Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan
Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari
sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi
antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya.
Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada
maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut
mengalami kemunduran.
1. Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan
Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi
Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu
yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera Timur
sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan, Gunung Sahilan,
Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri, Rambah, Sengingi,
Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai dari Siak ke selatan. Pada
tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari wilayah Karesidenan Sumatera Timur
dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau. Oleh karena itu, pembatasan
pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur hanya sampai pada masa
sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun 1940.
Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah
Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan
ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang, yaitu Kerajaan Bendahara,
Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan Kerajaan Muda dikeluarkan dari
Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun
1900.
Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak
Politik adalah: 1) Deli; 2) Asahan; 3) Siak; 4) Serdang; 5) Langkat; 6) Kualuh;
7) Pelalawan, sedang kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte
Verklaring), adalah: 8) Billah; 9) Gunung Sahilan; l0) Kedatukan Indrapura
(Batubara); 11) Kepenuhan; 12) Kunto Darussalam; 13) Kotapinang; 14) IV Kota
Rokan Kiri; 15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); 16) Logas; 17) Panai; 18)
Kedatukan Pesisir (Batubara); 19) Rambah; 20) Singingi; 21) Kedatukan Suku Dua
(Batubara); 22) Tambusai; 23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).
2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
Kurun waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir
bagian timur Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada
masa lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I
pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di Semenanjung
Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan” ini diungkapkan
dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan Melayu yang termasuk tua
adalah sebagai berikut.
a. Panai
Dalam suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama
negeri yang ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai
(with water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘).
Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan Sungai
Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu aliran Tantrik
Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan Cola (1025 M) sampai
dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang kemudian merebut Panai (lihat
Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu tidak meninggalkan nama raja-raja
dan peristiwa sejarah, tetapi inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu
kuno, seperti yang terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan
“berbuat biyna” dan inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai
suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa penguasa yang
memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu, sebagaimana dikatakan oleh
Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatera.
b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya adalah Kerajaan Haru atau Aru.
Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan
tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan
rombongan dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja
Samudra Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu Malikulsaleh
yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam sejak akhir abad ke-13 M
(Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu
dari batas Temiang sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali
mengirim misi ke Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman
pemerintahan Kubilai Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina
(Labuhan Deli) juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi
yang potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974). Kerajaan
Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu (1292).
Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan tetapi setelah itu Haru
pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana dicatat oleh orang Persia,
Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun
1310 M. Haru kemudian ditaklukkan Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair
Negarakertagama seloka 13: 1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai
(Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga
disebutkan bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma
Huan, 1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis
menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di sana
terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut oleh
Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).
Pada abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di
Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh
karena itu, Haru menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti
disebut dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran
Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut
dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka harus disambut
dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga diakui oleh Portugis
(Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha menjalin persahabatan dengan Haru
agar terjadi pertentangan dengan Pasai dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika
bekas Sultan Melaka (Sultan Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di
pengungsiannya di Bintan, Sultan Haru bersama Sultan Husin datang membantu
Melaka. Oleh karena itu, Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang
bernama Raja pada tahun 1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat
mengiringi tuan putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini
memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan ratusan
abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi di Haru.
Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor membawa
malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang muncul kemudian
merasa tersinggung.
Dalam Sejarah Melayu (cerita ke-24) disebutkan bahwa pada
periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak,
“yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau
mungkin saja kata “Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan
penghinaan karena nama “Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa
itu masih terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya
daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam).
Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu,
seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip
dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang
merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo.
c. Siak
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai
daerah yang ditaklukkan Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak
mengaku sebagai keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang
turun di Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah
Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih
beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi
militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan
bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan
dan dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian
dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari
pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja
Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja
Abdullah berputra tiga orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal
dan Biyazid tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang
merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom
Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja
Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak
yang awalnya diangkat oleh Aceh.
Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I,
Raja Siak ingin melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang
terpidana tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka
mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana
Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di
sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua
hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.
d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di
Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti
Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil
dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika
menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia
masih kecil pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon
bertindak sesuka hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja
Kasim. Dengan restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara
Dewa Syah dan neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi
Raja Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
e. Kampar
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah
Kampar. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus
menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena
merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam
Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan
Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian
mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang
dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada
mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut
legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan
Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang
dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis,
Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya
sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan
mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar
diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung
mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar
angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan
pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan
termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di
Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil
bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya
kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah
dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar
(Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium
Melayu Riau-Johor
Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511
berpangkal dari kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang
menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan
pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis.
Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan,
padahal persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara
Portugis yang kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar
Melaka dan merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja
Melaka terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru,
terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian
Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.
Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India
mulai menyerang benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang
warga Portugis, Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam
Perigrinaao (Cogan, 1892: 28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada
bulan November 1539. Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah
meriam besar yang dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung
selama tujuh belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh
menyogok dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng
dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin sempat
lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut dengan hormat,
tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa. Permaisuri Haru kemudian
berangkat ke Bintan yang merupakan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan
Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan
pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian
diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin
kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru
dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi
istrinya.
Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia
kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium
Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor
yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada
tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam
penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin
Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak
itu Aceh menempatkan putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru
kemudian disebut Gori atau Guri.
Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil)
yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali.
Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi
Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah
dan berpaling dari Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru
(Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk
menghancurkan pemberontakan itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun
Batusawar dapat dikepung oleh Aceh, tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban.
Benteng tidak dapat direbut dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga
Aceh terpaksa mundur kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian
ini juga disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di
Aceh (Purchas, I: 123).
Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul
nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja
bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli
dengan pasukan seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang
pertahanan. Dalam Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah
Saidi Mukammil yang meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda
Syah Alam: “Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman
mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala
raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke
Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang
memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat
menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh
sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya kepada King James dari Inggris
(Shellebear, 1898: 125–127).
Nama Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang
berarti gunung, karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang
merupakan batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat
Puteri Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke
Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan oleh Mendes
adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir bermuara Sungai Deli)
terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri Hijau yang cantik bersama
saudara kembarnya, seekor naga (ular Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam
Puntung). Karena rakyat tidak sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di
sana lalu pindah ke hilir dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi
makmur dan berita kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan
meminang Putri Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah
berusaha keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh
karena itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang
bertahan di benteng lengah. Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu dan
menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak, sehingga sang
Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh di Kampung Sukamalu
(sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan). Melihat situasi yang tidak
menguntungkan itu sang Naga kemudian menggendong Putri Hijau dan
menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl. Puteri Hijau Medan sekarang) dan
memasuki Sungai Deli dan akhirnya sampai di Selat Melaka. Menurut legenda,
mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II:
164). Dari uraian ini terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan
muslihat dengan uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala
naga.
Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di
Semenanjung Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624.
Indragiri dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai
Gasib (salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah
Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh
bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang
sekarang dikenal dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor
dengan menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh
mulai mengendur, sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka,
dan ini terbukti dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.
4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah
pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam
kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.
a. Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri
Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara
di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar
proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di
Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia juga menikah dengan adik
Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah
pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli
dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara
raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh
menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita
(mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini
digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699
(Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.
Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku
Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan
Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II
yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang).
Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan
raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar,
terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku
dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota
Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada
21 Maret 1717.
Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang
saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa
mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720,
sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli. Saat
pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli
(1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli
dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui
John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306;
Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan
melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai,
dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada
zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan
kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika
berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.
b. Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon
datang dari arah pantai dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak
boru Raja Karo Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya
bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri,
dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu
menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di sekitar
wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau. Keduanya
hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama
Baduzzaman berhasil memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai
empat putra, yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban
(Pungai), dan Raja Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya
memerintah dengan otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai
abad ke-19.
Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin
kesetiaannya, putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra
Bungsu yang bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan
dengan putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai
seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja
Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar
Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah
Jepura Bilad Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823,
beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu
tewas terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari
Siak.
c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai
hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah
dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara
Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri
tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan
di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang
bernama Siti Onggu.
Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan
agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua
berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil.
Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan
Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai
masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh,
kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh.
Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin
mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui
Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus
Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah
dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua.
Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki
harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan
seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil
(Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).
Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah
masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya
yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah
lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing
bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu
Kiri.
Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II
pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam
(1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”.
Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur
Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya
dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali.
Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih
dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja
Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang
bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah
Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di
Bedagai.
Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika
Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra
Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John
Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu
diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin
menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan.
Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil
menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan
Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan
akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.
Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum
Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing
diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap
di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di
Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.
Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835,
raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi
Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak
sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja
Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi
ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan
membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.
5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di
Batubara. Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang
matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental. Kenyataannya,
pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada
mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima
suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga.
Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang
bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih
anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah
Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata
yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih
dari Suku Pesisir.
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi.
Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk
suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup
memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan
kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung
memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari
Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua
datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah
sebagai berikut.
a. Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki
singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun
Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja
Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng
dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali
berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi
kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga
meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda
dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk
menertibkan Siak.
Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra
Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC
dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan
Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir
Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja
Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas
kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai
bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat
pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil
membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini
dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan
penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu
menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian
Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya
terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan
Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada
tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta
keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh
putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya
bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak
berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah,
kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail
adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan
dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib
Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang
diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang
lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali,
putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin
berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil
Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil
Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di
Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan,
dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku
Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan
putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan
Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun
1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad.
Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku
Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim
Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja
yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak.
Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil
alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda
(Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa
meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut
campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak
politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
b. Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan
ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang
sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan
pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak
menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said
Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim
meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan
digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa
yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan
secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah
putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan
dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid
meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan
pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar.
Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika
Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar
juga memiliki ambisi yang sama.
Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh
Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan
syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui
persyaratan tersebut.
6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai (Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang
terletak di antara Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan
keturunan Sultan Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan
Minangkabau, tetapi menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur karena
merupakan tempat transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera yang dijual ke
Melaka, Singapura, Johor, dan Siak. Tidak berlebihan kalau di negeri ini banyak
orang kaya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di antara rombongan haji yang
pulang terdapat Imam Maulana Kadhi dan putranya, Haji Muhammad Saleh.
Pada tahun 1820–1825 bergejolak paham Wahabi di Mekah yang
bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam. Paham Wahabi ini ingin
dikembangkan oleh para haji yang kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan
Haji Muhammad Saleh berusaha mengembangkan paham Wahabi itu kepada
murid-muridnya di pesantren. Haji Muhammad Saleh menekankan kepada Yang
Dipertuan Rantau Binuang agar memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan
ajaran Islam sejati dan melarang adat lama yang bertentangan dengan agama.
Pengaruh pembaharuan Islam yang disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh
diusir. Dia kemudian mengembara sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa
cukup kuat, dia kembali ke Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu
menyingkirkannya ke Tanah Putih (Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan Siak
menuntut supaya Tambusai tunduk kepada Siak, karena rajanya berdiam di wilayah
Siak.
Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku Tambusai dan
oleh sementara pihak dijuluki “Si Baleo” (pembawa malapetaka). Gerakannya
ditujukan ke daerah Kepenuhan, Rambah, Batang Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun,
dan Padang Lawas. Gerakan Tuanku Tambusai mendapat bantuan dari ulama lain,
seperti Tuanku Rao. Gerakan Tuanku Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan
Tuanku Rao dianggap Si Pokki Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah
adik Sisingamangaraja X yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.
Meskipun jasa Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli
Selatan sangat besar, tetapi tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya
dengan bantuan Raja Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya,
terutama setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam pertempuran
hebat yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu dapat
direbut Belanda tetapi Tuanku Tambusai selamat dari buruan Belanda. Sampai
sekarang makamnya belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa Tuanku Tambusai
sempat lolos dan menyeberang ke Malaya.
Pada masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang
dan menempatkan satu detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah
pertemuan Sungai Panai dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu
meresahkan Inggris. Benteng tersebut juga pernah diserang oleh rakyat dari arah
laut.
7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan
kemudian dilikuidasi, sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang
berbentuk bataafsche republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon
dari Prancis. Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan
VOC di Nusantara sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London
tanggal 14 Agustus 1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh Inggris
kepada Belanda. Hal ini tidak menyenangkan hati Raffles (Gubernur Bengkulu dari
Inggris dan bekas Letnan Gubernur Inggris di Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar
mengadakan perjanjian dengan beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau,
dan Siak. Belanda mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan
membuat kontrak baru dengan Siak.
a. Traktat London 1824
Inggris dan Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan
perjanjian kerjasama dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan
Bengkulu dan Belanda menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris
dan Belanda berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah
jajahan dan menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara
diam-diam mereka melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai timur
Sumatera. Untuk menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur, Inggris
mendekati Aceh. Segala kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di Tapanuli
Selatan menimbulkan reaksi Inggris di Penang dan Singapura yang takut
kehilangan keuntungan perdagangan. Kamar dagang Inggris mendesak pemerintahnya
agar memprotes Belanda yang dianggap telah melanggar Pasal 6 Traktat 1824. Kesempatan
itu dipergunakan Aceh untuk memperkokoh kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan
Melayu di Sumatera Timur dengan mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada
tahun 1854.
b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858
Kontrak Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan
saja Siak ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk
negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah jajahannya, yaitu
Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Perbaungan,
Percut, Deli, Langkat, dan Temiang (Schedel, 1885: 73–77).
Atas dasar ini Siak meminta bantuan Belanda agar pemerintah
Hindia Belanda mempertahankan wilayah-wilayah itu dari rongrongan Aceh. Dengan
alasan ini pula Belanda mengirimkan ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865.
Pada bulan Mei 1859, Residen Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen
Siak. Pada waktu itu, di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku
Putra, sehingga garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra
turun tahta dan dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863 fungsi
raja muda di Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif Kasim menjadi
Tengku Panglima Besar.
Menurut laporan Walland, pemerintahan Siak kacau balau.
Sebagian besar kepala suku dengan tujuh ribu orang rakyat pindah ke Malaya.
Perdagangan hampir-hampir terhenti, sehingga tidak ada tongkang yang memadai
yang singgah ke Siak. Hubungan politik dengan Lima Koto Kampar terputus.
8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai
tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin
adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja
Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda,
kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan
berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher,
Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus
1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan
raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang
berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala
Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan
bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya
dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di
kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani
perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya.
Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui
jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.
Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas
Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya,
Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil
menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan
tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak
bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar
berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.
Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya
kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk
menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan
Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur.
Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas
perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang
ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak
berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang
ke Bengkalis.
Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang
dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai
tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh.
Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah
menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan,
orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik
dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja).
Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha
Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau
lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi
utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir
J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di
Kabupaten Batu.
b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak
dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim
ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri
kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu
orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan
satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi,
Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan
3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.
Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi
ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan
kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan
Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:
“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan
mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta
bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang
sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”
Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan.
Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan
masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai
memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan
Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman
bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19
September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk
memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda
Naamatullah.
Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30
September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin
dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman.
Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai,
Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari
Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh
pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865.
Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan
Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke
Betawi selama 20 tahun.
Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian
mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi
hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah,
saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan
mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta
teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda
Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena
dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan
yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin
oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk
mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.
Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja
membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di
Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara
Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu,
Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh
di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang
di Indonesia.
9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen
dari Surabaya ke Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah
Bilsagih, di Deli berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke
Eropa dan Amerika tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis)
cerutu yang tidak ada bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan
Karo tidak cocok menjadi kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan orang Cina
dan India dari Malaya. Kemajuan Deli sebagai het dollarland menyebabkan masuknya
kapital asing ke Sumatera Timur. Sultan Deli memberikan tanah yang subur untuk
konsesi perkebunan dengan bebas, termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal
tanpa izinnya. Datuk Kecil sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang
masih kecil, memimpin pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo
membangun benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda
kemudian mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops, tetapi
ekspedisi pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan tembakau Deli
diserang gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa diungsikan ke Belawan
untuk segera naik kapal bila situasi sangat buruk.
Pada tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua
Belanda dari Jawa di bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang
bermaksud untuk menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan,
bahkan Van Hambracht sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada
tanggal 20 September 1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari Jawa
dengan jumlah yang lebih besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan satu
detasemen artileri gunung, orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina untuk
mengangkat barang. Ekspedisi ini dikepalai Mayor Van Stuwe. Akibatnya, di
mana-mana terjadi pertempuran hebat untuk merebut kampung-kampung, seperti
Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya. Dalam perundingan yang diadakan pada
tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya,
Sulong Barat, tiba-tiba disekap Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa
ke Riau. Mereka dihukum seumur hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman
melanjutkan perjuangan, tetapi juga tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang
seumur hidup ke Banyumas. Perang Sunggal (1872–1895) ini merupakan peristiwa penting
dalam sejarah Indonesia di dalam negeri yang begitu kecil (Sinar, 1980; 1981e).
Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital asing. Orang-orang
asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit
mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak
didatangkan dari Jawa. Pertama kali mereka didatangkan dari daerah Bagelen.
Kontrak-kontrak tanah dan hasil perkebunan yang diekspor merupakan sepertiga
penghasilan seluruh Indonesia. Sepanjang jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan
rumah pelacuran dan rumah judi. Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa
kehilangan gajinya, sehingga terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer,
1976: 184).
Oleh karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur
banyak didatangi orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba,
Mandailing, dan Minangkabau yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai
perkebunan, guru, dan pedagang kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota
besar.
10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873
wilayah Sumatera Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan
dijadikan residensi sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru
dibeli Belanda dengan ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi atas
Afdeeling Deli (Kontrolir di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir di Tanjung
Balai), dan Afdeeling Labuhan Batu. Residen pertama adalah J. Locker de
Bruijne.
Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari Bengkalis ke
Labuhan, kemudian ke Medan dengan berbagai reorganisasi, yaitu diciptakan lebih
banyak Onderafdeeling yang dikepalai seorang Kontrolir Belanda. Kemudian juga
dibentuk peradilan di Medan dan Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht.
Menurut perubahan dalam Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi
1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)
Dalam Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami
reorganisasi lagi, karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi.
Terakhir menurut Beslit Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera
Timur dinaikkan menjadi gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan dan
pimpinan pertama kali dipegang oleh Gubernur S. Van der Plass. Secara
administratif, Sumatera kemudian dibagi atas :
1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai
2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu
3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo
4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu
5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri
Sebuah Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten
residen dan onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber
ditugaskan oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi panglong
(sagu) di Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan Siak pada tahun
1873 dan menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah langsung oleh asisten
residen dengan mengangkat lima orang penghulu bumiputra, yaitu Kelapa Pati,
Sendrah (dengan Paliman dan Si Batu), Seggono, dan Maskum, ditambah enam
penghulu tidak bergaji. Pada tanggal 1 Januari 1940, Afdeeling Bengkalis
dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.
Dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan bumiputra di
Indonesia, Belanda membagi kedudukan mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama,
kerajaan dengan Kontrak Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan
dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua
pihak yang mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra
dan pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam
perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan bumiputra.
Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah Asahan, Deli, Kualuh,
Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang, dan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga
dihapus pada tahun 1911.
Untuk kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261
korte verklaring yang dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring
yang terdapat di Sumatera Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau
(Simalungun), Gunung Sahilan, Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo),
Logas, Panai, Pane (Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo),
Tambusai, Tanah Datar (Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan, Rambah,
IV Kota Rokan Hilir, Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan Limapuluh (Batubara).
Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Aceh
adalah seluruh kerajaan besar kecil yang berjumlah 102 kerajaan, sedangkan di
Riau adalah Hulu Tesso, Indragiri (awalnya lange politiek contract, tetapi
sejak Raja Mahmud atau tahun 1912 derajatnya diturunkan menjadi korte
verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto Mudik, V Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III
Koto). Dalam kategori ini para raja menandatangani pernyataan tunduk kepada
semua perintah dan ketentuan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kontrolir
Belanda setempat mempunyai kekuasaan besar.
Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam bidang
investasi asing tidak dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang dulunya merupakan
kerajaan besar. Berbagai maskapai membuka konsesi di Siak, tetapi gagal dan
terpaksa ditutup, sehingga Siak merupakan daerah yang terbelakang (sebelum
dibukanya tambang minyak). Kekayaan Raja Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan
jauh melebihi kekayaan Sultan Siak, sehingga dalam rapat dan pertemuan sering
terjadi hal-hal yang kikuk, karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai
raja yang pernah menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.
Atas dasar perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884,
Belanda berhasil membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan
hak atas kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada
pemerintah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan dianggap
sebagai raja yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera Timur dan juga
diberi cap yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai ganti rugi (schadeloosstelling)
uang (Schedel deel II; Plass, 1917).
11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang
tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara
Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga
keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra
sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899
Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan
perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan
Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858
diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu,
sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan
Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah
Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis
tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan,
Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan
kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan
dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada
Gubernemen Hindia Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan
Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan
kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang
ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan
diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang
larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak
Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c)
pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang
dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa
dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga,
Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi
Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada
saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak
kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda
beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak
disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk
membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen
mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan
Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam
kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan
Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada
tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari
Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan,
Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai
batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang
Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya
sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890,
wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu
Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah,
Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.
b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang
menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari
wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto.
Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung
Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau
ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku
Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan
berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada
tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai.
Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan
dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada
tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan
anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian
lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini
menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk
menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
c. Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana
akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto
di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu
ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang
Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
d. Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan
Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang
pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah
Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan
IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan
Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan
adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah
ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan
Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah
dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak,
sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan.
Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum
Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri
Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal
19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah
melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan
dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876,
sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu
detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak
dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877
Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai
jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen
Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan
antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang.
Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari
1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau
Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung
Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga
dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu
Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891.
Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui
Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun
dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena
berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan
bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid
yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian
pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun
raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang
Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang
Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan
Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong
bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan
Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar
Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang
Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai
Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail
Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September
1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih
dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam.
Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan
Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh
rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan
dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik.
Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar,
1970).
f. Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan,
Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia
digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari
Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25
Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan
Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan
Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan
Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan
Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya
digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku
Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah
(Kroesen, 1886).
g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan,
diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894,
Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan
putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau
digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan
digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan
Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak
untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun
dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa
keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak
mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah
hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari
Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah
Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya
(Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen
Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli
membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al
Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal
kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada
Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh
putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful
Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka
para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan
bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa,
untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi
terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda
belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan
Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada
Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas
Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru
mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada
tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan
patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah
Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena
hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak
yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah.
Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya.
Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan
dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung
Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku
Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan
Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang
dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia
meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan
mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa
mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari
aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam.
Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya,
Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.
12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di
Sumatera Timur Pada Zaman Hindia Belanda
Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera
mempunyai berbagai gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat,
Asahan), yang pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh
dari Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan”
(Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir,
Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau
sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah Raja ada “Raja Muda”
(Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19 jabatan ini dihapus oleh
Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di seluruh Sumatera Timur.
Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van Rijksgroten) secara
perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada penguasa tunggal di
setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak
semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir).
Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar
meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga terdekat yang
dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda tersebut, derajat
orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah
bapaknya. Kerajaan besar biasanya mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan
kecil yang diperintah oleh raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di
wilayahnya sendiri yang disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang
datuk. Selaku ornamen raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung,
dan lain-lain, tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan
mengepalai suatu daerah dengan sebutan rijksgroten.
Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja
berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b)
Kedua belah pihak (raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak
mengenai hukum adat dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam
Politik Kontrak sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda
(kontrolir) ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati
dan hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin
dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder
ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan
sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai
hakimnya, di samping orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku
penasihat.
Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar
Belanda dan kontrolir di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan
Kerapatan. Pedoman untuk kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun
1938. Sampai saat itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui
pemerintahan distrik atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena
dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan
kepala negeri yang diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini
disebut “Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu
bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat wilayah
“dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Meskipun mereka
memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya di Tanah Tinggi Karo
dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang
berasal dari Batak, tetapi sudah masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk
Kepala Urung” atau Kejeruan.
Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang
mendorong Islamisasi (Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan
tanah Batak untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang
disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun),
yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini
memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan memberikan hukuman.
Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan rechtstreekschen
invloed van Sultan en onroenghoefden die allen Mohammedaan zijn, ook niet te
versterken en veeleer de Batak doesoens als afzonderlijke, of ik liever zeggen
als meer bjzondere eenheden te blijven beschouwen.
Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar pengaruh
sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan dianggaplah wilayah
Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan
yang harus diperlakukan khusus sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang
S.v.d. Plas 2 Juni 1913).
Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah
kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan
datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala
kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan
tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).
Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten
dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari
kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek
tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua
sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di
Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga
mempunyai kekuatan hukum, demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan
dan Kampar. Kerapatan umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana.
Oleh karena itu, jaksa hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara
pidana. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa
diadili di pengadilan gubernemen (landraad).
Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang
menyangkut peradilan agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah
mendengar nasihat atau usul tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak
tahun 1928, Raja Serdang menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang”
berdasarkan tauliah (perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak
raja (selaku ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan
anggota sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti
menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya,
zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi,
serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.
Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan
adat-istiadat, hukum Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan
sendi-sendi kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige
wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen
erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam
masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.
13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur,
maka proses Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku
Batak sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai
daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila
telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu,
mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu
(Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural.
Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini
menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan
pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja
adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner,
1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa
pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar
mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di
sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu
sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus
(illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena
menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang
tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk
membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja
dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada
rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik
nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat
sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan
raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar
alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada
di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai
rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13
dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel
‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di
atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah
ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada
Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat
Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”.
Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India
(Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al
Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena
itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu
melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat
jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah”
dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu
meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan
raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada
sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja,
raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan
menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan
nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat
banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus
mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja
harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas
seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh
untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a).
Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang
kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti
zaman beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the
Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh
karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar
(raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa
kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar
diharapkan raja tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan
musyawarah, sehingga mudah diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan
hal asing dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya
berhubungan dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera
Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan
selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir
kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka
selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria,
naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah
mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan
atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah
lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda
menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina
dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan
kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda
menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di
Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat
dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya
tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan
datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju,
bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja
sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini
juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal,
patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu
hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah
Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia
Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan
orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia
Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan
Belanda.(Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,SH )
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 15.34
Label: IKHWAL DAN SEJARAH MELAYU
Sumber : Puak Melayu
No comments:
Post a Comment