Sunday, 10 May 2015

PERTEMPURAN DI GUNUNG MADANG (PERANG BANJAR)





Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan perlawanan melawan dan menggempur Belanda sangat meningkat. 

Dari selatan ke utara membentang nyala api pertempuran-pertempuran;

a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.

Baik Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang berpisah-pisah. Hidayat dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak benteng ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter. Belum lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium bau.

Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang melalui kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit) Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak bukit itu. Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit itu, mereka telah disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan Belanda yang banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa korban-korban.

Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian (kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang, mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Di dalam benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang melarikan diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.

Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries. Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan 9 orang tentara Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng Gunung Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan strategis untuk menghadapi serangan itu.

Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan pasukan infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan perang. Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari 1000 orang diturunkan bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91 orang opsir. Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.

Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan lagi datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara Belanda di Amawang Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120 meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri. Dari depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih mulai membidik tentara2 Belanda yang datang itu.

Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya. Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.

Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih menggotong korban-korban.

Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini. Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.

Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah benteng Madang. Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan perhitungan jangka panjang.

Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak Belanda sendiri rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di dalam persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari 50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak meledak. Pada hari itu tembak menembak sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh bergelimpangan, di antaranya ada pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba memperkecil lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.

Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11 malam, pasukan Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam setengah lima subuh.

Dan betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai di atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.

Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang sengaja berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian mengadakan serangan-serangan.

Rombongan yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di mana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung yang kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam suatu pertempuran.
Sumber : banuahujungtanah.wordpress.com




No comments:

Post a Comment