Sejarah Terbentuknya Kerajaan Bone
Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terluas yang saat ini
bahkan memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh pulau. Sebelumnya, memiliki
sejarah yang panjang sebelum terbentuk sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sejarah panjang Indonesia ini, jika diurut dari belakang
yaitu: masa reformasi, era Orde Baru, era Orde Lama, Masa Penjajahan
Belanda-VOC-dan berbagai Bangsa Asing lainnya yang datang ke Indonesia yang
dulu disebut Nusantara, hingga Masa Kerajaan-Kerajaan di Nusantara.
Mengenai Masa Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, banyak hal
yang menarik yang patut untuk diperhatikan. Karena tanpa adanya
kerajaan-kerajaan ini, identitas kita sebagai bangsa atau asal-usul kita
sebagai manusia Indonesia tidak mungkin kita ketahui. Mengutip kata Bapak Proklamator
Indonesia Ir Soekarno yaitu Jas Merah “jangan sesekali melupakan sejarah”,
dapat menjadi kata yang menyadarkan, membuka wawasan, membuka mata dan pikiran
untuk tetap melihat ke belakang akan sebuah realita yang telah ada sebelumnya
demi mengungkap identitas bangsa dan berjalan lebih terarah ke depannya.
Pada masa Kerajaan-kerajaan ini terdapat sebuah kerajaan
yang mampu mempertahankan eksistensinya hingga memasuki awal abad XX. Dapat
saya katakan ini merupakan sebuah prestasi yang cukup berbeda dari sekian
banyak kerajaan di Nusantara yang bahkan tidak mampu mempertahankan
supremasinya hingga abad XIX. Kerajaan ini berasal dari pulau Sulawesi, yaitu
Kerajaan Bone.
Kerajaan Bone dalam lingkup sejarah Sulawesi Selatan,
merupakan salah satu kerajaan yang tetap kokoh hingga memasuki abad XX.
Walaupun pada awal abad itu pula kehancuran bagi kerajaan mereka. Kerajaan ini
memiliki kronik sejarah yang luar biasa di Sulawesi Selatan. Dia mampu
membandingi Kerajaan Gowa yang pada waktu itu merupakan Kerajaan adidaya.
Hingga menjadi saingan terberat pemerintah kolonial Hindia – Belanda dalam
menanamkan pengaruh di Sulawesi Selatan.
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Kerajaan Bone
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau
persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang
(ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua
Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege.
Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari
satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup
terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan
patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan
permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah
berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika
Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki.
Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh
sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum
kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan.
Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi
hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut
mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena
mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang
turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan
demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat
menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka
memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang
tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja.
Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa
membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang
tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana,
terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta
tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan
membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki
yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka
raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan
“temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja
tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone.
Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu
mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai
dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami
istana itu.
B. Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang,
yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330
M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang
bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang
masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan
Isamateppa
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah
ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan.
Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan
Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh
komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan
bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur
ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah
tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut;
Mallajang)
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa
Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone.
Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah
yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau
bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari
teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya :
payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’
menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan
Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan
kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka
dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa
menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak
perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to
sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa
We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka
ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil
alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq
Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah
Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao
LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan
kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan
berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri,
Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape,
Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung,
Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah
menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga
organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi
wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai
dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang
memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah,
Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang.
Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan
Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya
dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul
merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi,
Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq
Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan
hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin
stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung
Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We
Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo
Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh
seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta
menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula
Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau
Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri
yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone
(1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah
kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian.
“Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di
sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya,
yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan
pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena
beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia
kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan
ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina
bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri
Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai
pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone
(Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar
lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai
permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur
serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai
(Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh
di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan
Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan
senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo
MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali
ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung
unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang
kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian
perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan
senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar
oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan
kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian
persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama
kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri
Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan
peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang
kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga
kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari
orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali
lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah
beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi
penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan
sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone
ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang
Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk
memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur
tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah
timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi
untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa
pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao
Laliddong.. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa
Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan
diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran
senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di
Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan
berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone.
Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan
senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone
(1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula
kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan
Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian
tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan
bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman
militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo
Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La
Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
C. Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga
kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas
keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi
dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe
BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo
Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa
yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah)
memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.[8]
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo
sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga
hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat
pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa
dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama
dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya
dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng
Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae
ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai
Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada
Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru
ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai
ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena
diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone.
Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun
mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil
hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja
Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami
manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali
pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya
sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan
menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang
Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang
dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu
itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan
mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian
persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan
bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung
(Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini
marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang
berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe
meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah
saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585
terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan.
Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana
hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun
lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu
menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu
banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer
Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di
Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta
raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang
mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya
untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya
dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang
tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng.
Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan
semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng,
namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke
Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan
menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan
Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi
Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa
terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya
dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap
kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone.
Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
D. Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses
Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa,
dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran
Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara
damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan
tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa
barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal
ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan
kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan
tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi
benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat
Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge
atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi
perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk
Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M
dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja
Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya,
karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue
bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone,
kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di
Bantaeng.[
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng
atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk
Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah
memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga
ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya
La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To
Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri
Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone
menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah
Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak
dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu
Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama
Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk
mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam
masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri
Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan
Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama
masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas
Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya
dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang
menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi
Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan
lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus
sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga
menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda
tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran
lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah
perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin
langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we
Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras
dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan
Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam
di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La
Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam
pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti
Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba
sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus
diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap
siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula
bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri
Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan
Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa
sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng
menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima,
namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan
Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone
ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang
(1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima
sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng
dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe
ri Bukaka.
E. Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa
membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To
RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat.
Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang
sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat
berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang
Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan
menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara
bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri
Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah
kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di
masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La
Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan
Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama
Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama
raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam
membangun Benteng - benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua
bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan
harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung
Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat
benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh
punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka,
La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh
Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena
membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa
dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta
Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang
dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana
kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya
dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya,
perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan,
sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton
(1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk
mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan
kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan
Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat
maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan
bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara
yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan
militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar
(1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung
Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan
semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah
lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal
Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah
Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda
menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi
penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668)
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar
hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau
Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI.
Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng
dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim
(2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone
adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan
Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan
atas bangsanya.
F. Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya,
Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh
paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam
sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam
memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua
penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini,
perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone
meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar
I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan
mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu,
yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara
tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen
mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang
memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan
Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara
tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah
ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4
meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk
tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat
dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan
serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada
tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan
Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah
mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda
harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa
dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil
diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun
kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14
jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus
melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun 1859-1860 dan
perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan
pemerintah Kolonial pada tahun 1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada
masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan
supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda
menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh
memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di
Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell
mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhadap Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada
kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman,
untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan,
Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap
Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap
pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta
Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La
pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia
pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia
kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911
KESIMPULAN
A. Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah
berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika
Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah
laki-laki. Dan ditunjukkalah ia sebagai Raja Bone I atau Arung Pone yaitu
Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40
tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M
B. Pada Proses awal Perkembangan Kerajaan Bone yang pada
tiap-tiap Raja Bone mulai dari Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri
Matajang, hingga Raja Bone VI yaitu La Uliyo Bote’E inilah Bone membentuk
sistem pemerintahannya, sistem sosial dan ekonomi. Bahkan hubungan politik
mulai dibentuk pada proses awal ini.
C. Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan
tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas
keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut dan juga demi menentang
agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa
itu.Perjanjian ini ada pada masa La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
D. Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses
Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Islamisasi pada Kerajaan Bone tidak ditempuh
dengan jalan damai, melainkan melalui musu asselengeng yaitu perang
peng-Islaman. Pada tahun 1611 M setelah Wajo dan Soppeng masuk Islam, Bone pun
turut mengikuti berkat agresi militer Gowa. Hingga secara resmi tahun1611 pada
masa La Tenripale Arung Timurung. Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640)
yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi
Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan
lain termasuk Gowa-Tallo.
E. Berkat bantuan dari Pasukan Hindia Belanda Gowa berhasil
ditaklukkan oleh persekutuan Bone-Belanda dibawah pimpinan Arung Palakka. Yang
mana setelah Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam
sejarah politik di Sulawesi Selatan.
F. Runtuhnya Kerajaan Bone setelah serangan militer Belanda
pada tahun 1905 pada masa pemerintahan Raja terakhir Bone La Pawawoi Karaeng
Segeri. Yang akhirnya meninggal dalam tahanannya di Bandung pada tahun 1911 M.
Sumber : makkawaruwe.blogspot.my
No comments:
Post a Comment