a.Sejarah
Awal Brunei (Kerajaan Brunei Tua)
Catatan
sejarah menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke
VI. Kala itu,daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan
para pelaut dari Cina, Arab, dan India.
Para
pelaut yang didominasi kaum pedagang tersebut biasanya singgah sejenak di
pelabuhan Bruneikemudian melanjutkan pelayaran ke daerah-daerah yang kini kita
kenal dengan nama Indonesia.
Beberapa
catatan sejarah menyebutkan tentang daerah yang kini dikenal dengan nama Brunei
ini dalambeberapa penyebutan (istilah). Dalam catatan sejarah Cina, Brunei
dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, atau Pu-ni. Dalam catatan sejarah Arab,
Brunei disebut dengan nama Zabaj atau Randj. Sedangkanpara pelaut (pedagang)
Arab menyebut “Laut Brunei” untuk perairan yang kini kita kenal dengan nama
Laut Cina Selatan.
Catatan
sejarah Cina pada masa pemerintahan Dinasti Liang (502-566 Masehi) menyebutkan
tentangsuatu daerah bernama Po-li (Brunei). Po-li disebutkan sebagai sebuah
daerah yang berada di sebelah tenggara Canton, berjarak sekitar 60 hari
pelayaran dengan tiupan angin biasa, dan membawahi 136 daerah. Di dalam buku
Chiu Tang Shu diriwayatkan bahwa sekitar tahun 630 M, Po-li telah
mengirimkan utusan ke Cina.
Nama
Po-li mulai tergantikan dengan penyebutan Po-lo pada pertengahan abad ke VII.
Penyebutan Polo dimulai ketika Dinasti Tang (618-906 M) menyebutkan bahwa jika
melakukan perjalanan laut dari Chih-tu ke arah barat daya maka akan sampai di
sebuah daerah bernama Po-lo. Pada masa itu, sekitar tahun 669 M, Raja
Po-lo bersama dengan Huan-wang (Siam) telah mengirimkan utusan ke Cina pada
tahun 642, 669, dan 711 M.
Memasuki
abad ke X, Dinasti Sung (960-1279 M) yang berkuasa di Cina tidak lagi
menggunakan nama Po-lo melainkan Pu-ni. Mengutip dari buku Hsin Tang Shu, “ …
after the disappearance of the name Polo, Po-ni is mentioned firt time in
Chinese literature visthe Sung Shih.” Menurut Charington, Po-ni atauPu-ni
adalah nama yang sama untuk menyebut Po-lo.
Penyebutan
Pu-ni terus digunakan sepanjang masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina.
Penyebutan Poli, Po-lo, hingga Pu-ni dapat dikatakan sebagai masa Kerajaan
Brunei Tua.
b.
Kerajaan Brunei
Ketika
Dinasti Sung digantikan oleh Dinasti Ming yang berkuasa di Cina antara tahun
1368-1643 M,penyebutan Pu-ni mulai bergeser menjadi Brunei. Penyebutan “Brunei”
menjadi nama baru dalam catatan Cina yang diindikasikan karena pengaruh dari
perpindahan Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu.
Catatan
dari Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1397 M, beberapa utusan telah
datang ke Cina. Utusan-utusan tersebut berasal dari Annam, Siam, Jawa, Liu-Kiu,
San-bo-tsai, Bruni (Brunei), Pahang, Sumatera, dan negeri lain. Berdasarkan
catatan dari Dinasti Ming ini dapat diperkirakan bahwa perpindahan
Kerajaan Brunei Tua ke Kota Batu berlangsung sebelum tahun 1397 M.
Selain
dalam catatan Cina, sumber dari Kerajaan Majapahit yang tercatat dalam Kitab
Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M menyebutkan bahwa Pu-ni
atau Brunei merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Disebutkan dalam
Negarakertagama pupuh 14, Kerajaan Majapahit menguasai daerah-daerah
mancanegara seperti Sedu (Sarawak), Barune (Brunei), Saludung (Manila),Solot
(Sulu), Trengganu, Johor, Tumasik (Singapura), dan lain-lain. Setiap tahun
Kerajaan Brunei mengirimkan upeti ke Jawa antara lain dalam bentuk kapur barus
dan air pinang muda.
Satu catatan
tersendiri adalah sebelum Kerajaan Brunei Tua pindah ke Kota Batu, pada tahun
1362 MAwang Alak Betatar naik tahta. Tahun 1364 M ketika Patih Gadjah Mada
mangkat, Kerajaan Brunei Tua merasa memiliki kesempatan untuk melepaskan diri
dari pengaruh Kerajaan Majapahit. Akhinya pada tahun 1365 M, Kerajaan Brunei
Tua memproklamirkan diri sebagai kerajaan yang merdeka.
c.
Kesultanan Brunei
Ketika
Kerajaan Brunei Tua telah merdeka, Raja Awang Alak Betatar menjalin hubungan
dengan Kesultanan Johor. Hubungan ini ditandai dengan perkawinan antara Raja
Awang Alak Betatar dengan seorang puteri dari Kesultanan Johor. Lewat
perkawinan ini, Raja Awang Alak Betatar akhirnya memeluk agama Islam sehingga
mendapatkan karunia gelar dari Sultan Johor, yaitu Sultan Muhammad Shah. Saat
itulah agama Islam mulai ditetapkan sebagai agama negara.
Sultan
Muhammad Shah memimpin Kesultanan Brunei hingga tahun 1402 M. Dalam Salasilah
Raja-raja Brunei disebutkan bahwa Sultan Muhammad Shah hanya memiliki seorang
puteri bernama Puteri Ratna Dewi, namun apabila ditilik dari batu nisan makam
Rokayah binti Sultan Abdul Majid Hasan ibnu Muhammad Shah Al-Sultan yang
berangka tahun 1422 M dan terletak di Tanah Pekuburan Islam di Jalan Residency,
Bandar Seri Begawan, didapatkan sebuah keterangan bahwa Sultan Muhammad Shah
memiliki seorang putera bernama Sultan Abdul Majid Hasan atau dalam catatan
Cina ditulis Ma-na-jeka-na. Namun nama Sultan Abdul Majid Hasan tidak termasuk
ke dalam Salasilah Raja-raja Brunei.
Sultan
Abdul Majid Hasan mangkat pada tahun 1408 M ketika melakukan kunjungan ke
Nanking, Cina.Beliau dimakamkan di Cina dan pada nisannya tertulis “Makam Raja
Puni”.
Catatan
yang terdapat dalam Salasilah Raja-raja Brunei menyebutkan bahwa setelah Sultan
Muhammad Shah mangkat pada tahun 1402 M, pengganti kedudukan Sultan Brunei
adalah saudara Sultan Abdul Majid Hasan yang bernama Pateh Berbai atau Pangeran
Bendahara. Pada tahun 1408, Pangeran Bendahara naik tahta dan bergelar
Sultan Ahmad.
Pada
tahun 1425 M, Sultan Ahmad mangkat. Oleh karena tidak memiliki putera, maka
kedudukan Sultan Brunei diserahkan kepada menantunya, Sharif Ali. Sharif Ali
adalah seorang penyebar agama Islam yang berasal dari Taif di Arab dan telah
menyebarkan agama Islam sejak tahun 1400 M atau ketika Brunei masih
diperintah oleh Sultan Abdul Majid Hasan.
Sharif
Ali naik tahta dan bergelar Sultan Sharif Ali. Pemerintahan Sultan Sharif Ali
dikenal sebagai masa penguatan fondasi Islam di Kesultanan Brunei yang telah
diletakkan sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah. Sultan Sharif Ali di
antaranya menyusun pemerintahan yang berdasarkan agama
Islam,
mendirikan masjid, meluruskan arah kiblat, dan membuat aturan yang melarang
rakyat Brunei untuk makan daging babi, jika larangan ini dilanggar maka akan
dihukum mati.
Kepemimpinan
Sultan Sharif Ali atau yang juga dikenal dengan nama Paduka Seri Muda Berkat
berlangsung hingga beliau mangkat pada tahun 1432 M. Pengganti Sultan Sharif
Ali berturut-turut adalah Pengiran Muda Besar Sulaiman yang naik tahta
pada tahun 1432 M dan bergelar Sultan Sulaiman. Dalam Hikayat Hang Tuah, Sultan
Sulaiman disebut sebagai Adipati Agung, sedangkan dalam Sejarah Melayu, disebut
Sang Aji Brunei.
Sultan
Brunei selanjutnya adalah Pengiran Muda Bolkiah yang naik tahta pada tahun 1485
M dan bergelar Sultan Bolkiah. Sultan Bolkiah dikenal juga dengan nama Anakhuda
Ragam atau Nahkoda Ragam. Sebutan ini merujuk pada kebiasaan Sultan Bolkiah
yang sering bepergian ke luar negeri dengan menggunakan “ajung” (jung atau
kapal). Dalam setiap kepergian, beliau selalu diiringi oleh musik Nobat dan
Gendang Kebesaran Diraja. Sultan Bolkiah dikenal sebagai sosok yang adil dalam
memerintah, sehingga beberapa daerah yang dikunjunginya merasa terlindungi dan
tunduk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei.
Pada
tanggal 11 Juli 1524, Sultan Bolkiah mangkat dalam perjalanan kembali ke Brunei
dari luar negeri.Pengiran Anak Cucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan bergelar
Sultan Abdul Kahar. Dalam Boxer Codex, Sultan Abdul Kahar disebut Sultan Ari
Lula atau Sultan Adilullah, sedangkan Antonio Pigafeta dalam laporannya pada
tahun 1521 menyebut Sultan Abdul Kahar dengan nama Raja Siripada.
Pemerintahan
Sultan Abdul Kahar berlangsung hingga tahun 1530 M. Selepas Sultan Abdul Kahar
meletakkan jabatan, putera sulung baginda yang bernama Pengiran Muda Besar
Ismail naik tahta, namun hanya bertahan setahun karena beliau mangkat.
Pengganti Pengiran Muda Besar Ismail adalah Pengiran Muda Tengah Othman, namun
tidak lama kemudian juga mangkat sehingga digantikan oleh Pengiran Muda Iring
Ali Akbar. Hal serupa terjadi pada dua pendahulunya, Pengiran Muda Iring Ali
Akbar juga mangkat tidak lama setelah naik tahta.
Saat
itu, Sultan Abdul Kahar baru menyadari jika tahta Kesultanan Brunei sesungguhnya
milik keturunan dari kakaknya, Pengiran Bendahara Pengiran Muda Besar Tajuddin
yang tidak sempat naik tahta meskipun telah disiapkan sebagai pengganti ketika
ayah mereka Sultan Bolkiah memerintah. Atas dasar pertimbangan tersebut,
Sultan Abdul Kahar menyerahkan tahta Brunei kepada putera Pengiran Bendaraha
Pengiran Muda Besar Tajuddin yang bernama Pengiran Anak Chucu Besar Saiful
Rijal. Pada tahun 1533 M Pengiran Anak Chucu Besar Saiful Rijal naik tahta dan
bergelar Sultan Saiful Rijal. Ketika Sultan Saiful Rijal memerintah
terjadi Perang Kastila.
Perang
Kastila dimulai ketika Spanyol yang telah berhasil menaklukkan Filipina
(Manila) pada tahun 1571M bermaksud menawarkan “perlindungan” kepada Kesultanan
Brunei. Tawaran perlindungan bermaknabahwa Kesultanan Brunei mengakui
kedaulatan Spanyol yang bermarkas di Manila. Tawaran ini ditolakoleh Sultan
Saiful Rijal.
Sikap
Spanyol ini didasari oleh dua hal, pertama Kesultanan Brunei telah menyebarkan
agama Islamsehingga berpengaruh kuat di Filipina sejak masa kekuasaan Sultan
Bolkiah. Kedua, perkembangan Islamdi Filipina tentu saja menghambat upaya
Kristenisasi yang menjadi salah satu tujuan Spanyol. Olehkarena itu, Spanyol
merasa perlu untuk menaklukkan pusat Islam, yaitu Kesultanan Brunei.
Kontak
senjata pertama antara pasukan Kesultanan Brunei melawan Spanyol terjadi pada
tanggal 14April 1578. Pasukan Spanyol dipimpin oleh Kapten Jenderal Spanyol di
Manila, Dr. Fansisco de Sandeberkekuatan 40 kapal perang. Sedangkan pasukan
Brunei berkekuatan 50 kapal perang. Dalam kontakpertama ini, pasukan Kesultanan
Brunei menderita kekalahan.
Kemenangan
pada kontak senjata pertama menjadikan moral pasukan Spanyol bangkit. Pada
tanggal16, 20, dan 24 April 1578, pasukan Spanyol telah memasuki istana,
menggeledah, dan merampasberbagai barang berharga.
Pasukan
Kesultanan Brunei yang kalah pada kontak pertama kemudian menggalang kekuatan
di bawahpimpinan Pengiran Bendahara Sakam ibnu Sultan Abdul Kahar. Pasukan ini
kembali menggempur Spanyolhingga terdesak dan dipaksa untuk mundur sampai ke
Nausung (Sabah). Pada tanggal 26 Juni 1578,Spanyol menderita kekalahan perang
dan berhasil diusir dari bumi Brunei. Sebagai pelampiasan ataskekalahan perang,
tiga hari sebelum meninggalkan Brunei, pada tanggal 23 Juni 1578, Dr. Fansisco
deSande memerintahkan untuk membakar Masjid Jami’ Brunei.
Pengiran
Bendahara Sakam yang berjasa karena kepemimpinannya dalam mengusir Spanyol
akhirnyamendapat anugerah dari Sultan Saiful Rijal yaitu gelar Raja Bendahara,
sebuah gelar yang dianggapsebagai calon pengganti Sultan Brunei. Namun sebelum
naik tahta, Pengiran Bendahara Sakam telah mangkat.
Sultan
Saiful Rijal mengangkat puteranya yang bernama Raja Brunei (Shah Brunei)
sebagai SultanBrunei, namun tidak lama kemudian juga mangkat. Tahta Kesultanan
Brunei akhirnya diserahkan kepadaadik Sultan Saiful Rijal yang bernama Pengiran
Muda Muhammad Hasan yang naik tahta pada tahun 1582 M bergelar Sultan Muhammad
Hasan.Sultan Muhammad Hasan mangkat pada tahun 1598 M. Pengganti Sultan
Muhammad Hasan adalah
Pengiran
Muda Besar Abdul Jalilul Akbar bergelar Sultan Jalilul Akbar (1598-1659 M),
kemudian PengiranMuda Besar Sulong Abdul Jabbar bergelar Sultan Abdul Jalilul
Jabbar (1659-1660 M). Ketika Sultan Abdul Jalilul Jabbar mangkat pada
tahun 1660 M, Putera Mahkota Pengiran Muda Besar Muhammad Shamsuddin belum
cukup usia untuk memerintah sehingga tahta Kesultanan Brunei diserahkan
kepada pamannya, Pengiran Muda Bongsu Haji Muhammad Ali ibnu Sultan
Muhammad Hasan dan bergelar Sultan Haji Muhammad Ali.
Ketika
Sultan Haji Muhammad Ali memerintah terjadi perseteruan dengan Pengiran
Bendahara Pengiran Abdul Hakkul Mubin. Permasalahan bermula ketika putera
Sultan Haji Muhammad Ali yang bernama Pengiran Muda Bongsu ibnu Sultan
Muhammad Ali telah membunuh putera Pengiran Bendahara Pengiran Abdul
Hakkul Mubin dalam sabung ayam. Pengiran Bendahara Pengiran Abdul Hakkul Mubin
lantas datang ke istana bermaksud menuntut balas atas kematian puteranya
dengan cara membunuh Pengiran Muda Bongsu. Namun Sultan Haji Muhammad Ali
tidak mengizinkan puteranya tersebut dibunuh dengan alasan bahwa kuasa
menjatuhkan hukuman menjadi hak Sultan. Maksud yang tidak tersampaikan
membuat Pengiran Bendahara Pengiran Abdul Hakkul Mubin murka dan membunuh
siapa saja yang berada di dalam istana.
Sultan
Muhammad Ali mangkat pada tanggal 7 November 1661 dan digantikan oleh Pengiran
Bendahara Pengiran Abdul Hakkul Mubin yang bergelar Sultan Abdul Hakkul
Mubin. Ketika masih memerintah, Sultan Abdul Hakkul Mubin telah memberikan
karunia gelar Pengiran Bendahara Seri Maharaja Permaisuara
kepada
Pengiran Bongsu Muhyiddin ibnu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang tak lain adalah
adik kandung Sultan Abdul Jalilul Jabbar dari ibu yang sama, Radin Mas
Ungku Siti Kaisah, puteri Pengiran Temenggong Mancho Negoro dari Jawa.
Luka
lama pembunuhan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hakkul Mubin terhadap Sultan
Muhammad Alikembali terkuak. Pengiran Bongsu Muhyiddin bermaksud menuntut balas
dan berusaha merebut tahta.
Terjadilah
perang saudara yang berlangsung selama 12 tahun (1661-1673 M). Perang berakhir
ketika
Sultan
Abdul Hakkul Mubin berhasil dibunuh oleh Pengiran Bongsu Muhyiddin yang
kemudian menduduki tahta Kesultanan Brunei pada tahun 1673 M dan bergelar
Sultan Muhyiddin.
Ketika
Sultan Muhyiddin memerintah, beliau bermaksud untuk mengembalikan tahta kepada
garis keturunan dari Sultan Muhammad Ali. Putera Sultan Muhammad Ali,
Pengiran Muda Bongsu yang melarikan diri ke Sambas diminta kembali ke
Brunei dan diberikan karunia gelar Raja Bendahara dan diharapkan dapat
mengganti kedudukan Sultan Muhyiddin sebagai Raja Brunei. Namun sebelum niat
tersebut terlaksana Raja Bendahara Pengiran Muda Bongsu telah meninggal.
Akhirnya Sultan Muhyiddin
melantik
putera Raja Bendahara Pengiran Muda Bongsu yang bernama Pengiran Anak Muhammad
Alam dan diberikan gelar Raja Bendahara Alam.
Usai
melantik, Sultan Muhyiddin berangkat ke Kelaka dan bersemayam di sana. Namun,
meskipun telah dilantik oleh Sultan Muhyiddin, nama Raja Bendahara Alam ini
tidak disebutkan dalam Salasilah Raja-rajaBrunei. Ketika Raja Bendahara Alam
mangkat, Sultan Muhyiddin yang telah bersemayam di Kelaka diminta untuk kembali
memimpin Kesultanan Brunei. Sultan Muhyiddin akhirnya kembali naik tahta.
Sultan
Muhyiddin mangkat pada tahun 1690 M. Pengganti Sultan Muhyiddin adalah Pengiran
Anak Chucu Nasruddin ibnu Pengiran Muda Besar Abdullah ibnu Sultan Abdul
Jalilul Akbar bergelar Sultan Nasruddin.
Sultan
Nasruddin mangkat pada tahun 1670 M dan digantikan Pengiran Muda Husain
Kamaluddin ibnu Sultan Haji Muhammad Ali yang bergelar Sultan Husain
Kamaluddin. Keinginan almarhum Sultan Muhyiddin untuk mengembalikan tahta
Kesultanan Brunei kepada keturunan Sultan Muhammad Ali akhirnya
terealisasi.
Masa
pemerintahan Sultan Husain Kamaluddin disebutkan sebagai salah satu masa
kemakmuran Kesultanan Brunei. Salah satu indikasi kemakmuran Kesultanan
Brunei ditunjukkan dengan mengeluarkan mata uang Kesultanan Brunei yang disebut
mata uang “pitis”.
Sultan
Husain Kamaluddin juga dikenal sebagai raja yang adil dan berpihak pada rakyat
biasa. Beliau tidak berkenan untuk menikah dengan kaum bangsawan, sehingga
anak Sultan Husain Kamaluddin juga tertutup kemungkinan menjadi Sultan
Brunei selanjutnya karena terdapat darah rakyat biasa. Namun, salah satu
puteri Sultan Husain Kamaluddin yang bernama Pengiran Anak Puteri Bulan menikah
dengan Pengiran Anak Chucu Besar Muhammad Alauddin ibnu Pengiran Di-Gadong
Pengiran Muda Shah Mubin ibnu Sultan Muhyiddin. Atas dasar pernikahan ini,
Sultan Husain Kamaluddin justru memiliki niat untuk mengembalikan tahta
Kesultanan Brunei kepada keturunan dari Sultan Muhyiddin.
Pengiran
Anak Chucu Besar Muhammad Alauddin akhirnya ditabalkan menjadi Raja Brunei pada
tahun 1730 M dengan gelar Sultan Muhammad Alauddin. Namun masa
pemerintahan Sultan Muhammad Alauddin hanya berlangsung singkat karena
beliau mangkat pada tahun 1737 M. Oleh karena Sultan Muhammad Alauddin
tidak memiliki putera, maka Sultan Husain Kamaluddin yang sebenarnya
telah meletakkan jabatan dan bergelar Paduka Seri Begawan Sultan dan
bersemayam di Temburong kembali menjadi Sultan Brunei.
Pemerintahan
Sultan Husain Kamaluddin jilid II bertahan hingga tahun 1740 M. Beliau
kemudian menyerahkan tahta Kesultanan Brunei kepada menantunya, Pengiran
Muda Tengah Omar Ali Saifuddin yang menikah dengan Pengiran Anak Puteri
Nur Alam binti Sultan Husain Kamaluddin. Pengiran Muda Tengah Omar Ali
Saifuddin naik tahta pada tahun 1740 M dan bergelar Sultan Omar Ali Saifuddin
I.
Pemerintahan
Sultan Omar Ali Saifuddin I bertahan hingga tahun 1778 M. Pengganti Sultan Omar
Ali Saifuddin I adalah Pengiran Muda Besar Muhammad Tajuddin bergelar Sultan
Muhammad Tajuddin.
Selanjutnya
pada tahun 1804 M, tahta Kesultanan Brunei diserahkan kepada Pengiran Muda
Tengah Jamalul Alam bergelar Sultan Muhammad Jamalul Alam I.
Sultan
Muhammad Jamalul Alam I memerintah hanya sekitar 7 bulan (26 April 1804 hingga
10 November 1804). Beliau mangkat dan digantikan puteranya, Pengiran Muda
Besar Omar Ali Safiuddin II. Namun berhubung putera baginda belum cukup
umur, maka tahta Kesultanan Brunei untuk sementara diampu oleh Paduka Seri
Begawan Sultan Muhammad Tajuddin.
Paduka
Seri Begawan Sultan Tajuddin hanya mampu memimpin Kesultanan Brunei hingga
tahun 1807 M.
Beliau
kemudian menyerahkan tahta kepada Pengiran Di-Gadong Ayah Pengiran Muda
Tengah Muhammad Kanzul Alam ibnu Sultan Omar Saifuddin I dan bergelar
Sultan Muhammad Kanzul Alam.
Semasa
Sultan Muhammad Kanzul Alam memerintah terdapat beberapa peristiwa yang terjadi
di Kesultanan Brunei. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: Kesultanan
Brunei mengeluarkan mata uang “Pitis” ke Padian (1821 M) dan Kesultanan Brunei
menjalin hubungan yang erat dengan Spanyol diManila (1823 M).
Masa
pemerintahan Sultan Muhammad Kanzul Alam juga diwarnai dengan keputusan sepihak
untuk mengangkat puteranya, Pengiran Muda Muhammad Alam sebagai calon
pewaris tahta. Pada tahun 1826, Pengiran Muda Muhammad Alam naik tahta dan
bergelar Sultan Muhammad Alam.
Pemerintahan
Sultan Muhammad Alam dijalankan dengan sistem kediktatoran. Bahkan pada tanggal
15 Februari 1826, pewaris tahta yang sah, Pengiran Muda Besar Omar Ali
Safiuddin II terpaksa harus mengungsi ke Pulau Keingaran untuk menghindari
pertumpahan darah.
Masa
pemerintahan Sultan Muhammad Alam hanya berlangsung selama 2 tahun. Pada tahun
1828 M,Sultan Muhammad Alam meninggal dan tahta Kesultanan Brunei dikembalikan
kepada Pengiran Muda Besar Omar Ali Safiuddin II yang bergelar Sultan Omar Ali
Safiuddin II.
d.Pengaruh
Inggris di Kesultanan Brunei
Pada
tanggal 15 Agustus 1839 James Brooke tiba di Serawak. Duta Kerajaan Inggris ini
bermaksud untuk menjalin hubungan dengan penguasa Serawak kala itu,
Pengiran Indera Mahkota Pengiran Muhammad Salleh yang merupakan
kepanjangan tangan Kesultanan Brunei. Pengiran Indera Mahkota Pengiran Muhammad
Salleh menjadi penguasa Serawak ketika Sultan Muhammad Kanzul Alam bertahta.
Selain
Pengiran Indera Mahkota Pengiran Muhammad Salleh, di Serawak juga bermukim
Pengiran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam. James Brooke
mendekati Pengiran Muda Hashim untuk menjalin perjanjian kerjasama.
Perjanjian akhirnya berhasil dibuat antara James Brooke dengan
Pengiran Muda Hashim pada tahun 1841 M. Isi perjanjian adalah ijin bagi
James Brooke untuk tinggal dan mendirikan bangunan di Serawak.
Perjanjian
1841 M diperbaharui dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 15
Agustus 1842 antara James Brooke dengan Sultan Omar Ali Safiuddin II
melalui perantara Pengiran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam.
Perjanjian 1842 berisi pelantikan James Brooke sebagai penguasa
di Serawak. Berdasarkan pelantikan tersebut, maka kekuasaan Pengiran
Indera Mahkota Pengiran Muhammad Salleh sebagai penguasa di Serawak digantikan
oleh James Brooke.
Berdasarkan
perjanjian 1842, James Brooke mulai menjalankan pemerintahan di Serawak dan
meluaskan daerah kekuasaan, bahkan yang termasuk ke dalam wilayah
Kesultanan Brunei, seperti Bintulu, Mukah, Uya, Miri, Sibuti, dan Baram.
Upaya James Brooke untuk menguasai Kesultanan Brunei juga
dilakukan melalui Pengiran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul Alam
dengan cara membujuk sang pengeran agar berusaha merebut tahta Kesultanan
Brunei. Tindakan Pengiran Muda Hashim ditentang oleh kebanyakan bangsawan
di Kesultanan Brunei yang berujung pada terbunuhnya Pengiran Muda Hashim pada
tahun 1846.
James
Brooke menjadikan terbunuhnya Pengiran Muda Hashim ibnu Sultan Muhammad Kanzul
Alam selaku sekutu politiknya sebagai alasan untuk menyerang Kesultanan
Brunei. Pada tanggal 8 Juli 1846, angkatan perang James Brooke (Kerajaan
Inggris) yang didukung oleh Laksamana Sir Thomas Cochare, Komandan
Pangkalan di Timur Jauh telah mendarat di Brunei. Perang antara Kesultanan
Brunei dan Inggris tidak terhindarkan. Akibat perang ini, Sultan Omar Ali
Safiuddin II terpaksa mengungsi ke Damuan. Perseteruan dengan Inggris
akhirnya diakhiri dengan perjanjian persahabatan dan perdagangan pada tahun
1847 M.
Sultan
Omar Ali Safiuddin II mangkat pada tanggal 18 November 1852 dan digantikan oleh
Pengiran Anak Abdul Momin ibnu Pengiran Shahbandar Pengiran Anak Abdul
Wahab ibnu Sultan Omar Ali Safiuddin I dan bergelar Sultan Abdul Momin.
Sultan Abdul Momin mempunyai keputusan bahwa ketika beliau nantinya turun
tahta, maka Kesultanan Brunei tidak akan dipimpin oleh keturunannya melainkan
kepada putera Sultan Omar Ali Safiuddin II, yaitu Pengiran Anak Muhammad Salleh
atau Pengiran Anak Hashim.
Pada
tahun 1885 M, Sultan Abdul Momin mangkat dan tahta Kesultanan Brunei diserahkan
kepada Pengiran Anak Hashim karena Pengiran Anak Muhammad Salleh telah lebih
dahulu meninggal. Pengiran Anak Hashim naik tahta pada tahun 1885 M dan
bergelar Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin.
Ketika
Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin memerintah, pada tahun 1888 M diadakan
perjanjian dengan Sir Hugh Low di pihak Kerajaan Inggris. Isi perjanjian adalah
pernyataan bahwa KesultananBrunei berada dalam perlindungan Inggris, namun
Kerajaan Inggris tidak berhak turut campur dalam urusan pergantian Sultan
Brunei.
Pada
tanggal 3 Desember 1905 dan 2 Januari 1906, Sultan Hashim Jalilul Alam
Aqamaddin kembali menandatangani perjanjian dengan Inggris yang diwakili
John Anderson. Perjanjian tersebut berisi bahwa Kesultanan Brunei menerima
pengangkatan seorang Residen di wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei.
Residen
ini merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan Inggris, sehingga Kesultanan
Brunei wajib menjamin keselamatan, menyediakan tempat tinggal yang layak,
dan menjalankan segala masukan dari Residen tersebut, kecuali yang berhubungan
dengan agama Islam.
Pada
bulan Mei 1906, Pengiran Muda Bongsu Muhammad Jamalul Alam naik tahta
menggantikan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin dan bergelar Sultan
Muhammad Jamalul Alam II. Namun berhubung Sultan Muhammad Jamalul Alam II belum
dewasa, maka jabatan Sultan dipangku oleh Pengiran BendaharaPengiran Anak
Muhammad ibnu Pengiran Anak Muhammad Tajuddin dan Pengiran Pemancha
Pengiran Anak Muhammad Salleh II ibnu Pengiran Maharaja Lela Pengiran Anak
Abdul Kahar hingga tanggal 15 Mei 1918. Setelah Sultan Muhammad Jamalul
Alam II telah dewasa, maka beliau diangkat menjadi SultanBrunei.
Sultan
Muhammad Jamalul Alam II mangkat pada tanggal 19 September 1924. Tahta
Kesultanan Brunei beralih kepada Pengiran Muda Besar Ahmad Tajuddin bergelar
Sultan Ahmad Tajuddin Akhazul Khairi Waddin. Pada tanggal tanggal 4 Juni
1950 Sultan Ahmad Tajuddin Akhazul Khairi Waddin mangkat sehingga tahta
Kesultanan Brunei diserahkan kepada Pengiran Muda Tengah Omar ‘Ali Saifuddien.
Pengiran
Muda Tengah Omar ‘Ali Saifuddien naik tahta dan bergelar Sultan Omar ‘Ali
Safiuddien Sa’adul Khairi Waddien atau Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III. Pada
masa pemerintahan Sultan Omar ‘Ali SaifuddienIII diadakan perundingan dengan
Inggris yang berisi disebut Perjanjian Perlembagaan Bertulis
Negeri Brunei. Perjanjian yang terjadi pada tanggal 29 September 1959 ini
merupakan uaya untuk merintis kemerdekaan Negara Brunei Darussalam.
Pada
tanggal 14 Agustus 1961, Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III mengarak putera
tertua, Pengiran Muda Besar Hassanal Bolkiah menjadi Putera Mahkota sebagai
calon pengganti kedudukan Sultan Brunei.
Akhirnya
pada tanggal 5 Oktober 1967, Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III menurunkan tahta
kepada puteranya, Pengiran Muda Besar Hassanal Bolkiah untuk menjadi
Sultan Brunei dan bergelar Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah.
Pemerintahan
Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ditandai dengan deklarasi
kemerdekaan Negara Brunei Darussalam pada tanggal 1 Januari 1984.
Deklarasi tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari upaya menuju
Negara Brunei Darussalam yang berdaulat yang telah dirintis oleh
Sultan Omar ‘Ali Safiuddien Sa’adul Khairi Waddien pada tanggal 29
September 1959. Kini Kesultanan Brunei Darussalam menjadi inti dari sebuah
negara monarki bernama Negara Brunei Darussalam. Hingga hari ini,Sultan
Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah masih menjabat sebagai Kepala Negara
Brunei Darussalam sekaligus Sultan Brunei Darussalam
Source: Sejarah Kesultanan Brunei Darussalam
No comments:
Post a Comment