Rumah terapung di sungai Barito pada tahun 1880-an (litografi berdasarkan aquarel (cat air) olehJosias Cornelis Rappard) |
Perang
Barito adalah perang yang berlangsung di daerah Barito yang merupakan rangkaian
Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.
Hasil
pertemuan bulan September 1859 antara Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari,
Kiai Demang Lehman dan tokoh perjuangan lainnya di daerah Kandangan menetapkan
bahwa Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di daerah Dusun Atas, sedangkan
Tumenggung Jalil memperkuat pertahanan di Banua Lima, bersama Pangeran
Hidayatullah. Di daerah Martapura dibawah pimpinan Demang Lehman dan
tokoh-tokoh pimpinan masyarakat lainnya. Dalam perkembangannya medan
pertempuran Perang Banjar berlangsung dari wilayah sungai Kapuas, Tanah Dayak
(Kalteng) di sebelah barat sampai Tanah Bumbu (Kalsel) di sebelah timur, dari
Tanah Laut (Kalsel) di sebelah selatan sampai Tanah Dusun (Kalteng) di sebelah
utara. Perlawanpanjang di Kalimatan Selatan dan Kalimantan Tengah yang dipimpin
oleh keturunan Antasari dan Surapati berlangsung sampai tahun 1906 dengan
meninggalnya Gusti Berakit bin Sultan Muhammad Seman pada 06 Agustus 1906. (
dalam Koentowijoyo, 2008:151).[1]
Daftar isi
:
- 26 Desember 1859
- Peranan Tumenggung Surapati
- Penyerbuan Gudang Garam Belanda 24 Agustus 1859
- 26 Desember 1859
- Pertempuran di Leogong 11 Ferbruari 1860
- 22 Februari 1860
- Bantuan Suku Dayak terhadap Perang Banjar
- Rujukan
- Referensi
- . . Pranala luar
26 Desember 1859
Pangeran Antasari |
Pangeran
Antasari bermukim di daerah suku Dayak Siang di Dusun Atas mendampingi Pimpinan
suku Dayak Siang Tumenggung Surapati. Komandan kapal Onrust, Van del Velde
mengantarkan Surapati melihat-lihat meriam, begitu pula anak buah Surapati
diajak melihat-lihat kapal perang itu. Menurut kesaksian Haji Muhammad Talib
yang selamat dengan melarikan diri bersembunyi menceritakan bahwa kejadian
terjadi pada siang hari 26 Desember 1859. Serdadu Belanda tidak merasa curiga
dan mereka tidak mempunyai senjata, kecuali Van del Velde yang memiliki pedang
tetap di pinggangnya. Letnan Bangert juga tidak bersenjata. Anak buah Surapati
sudah tidak sabar lagi dan ketika Gusti Lias dengan perahu berada di sisi
kapal, Ibon putera Tumenggung Surapati menghunus mandaunya sambil berteriak
teriakan perang dan ini berarti perang amuk dimulai. Mandau Ibon mengenai
Letnan Bangert dan jatuh tersungkur. Surapati menghunus mandaunya terhadap Van
der Velde dan pertarungan pun terjadi dan berakhir dengan menjadi mayat Van der
Velde. Selanjutnya kesaksian Haji Muhammad Thalib mengatakan bahwa teriakan
perang itu menyebabkan anak buah Surapati berdatangan dengan perahunya
mendekati kapal Onrust. Dalam waktu sekejab sekitar 400-500 orang anak buah
Tumenggung Surapati telah berada di atas kapal dan pergumulan perkelahian
terjadi. Dalam hal ini meriam dan senapan tidak berbunyi karena perkelahian
terjadi dalam jarak dekat. Para pemimpin perang lainnya seperti Tumenggung
Aripati, Tumenggung Mas Anom, Tumenggung Kertapati ikut mengamuk di atas kapal
Onrust tersebut. Perkelahian itu berlangsung hampir satu jam. Semua opsir dan
serdadu Belanda yang berjumlah 90 orang berhasil ditewaskan dan kapal perang
Onrust berhasil ditenggelamkan. Yang kemudian diketahui selamat adalah
penghubung perundingan Haji Muhammad Thalib yang kemudian menceritakan apa yang
terjadi atas kapal Onrust dan baru 31 Desember 1859 sampai Banjarmasin. Semua
isi kapal perang itu sebelum ditenggelamkan diangkut, senapan, lila, meriam dan
mesiu yang kemudian digunakan Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari untuk
menembaki kapal-kapal Belanda yang lewat. Menurut catatan perang Belanda, bahwa
kerugian yang paling besar diderita Belanda adalah dalam Perang Banjar, karena
kapal perang berisi senjata beserta serdadunya terkubur bersama-sama ke dasar
sungai Barito. Tenggelamnya kapal perang “Onrust” sangat mengejutkan dan
menggemparkan pihak Belanda, sebaliknya menimbulkan semangat juang yang tinggi.
Peranan Tumenggung Surapati
Tumenggung
Surapati adalah seorang putera suku Dayak Siang dilahirkan dilembah Sungai
Kahayan, sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala
suku, dia terkenal dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raja. Tumenggung
Surapati berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh
pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapati, Tumenggung
Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme
Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat
Barito melawan Belanda dalam Perang Barito (1865-1905).
Tumenggung
Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siang telah memeluk agama Islam. Kedua
tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan kekeluargaan dengan
mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama Tumenggung Jidan dengan
cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati dengan anak buahnya bersama
Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah bersama-sama berjuang menghalau
penjajah Belanda. Mereka akan berjuang tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan
tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda berusaha dengan segala
taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung Surapati agar Tumenggung ini
tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bersedia membantu Belanda untuk
menangkap Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya
sangat setia pada sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi
mereka tidak akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan
dibalas dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan
anak buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi
Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya. Tumenggung
Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh keramahan terhadap
rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu Marabahan Letnan I. Bangert
dan stuurman kapal Cipanas JJ. Meyer pada tahun 1857 dua tahun sebelum
terjadinya Perang Banjar. Persahabatan dengan Belanda ini menimbulkan kebencian
yang mendalam di hati Tumenggung Surapati setelah serdadu Belanda membakar
rumah dan kebun rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar.
Kebaikan hati Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak
pada penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan sekitarnya.
Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan
Banjar terhadap penjajah Belanda.
Penyerbuan Gudang Garam Belanda 24 Agustus
1859
Desa Lalutong Tuwur, Barito Utara, Kalimantan Tengah
|
Litografi Kapal Onrust ketika berada di sungai Barito, Desa Lalutong Tuwur |
Perang
ini adalah Perang Banjar yang terjadi di sepanjang sungai Barito, dan diawali
dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah hulu dari Kuala
Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih tinggi dari
kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan Bichon dengan 60
orang serdadu Belanda. Kapal perang Monterado ikut berjaga-jaga di sungai. Pada
malam tanggal 23 ke 24 Agustus 1859 Pulau Petak diserbu oleh Tumenggung
Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon tewas kena tobak dalam penyerangan
ini. Belanda berusaha membujuk Tumenggung Surapati agar membantu Belanda
menangkap Pangeran Antasari. Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember
1859 kembali kapal Onrust menuju Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lalutong
Tuwur sekitar 3 km sebelum sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim
utusan agar Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal Onrust.
26 Desember 1859
Pada
tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan
beberapa perahu kecil, perahu-perahu tersebut tidak beratap. Tumenggung
Surapati dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan.
Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust. Tumenggung
Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena pernah
menjadi tamu Tumenggung Surapati pada tahun 1857. Tumenggung Surapati masuk ke
dalam kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh
panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal. Dalam
perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain memperlihatkan
surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang diperlihatkan dan
sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert merasa puas akan keberhasilan
misinya. Dalam perundingan itu Letnan Bangert didampingi oleh Haji Muhammad
Thalib sebagai juru runding dan perantara yang menghubungkan pihak Belanda
dengan Tumenggung Surapati. Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan
perahu-perahu yang ditumpangi Tumenggung Surapati dengan pengikutnya.
Perahu-perahu tersebut tidak memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu
mempunyai atap. Tetapi pihak Belanda tidak mengerti dengan kebiasaan
orang-orang Dayak dengan perahu tanpa atap tersebut, karena Tumenggung Surapati
dengan pengikutnya memperlihatkan keramah tamahannya. Perahu tanpa atap suatu
pertanda sikap permusuhan dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang
berjuang melawan Belanda.
Pertempuran di Leogong 11 Ferbruari 1860
Akibat
kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda mengirim serdadu sebagai
ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang Dayak dan Melayu (Banjar) yang
membantu menenggelamkan kapal perang Onrust. Untuk keperluan ini, Gustave
Verspijck memberangkatkan kapal perang Suriname, Boni dan beberapa kapal
pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini membawa 300 serdadu bersenjata
lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropa, beberapa pucuk meriam dan mortir.
Pimpinan ekspedisi Letnan Laut De Haes melaksanakan perintah dengan membabi
buta, membakar semua kampung yang dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan.
Ketika sampai di Lalutong Tuwur ternyata kampung itu telah dikosongkan
penduduk. Kapal terus berlayar ke arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang
dicurigai. Kapal Suriname dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak
rendah. Dengan tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke
arah lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena
tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun mati. Baru
menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan ekspedisi itu pulang
tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong ini terjadi pada 11
Februari 1860.
22 Februari 1860
Kapal uap Celebes berperang melawan benteng rakit apung yang disebut Kotamara dikemudikan orang Dayak pada tanggal 6 Agustus 1859 di pulau Kanamit, sungai Barito.
|
Pada
22 Februari 1860, kembali kapal perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang
benteng Leogong. Benteng ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan
disebelah hilir serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi
sepanjang sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari
dan Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan banyaknya
jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan bagi Belanda.
Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda, Tumenggung Surapati dan
Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus perahu dengan sebuah perahu komando
yang besar. Pada perahu besar ini dipancangkan bendera kuning. Armada perahu
ini disertai pula dengan beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam
panser terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan
bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi dengan
beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang Onrust yang berhasil
ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada bulan Juli 1859
juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam pertempuran di sepanjang Barito
di sekitar pulau Kanamit.
Bantuan Suku Dayak terhadap Perang Banjar
Penyerangan benteng Gunung Tongka oleh Belanda (gambar oleh G. Kepper) |
Untuk
menghadapi perang ini sebanyak 142 militer Belanda diterjunkan ditambah pasukan
Dayak yang disiapkan Belanda berjumlah 426 terdiri :[3]
Orang
Maanyan Sihong dibawah pimpinan Suta Ono berjumlah : 224
Orang
Maanyan Patai dibawah pimpinan Tumenggung Jaya Karti (Jelan) : 176
Orang
Dayak Katingan sebanyak : 26
Rujukan
:
M.
Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi,
Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
Source : Perang Barito
No comments:
Post a Comment