Kesultanan Bulungan (1731–1964)
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang
pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung,
Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau, Sabah sekarang.
Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan Raja Pertama bernama Wira Amir
gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir
atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin
(1931-1958).
Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik
"Negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam
perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari
"Negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar yang diserahkan kepada
VOC-Belanda). Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan berada di
bawah dominasi Kesultanan Sulu.
Atraksi Mendayung saat kedatangan pejabat kolonial ke
Kesultanan Bulungan (hingga 1930).
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan
mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda
bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang
tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat
jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk
history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa
Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula
mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang
lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan
penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai
besar yang bernama Sungai Kayan.
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak
seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut
bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu
dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak
laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan.
Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya
memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka
masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan
bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan
didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara
Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita
tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa
Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa
Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir
seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah
keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru
menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian
Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai
seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang
laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan
Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang
puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan
kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah
hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu
ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung
(bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si
Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil
dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya
dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka
tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang
sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti
mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara,
terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani
melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika
bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila
melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai
sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya
Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan
saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa
Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju
sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten
Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa
perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long
Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari
perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan
kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Para kerabat
Kesultanan Bulungan
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan
Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan
Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh
di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah
perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari
air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka.
Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi
keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari
hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah
seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan
ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin
berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan,
ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang
Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang
bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji
ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang
(1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin
oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan,
pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Sultan Bulungan
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih
belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak
diketahui.
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang
Kesatria/Wira
Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan
Asung Luwan(1555-1594)
Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril
Mukminin (1731-1777)
Masa Pemerintahan
Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan
Datu Mansyur (1925-1930)
Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul
Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan
Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan
Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan
Azimuddin.
Sultan Kasimuddin
Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan
Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat
Shah (Sultan Langkat)
Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Penjajah Belanda menaklukkan Berau pada tahun 1834, disusul
penaklukan Kutai pada tahun 1848, dan kemudian terhadap Bulungan yang ditandai
dengan datanganinya kontrak politik antara Sultan Bulungan dengan Belanda pada
tahun 1850. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, dan
bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, Belanda mulai untuk
campur tangan di wilayah Bulungan.
Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah
pengaruh Belanda.
Sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah Kesultanan
Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di
Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada
1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol (Protokol
Madrid 1885) yang dirancang untuk menghilangkan pengaruh Kesultanan Sulu.
Pada 1881, Perusahaan North Borneo Chartered dibentuk, yang
sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda
mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam pemerintahan Hindia
Belanda pada tahun 1880-an. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di
Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara
kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte
Verklaring, pernyataan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual
sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua
wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status sebagai wilayah
Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, seperti banyak
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda.
Penemuan minyak oleh BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij)
di Pulau Bunyu dan Tarakan telah memberikan kontribusi sangat penting bagi
perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, menjadikan Tarakan sebagai
pusat industri minyak pada saat itu.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan
Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan
atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu
Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir,
Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara
sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi
Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya
menjadi kabupaten yang sederhana.
Tragedi Bultiken
Tragedi Bultiken adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan
oleh tentara Indonesia yang dipimpin oleh Letnan B.Simatupang, atas perintah
Pangdam IX Mulawarman saat itu yaitu Brigadir Jendral Suhario terhadap para
petinggi dan keluarga kerajaan Kesultanan Bulungan, serta aksi pembakaran
istana Bulungan dan penjarahan serta perampasan harta benda milik Kesultanan
Bulungan yang juga dilakukan oleh para tentara tersebut.
Tragedi ini bermula pada subuh dinihari, Jumat, 3 Juli 1964,
ketika sepasukan tentara dari satuan tempur Brawijaya 517 tiba-tiba mengepung
istana Kesultanan Bulungan, dan berakhir setelah istana Bulungan yang
bertingkat dua habis dibakar oleh para tentara tersebut selama dua hari dua
malam hingga rata dengan tanah pada hari Jumat, 24 Juli 1964.
Selama terjadi pengepungan tersebut satu per satu bangsawan
Bulungan diculik, ditangkap dan dibunuh. Puncaknya adalah ketika pada Sabtu
malam, 18 Juli 1964, istana Raja Muda dibakar, dan Raja Muda Datu Mukemat
diculik dan dieksekusi dilaut antara Tarakan dan Pulau Bunyu, dengan cara dia
diikat dan diberi beban batu pemberat, selanjutnya ditembak dan dibuang kelaut.
Sumber dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
No comments:
Post a Comment