonge’ (La Mappasosong) Toappawelling Sultan Abdul Razak Jalaluddin
Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII, 3. We Patimana Ware'
Arung Timurung Datu Larompong Opu PawElaiyyE ri Bola Ukiri’na, 4. Opu TolEmbaE,
5. La SallE Opu Daeng Panai’. Maka dari pernikahan yang menghasilkan turunan
penguasa di Bone, Luwu dan Soppeng inilah kemudian menurunkan pula para
Raja-Raja di Wajo, Soppeng dan LimaE Aja Tappareng (Sidenreng, Sawitto, Suppa,
Rappang dan Alitta) pada tiga generasi setelahnya hingga sekarang.
Kemudian La Patau dinikahkan pula dengan I Mariama KaraEng
Pattukangan (puteri I Mappadulung KaraEng Sanrobone Sultan Abdul Jalil
Tumenanga ri Lakiung Sombayya Gowa XIX dengan Petta Bau Bone KaraEng Lakiung),
melahirkan putera puteri, sbb: 1. La Pareppa' TosappEwaliE Sultan Ismail Petta
MatinroE ri Sombaopu Sombayya Gowa XX, Mangkau ri Bone XIX, Datu Soppeng XX, 2.
La Panaongi Topawawoi Arung Mampu Datu Soppeng Mangkau ri Bone XX, 3. La
Padassajati Toappaware Petta MatinroE ri BEulang Datu Soppeng XIX/XXI Mangkau
ri Bone XVIII. Para putera dan puteri La Patau inilah yang kemudian menurunkan
Somba Gowa, KaraEng Tallo, Mangkau Bone, Datu Soppeng, Arung Berru, Datu TanEtE
serta segenap kerajaan di Sulawesi Selatan lainnya.
La Patau dinikahkan pula dengan puteri Raja-Raja lainnya
seputar Sulawesi Selatan. Maka Raja Bone inilah yang kemudian digelari sebagai
“Matanna Tikka” (Sang Matahari), dimana salahsatunya disebabkan karena berhasil
menempati puncak pyramida sisilah Raja-Raja Sulawesi Selatan dan Barat pada
abad-abad berikutnya, berkat pemikiran besar pamannya, La Tenri Tatta Petta TorisompaE
Datu Tungke’na Tana Ugi.
Bahwa VOC sesungguhnya menyadari strategi politik jangka
panjang La Tenri Tatta ini sebagai suatu ancaman pada kepentingan kolonialisme
Belanda pada masa yang akan datang. Maka disusun pulalah suatu strategi yang
paling ampuh dan dikenal amat ampuh sebelum itu, yakni : Devide et Impera.
Suatu politik adu domba antar Raja-Raja Lokal dengan menghembuskan issu-issu
perbedaan satu sama lain. Dalam hal ini Belanda berusaha memecah belah antara
orang-orang Bugis dan orang-orang Makassar. Salahsatu siasatnya telah
dikemukakan sebelumnya, yakni dengan menanamkan kesan Perang Makassar sebagai
Perang antara Bugis dan Makassar, dimana Bugis dibawah pimpinan Arung Palakka
disanjung sebagai “Penakluk Makassar”. Hal yang kemudian terbantahkan
sebagaimana penguraian fakta sejarah pada tulisan ini.
Ketakutan Belanda terhadap strategi politik jangka panjang
yang dijalankan oleh La Tenri Tatta terungkap pada tulisan S. Keyzer yang
diterbitkan dalam suatu buku berjudul : Oud en Nieuw Oos Indien, Derde deel
Amsterdam 1862, antara lain sebagai berikut : “Het voornamste dat hier de
landvoogt te doon heft, is maar om de risjt, die hun edelheden van hier
vorderen, te verzorgen, hundde tienden in te zamelen, een wakend oog op het
doen en laten van inlandsche konign te houden en vooral om the beletten dat er
tusschen de konigen van Bone en Gowa geen al te nauw verband komen mag, zoo dat
de maatregel van staat hier dezelfde is als die de landvoogd in Ternate tussen
de Moluksche vorsten te bezorgen en waar te nemen heeft” (Tugas yang terutama
harus dilakukan oleh Wakil Pemerintah di sini adalah hanya untuk mengurus beras
yang dipungut oleh pertuanannya, mengurus pemasukan atau pengumpulan pajak
sepersepuluh dan mengawasi gerak gerik serta tindakan Raja-Raja pribumi dan
terutama mencegah agar jangan sampai hubungan antara Raja Bone dan Raja Gowa
terlalu erat sehingga peraturan untuk negeri disini sama dengan peraturan yang
harus dipelihara dan diawasi oleh Wakil Pemerintah sebagaimana di Ternate
terhadap Raja-Raja di Maluku.)
Seiring waktu, sejarah kemudian dapat membuktikan kebenaran
strategi politik jangka panjang yang digagas dan dijalankan oleh La Tenri
Tatta, yakni membawa Raja-Raja keempat penjuru Sulawesi Selatan dan Barat
menjadi satu keturunan sedarah. Sejarah pula membuktikan kemudian, bahwa
Kerajaan Bone yang dikenal pro serta memegang andil terbesar dalam masuknya
kekuatan VOC Belanda yang tertanam hingga beberapa abad, namun pada abad
berikutnya, keturunan La Patau Matanna Tikka dari generasi ke generasi menjadi
tokoh perjuangan kemerdekaan yang gigih menentang penjajahan Belanda. Hingga
kemudian, sepeninggal La Tenri Tatta tidak kurang dari empat kali terjadi
peperangan besar antara Bone dan Pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana
dikenal sebagai “Bonische Expeditien” (Ekspedisi Bone) hingga memasuki awal
Abad-20 (1905).
La Tenri Tatta atau Sultan Sa’aduddin yang kemudian kerap
disebut sebagai Arung Palakka atau Petta MalampE’E Gemme’na adalah seorang
tokoh yang tidak melupakan budi baik gurunya, sekaligus mertuanya (KaraEng
Pattingngaloang). Beliau adalah seorang “Pangeran Bugis” yang tumbuh besar di
kalangan masyarakat Makassar (Gowa). Sejak kecil kemudian tumbuh dalam
perantauan dan pejuangannya, sampai memenangkan perangnya pada umur puncak kedewasaannya
(40-an tahun), hingga tua dan wafatnya, beliau lebih banyak menjalani 80 %
hidupnya tersebut di Makassar (Gowa). Maka tidaklah mengherankan jika Sastrawan
Makassar yang menyusun Sinrillik Kappala’ Tallumbatua, menyebut tokoh ini
sebagai “Pangeran Gowa”. Hanya karena disalahfahami oleh “Orang Tuanya” yang
adalah “Raja Gowa”, maka beliau haruslah menempuh pelarian keluar Butta Gowa
kemudian kembali dengan kekuatan yang terbangun bersama VOC Belanda untuk
menuntut bela hidup dan martabatnya.
Pada banyak kesempatan, Sultan Sa’aduddin menunjukkan
pembelaannya pada masyarakat Gowa, salahsatunya adalah ketika dalam usaha
ekspedisi pengembalian jenazah Syekh Yusuf Tajul Khalwati ke Makassar pada
tanggal 23 Mei 1703. Beliau melalui isterinya (I Mangkawani DaEng TalElE)
adalah penyumbang terbesar untuk mendanai ekspedisi tersebut.
Hingga masa senjanya, La Tenri Tatta lebih betah berdiam di
Makassar, yakni Bontoala. Hingga kemudian dalam tahun 1696, Sri Baginda La
Tenritatta DaEng SErang ToErung Petta MalampE'E Gemme'na Arung Palakka To Unru
Petta TorisompaE Sultan Sa'aduddin Datu Mario ri Wawo, Mangkau Bone XV Datu
Tungke'na Tana Sempugi yang juga digelari oleh Pemerintah Hindia Belanda
sebagai : De Konijn der Bogies (Kaisar Bugis) wafat dengan tenang.
Dihadapan persemayaman jenazah tokoh besar itu, I
Mappadulung KaraEng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung Sombayya
Gowa XIX (1677 – 1709), beliau mengumumkan bahwa : “Pangeran yang wafat ini
adalah pangeran Butta Gowa. Saya memandang jazad yang terbaring ini adalah
jazadku, maka baginya mestilah dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-Raja
Gowa”. Maka jazad Sri Baginda yang digelar anumerta sebagai Petta MatinroE ri
Bontoala’ ini dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-Raja Gowa, bersama sahabat
dan seperguruannya : I Mallombassi DaEng Mattawang Muhammad Bakir KaraEngta
BontomangapE Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’ Pangkana Sombayya Gowa XVI.
Adalah suatu ironi yang disaksikan sendiri oleh Pahlawan
Nasional Buya HAMKA selama menetap di Makassar, sebagaimana dituliskannya
sebagai berikut :
“Sekarang cobalah lihat ke Makassar (Sungguminasa), tidaklah
berapa jauh jarak kuburan diantara kedua orang yang bersejarah itu, Hasanuddin
dan Aru Palakka. Sampai kepada saat yang belum lama berselang, masih terdapat
kesan yang ditanamkan Belanda. Ke Pekuburan Aru Palakka datanglah orang-orang
dari Soppeng dan Bone meletakkan bunga dan memasang lilin. Dan mereka melengah
saja bila lalu di dekat kuburan Hasanuddin. Sebaliknya, bila orang-orang
peziarah dari Bone dan Soppeng telah pergi, datang anak Makassar melempari
kuburan Aru Palakka dengan batu, atau mencabut lilin dan kembang itu, dan
berdoa pula lama-lama di hadapan kuburan Hasanuddin.”
Kemudian pada paragraph berikutnya, diuraikan rangkaian
penutup yang indah dari Sastrawan Sejarawan itu, :
“Keduanya adalah orang-orang besar yang telah pergi. Tak
usah disesali lagi mana yang salah. Sebab keturunan-keturunan mereka yang
datang dibelakang, sebagai Aru Mappanyukki yang ketika dilantik menjadi Raja
Bone memakai dukuh emas Aru Palakka sampai dua kali dibuang oleh Belanda karena
jiwa kepahlawanannya. Dan lihat di rumah Aru Mappanyukki tergantung gambar
besar Sultan Hasanuddin. Dan saya lihat di Istana Raja Gowa tergantung gambar
Aru Palakka.” (Dari Perbendaharaan Lama, halaman 61).
*****
D. SIMPULAN DAN PENUTUP
“History is about peoples” (Sejarah adalah menyangkut
orang-orang), demikian dikatakan Ernest Hemingway pada suatu ketika. Maka
membaca sejarah sesungguhnya senantiasa menimbulkan kesan yang mendalam bagi
pembacanya, terlebih pula jika itu dimaknai dengan rasa cinta. Maka meninjau
sejarah, sekiranya bahwa kita yang sedang membacanya seakan-akan sedang hidup
pada kurun waktu dan masa terjadinya peristiwa kesejarahan itu. Hal yang
kemudian menjadi sesuatu yang luhur jika dipahami bahwa rasa hati kita dan suka
duka kita sekarang, tiada lain adalah suka duka yang mereka tinggalkan buat
kita.
Maka memahami sejarah seyogyanya dipandang dan ditelaah
menurut alur pemikiran sebagaimana latar kesejarahan itu berlangsung. Bahwa
penilaian terhadap tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya kiranya dapat di
pandang secara proporsional menurut ruang masa kesejarahannya. Sehubungan
dengan maksud uraian tulisan ini, pokok pikiran yang dapat disimpulkan, sebagai
berikut :
La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh Petta MatinroE ri Bukaka
Mangkau Bone XIII melaksanakan tugas kesejarahannya dengan sebaik-baiknya
sebagai Amirul Mukminin Tana BonE. Maka penegakan Syariat Islam adalah suatu
fardlu (kewajiban) yang mutlak harus diembannya, menurut garis perannya sebagai
seorang Amir (pemimpin),
I Manuntungi DaEng Mattola KaraEng Ujung KaraEng Lakiung
Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papambatunna Sombayya Gowa – XV memaklumkan
perang terhadap Tana Bone bukanlah disebabkan ambisi perluasan pengaruh belaka.
Alasan utama beliau adalah menegakkan PessE (solidaritas) dalam menuntut bela
atas kematian I La Sigajang To Bunne PawElaiyyE ri Attangna Patila Arung Matoa
Wajo. Hal yang tentunya dapat dimaklumi mengingat kedekatan para La MungkacE To
Uddama (kakek I La Sigajang) dengan Raja-Raja Gowa,
I Mallombassi DaEng Mattawang Muhammad Bakir KaraEngta
BontomangapE Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’ Pangkana Sombayya Gowa XVI
adalah seorang tokoh besar yang proporsional dalam memenuhi tugas
kesejarahannya. Kedekatannya dengan La Tenri Tatta tidaklah mempengaruhi alur
perlawanannya terhadap VOC Belanda yang menjadi sekutu sahabat karibnya
tersebut. Upaya perburuan terhadap La Tenri Tatta dalam masa pelariannya hingga
ke Buton mestilah bukan dimaksudkan untuk menghukum mati sahabatnya, melainkan
untuk merangkulnya sebagai sahabat seperjuangan. Hal yang kemudian
dibuktikannya dengan menunjukkan sikap lunaknya serta membujuk La Tenri Tatta
melalui KaraEng Sumanna. Kemudian pada saat lain, beliau membebaskan La
Maddaremmeng Sultan Ahmad Saleh dari tahanannya,
La Tenritatta DaEng SErang ToErung Petta MalampE'E Gemme'na
Arung Palakka Tounru Petta TorisompaE Sultan Sa'aduddin Datu Mario ri Wawo,
Mangkau Bone XV Datu Tungke'na Tana Sempugi bukanlah seorang pro membuta
terhadap VoC Belanda. Beliau adalah seorang yang memiliki visi yang amat besar
bagi masa depan Bangsa Sulawesi Selatan secara umum. Perlawanannya terhadap
Gowa bukanlah didasari suatu kebencian atau dendam, melainkan semata-mata
memerdekakan negerinya dari kungkungan Butta Gowa. Beliau bahkan berhasil mempertautkan
darah keturunan Gowa dengan menikahkan kemenakannya (La Patau) dengan cucu
langsung Sultan Hasanuddin (I Mariama KaraEng Pattukangan),
Penanaman Egosentris kesukuan atas dasar Bahasa Tutur dan
genealogis sesungguhnya strategi politik jangka panjang yang telah dilancarkan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagian dari mereka menyusun uraian sejarah
tentang Bangsa dan Negeri ini dengan tujuan untuk melestarikan pendudukan
Imperialisme yang hendak diwujudkannya hingga akhir zaman. Selain tujuan itu,
mereka pula membanggakan kemenangannya atas kekalahan leluhur bangsa ini. Hal
yang disadari masih berpengaruh hingga dimasa kini sebagai suatu bentuk
penjajahan idealisme.
Parepare, 2 Mei 2013
Penulis, Andi Oddang To Sessungriu
DAFTAR BACAAN
1. Abd. Razak DP, dkk, 1986, Sejarah Bone, Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang;
2. Andaya Leonard Y, 1977. Arung Palakka and Kahar Muzakkar;
A Study of The Hero Figur In Bugis Makassar Society, dalam People and Society
in Indonesia; A Biblegraphycal Aproach University;
3. Andaya Leonard Y, 2005. Warisan Arung Palakka ; Sejarah
Sulawesi Selatan Abad ke-17, Ininnawa, Makassar;
4. Amir Sessu, Drs. A., 1985. Lontara Akkarungeng Bone,
Transkrip, Kandepdikbud Kabupaten Bone;
5. HAMKA, Prof. Dr., 1982. Dari Perbendaharaan Lama, Cetakan
II, Pustaka Panjimas, Jakarta;
6. Mangemba, HD, 1977. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari
Timur, Pemda Tk. II Gowa, Sungguminasa;
7. Mattulada, H. A., Prof. Dr.,1988. Sejarah, Masyarakat dan
Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Makassar;
8. Mattulada, H. A., Prof. Dr., 1991. Menyusuri Jejak
Kelahiran Makassar Dalam Sejarah, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang ;
9. MD. Sagimun, 1985. Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C,
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta;
10. Panguriseng, A, 1977, Lontara Pangurusengna La Wahide’
Pabbicara Tana TengngaE Belawa, Tidak Dipublikasikan, Belawa;
11. Palippui, H. Drs, 1992. Ada Sulsana Ugi MasagalaE,
Yayasan Kebudayaan Mini Latenribali, Wajo ;
12. Ridha, A., 2007. Lontara Abbatireng Ana’ ArungngE ri
Bone, Tidak Dipulikasikan, Soppeng ;
13. Ridha, A., 2007. Lontara Abbatireng Ana’ ArungngE ri
Gowa, Tidak Dipublikasikan, Soppeng ;
14. Zainal Abidin F, A., Prof. Mr., 1999, Capita Selecta
Sejarah Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press, Makassar;
15. Zainuddin Tika, Ridwan Syam, 2007, KaraEng
Pattingalloang, Pustaka Refleksi, Makassar;
Parepare, 15 Mei 2013
Sumber : bloggueloe.blogspot.my
No comments:
Post a Comment