Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan
perlawanan melawan dan menggempur Belanda sangat meningkat.
Dari selatan ke
utara membentang nyala api pertempuran-pertempuran;
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang
Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan
kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.
Baik Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu
menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang
berpisah-pisah. Hidayat dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin
supaya meminta memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak
benteng ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter.
Belum lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium
bau.
Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda
dari Amawang melalui kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit)
Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak bukit itu.
Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit itu, mereka telah
disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh
tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat
dipukul mundur, pasukan Belanda yang banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali
ke Amawang membawa korban-korban.
Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari
batalyon 13 dengan membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh
perantaian (kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng
itu seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang,
mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda
melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Di dalam
benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang
melarikan diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw
dan sersan De Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De
Vries. Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk
menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang
berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang
tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan 9 orang tentara
Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari
Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan
penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu,
Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya
bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa
ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung
Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan
mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter.
Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan
menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat
dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah
roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur
dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari
pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan
dari pihak Rakyat Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak
Belanda tentu akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng
Gunung Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan
strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu
telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan
pasukan infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar
tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka hal ini
menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan perang.
Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir seluruhnya terdiri dari
orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari 1000 orang diturunkan
bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91 orang opsir. Pasukan Schuak dikirim
dari Banjarmasin menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat
kalinya, kelihatan lagi datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara
Belanda di Amawang Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung
Madang pada hari itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin
dengan gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah
houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120
meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang
diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri. Dari
depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur
berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara cadangan.
Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih mulai membidik
tentara2 Belanda yang datang itu.
Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu
dengan anak buahnya dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah
Temenggung Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali
keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya.
Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng
itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch
memerintahkan barisan artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan
diri untuk menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada
kesempatan ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus
dada Kapten Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas
pada ketika itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam
benteng.
Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi
gugup, kocar-kacir dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan
sedih menggotong korban-korban.
Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng
Gunung Madang tidak mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini
dipergunakan untuk mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini.
Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat
lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk
menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin
bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil
keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian
sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.
Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah
kelompok-kelompok pasukan tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah
benteng Madang. Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka
lebih dulu mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak
betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan
perhitungan jangka panjang.
Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu
datang, mereka telah disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak
Belanda sendiri rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di
dalam persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan
harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari
50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan
Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak meledak. Pada hari itu tembak
menembak sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh
bergelimpangan, di antaranya ada pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba
memperkecil lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11
malam, pasukan Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan
besar-besaran dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus
dengan gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan
serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan
inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng
itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus
dilakukan penembakan sampai jam setengah lima subuh.
Dan betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan
merangkak sampai di atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya
ada tinggal bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk
merebut benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya
bahkan seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah
Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali
kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.
Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam
itu dengan cerdik dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan
kemudian bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara
antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang sengaja
berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah yang telah
diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian mengadakan
serangan-serangan.
Rombongan yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat
menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di
mana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya
ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja
memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung yang
kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung Madang.
Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada lawan, Lurah
Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam suatu pertempuran.
Sumber : banuahujungtanah.wordpress.com
No comments:
Post a Comment