Sejarah Penghijrahan Orang Melayu Ke Sulawesi (Melayu - Bugis)
Orang-orang Melayu (Johor, Minangkabau, dan Patani) yang
melakukan penghijrahan ke Sulawesi Selatan sejak tahun 1490. Perantau-perantau
ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperanan di kerajaan-kerajaan Sulawesi
Selatan, Riau, dan Semenanjung Tanah Melayu.
Sejarah Awal Kedatangan Orang Melayu ke Sulawesi
Pada tahun 1542, Antonio de Paiva seorang pengembara
Portugis mendarat di sebuah tempat bernama siang yang berdekatan dengan pusat
pemerintahan sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. Antonio De Paiva
menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang Melayu di Siang. Mereka
mendiami perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak
1490.Manuel Pinto yang mengunjungi Siang pada tahun 1545, menyatakan bahawa
orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 orang. Pada zaman pemerintahan
Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500-1545), orang Melayu sudah mendirikan
perkampungan di Mangallekana, sebelah utara Somba Opu ibu kota kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tunipallangga, orang Melayu mengutuskan Datuk Nakhoda Bonang
menghadap raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi.
Peranan Orang Melayu di Sulawesi
Sejak kedatangan orang Melayu ke kerajan Gowa, peranannya
tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan
sosial dan politik kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang Melayu di
kerajaan Gowa, menyebabkan raja Gowa XII Karaeng Tunijallo (1565-1590)
membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk orang Melayu, sekalipun raja
belum memeluk Islam. Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang
Melayu memegang peranan penting di istana kerajaan. Pada masa pemerintahan raja
Gowa X (1546-1565), seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajau, Daeng Ri
Mangallekana diangkat sebagai syahbandar kerajaan. Sejak saat itu secara turun
temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu. Jabatan penting lainnya
ialah sebagai juru tulis istana. Pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669),
seorang Melayu bernama Incik Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair.
Peranan orang Melayu di kerajaan Gowa juga meliputi bidang
sastera dan pengajaran agama Islam. Beberapa naskah keagamaan dan karya-karya
sastera diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Bugis. Seperti Hikayat
Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi
Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Puteri Jauhar Manikam. Tradisi intelektual
berlanjut hingga abad ke-19 dengan penulisan ulang Sureg I Lagaligo oleh Ratna
Kencana atau Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanete.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun
1615, sistem perdagangan di Sulawesi khususnya perdagangan antara pulau yang
melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Johor dan Patani. Orang Melayu
yang sudah bermukim di Sulawesi sejak berabad-abad lalu tetap memiliki hubungan
dagang dengan negeri asalnya di semenanjung tanah melayu dan kepulauan Riau.
Sejak tahun 1511, pedagang Melayu telah membawa beras dari Sulawesi ke Melaka.
Barulah pada tahun 1621, dibawah kekuasaan Daeng Manrabia Sultan Alauddin
(1593-1639), orang Bugis mulai turut mengambil bahagian yang penting di dunia
perdagangan dan pelayaran Nusantara.
Percampuran Etnik
Tidak dapat diketahui pasti sejak bila orang Melayu Patani
dan Minangkabau membina perkampungan di Makassar. Beberapa sumber tempatan
menyatakan bahawa kedatangan orang Patani dan Minangkabau sejak setelah
kejatuhan Kesultanan Melaka ketangan Portugis pada tahun 1511. Kehadiran
Portugis di Melaka menyebabkan kepentingan orang Johor, Patani, dan Minangkabau
terganggu.
Datuk Leang Abdul Kadir dan Tuan Fatimah dikenal sebagai
keturunan keluarga Melayu berasal Patani. Sedangkan Datuk Makotta dan Tuan
Sitti merupakan keturunan keluarga Minangkabau. Di Makassar terjadi perkawinan
campur antara orang Patani dengan Minngkabau, yang dimulai dengan perkawinan
Tuan Aminah, putri Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja, putra Datuk Makotta.
Perkawinan ini biasa diberi gelar incek. Kemudian terjadi pula perkawinan
antara orang Melayu dengan orang Bajau, yang diberi gelar kare. Perkahwinan
antara kare dan incek, melahirkan generasi masyarakat Melayu-Bugis yang dikenal
dengan sebutan tubaji (bahasa Makassar) dan tudeceng (bahasa Bugis). Sepanjang
kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para
bangsawan Bugis-Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi
menyebut diri sebagai orang Melayu, melainkan mengelarkan diri mereka sebagai
orang Bugis atau orang Makassar namun bukan bererti bahawa Suku Bugis berasal
dari percampuran antara ‘ kare ‘ dan ‘ incek ‘ kerana jauh sebelum orang melayu
menggunakan istilah itu, Orang Bugis telah lama menggunakannya.
Kembali semula ke Tanah Melayu
Ketika terjadi pergolakan antara kerajaan Gowa dengan VOC
dalam merebut penguasaan ekonomi di Indonesia timur sejak awal abad ke-17,
orang Melayu dan Jawa yang bekerja pada pejabat-pejabat asing mendapat kesan
yang berat akibatnya Kerajaan Gowa sangat curiga pada orang Melayu yang
melakukan urusan perdagangan dengan Belanda di Makassar.
Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika kerajaan Gowa
kalah dalam perang Makassar (1667-1669) yang mengakibatkan mereka diusir dari
kerajaan. Perang Makassar memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian
Bongaya yang sangat merugikan Gowa. Akibat perjanjian ini, orang Melayu yang
memegang jawatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya ikut serta
meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan Kesultanan Melayu di tanah Melayu.
* Hangpcdua Malaya *
Sejarah Arung Palakka
Adalah Raja
Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka
La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad
ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak
dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam
bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang
bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone
ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Dari
perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We
Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri
Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.
Dari
perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri
Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama
Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :
1.Da Unggu
(putri)
2.Latenri
Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri
Girang (putra)
4.We
Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba
(putri), dan
6.Da Umpi
Mappolobombang (putri)
Jadi Latenri
Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone
ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo
dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu
Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase,
ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu
:
1.La Tenri
Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We
Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16
Oleh karena
itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I
Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya
yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin
Petta MatinroE ri Nagauleng.
Arung Palakka,
diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya,
setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun
1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana
Tengnga Tua
Wilayah
kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan
Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu
La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan
putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak
perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak
keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam
pengasingannya. Mereka itu ialah :
1.We
Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan
Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La
Maddaremmeng;
2.We
Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To
dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan
Suppa);
3.Da Eba, yang
kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
4. Da Ompo
Adapun We
Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat
dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari
pada tahta Kerajaan Bone.
Dat We Tenri
Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan
gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan
rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut
adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone.
Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu,
diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di
mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.
Situasi Tahun
1646
Apabila
dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut.
Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di
mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga
dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng
Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan
berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La
Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu
ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu
pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali
kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga
disegani oleh setiap kawan dan lawannya.
Di kalangan
para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang.
Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan
berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak
jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada
tandingannya di masa itu.
Menurut
berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya
tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat
berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.
Rupanya
Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan,
gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda
lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan
diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi
buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.
Sayang bagi keluarga
Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15
September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng
Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini
terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang
halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.
Pada waktu itu
Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan
tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya
dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada
hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas
kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung
daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau
kesewenang-wenangan tuannya itu.
Mengenai
tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti
Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau
itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki
di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran
kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera
merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak
keluarganya.
Dalam pada itu
rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang
ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah
sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang
mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan
mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.
Pada
pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng
Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki
untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan,
di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan
mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir
bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa.
Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada
petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan,
dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang
sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi
memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur
saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.
Mereka membawa
bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit
ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu
tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik
gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan
bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka
diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.
Datu Mario dan
tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan
mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok
orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering
mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan
menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.
Iba hati
pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari
pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal
mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak
garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu
itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang
siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang
tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan
membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).
Karena
pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula
obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh
sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak
istri dan ibu bapak mereka.
Tidaklah
mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha
melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera
setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk
waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah
pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal
itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu,
Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai
November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka
diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada
pekerjaan itu.
Datu Mario dan
bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut
menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena
sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang
amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario
pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah
dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan
Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang
disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian
parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.
Arung Tana
Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal
dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para
pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat
kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan
neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu
pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan
perbudakan Gowa.
Pada suatu
hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama
dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario
menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang
jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng
melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah
pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu
Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng
untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat
Mampu.
Beberapa hari
kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu
Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya
Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung
Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario
hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario
dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk
mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu
tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu
persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit
perahu di Attappang)
Setelah itu
pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru
menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah
hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario
untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang
sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk
membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya
paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario.
Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa
dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah
dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum
diasingkan ke Gowa.
Alangkah
bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah
rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama
menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan
menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan,
terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah
keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam
sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan
rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana
ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka
MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario
yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk
bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar
Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua
hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya
kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian
laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari
yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar
Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi
laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing
berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.
Raja Gowa
berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan
kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada
perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone
untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri
bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela
menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya
Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika
utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata:
“ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.
Diperintahkannya
menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan
tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka
memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan
mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah
panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas
sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke
markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang
laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.
Tiba-tiba
Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi
perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu
Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru
untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih,
sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah
bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng
Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke
arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh
Arung Appanang menyingkir ke Mampu.
Laskar Bone
setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone
Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong
menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai
tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan
laskar Gowa.
Namun orang
Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis
depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya
membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak
mengindahkan maut.
Pertempuran ini tidak ada
yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses
perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu
antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta
Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di
Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit
Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat
dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami
suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan
amanat baginda Arung Palakka sendiri.
No comments:
Post a Comment