Saturday 12 December 2015

Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur

Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.
  
1. Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan, Gunung Sahilan, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri, Rambah, Sengingi, Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau. Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun 1940.
Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang, yaitu Kerajaan Bendahara, Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan Kerajaan Muda dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.
Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: 1) Deli; 2) Asahan; 3) Siak; 4) Serdang; 5) Langkat; 6) Kualuh; 7) Pelalawan, sedang kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah: 8) Billah; 9) Gunung Sahilan; l0) Kedatukan Indrapura (Batubara); 11) Kepenuhan; 12) Kunto Darussalam; 13) Kotapinang; 14) IV Kota Rokan Kiri; 15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); 16) Logas; 17) Panai; 18) Kedatukan Pesisir (Batubara); 19) Rambah; 20) Singingi; 21) Kedatukan Suku Dua (Batubara); 22) Tambusai; 23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).
  
2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
Kurun waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di Semenanjung Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan” ini diungkapkan dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan Melayu yang termasuk tua adalah sebagai berikut.
  
a. Panai
Dalam suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘). Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan Sungai Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu aliran Tantrik Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan Cola (1025 M) sampai dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang kemudian merebut Panai (lihat Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa penguasa yang memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatera.

b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu Malikulsaleh yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina (Labuhan Deli) juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974). Kerajaan Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu (1292). Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru kemudian ditaklukkan Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair Negarakertagama seloka 13: 1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai (Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga disebutkan bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma Huan, 1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di sana terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut oleh Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).

Pada abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga diakui oleh Portugis (Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi pertentangan dengan Pasai dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan Melaka (Sultan Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di Bintan, Sultan Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena itu, Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun 1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan ratusan abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi di Haru. Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor membawa malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang muncul kemudian merasa tersinggung.

Dalam Sejarah Melayu (cerita ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama “Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam). Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo.

c. Siak
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh Aceh.

Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.

d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).

e. Kampar
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.

Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).

3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium Melayu Riau-Johor
Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis. Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan, padahal persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.

Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis, Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892: 28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539. Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa. Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi istrinya.

Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau Guri.

Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil) yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali. Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh, tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh (Purchas, I: 123).

Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam: “Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).

Nama Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang berarti gunung, karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan oleh Mendes adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir bermuara Sungai Deli) terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri Hijau yang cantik bersama saudara kembarnya, seekor naga (ular Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam Puntung). Karena rakyat tidak sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di sana lalu pindah ke hilir dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi makmur dan berita kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan meminang Putri Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah berusaha keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh karena itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang bertahan di benteng lengah. Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu dan menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak, sehingga sang Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh di Kampung Sukamalu (sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan). Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu sang Naga kemudian menggendong Putri Hijau dan menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl. Puteri Hijau Medan sekarang) dan memasuki Sungai Deli dan akhirnya sampai di Selat Melaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II: 164). Dari uraian ini terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan muslihat dengan uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala naga.

Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib (salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang sekarang dikenal dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur, sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.

4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.

a. Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.

Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret 1717.

Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli. Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.

b. Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari arah pantai dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak boru Raja Karo Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri, dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau. Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.

Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya, putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.

c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.

Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).

Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.

Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.

Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.

Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.

5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara. Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental. Kenyataannya, pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga. Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih dari Suku Pesisir.

Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.

a. Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.

Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).

Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.

Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.

Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.

Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.

Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.

Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.

b. Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.

Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.

Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.

Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan tersebut.

6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai (Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang terletak di antara Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan keturunan Sultan Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan Minangkabau, tetapi menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur karena merupakan tempat transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera yang dijual ke Melaka, Singapura, Johor, dan Siak. Tidak berlebihan kalau di negeri ini banyak orang kaya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di antara rombongan haji yang pulang terdapat Imam Maulana Kadhi dan putranya, Haji Muhammad Saleh.

Pada tahun 1820–1825 bergejolak paham Wahabi di Mekah yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam. Paham Wahabi ini ingin dikembangkan oleh para haji yang kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan Haji Muhammad Saleh berusaha mengembangkan paham Wahabi itu kepada murid-muridnya di pesantren. Haji Muhammad Saleh menekankan kepada Yang Dipertuan Rantau Binuang agar memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan ajaran Islam sejati dan melarang adat lama yang bertentangan dengan agama. Pengaruh pembaharuan Islam yang disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh diusir. Dia kemudian mengembara sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa cukup kuat, dia kembali ke Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu menyingkirkannya ke Tanah Putih (Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan Siak menuntut supaya Tambusai tunduk kepada Siak, karena rajanya berdiam di wilayah Siak.

Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku Tambusai dan oleh sementara pihak dijuluki “Si Baleo” (pembawa malapetaka). Gerakannya ditujukan ke daerah Kepenuhan, Rambah, Batang Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun, dan Padang Lawas. Gerakan Tuanku Tambusai mendapat bantuan dari ulama lain, seperti Tuanku Rao. Gerakan Tuanku Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan Tuanku Rao dianggap Si Pokki Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah adik Sisingamangaraja X yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.

Meskipun jasa Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli Selatan sangat besar, tetapi tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya dengan bantuan Raja Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya, terutama setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam pertempuran hebat yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu dapat direbut Belanda tetapi Tuanku Tambusai selamat dari buruan Belanda. Sampai sekarang makamnya belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa Tuanku Tambusai sempat lolos dan menyeberang ke Malaya.
Pada masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang dan menempatkan satu detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah pertemuan Sungai Panai dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu meresahkan Inggris. Benteng tersebut juga pernah diserang oleh rakyat dari arah laut.

7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan kemudian dilikuidasi, sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang berbentuk bataafsche republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon dari Prancis. Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan VOC di Nusantara sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London tanggal 14 Agustus 1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Hal ini tidak menyenangkan hati Raffles (Gubernur Bengkulu dari Inggris dan bekas Letnan Gubernur Inggris di Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar mengadakan perjanjian dengan beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau, dan Siak. Belanda mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan membuat kontrak baru dengan Siak.

a. Traktat London 1824

Inggris dan Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan perjanjian kerjasama dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan Bengkulu dan Belanda menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris dan Belanda berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah jajahan dan menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara diam-diam mereka melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai timur Sumatera. Untuk menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur, Inggris mendekati Aceh. Segala kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di Tapanuli Selatan menimbulkan reaksi Inggris di Penang dan Singapura yang takut kehilangan keuntungan perdagangan. Kamar dagang Inggris mendesak pemerintahnya agar memprotes Belanda yang dianggap telah melanggar Pasal 6 Traktat 1824. Kesempatan itu dipergunakan Aceh untuk memperkokoh kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada tahun 1854.

b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858

Kontrak Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan saja Siak ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah jajahannya, yaitu Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Perbaungan, Percut, Deli, Langkat, dan Temiang (Schedel, 1885: 73–77).

Atas dasar ini Siak meminta bantuan Belanda agar pemerintah Hindia Belanda mempertahankan wilayah-wilayah itu dari rongrongan Aceh. Dengan alasan ini pula Belanda mengirimkan ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865. Pada bulan Mei 1859, Residen Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen Siak. Pada waktu itu, di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku Putra, sehingga garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra turun tahta dan dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863 fungsi raja muda di Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif Kasim menjadi Tengku Panglima Besar.

Menurut laporan Walland, pemerintahan Siak kacau balau. Sebagian besar kepala suku dengan tujuh ribu orang rakyat pindah ke Malaya. Perdagangan hampir-hampir terhenti, sehingga tidak ada tongkang yang memadai yang singgah ke Siak. Hubungan politik dengan Lima Koto Kampar terputus.

8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur

a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.

Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.

Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.

Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.

b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.
Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:

“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”

Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.

Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20 tahun.

Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.

Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.

9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen dari Surabaya ke Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah Bilsagih, di Deli berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke Eropa dan Amerika tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis) cerutu yang tidak ada bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan Karo tidak cocok menjadi kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan orang Cina dan India dari Malaya. Kemajuan Deli sebagai het dollarland menyebabkan masuknya kapital asing ke Sumatera Timur. Sultan Deli memberikan tanah yang subur untuk konsesi perkebunan dengan bebas, termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal tanpa izinnya. Datuk Kecil sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang masih kecil, memimpin pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo membangun benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda kemudian mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops, tetapi ekspedisi pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan tembakau Deli diserang gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa diungsikan ke Belawan untuk segera naik kapal bila situasi sangat buruk.

Pada tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua Belanda dari Jawa di bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang bermaksud untuk menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan, bahkan Van Hambracht sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada tanggal 20 September 1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari Jawa dengan jumlah yang lebih besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan satu detasemen artileri gunung, orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina untuk mengangkat barang. Ekspedisi ini dikepalai Mayor Van Stuwe. Akibatnya, di mana-mana terjadi pertempuran hebat untuk merebut kampung-kampung, seperti Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya. Dalam perundingan yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya, Sulong Barat, tiba-tiba disekap Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa ke Riau. Mereka dihukum seumur hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman melanjutkan perjuangan, tetapi juga tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang seumur hidup ke Banyumas. Perang Sunggal (1872–1895) ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia di dalam negeri yang begitu kecil (Sinar, 1980; 1981e).

Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital asing. Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Pertama kali mereka didatangkan dari daerah Bagelen. Kontrak-kontrak tanah dan hasil perkebunan yang diekspor merupakan sepertiga penghasilan seluruh Indonesia. Sepanjang jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan rumah pelacuran dan rumah judi. Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa kehilangan gajinya, sehingga terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer, 1976: 184).

Oleh karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur banyak didatangi orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba, Mandailing, dan Minangkabau yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai perkebunan, guru, dan pedagang kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota besar.

10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873 wilayah Sumatera Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan dijadikan residensi sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru dibeli Belanda dengan ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi atas Afdeeling Deli (Kontrolir di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir di Tanjung Balai), dan Afdeeling Labuhan Batu. Residen pertama adalah J. Locker de Bruijne.

Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari Bengkalis ke Labuhan, kemudian ke Medan dengan berbagai reorganisasi, yaitu diciptakan lebih banyak Onderafdeeling yang dikepalai seorang Kontrolir Belanda. Kemudian juga dibentuk peradilan di Medan dan Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht. Menurut perubahan dalam Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi

1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)

Dalam Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami reorganisasi lagi, karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Terakhir menurut Beslit Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera Timur dinaikkan menjadi gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan dan pimpinan pertama kali dipegang oleh Gubernur S. Van der Plass. Secara administratif, Sumatera kemudian dibagi atas :

1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai

2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu

3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo

4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu

5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri

Sebuah Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten residen dan onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber ditugaskan oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi panglong (sagu) di Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan Siak pada tahun 1873 dan menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah langsung oleh asisten residen dengan mengangkat lima orang penghulu bumiputra, yaitu Kelapa Pati, Sendrah (dengan Paliman dan Si Batu), Seggono, dan Maskum, ditambah enam penghulu tidak bergaji. Pada tanggal 1 Januari 1940, Afdeeling Bengkalis dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.

Dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan bumiputra di Indonesia, Belanda membagi kedudukan mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama, kerajaan dengan Kontrak Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua pihak yang mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra dan pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan bumiputra. Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah Asahan, Deli, Kualuh, Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang, dan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga dihapus pada tahun 1911.

Untuk kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261 korte verklaring yang dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Sumatera Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau (Simalungun), Gunung Sahilan, Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo), Logas, Panai, Pane (Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo), Tambusai, Tanah Datar (Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan, Rambah, IV Kota Rokan Hilir, Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan Limapuluh (Batubara).

Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Aceh adalah seluruh kerajaan besar kecil yang berjumlah 102 kerajaan, sedangkan di Riau adalah Hulu Tesso, Indragiri (awalnya lange politiek contract, tetapi sejak Raja Mahmud atau tahun 1912 derajatnya diturunkan menjadi korte verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto Mudik, V Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III Koto). Dalam kategori ini para raja menandatangani pernyataan tunduk kepada semua perintah dan ketentuan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kontrolir Belanda setempat mempunyai kekuasaan besar.

Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam bidang investasi asing tidak dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang dulunya merupakan kerajaan besar. Berbagai maskapai membuka konsesi di Siak, tetapi gagal dan terpaksa ditutup, sehingga Siak merupakan daerah yang terbelakang (sebelum dibukanya tambang minyak). Kekayaan Raja Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan jauh melebihi kekayaan Sultan Siak, sehingga dalam rapat dan pertemuan sering terjadi hal-hal yang kikuk, karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai raja yang pernah menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.

Atas dasar perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884, Belanda berhasil membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan hak atas kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada pemerintah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan dianggap sebagai raja yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera Timur dan juga diberi cap yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai ganti rugi (schadeloosstelling) uang (Schedel deel II; Plass, 1917).

11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.

b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).

c. Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.

d. Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).

e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).

f. Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen, 1886).

g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).

h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.

Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.

Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.

12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur Pada Zaman Hindia Belanda

Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan” (Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir, Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19 jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir). Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain, tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu daerah dengan sebutan rijksgroten.

Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak (raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir) ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.

Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut “Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Meskipun mereka memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya di Tanah Tinggi Karo dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.

Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi (Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun), yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens als afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te blijven beschouwen.

Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar pengaruh sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan dianggaplah wilayah Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang harus diperlakukan khusus sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni 1913).

Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).

Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum, demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di pengadilan gubernemen (landraad).

Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah (perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya, zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi, serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.

Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.

13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu (Nagata: 91).

Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).

Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus (illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ (Sinar, t.t.: 3’16).

Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.

Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.

Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.

Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar (raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass, 1917).

Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).

Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.

Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.(Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,SH )

Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 15.34  

Label: IKHWAL DAN SEJARAH MELAYU

Sumber : Puak Melayu

No comments:

Post a Comment