Saturday, 5 December 2015

LEGENDA MISTIS KERAJAAN GHAIB “BATU BEJAMBAN” DI PALOH



Konon katanya, sejak abad ke 15 telah terjadi peperangan besar di Paloh yang melibatkan “orang halus”[1]. Adapun orang halus tersebut berasal dari Jawa, Brunei dan Pahang. Saking hebat dan lamanya peperangan berlangsung, maka turunlah empat dewa dari “kahyangan”[2]. Keempat dewa tersebut merupakan saudara sekandung, alias kakak beradik. Turunnya keempat dewa itu  bertugas untuk mendamaikan pertikaian sengit yang telah berlangsung lama. Selain itu juga, masing-masing dari mereka mempunyai tugas khusus. Dewa yang tertua bertugas menjaga harta yang ada di atas bukit, dewa yang tengah menjaga daerah rawa, dewa yang muda menjaga di pinggir sungai, sedangkan yang bungsu menjaga di tengah-tengah sungai. Dengan pembagian tugas seperti ini, maka seluruh penjuru “tanah Paloh”[3] sudah dijaga ketat oleh keempat dewa itu, atau dengan kata lain sudah terlindungi dari ancaman “orang halus” yang jahat. 

Dengan keberadaan mereka di Paloh, maka dibuatlah suatu peraturan tegas , bagi siapa yang melakukan peperangan atau bersikap tidak benar akan diberi hukuman seberat-beratnya. Hal itu bukan hanya diperuntukkan buat “orang halus”  tapi berlaku sampai sekarang buat manusia kasat mata.

Selang beberapa tahun kemudian, orang-orang “borneo”[4] pada umumnya melakukan hubungan dagang dengan pulau Jawa. Banyak saudagar dan pedagang dari Jawa membawa emas, intan dan barang tambang lainnya dari pulau Borneo ke pulau mereka. Karena terjalinnya hubungan dagang yang sangat menguntungkan di antara kedua belah pihak, maka kerajaan Jawa melihat hal tersebut sebagai sebuah jalan sutera bagi mereka untuk lebih mengenal borneo secara mendalam, terutama mencari harta kekayaan berupa barang tambang lainnya. Mereka ingin memastikan apakah benar pulau Borneo menyimpan harta kekayaan terpendam yang sementara ini belum pernah dijamah oleh bangsa asing. 

Maka dari situlah istilah penyebutan borneo untuk Kalimantan sekarang. Borneo berasal dari kata berlian, atau dengan kata lain “tanah yang banyak menyimpan harta kekayaan (symbol dari berlian)”.

Untuk memastikan dan membuktikan rasa penasaran itu, maka diutus oleh kerajaan Jawa dua kapal layar untuk melakukan ekspedisi ke pulau Borneo. Kapal layar yang pertama dinakhodai oleh si muda dan si bungsu. Sedangkan kapal layar yang kedua dinakhodai oleh Raden Martil dan Pangeran Marta. Mereka dijaga oleh pengawalnya yang setia beserta juragan yang bijaksana. Berbulan-bulan kedua kapal layar itu berada di lautan luas demi satu tujuan untuk menunaikan titah raja Jawa yang ingin mendapatkan kabar gembira mengenai keberadaan harta kekayaan di pulau Borneo. Akan tetapi di tengah perjalanan, kapal layar mereka terpisah dikarenakan badai laut menerjang dan mengalihkan haluan layar kapal mereka. Akibatnya mereka berlainan arah dan terpisah, dimana kapal layar milik Raden Martil dan Pangeran Marta terdampar di pulau borneo bagian selatan. Sedangkan si bungsu dan si muda tersesat di bagian hulu sungai Paloh. Karena daerah hulu sungai pada saat itu dangkal, maka kapal layar yang ditumpangi si muda dan si bungsu terkandas dan menabrak batu di tengah sungai. Kebetulan batu tersebut dijaga oleh dewa yang bungsu, sontak membuat ia menjadi kaget dan marah. Maka dewa yang bungsu segera mengadukan perihal ini kepada tiga saudaranya. Setelah diadukan, keempat dewa tersebut menindak tegas kapal layar milik si muda dan si bungsu dengan menahannya. Peraturanpun dibuat, si bungsu tidak boleh naik ke darat, sedangkan si muda diperbolehkan. Sebagai alasannya, si bungsu dianggap masih terlalu kerdil dalam masalah ilmu kebatinan. Dia masih belum bisa berkomunikasi secara aktif dengan keempat dewa penjaga hulu sungai Paloh. Mata batinnya belum terbuka dan masih menyimpan sikap serta tingkah laku yang kurang baik. Hal ini dikarenakan usianya yang masih terbilang muda dan labil dalam hal emosi. Sedangkan si muda sudah dianggap dewasa dalam segi berfikir dan membuat keputusan. Inilah menjadi bahan pertimbangan keempat dewa tersebut, apalagi si muda sudah mumpuni dalam hal ilmu kebatinan. Buktinya ia sanggup menembus alam “bunian”[5] kota Paloh. Ia dengan leluasa memasuki tabir-tabir misteri alam bunian yang sukar ditempuh dengan mengandalkan mata kasar.

Hari berganti hari, tak terasa sudah sedemikian lama si bungsu menunggu kakaknya (si muda) di bawah bukit. Orang yang ditunggu-tunggu sampai sekarang belum tiba juga. Apakah gerangan yang telah terjadi terhadap si muda nun di atas sana (bukit). Maka timbul prasangka buruk si bungsu, apakah kakaknya masih bernyawa ataupun sudah tiada. Timbul hasratnya untuk menemui dan menjemput pulang si kakak, tapi apakan daya “bekal diri”[6] untuk menembus pintu ghaib di tempat ini belum memadai. Dengan berat hati si bungsu termangu sambil terus menunggu di bawah. Untuk mempertahankan hidupnya, ia makan dari buah-buahan dan ikan yang hidup di hulu sungai itu.
Bertolak belakang dengan kehidupan si bungsu, kakaknya hidup bergelimang kenikmatan dan kesenangan. Semua yang ia inginkan terpenuhi. Kehidupannya sangat terjamin dibandingkan semasa ia mengabdi di kerajaan Jawa. Dewa-dewa kahyangan sangat memberikan perhatian lebih kepada si muda, dikarenakan sikap dan tingkah laku beliau sangat sesuai dengan gaya hidup para dewa. Tutur katanya santun, perangainya elok, ucapannya jujur dan sangat mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh para dewa. Disamping itu, si muda terkenal dengan sakti mandragunanya. Hal itulah yang membuat para dewa berfikir akan menjadikan si muda sebagai penguasa kota Paloh. Harapannya, dengan kesaktian yang dimilikinya, suatu saat mampu menjaga kota Paloh dari ancaman “makhluk halus”[7] yang sewaktu-waktu bakal menyerang. Jika hal itu terwujud, maka keempat dewa tersebut sudah dapat kembali lagi ke kahyangan dan segera meninggalkan tugasnya di bumi.

Akhirnya, harapan itu menjadi kenyataan. Dari hari ke hari si muda semakin kerasan tinggal bersama dewa di alam “bunian”nya. Tingkah lakunya sudah layak dikatakan sebagai manusia setengah dewa. Sebelum dilakukan acara pelantikan, terlebih dahulu para dewa menanyakan kesanggupan si muda untuk menjadi seorang raja. Setelah menyatakan kesanggupannya, si muda dan para dewa membuat suatu perjanjian ghaib, yang mana isinya adalah barangsiapa yang menjadi penguasa kota Paloh hendaknya menjadi pemimpin yang benar, jujur dan tidak melanggar peraturan yang telah dibuat oleh keempat dewa sebelumnya. Jika hal itu dilanggar, maka akan turun hukuman yang setimpal menimpa kota Paloh. Itulah menandakan dan menjadi ciri khas bagi kota Paloh sebagai kota kebenaran[8]. Kebenaran disini dimaksudkan sebagai kebenaran dalam tingkah laku, tutur kata dan bijak dalam mengambil keputusan. Orangnya disebut sebagai orang kebenaran[9]. Dari sinilah tertanam prinsip bagi orang Paloh, jika masih ada ketidakjujuran dan kemunafikan, maka tidak layak orang itu (baik pemimpin maupun rakyat biasa) dikatakan sebagai orang Paloh Kebenaran.

Kesepakatanpun dimulai, maka dilantiklah si muda menjadi penguasa kota Paloh dengan segala tugas berat yang akan diembannya. Oleh para dewa, si muda diberi gelar Raja Muda. Untuk mengungkapkan rasa khidmatnya, Raja Muda memberi nama kerajaannya dengan sebutan “Batu Bejamban”[10]. Mengapa disebut Batu Bejamban? Karena jalan menuju istana kerajaan ghaib Raja Muda disusun diatas tumpukan batu yang menyerupai tangga. Arah tangga tersebut menuju ke atas bukit, dimana tiap ruas lereng bukit terdapat 7 sumur air yang tidak pernah kekeringan. Di sumur itulah tempat Raja Muda dan prajuritnya mandi. Karena letak sumber airnya yang sangat dalam, maka Raja Muda kadang mengalami kesukaran untuk menimba air dengan posisi berdiri. Tak pelak lagi, Raja Muda terpaksa berjongkok dengan lutut kanan menimpa batu dan tangan kiri bertahan di atas batu yang dialiri air pegunungan. Semakin sering Raja Muda dan prajuritnya melakukan kebiasaan seperti itu, mengakibatkan terbentuknya cekungan-cekungan pada batu yang ditimpa tadi. Cekungan itu menyerupai lutut dan siku tangan manusia. Siapa lagi kalau bukan bekas cekungan salah satu anggota tubuh Raja Muda dan prajuritnya yang sering mengambil air di sumur itu.

Kembali lagi ke cerita si bungsu, bagaimana dengan nasibnya sekarang? Ia hidup sebatangkara di tepian hulu sungai. Kadang mengumpulkan bahan makanan dari hutan dan meramunya di atas kapalnya yang terdampar. Ia masih setia menunggu kakaknya yang tiada kabar berita. Ia takut pulang ke Jawa sendirian, sebab pertanggungjawaban dengan raja akan semakin berat. Selain itu, si bungsu tidak punya nyali untuk mengemudikan kapal layarnya dikarenakan pengalamannya yang masih terbatas. Maka diurungkanlah niatnya untuk meninggalkan tempat dimana mereka berdua terdampar. Selama berdiam disitu, si bungsu sering melakukan pelanggaran atas peraturan yang dibuat oleh para dewa sebelumnya. Ia sering mengganggu kehidupan hewan di hutan, tumbuh-tumbuhan dan malah acapkali mengotori aliran sungai dengan sisa-sisa makanan yang diramunya. Sebagai balasannya, si bungsu sering didatangi makhluk halus yang seakan-akan haus darah akan membunuhnya, penampakan buaya siluman yang seolah-olah akan menerkamnya, serta menderita penyakit secara tiba dan sembuh dengan seketika pula tanpa ramuan obat.



Raja muda dan singgahsananya yang dibangun megah menambah kemasyhuran kerajaan Batu Bejamban. Menurut cerita yang beredar, Batu Bejamban merupakan salah satu kerajaan terbesar di pulau Borneo yang dihuni oleh seorang raja dari bangsa manusia, akan tetapi mempunyai prajurit, pengawal dan rakyat dari bangsa makhluk tidak kasat mata. Ditambah lagi lokasi Batu Bejamban berdekatan dengan wilayah tempat bermukimnya makhluk halus secara massal, yaitu Tanah Merah (Red Land)[11]. Di tanah itu, makhluk halus tinggal secara berkoloni membuat suatu pemukiman layaknya manusia biasa. Konon katanya, Raja Muda sering melakukan transaksi jual beli dengan penghuni di tanah merah tersebut. Dapat dikatakan pusat perkotaan yang besar dan indah terdapat di wilayah itu. Hanya saja tabir ghaib keindahan alam bunian di tanah merah, akan mudah ditembus oleh orang yang mempunyai niat  baik seperti Raja Muda. Segala kebutuhan pangan, sandang dan papan sangat terpenuhi ketika akses menuju kota perdagangan tanah merah dapat dilalui dengan kejujuran dan ketulusan.

Dibalik segala kemegahan tersebut, Raja Muda merasakan ada sesuatu yang hilang. Setelah merenung panjang, beliau ingat kepada adiknya si bungsu yang sama-sama berlayar dengannya. “Kemanakah dia sekarang?”, Raja Muda bergumam. Karena semenjak ia ditahan di atas bukit, ingatan Raja Muda dihapus oleh para Dewa. Dewa berkeyakinan, dengan dihapusnya ingatan Raja Muda maka segala peristiwa mulai dari terdampar hingga terpisah dari adiknya si bungsu  dapat terlupakan. Hal ini bakalan tidak akan menggangu para dewa dalam memberikan ajaran yang baik kepada Raja Muda. Sehingga Raja Muda akan merasa betah dan nyaman dalam menyerap ilmu kebatinan yang diturunkan kepadanya oleh para dewa. Alhasilnya semua usaha para dewa membuahkan hasil. Dibalik terawangan Raja Muda dari singgahsananya, tampak sesosok tubuh kerdil sedang meramu makanan di atas kapal layar yang terdampar. Sesekali ia memastikan sosok tersebut apakah benar adiknya yang sudah lama ia tinggalkan. Setelah memperoleh kepastian, Raja Muda menyuruh para prajuritnya untuk segera menjemput adiknya si bungsu ke singgahsananya. Dengan perasaan senang bercampur takut, si bungsu digiring oleh para prajurit kerajaan menuju Batu Bejamban. Satu demi satu pintu alam bunian terlewati, begitu juga dengan ke 7 sumur di setiap lereng bukit. Sesekali si bungsu berdecak kagum atas apa yang ia lihat dan rasakan. Tidak pernah seumur hidupnya melihat betapa indahnya arsitektur bangunan luar hingga bangunan dalam kerajaan. Tidak pernah terbayangkan dalam benaknya, dapat merasakan betapa asri dan wanginya taman yang menghiasi setiap sudut tangga jalan menuju Batu Bejamban. Saking terpananya, ia tidak sadar sudah berhadapan dengan seorang raja yang gagah berani dan tampan. Karena lama baru bersua, si bungsu hampir tidak mengenali sama sekali orang yang duduk di atas singgahsana yang megah itu.

Pengawal menyuruh si bungsu memberikan hormat, “Ayo, beri hormat kepada Raja Muda!”. Tanpa berfikir panjang yang disuruh segera membungkukkan badan, “Ampun tuan, beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun”. Raja Muda menghampiri si bungsu dan segera menuntunnya berdiri, “Cukup adikku, sudah lama hamba tidak bersua denganmu, bukan kehendak hati hamba untuk meninggalkanmu, tapi karena ini semua adalah takdir dari para dewa”. Setelah mendengarkan ucapan kakaknya, si bungsu memeluk erat dan menangis terisak-isak dipelukannya. Ia tidak menyangka dapat dipertemukan kembali dengan kakak kesayangannya yang sekarang sudah menjadi seorang raja. Seluruh prajurit dan pengawal kerajaan seakan-akan larut dalam suasana haru pertemuan kedua kakak beradik itu.

Lama juga si bungsu menikmati keindahan istana Batu Bejamban dengan segala kemegahannya, maka sudah saatnya ia mengutarakan kepada kakaknya untuk segera pulang ke Jawa. Terasa berat sebenarnya untuk mengungkapkan hal itu, karena si bungsu mengajak kakaknya turut serta kembali ke tanah kelahirannya. Dengan tegas Raja Muda menolak ajakan si bungsu, dan menganjurkan agar si bungsu pulang sendirian ke Jawa. Raja Muda tidak bisa mengingkari perjanjiannya dengan para dewa untuk setia dan mengabdi menjadi penguasa kerajaan Batu Bejamban. Karena jika hal itu diingkari, maka Raja Muda dapat dikatakan sudah melanggar ketentuan takdir dari para dewa dan siap-siap akan menerima hukuman yang setimpal. Dewa beranggapan, mengkhianati mereka sama dengan tidak mengenal budi atas kebaikan “tunjuk ajar”[12] yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya. Mendengar ucapan Raja Muda seperti itu, si bungsu dengan berat hati meninggalkan istana dengan dikawal oleh prajurit kerajaan menyusuri tangga menuju ke tempat kapal layar yang mereka tumpangi. Pesan yang dititipkan Raja Muda kepada si bungsu yaitu segera mengabarkan berita dilantiknya ia menjadi raja kepada para punggawa kerajaan Jawa dan kabar tidak kalah pentingnya adalah ia tidak akan kembali lagi ke tanah kelahirannya. Sedangkan selama berlayar pulang, si bungsu dibekali uang emas, makanan secukupnya, dan diawasi oleh pengawal kerajaan hingga ke laut Jawa.

Sepulang si bungsu ke pulau Jawa, Raja Muda memerintah kerajaan Batu Bejamban dengan arif dan bijaksana. Berbekal kekuatannya, ia membangun kota Paloh dengan megah dan membuka jalan menuju Tanah Merah. Akibatnya, rakyat dapat hidup dengan sejahtera dan arus perdagangan menjadi bertambah ramai. Perlu diketahui, di kerajaan ini tidak mengenal pergantian kekuasaan. Raja Muda akan terus  menjadi raja, sedangkan prajurit dan pengawalnya yang mengalami pergantian jika melanggar aturan yang berlaku atau gugur di medan tugas. Layaknya sebuah kerajaan di alam fana, Raja Muda menginginkan keamanan dan ketenangan lingkungan istana tetap terjaga. Oleh karena itu, ia menginginkan ada orang yang memimpin pasukan prajuritnya untuk melakukan penjagaan ketat di setiap penjuru istana. Karena dikhawatirkan, setelah dibukanya arus perdagangan ke Tanah Merah akan membuka ruang bagi makhluk halus lainnya untuk berbuat yang tidak baik terhadap wilayah kekuasaannya. Ditambah lagi, sepulang si bungsu ke Tanah Jawa tentunya akan tersiar kabar tentang simpanan harta kekayaan yang sekarang dimiliki oleh kerajaan Batu Bejamban. Tentunya hal itu akan menambah rasa penasaran orang Jawa untuk mendapatkan untaian berlian di wilayah istana Raja Muda. Demi mengantisipasi ancaman yang bakal datang, Raja Muda memohon kepada dewa kahyangan untuk mengirim seorang utusan yang akan menjadi orang kepercayaan istana. Maka diutuslah Mustika Bintang ke Batu Bejamban yang menyerupai sinar bintang jatuh (meteor). Ia ditugaskan untuk menjaga harta kekayaan istana yang tersimpan di dalam gua dan menerangi daerah kekuasaan Raja Muda ketika malam hari. Maka tidak mengherankan jika pernah terlihat oleh penerbang TNI AU yang melintas dengan tidak sengaja di bagian hulu sungai Paloh pada malam hari, tampak seperti daerah perkotaan yang terang benderang. Gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan megah, dermaga memanjang di bagian hulu sungai dan arus kendaraan yang berlalu lalang memadati jalan raya perkotaan. Karena penasaran yang berlebihan, keeseokan paginya para penerbang kembali lagi melintas di area yang sama. Betapa mengejutkan apa yang dilihat tadi malam sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan yang sedang mereka saksikan di siang hari. Suasana perkotaan yang begitu mempesona berubah seratus persen menjadi hamparan hutan lebat yang sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Penampakan yang dilihat oleh para penerbang di malam hari itu tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kerja Mustika Bintang.

Dikemudian hari, para dewa menurunkan utusannya kembali dari kahyangan yaitu Mayangsari untuk memegang kunci gua tempat penyimpanan harta kekayaan Batu Bejamban. Jadi lengkaplah sudah petugas penjaga kedaulatan istana Raja Muda. Untuk memperluas jangkauan kerajaan, Raja Muda membina hubungan persaudaraan dengan kesultanan Sambas “Alwatzikhubillah”[13], pada masa Bujang Nadi dan Dare Nandung. Hubungan serumpun itu semakin bertambah akrab ditandai dengan diadakannya pesta kerajaan di Semenanjung Borneo, dimana tuan rumahnya adalah kerajaan Batu Bejamban. Adapun kerajaan-kerajaan yang ikut serta dalam perayaan tersebut meliputi kesultanan Sambas yang diwakili oleh Raden Sandi dan Raden Sambir, Kesultanan Brunei yang diwakili oleh Sultan Tajudin, serta kerajaan Pontianak yang tidak jauh dari Batulayang. Perayaan akbar itu menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai penetapan simbol kerajaan sebagai perlambang perekat pemersatu. Simbol yang ditetapkan dalam bentuk warna yaitu kuning, merah dan putih. Masing-masing warna diwakili oleh kerajaan tertentu, misalnya warna kuning melambangkan kesultanan Sambas, warna merah mewakili kerajaan Brunei dan Pontianak, sedangkan putih melambangkan kerajaan Batu Bejamban sebagai tuan rumah. Apa makna dari symbol warna tersebut? Kuning menggambarkan keagungan dan kejayaan, merah melambangkan semangat membara dan pantang menyerah, sedangkan putih memberi simbol kesucian dan kebenaran.




Pasca perhelatan akbar tersebut, tersiar kabar di daerah Sambas diserang oleh makhluk yang kejam dan bengis. Makhluk itu berasal dari keturunan jin. Ia terkenal dengan kekejamannya, karena membuat suatu peraturan yang sangat tidak berperikemanusiaan. Wanita hamil disuruh mendorong perahu ke dermaga, dara perawan dijadikan santapan sehari-hari, dan begitu juga dengan bayi-bayi akan menjadi makanan pelepas lapar. Ia digelari Tanunggal. Melihat keadaan seperti itu, diutuslah oleh Raja Muda seorang yang gagah berani dari Segerunding, namanya si Tan. Sedangkan Tan sendiri berasal dari kata “tahan”[14], yang artinya orang yang tahan banting. Si Tan inilah yang ditugaskan untuk melumpuhkan kekuatan Tanunggal yang sudah merajalela dengan segala peraturannya. Berkat usahanya yang gigih, maka dalam waktu yang tidak begitu lama, semua kekuatan Tanunggal beserta para prajuritnya dapat dimusnahkan. Hal inilah yang menambah keyakinan dan kepercayaan Raja Muda dalam memimpin kerajaan kebenaran Paloh. Bahwa setiap yang jahat akan mendapatkan perlawanan oleh orang-orang yang mendambakan kebenaran.

Dari dulu hingga sekarang, keberadaan kerajaan Batu Bejamban masih tetap ada dan terjaga. Raja Muda dipelihara oleh dewa untuk tetap terus memimpin kota Paloh kebenaran. Walaupun secara lahiriah wujud Raja Muda bukan lagi manusia, akan tetapi jiwanya akan tetap menjadi penguasa yang tak terkalahkan kejujurannya. Maka dari itu, hanya orang yang jujur dan bertingkah laku baik akan dipertemukan dengan beliau serta diperlihatkan kemegahan istana ghaibnya. Bahkan akan menjadi pengikutnya yang setia di alam bunian. Tidak akan kembali lagi ke dunia fana, sudah menjadi penghuni abadi kerajaan Batu Bejamban seperti yang dialami oleh beliau semasa masih berwujud manusia. Selain itu, di bagian hulu sungai Paloh sudah diturunkan armada penjaga istana Batu Bejamban oleh Raja Muda. Penjaga istana tersebut berada dipusat air, dan berwujud buaya atau dalam bahasa Sambas disebut “Jallu”[15]. Warna buaya itu mengikuti simbol kerajaan Batu Bejamban yaitu putih. Maka digelarilah secara lengkap dengan sebutan Jallu Puteh[16]. Hewan itu dengan setia menjaga pintu masuk hulu sungai Paloh yang tidak jauh letaknya dengan keberadaan istana Raja Muda. Adapun pemimpin Jallu Puteh berasal dari Raden Sambas yang diberi tugas oleh Raja Muda. Ia adalah Raden Sambir. Begitu juga dengan Raden Sandi acapkali berkunjung ke istana Raja Muda untuk menyampaikan berita penting yang dikirim oleh kesultanan Sambas. Seperti yang terjadi pada masa kerusuhan Sambas 1998, dimana Raden Sandi mengajak Batu Bejamban untuk bergabung dalam menertibkan pertikaian yang terjadi serta menyelamatkan orang Melayu dari ancaman suku lain. Melalui proses itulah, maka hubungan persaudaraan antara Sambas dan Paloh masih terjalin erat sampai sekarang melalui media ghaib yaitu sungai Sambas.

[1] Makhluk ghaib, tidak kasat mata, berasal dari jin.
[2] Alam nirwana para dewa bertempat tinggal.
[3] Wilayah darat yang terletak di kecamatan Paloh.
[4] Sebutan untuk Kalimantan sekarang.
[5] Alam ghaib tempat bermukimnya makhluk ghaib.
[6] Kesaktian yang dimiliki dalam tubuh seseorang.
[7] Makhluk ghaib yang tidak kasat mata.
[8] Sebutan untuk kota Paloh sampai sekarang, yaitu berarti kota yang penghuninya menganut prinsip kebenaran.
[9] Sebutan untuk masyarakat kota Paloh yang menganut prinsip kebenaran dalam segala hal.
[10] Nama kerajaan Paloh yang berbentuk ghaib.
[11] Nama suatu daerah yang berdekatan dengan lokasi Batu Bejamban, sampai sekarang masih dianggap mistis oleh sebagian orang, karena banyak para pengunjung yang hilang secara tiba-tiba dan tidak kembali lagi. *sebagai catatan tanahnya tidak berwarna merah, hanya sebutan saja.
[12] Pengajaran dan pendidikan yang berkesinambungan.
[13] Tulisan yang ditulis di bagian atas ambang pintu keraton Sambas, memiliki arti  berpegang teguh dengan nama Allah.
[14] Kuat, tak terkalahkan.
[15] Buaya, hewan air yang ganas.

[16] Buaya siluman yang berwarna putih dan merupakan penjelmaan dari Raden Sambir, pemimpin pasukan Buaya.

No comments:

Post a Comment