Konon katanya, sejak abad ke 15 telah terjadi peperangan
besar di Paloh yang melibatkan “orang halus”[1]. Adapun orang halus tersebut
berasal dari Jawa, Brunei dan Pahang. Saking hebat dan lamanya peperangan
berlangsung, maka turunlah empat dewa dari “kahyangan”[2]. Keempat dewa
tersebut merupakan saudara sekandung, alias kakak beradik. Turunnya keempat
dewa itu bertugas untuk mendamaikan
pertikaian sengit yang telah berlangsung lama. Selain itu juga, masing-masing
dari mereka mempunyai tugas khusus. Dewa yang tertua bertugas menjaga harta
yang ada di atas bukit, dewa yang tengah menjaga daerah rawa, dewa yang muda
menjaga di pinggir sungai, sedangkan yang bungsu menjaga di tengah-tengah
sungai. Dengan pembagian tugas seperti ini, maka seluruh penjuru “tanah
Paloh”[3] sudah dijaga ketat oleh keempat dewa itu, atau dengan kata lain sudah
terlindungi dari ancaman “orang halus” yang jahat.
Dengan keberadaan mereka di
Paloh, maka dibuatlah suatu peraturan tegas , bagi siapa yang melakukan
peperangan atau bersikap tidak benar akan diberi hukuman seberat-beratnya. Hal
itu bukan hanya diperuntukkan buat “orang halus” tapi berlaku sampai sekarang buat manusia
kasat mata.
Selang beberapa tahun kemudian, orang-orang “borneo”[4] pada
umumnya melakukan hubungan dagang dengan pulau Jawa. Banyak saudagar dan
pedagang dari Jawa membawa emas, intan dan barang tambang lainnya dari pulau
Borneo ke pulau mereka. Karena terjalinnya hubungan dagang yang sangat
menguntungkan di antara kedua belah pihak, maka kerajaan Jawa melihat hal
tersebut sebagai sebuah jalan sutera bagi mereka untuk lebih mengenal borneo
secara mendalam, terutama mencari harta kekayaan berupa barang tambang lainnya.
Mereka ingin memastikan apakah benar pulau Borneo menyimpan harta kekayaan
terpendam yang sementara ini belum pernah dijamah oleh bangsa asing.
Maka dari
situlah istilah penyebutan borneo untuk Kalimantan sekarang. Borneo berasal
dari kata berlian, atau dengan kata lain “tanah yang banyak menyimpan harta
kekayaan (symbol dari berlian)”.
Untuk memastikan dan membuktikan rasa penasaran itu, maka
diutus oleh kerajaan Jawa dua kapal layar untuk melakukan ekspedisi ke pulau
Borneo. Kapal layar yang pertama dinakhodai oleh si muda dan si bungsu. Sedangkan
kapal layar yang kedua dinakhodai oleh Raden Martil dan Pangeran Marta. Mereka
dijaga oleh pengawalnya yang setia beserta juragan yang bijaksana.
Berbulan-bulan kedua kapal layar itu berada di lautan luas demi satu tujuan
untuk menunaikan titah raja Jawa yang ingin mendapatkan kabar gembira mengenai
keberadaan harta kekayaan di pulau Borneo. Akan tetapi di tengah perjalanan,
kapal layar mereka terpisah dikarenakan badai laut menerjang dan mengalihkan
haluan layar kapal mereka. Akibatnya mereka berlainan arah dan terpisah, dimana
kapal layar milik Raden Martil dan Pangeran Marta terdampar di pulau borneo
bagian selatan. Sedangkan si bungsu dan si muda tersesat di bagian hulu sungai
Paloh. Karena daerah hulu sungai pada saat itu dangkal, maka kapal layar yang
ditumpangi si muda dan si bungsu terkandas dan menabrak batu di tengah sungai.
Kebetulan batu tersebut dijaga oleh dewa yang bungsu, sontak membuat ia menjadi
kaget dan marah. Maka dewa yang bungsu segera mengadukan perihal ini kepada
tiga saudaranya. Setelah diadukan, keempat dewa tersebut menindak tegas kapal
layar milik si muda dan si bungsu dengan menahannya. Peraturanpun dibuat, si
bungsu tidak boleh naik ke darat, sedangkan si muda diperbolehkan. Sebagai
alasannya, si bungsu dianggap masih terlalu kerdil dalam masalah ilmu
kebatinan. Dia masih belum bisa berkomunikasi secara aktif dengan keempat dewa
penjaga hulu sungai Paloh. Mata batinnya belum terbuka dan masih menyimpan
sikap serta tingkah laku yang kurang baik. Hal ini dikarenakan usianya yang
masih terbilang muda dan labil dalam hal emosi. Sedangkan si muda sudah
dianggap dewasa dalam segi berfikir dan membuat keputusan. Inilah menjadi bahan
pertimbangan keempat dewa tersebut, apalagi si muda sudah mumpuni dalam hal
ilmu kebatinan. Buktinya ia sanggup menembus alam “bunian”[5] kota Paloh. Ia
dengan leluasa memasuki tabir-tabir misteri alam bunian yang sukar ditempuh
dengan mengandalkan mata kasar.
Hari berganti hari, tak terasa sudah sedemikian lama si
bungsu menunggu kakaknya (si muda) di bawah bukit. Orang yang ditunggu-tunggu
sampai sekarang belum tiba juga. Apakah gerangan yang telah terjadi terhadap si
muda nun di atas sana (bukit). Maka timbul prasangka buruk si bungsu, apakah
kakaknya masih bernyawa ataupun sudah tiada. Timbul hasratnya untuk menemui dan
menjemput pulang si kakak, tapi apakan daya “bekal diri”[6] untuk menembus
pintu ghaib di tempat ini belum memadai. Dengan berat hati si bungsu termangu
sambil terus menunggu di bawah. Untuk mempertahankan hidupnya, ia makan dari
buah-buahan dan ikan yang hidup di hulu sungai itu.
Bertolak belakang dengan kehidupan si bungsu, kakaknya hidup
bergelimang kenikmatan dan kesenangan. Semua yang ia inginkan terpenuhi.
Kehidupannya sangat terjamin dibandingkan semasa ia mengabdi di kerajaan Jawa.
Dewa-dewa kahyangan sangat memberikan perhatian lebih kepada si muda,
dikarenakan sikap dan tingkah laku beliau sangat sesuai dengan gaya hidup para
dewa. Tutur katanya santun, perangainya elok, ucapannya jujur dan sangat
mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh para dewa. Disamping itu, si muda
terkenal dengan sakti mandragunanya. Hal itulah yang membuat para dewa berfikir
akan menjadikan si muda sebagai penguasa kota Paloh. Harapannya, dengan
kesaktian yang dimilikinya, suatu saat mampu menjaga kota Paloh dari ancaman
“makhluk halus”[7] yang sewaktu-waktu bakal menyerang. Jika hal itu terwujud,
maka keempat dewa tersebut sudah dapat kembali lagi ke kahyangan dan segera
meninggalkan tugasnya di bumi.
Akhirnya, harapan itu menjadi kenyataan. Dari hari ke hari
si muda semakin kerasan tinggal bersama dewa di alam “bunian”nya. Tingkah
lakunya sudah layak dikatakan sebagai manusia setengah dewa. Sebelum dilakukan
acara pelantikan, terlebih dahulu para dewa menanyakan kesanggupan si muda
untuk menjadi seorang raja. Setelah menyatakan kesanggupannya, si muda dan para
dewa membuat suatu perjanjian ghaib, yang mana isinya adalah barangsiapa yang
menjadi penguasa kota Paloh hendaknya menjadi pemimpin yang benar, jujur dan
tidak melanggar peraturan yang telah dibuat oleh keempat dewa sebelumnya. Jika
hal itu dilanggar, maka akan turun hukuman yang setimpal menimpa kota Paloh.
Itulah menandakan dan menjadi ciri khas bagi kota Paloh sebagai kota
kebenaran[8]. Kebenaran disini dimaksudkan sebagai kebenaran dalam tingkah laku,
tutur kata dan bijak dalam mengambil keputusan. Orangnya disebut sebagai orang
kebenaran[9]. Dari sinilah tertanam prinsip bagi orang Paloh, jika masih ada
ketidakjujuran dan kemunafikan, maka tidak layak orang itu (baik pemimpin
maupun rakyat biasa) dikatakan sebagai orang Paloh Kebenaran.
Kesepakatanpun dimulai, maka dilantiklah si muda menjadi
penguasa kota Paloh dengan segala tugas berat yang akan diembannya. Oleh para
dewa, si muda diberi gelar Raja Muda. Untuk mengungkapkan rasa khidmatnya, Raja
Muda memberi nama kerajaannya dengan sebutan “Batu Bejamban”[10]. Mengapa
disebut Batu Bejamban? Karena jalan menuju istana kerajaan ghaib Raja Muda
disusun diatas tumpukan batu yang menyerupai tangga. Arah tangga tersebut
menuju ke atas bukit, dimana tiap ruas lereng bukit terdapat 7 sumur air yang
tidak pernah kekeringan. Di sumur itulah tempat Raja Muda dan prajuritnya
mandi. Karena letak sumber airnya yang sangat dalam, maka Raja Muda kadang
mengalami kesukaran untuk menimba air dengan posisi berdiri. Tak pelak lagi,
Raja Muda terpaksa berjongkok dengan lutut kanan menimpa batu dan tangan kiri
bertahan di atas batu yang dialiri air pegunungan. Semakin sering Raja Muda dan
prajuritnya melakukan kebiasaan seperti itu, mengakibatkan terbentuknya
cekungan-cekungan pada batu yang ditimpa tadi. Cekungan itu menyerupai lutut
dan siku tangan manusia. Siapa lagi kalau bukan bekas cekungan salah satu
anggota tubuh Raja Muda dan prajuritnya yang sering mengambil air di sumur itu.
Kembali lagi ke cerita si bungsu, bagaimana dengan nasibnya
sekarang? Ia hidup sebatangkara di tepian hulu sungai. Kadang mengumpulkan
bahan makanan dari hutan dan meramunya di atas kapalnya yang terdampar. Ia
masih setia menunggu kakaknya yang tiada kabar berita. Ia takut pulang ke Jawa
sendirian, sebab pertanggungjawaban dengan raja akan semakin berat. Selain itu,
si bungsu tidak punya nyali untuk mengemudikan kapal layarnya dikarenakan
pengalamannya yang masih terbatas. Maka diurungkanlah niatnya untuk
meninggalkan tempat dimana mereka berdua terdampar. Selama berdiam disitu, si
bungsu sering melakukan pelanggaran atas peraturan yang dibuat oleh para dewa
sebelumnya. Ia sering mengganggu kehidupan hewan di hutan, tumbuh-tumbuhan dan
malah acapkali mengotori aliran sungai dengan sisa-sisa makanan yang diramunya.
Sebagai balasannya, si bungsu sering didatangi makhluk halus yang seakan-akan
haus darah akan membunuhnya, penampakan buaya siluman yang seolah-olah akan
menerkamnya, serta menderita penyakit secara tiba dan sembuh dengan seketika pula
tanpa ramuan obat.
Raja muda dan singgahsananya yang dibangun megah menambah
kemasyhuran kerajaan Batu Bejamban. Menurut cerita yang beredar, Batu Bejamban
merupakan salah satu kerajaan terbesar di pulau Borneo yang dihuni oleh seorang
raja dari bangsa manusia, akan tetapi mempunyai prajurit, pengawal dan rakyat
dari bangsa makhluk tidak kasat mata. Ditambah lagi lokasi Batu Bejamban
berdekatan dengan wilayah tempat bermukimnya makhluk halus secara massal, yaitu
Tanah Merah (Red Land)[11]. Di tanah itu, makhluk halus tinggal secara
berkoloni membuat suatu pemukiman layaknya manusia biasa. Konon katanya, Raja
Muda sering melakukan transaksi jual beli dengan penghuni di tanah merah
tersebut. Dapat dikatakan pusat perkotaan yang besar dan indah terdapat di
wilayah itu. Hanya saja tabir ghaib keindahan alam bunian di tanah merah, akan
mudah ditembus oleh orang yang mempunyai niat
baik seperti Raja Muda. Segala kebutuhan pangan, sandang dan papan
sangat terpenuhi ketika akses menuju kota perdagangan tanah merah dapat dilalui
dengan kejujuran dan ketulusan.
Dibalik segala kemegahan tersebut, Raja Muda merasakan ada
sesuatu yang hilang. Setelah merenung panjang, beliau ingat kepada adiknya si
bungsu yang sama-sama berlayar dengannya. “Kemanakah dia sekarang?”, Raja Muda
bergumam. Karena semenjak ia ditahan di atas bukit, ingatan Raja Muda dihapus
oleh para Dewa. Dewa berkeyakinan, dengan dihapusnya ingatan Raja Muda maka
segala peristiwa mulai dari terdampar hingga terpisah dari adiknya si
bungsu dapat terlupakan. Hal ini bakalan
tidak akan menggangu para dewa dalam memberikan ajaran yang baik kepada Raja
Muda. Sehingga Raja Muda akan merasa betah dan nyaman dalam menyerap ilmu
kebatinan yang diturunkan kepadanya oleh para dewa. Alhasilnya semua usaha para
dewa membuahkan hasil. Dibalik terawangan Raja Muda dari singgahsananya, tampak
sesosok tubuh kerdil sedang meramu makanan di atas kapal layar yang terdampar.
Sesekali ia memastikan sosok tersebut apakah benar adiknya yang sudah lama ia
tinggalkan. Setelah memperoleh kepastian, Raja Muda menyuruh para prajuritnya
untuk segera menjemput adiknya si bungsu ke singgahsananya. Dengan perasaan
senang bercampur takut, si bungsu digiring oleh para prajurit kerajaan menuju
Batu Bejamban. Satu demi satu pintu alam bunian terlewati, begitu juga dengan
ke 7 sumur di setiap lereng bukit. Sesekali si bungsu berdecak kagum atas apa
yang ia lihat dan rasakan. Tidak pernah seumur hidupnya melihat betapa indahnya
arsitektur bangunan luar hingga bangunan dalam kerajaan. Tidak pernah
terbayangkan dalam benaknya, dapat merasakan betapa asri dan wanginya taman
yang menghiasi setiap sudut tangga jalan menuju Batu Bejamban. Saking
terpananya, ia tidak sadar sudah berhadapan dengan seorang raja yang gagah
berani dan tampan. Karena lama baru bersua, si bungsu hampir tidak mengenali
sama sekali orang yang duduk di atas singgahsana yang megah itu.
Pengawal menyuruh si bungsu memberikan hormat, “Ayo, beri
hormat kepada Raja Muda!”. Tanpa berfikir panjang yang disuruh segera
membungkukkan badan, “Ampun tuan, beribu-ribu ampun, sembah patik harap
diampun”. Raja Muda menghampiri si bungsu dan segera menuntunnya berdiri,
“Cukup adikku, sudah lama hamba tidak bersua denganmu, bukan kehendak hati
hamba untuk meninggalkanmu, tapi karena ini semua adalah takdir dari para dewa”.
Setelah mendengarkan ucapan kakaknya, si bungsu memeluk erat dan menangis
terisak-isak dipelukannya. Ia tidak menyangka dapat dipertemukan kembali dengan
kakak kesayangannya yang sekarang sudah menjadi seorang raja. Seluruh prajurit
dan pengawal kerajaan seakan-akan larut dalam suasana haru pertemuan kedua
kakak beradik itu.
Lama juga si bungsu menikmati keindahan istana Batu Bejamban
dengan segala kemegahannya, maka sudah saatnya ia mengutarakan kepada kakaknya
untuk segera pulang ke Jawa. Terasa berat sebenarnya untuk mengungkapkan hal
itu, karena si bungsu mengajak kakaknya turut serta kembali ke tanah
kelahirannya. Dengan tegas Raja Muda menolak ajakan si bungsu, dan menganjurkan
agar si bungsu pulang sendirian ke Jawa. Raja Muda tidak bisa mengingkari
perjanjiannya dengan para dewa untuk setia dan mengabdi menjadi penguasa
kerajaan Batu Bejamban. Karena jika hal itu diingkari, maka Raja Muda dapat
dikatakan sudah melanggar ketentuan takdir dari para dewa dan siap-siap akan
menerima hukuman yang setimpal. Dewa beranggapan, mengkhianati mereka sama
dengan tidak mengenal budi atas kebaikan “tunjuk ajar”[12] yang diberikan
kepada orang yang dikehendakinya. Mendengar ucapan Raja Muda seperti itu, si
bungsu dengan berat hati meninggalkan istana dengan dikawal oleh prajurit
kerajaan menyusuri tangga menuju ke tempat kapal layar yang mereka tumpangi.
Pesan yang dititipkan Raja Muda kepada si bungsu yaitu segera mengabarkan
berita dilantiknya ia menjadi raja kepada para punggawa kerajaan Jawa dan kabar
tidak kalah pentingnya adalah ia tidak akan kembali lagi ke tanah kelahirannya.
Sedangkan selama berlayar pulang, si bungsu dibekali uang emas, makanan
secukupnya, dan diawasi oleh pengawal kerajaan hingga ke laut Jawa.
Sepulang si bungsu ke pulau Jawa, Raja Muda memerintah
kerajaan Batu Bejamban dengan arif dan bijaksana. Berbekal kekuatannya, ia
membangun kota Paloh dengan megah dan membuka jalan menuju Tanah Merah.
Akibatnya, rakyat dapat hidup dengan sejahtera dan arus perdagangan menjadi
bertambah ramai. Perlu diketahui, di kerajaan ini tidak mengenal pergantian
kekuasaan. Raja Muda akan terus menjadi
raja, sedangkan prajurit dan pengawalnya yang mengalami pergantian jika
melanggar aturan yang berlaku atau gugur di medan tugas. Layaknya sebuah
kerajaan di alam fana, Raja Muda menginginkan keamanan dan ketenangan
lingkungan istana tetap terjaga. Oleh karena itu, ia menginginkan ada orang
yang memimpin pasukan prajuritnya untuk melakukan penjagaan ketat di setiap
penjuru istana. Karena dikhawatirkan, setelah dibukanya arus perdagangan ke
Tanah Merah akan membuka ruang bagi makhluk halus lainnya untuk berbuat yang
tidak baik terhadap wilayah kekuasaannya. Ditambah lagi, sepulang si bungsu ke
Tanah Jawa tentunya akan tersiar kabar tentang simpanan harta kekayaan yang
sekarang dimiliki oleh kerajaan Batu Bejamban. Tentunya hal itu akan menambah
rasa penasaran orang Jawa untuk mendapatkan untaian berlian di wilayah istana
Raja Muda. Demi mengantisipasi ancaman yang bakal datang, Raja Muda memohon
kepada dewa kahyangan untuk mengirim seorang utusan yang akan menjadi orang
kepercayaan istana. Maka diutuslah Mustika Bintang ke Batu Bejamban yang
menyerupai sinar bintang jatuh (meteor). Ia ditugaskan untuk menjaga harta
kekayaan istana yang tersimpan di dalam gua dan menerangi daerah kekuasaan Raja
Muda ketika malam hari. Maka tidak mengherankan jika pernah terlihat oleh
penerbang TNI AU yang melintas dengan tidak sengaja di bagian hulu sungai Paloh
pada malam hari, tampak seperti daerah perkotaan yang terang benderang. Gedung-gedung
pencakar langit berdiri dengan megah, dermaga memanjang di bagian hulu sungai
dan arus kendaraan yang berlalu lalang memadati jalan raya perkotaan. Karena
penasaran yang berlebihan, keeseokan paginya para penerbang kembali lagi
melintas di area yang sama. Betapa mengejutkan apa yang dilihat tadi malam sama
sekali bertolak belakang dengan kenyataan yang sedang mereka saksikan di siang
hari. Suasana perkotaan yang begitu mempesona berubah seratus persen menjadi
hamparan hutan lebat yang sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Penampakan yang dilihat oleh para penerbang di malam hari itu tidak lain dan
tidak bukan adalah hasil kerja Mustika Bintang.
Dikemudian hari, para dewa menurunkan utusannya kembali dari
kahyangan yaitu Mayangsari untuk memegang kunci gua tempat penyimpanan harta
kekayaan Batu Bejamban. Jadi lengkaplah sudah petugas penjaga kedaulatan istana
Raja Muda. Untuk memperluas jangkauan kerajaan, Raja Muda membina hubungan
persaudaraan dengan kesultanan Sambas “Alwatzikhubillah”[13], pada masa Bujang
Nadi dan Dare Nandung. Hubungan serumpun itu semakin bertambah akrab ditandai
dengan diadakannya pesta kerajaan di Semenanjung Borneo, dimana tuan rumahnya
adalah kerajaan Batu Bejamban. Adapun kerajaan-kerajaan yang ikut serta dalam
perayaan tersebut meliputi kesultanan Sambas yang diwakili oleh Raden Sandi dan
Raden Sambir, Kesultanan Brunei yang diwakili oleh Sultan Tajudin, serta
kerajaan Pontianak yang tidak jauh dari Batulayang. Perayaan akbar itu
menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai penetapan simbol kerajaan sebagai
perlambang perekat pemersatu. Simbol yang ditetapkan dalam bentuk warna yaitu
kuning, merah dan putih. Masing-masing warna diwakili oleh kerajaan tertentu,
misalnya warna kuning melambangkan kesultanan Sambas, warna merah mewakili
kerajaan Brunei dan Pontianak, sedangkan putih melambangkan kerajaan Batu
Bejamban sebagai tuan rumah. Apa makna dari symbol warna tersebut? Kuning
menggambarkan keagungan dan kejayaan, merah melambangkan semangat membara dan
pantang menyerah, sedangkan putih memberi simbol kesucian dan kebenaran.
Pasca perhelatan akbar tersebut, tersiar kabar di daerah
Sambas diserang oleh makhluk yang kejam dan bengis. Makhluk itu berasal dari
keturunan jin. Ia terkenal dengan kekejamannya, karena membuat suatu peraturan
yang sangat tidak berperikemanusiaan. Wanita hamil disuruh mendorong perahu ke
dermaga, dara perawan dijadikan santapan sehari-hari, dan begitu juga dengan
bayi-bayi akan menjadi makanan pelepas lapar. Ia digelari Tanunggal. Melihat
keadaan seperti itu, diutuslah oleh Raja Muda seorang yang gagah berani dari
Segerunding, namanya si Tan. Sedangkan Tan sendiri berasal dari kata
“tahan”[14], yang artinya orang yang tahan banting. Si Tan inilah yang
ditugaskan untuk melumpuhkan kekuatan Tanunggal yang sudah merajalela dengan
segala peraturannya. Berkat usahanya yang gigih, maka dalam waktu yang tidak
begitu lama, semua kekuatan Tanunggal beserta para prajuritnya dapat
dimusnahkan. Hal inilah yang menambah keyakinan dan kepercayaan Raja Muda dalam
memimpin kerajaan kebenaran Paloh. Bahwa setiap yang jahat akan mendapatkan
perlawanan oleh orang-orang yang mendambakan kebenaran.
Dari dulu hingga sekarang, keberadaan kerajaan Batu Bejamban
masih tetap ada dan terjaga. Raja Muda dipelihara oleh dewa untuk tetap terus
memimpin kota Paloh kebenaran. Walaupun secara lahiriah wujud Raja Muda bukan
lagi manusia, akan tetapi jiwanya akan tetap menjadi penguasa yang tak
terkalahkan kejujurannya. Maka dari itu, hanya orang yang jujur dan bertingkah
laku baik akan dipertemukan dengan beliau serta diperlihatkan kemegahan istana
ghaibnya. Bahkan akan menjadi pengikutnya yang setia di alam bunian. Tidak akan
kembali lagi ke dunia fana, sudah menjadi penghuni abadi kerajaan Batu Bejamban
seperti yang dialami oleh beliau semasa masih berwujud manusia. Selain itu, di
bagian hulu sungai Paloh sudah diturunkan armada penjaga istana Batu Bejamban
oleh Raja Muda. Penjaga istana tersebut berada dipusat air, dan berwujud buaya
atau dalam bahasa Sambas disebut “Jallu”[15]. Warna buaya itu mengikuti simbol
kerajaan Batu Bejamban yaitu putih. Maka digelarilah secara lengkap dengan
sebutan Jallu Puteh[16]. Hewan itu dengan setia menjaga pintu masuk hulu sungai
Paloh yang tidak jauh letaknya dengan keberadaan istana Raja Muda. Adapun
pemimpin Jallu Puteh berasal dari Raden Sambas yang diberi tugas oleh Raja
Muda. Ia adalah Raden Sambir. Begitu juga dengan Raden Sandi acapkali
berkunjung ke istana Raja Muda untuk menyampaikan berita penting yang dikirim
oleh kesultanan Sambas. Seperti yang terjadi pada masa kerusuhan Sambas 1998,
dimana Raden Sandi mengajak Batu Bejamban untuk bergabung dalam menertibkan
pertikaian yang terjadi serta menyelamatkan orang Melayu dari ancaman suku
lain. Melalui proses itulah, maka hubungan persaudaraan antara Sambas dan Paloh
masih terjalin erat sampai sekarang melalui media ghaib yaitu sungai Sambas.
[1] Makhluk ghaib, tidak kasat mata, berasal dari jin.
[2] Alam nirwana para dewa bertempat tinggal.
[3] Wilayah darat yang terletak di kecamatan Paloh.
[4] Sebutan untuk Kalimantan sekarang.
[5] Alam ghaib tempat bermukimnya makhluk ghaib.
[6] Kesaktian yang dimiliki dalam tubuh seseorang.
[7] Makhluk ghaib yang tidak kasat mata.
[8] Sebutan untuk kota Paloh sampai sekarang, yaitu berarti
kota yang penghuninya menganut prinsip kebenaran.
[9] Sebutan untuk masyarakat kota Paloh yang menganut
prinsip kebenaran dalam segala hal.
[10] Nama kerajaan Paloh yang berbentuk ghaib.
[11] Nama suatu daerah yang berdekatan dengan lokasi Batu
Bejamban, sampai sekarang masih dianggap mistis oleh sebagian orang, karena
banyak para pengunjung yang hilang secara tiba-tiba dan tidak kembali lagi.
*sebagai catatan tanahnya tidak berwarna merah, hanya sebutan saja.
[12] Pengajaran dan pendidikan yang berkesinambungan.
[13] Tulisan yang ditulis di bagian atas ambang pintu
keraton Sambas, memiliki arti berpegang
teguh dengan nama Allah.
[14] Kuat, tak terkalahkan.
[15] Buaya, hewan air yang ganas.
[16] Buaya siluman yang berwarna putih dan merupakan
penjelmaan dari Raden Sambir, pemimpin pasukan Buaya.
Sumber : kasailangger.blogspot.my
No comments:
Post a Comment