ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ
ﻛﻮﺗﻲ ﻛﺮﺗﺎﻧﯖﺮﺍ ﺇڠ ﻣﺮﺗﺎﺩﭬﻮﺭﺍ
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
1300–1960
Ibu kota Kutai
Lama (1300-1732)
Pemarangan (1732-1782)
Tepian Pandan (1782-1960)
Bahasa Bahasa Melayu
(dialek Kutai)
Agama Islam (resmi)
Kaharingan
Animisme
Kristen
Pemerintahan Monarki
Sultan
- 1300-1325 Aji Batara Agung Dewa Sakti
- 1920-1960 Aji Muhammad Parikesit
- 2001-sekarang Aji Muhammad Salehuddin II
Sejarah
- Didirikan 1300
- Menjadi kesultanan
- Dihidupkan kembali
- Masuk wilayah Indonesia 1960
Sekarang bagian dari
Indonesia
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam
yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan
berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur
setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai
upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan
dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum
Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar
H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Daftar isi
1 Sejarah
1.1 Pendirian
1.2 Pemindahan ibukota kerajaan
1.3 Serangan kapal Inggris
1.4 Pembukaan tambang batubara pertama
1.5 Kedatangan Jepang
1.6 Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
2 Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
3 Wilayah
4 Keraton Kesultanan
5 Gelar kebangsawanan
6 Lihat pula
7 Referensi
8 Pranala luar
Sejarah
Pendirian
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di
daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di
wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute
dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di
negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].
Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain. |
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan
raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau
disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau
Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang
Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu
dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan
Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778)
merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan
kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura[1].
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai
merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti
kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14
hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai
berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan
Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan
Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan
Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan
militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang
berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana
(1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus
Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi
mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum
perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai,
Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang
kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak
akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus
ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba
Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi
bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I
sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada
1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda
untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai
berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan
daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah
pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris
mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok
anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat
perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah
protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala
pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak
sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar
Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC
meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng
Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian
wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam
peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812.
Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda
termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda
memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan
sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan
I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda
diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Perjanjian berikutnya pada tahun
1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam
Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan
Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara
Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan
Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah
dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826[4].
Pemindahan Ibukota Kerajaan
Peta Perpindahan Ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara antara tahun 1300-1960 |
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad
Idris merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan
sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada dalam
pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo
La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur
melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan
laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji
Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian
dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah
dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis
dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan
sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh
Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam
perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan.
Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota
Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum
mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].
Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin
memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal
28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah
kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung
yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan
sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh
Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Serangan kapal Inggris
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine
Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk
berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif
untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin
mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray
kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan
Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh
pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan
Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka
dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di
antara yang tewas tersebut[6].
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak
Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai,
namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari
wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando
t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong,
armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin
diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang
bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur
melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai
Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang
tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada
Belanda.
Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan. |
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus
menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai
mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di
Banjarmasin.[7]
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil
Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van
Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam
zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat,
Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk
kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853,
pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di
Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman
Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai
100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de
zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan
Hindia Belanda.
Pembukaan tambang batubara pertama
Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin. |
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di
Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga
meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran
wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai
Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas
pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera
mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham,
Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada
Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai
Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun
saja, dia wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji
Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran
Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai
Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal
ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju
dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan
anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan
Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad
Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang
mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan
sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada
tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui
surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki
dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru
yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu
tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942,
Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi
Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian,
Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam
Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti
Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan.
Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai
yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU
Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang
"Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah
Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di
Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur,
dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan
mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut,
yakni:
A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di
Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah
Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari
Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji
Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono
(Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan).
Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit
berakhir, dan dia pun hidup menjadi rakyat biasa[6].
Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan
Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk
menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan
sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain
itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung
sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan
nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara
bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat
menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk
menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui
dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai
yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan
Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan
menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin
II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan
pada tanggal 22 September 2001.
Wilayah
Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas.
Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi
Kalimantan Timur saat ini, yakni:
Kabupaten Kutai Kartanegara
Kabupaten Kutai Barat
Kabupaten Kutai Timur
Kota Balikpapan
Kota Bontang
Kota Samarinda
Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau
Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II,
yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak
itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959
tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang sekarang menjadi Museum Mulawarman. |
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa
pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong,
setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada
abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan
ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana
Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin
dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan
Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910).
Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas
keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai
dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap
sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920,
keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin
ini dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh.
Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati
keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan
oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya
Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah
fisik bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni
pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit
beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah
dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan
telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman
kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah
diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun
1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman
Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan
kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada
tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan
bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman.
Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan
Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan
perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan
lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan
keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga
kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan
tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di
antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan
Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di
lingkungan keraton, dia dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek,
Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji
Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali
Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan
warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak
punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun
sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang
sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir
Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai
pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
Gelar kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar
kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji
diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan
Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat
kerajaan.
Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri
setara dengan Aji Pangeran.
Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar
ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya
menyandang gelar Aji Bambang.
Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.
Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang
sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya
dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria
biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan
Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka
putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah
dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak
dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan
bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka
putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita
Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari
wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan
gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
Lihat pula
Daftar Sultan Kutai
Referensi
^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura halaman 1
^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan
Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat
Press, 1994.
^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam
Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot
1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan,
Malaysia 1990
^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat
perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.:
Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip
Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992).
Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT
Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1. Unknown parameter |fisrt= ignored (help)ISBN
9789794074107
^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura halaman 2
^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan:
The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN
602-8397-21-0.ISBN 978-602-8397-21-6
^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n.
^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk
het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358.
^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis
van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/7.AnisMaskhur.pdf
(Indonesia)Sejarah Kerajaan Kutai di MelayuOnline.com
Source : wikipedia