Friday 24 February 2017

Sejarah Pangeran Datu Mancang Brunei dengan Putri Asung Luwan Kayan Siri 1


Sejarah Pangeran Datu Mancang Brunei dengan Putri Asung Luwan Kayan Kalimantan - Siri 1

Sinopsis:

Ratusan tahun silam, nun jauh di tengah belantara ujung utara Borneo, terdapat komunitas masyarakat Dayak dari anak suku Apo Kayan. Kayan dari klan Uma Afan dengan pemimpinnya Putri Kayan cantik nan rupawan, Asung Luwan yang hidup dalam kabut menakutkan karena datangnya serangan bengis pasukan barbar dari dataran tinggi Serawak.

Pemimpin pasukan barbar itu adalah Sumbang Lawing. Bersama pasukannya, ia menghancurkan setiap menemukan pemukiman masyarakat di dataran tinggi Apo Kayan yang bak amukan badai tanpa ada belas kasihan. Pada gilirannya, amukan Sumbang Lawing juga menghantam pemukiman komunitas dari klan Kayan Uma Afan sehingga mengakibatkan satria terbaik sekaligus ketua suku yang juga kakak Asung Luwan, yakni Sadang dan ayahnya Wan Paren tewas di mata mandau Sumbang Lawing.

Api dendam yang membakar jiwanya, membuat gadis remaja itu menjadi kokoh sehingga menjadi pemimpin klannya serta bersumpah akan membalas dendam kepada Sumbang Lawing. Di tengah keputusasaan para pengikutnya, muncul ramalan akan datangnya seorang pangeran dari negeri seberang yang menjadi dewa penyelamat sekaligus jodoh Sang Putri Kayan, akankah hal itu terwujud ?

Serbuan Bangsa Barbar

TEMARAM merangkak menyelimuti alam rimba pedalaman Kalimantan . Udara malam berkabut di dataran tinggi Apo Kayan telah mulai menusuk-nusuk tulang. Dari balik kerapatan batang pohon tampak bias sinar lampu minyak getah damar yang berkedip-kedip keluar-menembus sela-sela dinding papan sebuah lamin (rumah panjang didiami puluhan sampai seratus kepala keluarga).

Sekelilingnya, terdapat pohon bangkirai, kruing, kapur dan ulin berusia sangat tua yang bak sepasukan raksasa berbaris melindungi bangunan beratap daun itu. Sebelum menjangkau lokasi lamin, terdapat jalan jalan setapak melalui bukit-bukit yang di bawah lerengnya terlihat batuan padas yang mencuat dari dalam tanah. Tetesan air sejak zaman purba telah merubah batuan padas di bawah bukit bak ribuan mata tombak menantang langit.

Ribuan mata tombak itu siap menghujam tubuh korban apabila terpeleset saat melintasi jalan setapak. Lokasi itu kian sulit terjangkau khususnya bagi orang yang tidak pernah kesana karena masih ada satu hambatan lain berupa goa tersembunyi yang menembus perut bukit sehingga menjadi tempat ideal untuk pelarian dari kejaran musuh.

Agaknya, orang sengaja membangun lamin di kawasan yang penuh jebakan alam dan terpencil itu untuk menghindari apabila sewaktu-waktu terjadi serangan musuh dari suku lainnya. Ratusan tahun silam, perang suku merupakan hal yang lazim di bumi Kalimantan . 

Ada beberapa penyebab sehingga perang bisa terjadi, misalnya untuk memperluas daerah kekuasaan. Alasan spiritual untuk menambah kekuatan magis dengan mengkoleksi kepala dari suku lainnya yang disebut dengan ngayau atau memenggal kepala musuh juga bisa menjadi pemicu. Kepala musuh juga bisa menjadi mas kawin yang mahal. Keganasan masyarakat kala itu, menimbulkan penafsiran bahwa kata Dayak, berasal dari sebutan Dayaker oleh penjajah Belanda yang menggambarkan tentang kaum yang biadab dan buas. 

Anggapan lain, sebutan Dayak berasal dari kata Daya dari salah satu sub-etnis Suku Dayak yang artinya hulu sungai, menggambarkan masyarakat hidup di pedalaman rimba belantara.

Pada awal-awal kemerdekaan, banyak pendatang khususnya dari Pulau Jawa tidak berani ke Kalimantan karena mendengar cerita orang Dayak makan orang. Bersamaan perjalanan waktu, masyarakat Dayak meninggalkan budaya ngayau, salah satu yang mengikis budaya primitif tersebut diduga bersamaan dengan berkembangnya agama Kristen dan Katolik yang disebarkan misionaris.

(catatan: Penjajah Belanda juga telah melakukan berbagai upaya agar masyarakat meninggalkan budaya ngayau. Controleur Belanda, Nieuwn Huis, pada 1894 mempelopori “sumpah darah” mengumpulkan darah di dalam mangkok dari segenap peserta untuk menguatkan ikatan sumpah janji di Tumbang Anui, Kalteng yang melibatkan sekitar 1.000 warga dari berbagai suku besar dan anak-suku, serta klan/suku keluarga Dayak di Kalimantan).

Situasi dan kondisi sosial-budaya demikian itu menyebabkan masing-masing kelompok punya cara sendiri untuk menghindari serangan musuh, salah satu cara yang sudah lazim dengan membangun rumah lamin dengan tiang yang tinggi dan ditinggali oleh puluhan kepala keluarga sehingga bisa menjadi kekuatan apabila mendapat serangan tiba-tiba. Nun jauh di belantara jantung Borneo itu, terdengar isak tangis anak-anak dan wanita yang mencampur dengan suara serangan dari puluhan pria menggunakan atribut perang.

Mereka tersebar di beberapa bilik serta ruang tengah dan beranda lamin, terbaring menahan sakit jiwa dan raga. Sehari sebelumnya, datang raja Dayak Iban, Sumbang Lawing dari dataran tinggi Serawak membawa sekitar seribu prajurit barbar yang menyerang tiba-tiba bak pasukan iblis muncul dari dalam neraka. Pasukan barbar tanpa belas kasihan menyerang serta membunuh warga desa, kadang-kala mereka menyerbu pada siang-terik untuk menambah penderitaan korbannya.

Sebagian ksatria berusaha menghalaunya namun tidak mampu menahan gempuran prajurit dari dataran tinggi Serawak itu. Korban yang selamat baru bisa menjangkau tempat persembunyian mereka ketika malam tiba. Suara burung hantu dan satwa malam lainnya yang mulai terdengar seakan ikut meratapi atas kematian ratusan prajurit gagah berani yang gugur saat mempertahankan wilayahnya. Seorang wanita tua dengan pergelangan tangan, leher dan pergelangan kaki dipenuhi tatto berukir indah serta menggunakan perhiasan manik-manik dan emas mencerminkan tingginya tingkat strata kebangsawanannya mengusap rambut panjang tergerai seorang gadis remaja yang meratap dengan tangan ditumpukan pada sisi salah satu tiang ulin lain rumah, menyembunyikan wajahnya.

Sabarlah anakku, relakan kepergian kakakmu, kata wanita bangsawan yang bernama Simun Luwan, pemimpin suku Kayan Uma Afan yang desanya habis diobrak-abrik pasukan Sumbang Lawing. Meskipun kata-kata wanita tua yang masih menyisakan garis-garis kecantikan di wajahnya itu bermaksud menghibur, namun tidak menghilangkan nada kegetiran dari seorang ibu yang harus kehilangan, Sadang, anak pria satu-satunya yang diharapkan jadi penerus kebesaran suku Dayak Kayan Uma Afan. Sadang yang merupakan salah satu ksatria Uma Afan paling disegani ternyata tidak mampu  melawan keperkasaan pasukan Iban itu, apalagi jumlah pasukan mereka kalah banyak ketimbang prajurit dari Tanah Serawak.

Gadis itu menengadahkan wajahnya dan menatap sendu Simun Luwan. Matanya masih sembab akibat terlalu lama menangis, namun tidak mengurangi kecantikan seorang putri yang baru tumbuh dewasa, hidungnya mancung dengan pipinya halus putih serta bibir tipis penuh pesona meskipun terlihat agak pucat. Ibu, aku bersumpah akan membalas dendam ini, walau bagaimana pun caranya. Seadainya saya dijadikan istri oleh siapa pun, saya siap, asalkan dendam saya terbalas, ucap Asung Luwan.

Asung Luwan mengucapkan kata-kata itu bercampur isak tangis namun penuh dengan keteguhan hati bak batu maliken atau besi kelu, terbukti ucapannya itu dikemudian hari menjadi sumpah yang harus ia jalani. 

(ket: Besi maliken dikenal juga dengan sebutan besi batu karena sekeras baja. Besi ini biasanya untuk bahan pembuatan senjata pusaka terbuat dari dari sejenis obsidian, lahar cair yang cepat membeku). 

Simun Luwan tampak termenung berupaya memilih kata-kata paling tepat untuk menghibur putri satu-satunya. Apalagi ia tidak tahu harus bagaimana anak putri semata wayang itu bisa membalas dendam atas kematian Sadang. Jangankan untuk membalas dendam, saat itu saja mereka sebenarnya sedang dalam pelarian dari buruan pasukan Dayak Iban dari Serawak yang terkenal bengis dan kejam. 

Prajurit yang tersisa sekitar seratus orang, sebagian ikut lolos melalui jalan rahasia, sebagian lagi lari terpencar-pencar. Padahal prajurit yang tersisa juga kondisinya sangat memprihatinkan akibat sebagian terluka saat pertempuran begitu hebat.

Terbayang di mata Simun Luwan, sebelumnya, desa yang berada di tepi Sungai Payan itu merupakan sebuah tempat tinggal yang sangat indah. Sekeliling desa terlihat pemandangan yang meneduhkan mata, bukit-bukit di bagian timur tampak hijau karena diselimuti hutan dengan pohon raksasa yang lebar diameter batangnya empat sampai enam kali dekapan orang dewasa tanda usianya ratusan tahun. Sedangkan di bagian barat di seberang Sungai terdapat gunung kapur yang sebagian terlihat di antara kerimunan pohon-pohon.

Burung-burung enggang burung yang dikeramatkan Suku Dayak setiap hari tampak riuh berterbangan melintasi atas Sungai Payan. Apabila menjelang senya, puluhan kalong terbang beriringan setelah seharian memburu buah hutan di bagian utara yang sedang panen. Sungai Payan sendiri begitu indah, airnya jernih mengalir di antara bebatuan padas sebesar gajah, sementara di hilir sungai, arus sungai tidak begitu kuat dan di bawahnya terdapat batubatu kerikil. Sehingga apabila terkena sinar mata hari seperti butiran mutiara yang terpendam di bawah air.

Pohon-pohon raksasa menjadi tempat tumbuhnya benalu yang akarnya menjuntai menyentuh permukaan air, berbagai jenis primata seperti monyet ekor panjang, kukang dan uwa-uwa sering terlihat bercanda di pohon tersebut. Di bagian lain terdapat padang rumput cukup luas tempat warga memelihara, babi, kambing, payau (rusa sambar, spesies rusa terberat di Indonesia yang dewasa bisa mencapai dua kwintal), kijang dan sapi. Pemuda desa biasanya memanfaatkan padang rumput itu untuk menggelar pertandingan adu kekuatan kaki, gulat khas Dayak (ket: seperti Sumo dari Jepang) dan lomba menyumpit.

Masyarakat desa biasanya menggelar pertandingan tradisional saat musim panen raya, ataupun ketua suku mengadakan hajatan misalnya pernikahan ataupun kelamatan untuk lahirnya putra raja. Sungai Payan menjadi tempat bermain bagi anak-anak dari kelompoknya, serta merupakan area adu ketangkasan menangkap ikan dengan tombak. Hutan di sekeliling perkampungan menyediakan apa yang mereka butuhkan, misalnya bahan baku untuk bangunan dan perahu. Hutan juga menyediakan bahan makanan, berupa buah hutan serta satwa yang bisa diburu.

Tidak jauh dari pemukiman terdapat sebuah lahan cukup luas, meskipun ada bangunan namun tidak untuk ditempati karena bangunan yang ada menjadi gudang untuk menyimpan beras. Masing-masing bangunan benbentuk lamin dengan tiang hampir empat meter disiapkan untuk menyimpan beras, yang dimanfaatkan apabila terjadi musim panceklik, selain itu satu bangunan untuk menyimpan benih padi. Lumbung beras itu beberapa kali menyelamatkan warga itu, saat lamin mereka terbakar atau terjadi kemarau panjang. Pada salah satu kawasan terdapat pula beberapa bangunan juga tidak ditempati karena merupakan lokasi pemakaman yang sudah ada sejak masa luluhurnya menetap di kawasan itu. Pada beberapa bangunan terdapat lungun (ket: peti mati berbentuk perahu tertutup), kawasan ini dianggap sebagai kawasan cukup angker sehingga jarang dikunjungi warga kecuali ada acara ritual ataupun pemakaman.

Di bagian lain, terdapat sebuah kawasan yang hanya terdapat semak dan ilalang serta anakan pohon merupakan lokasi pertanian. Masyarakat pedalaman mempunyai sebuah sistem pertanian yang kini dikenal dengan gilirbalik, yakni sebuah lahan akan dibuka dan selanjutnya akan ditinggalkan sampai sekitar delapan tahun akan dibuka kembali. Saat itu, warga belum mengenal pemanfaatan pupuk namun dengan pola gilir-balik itu, kesuburan tanah yang ditinggalkan akan meningkat kembali karena akan berputar terus.

Masyarakat di Sungai Payan kala itu sudah mengalami perkembangan dalam bidang pertanian sehingga sudah meninggalkan sistem meramu hasil hutan, yakni mengumpulkan tanaman yang bisa dimakan dan bernilai ekonomis di belantara. Di sisi lain kampung terdapat hutan larangan, kawasan ini sangat lestari karena masyarakat tidak boleh membabat secara serampangan karena di daerah ini terdapat tanaman obat-obatan sehingga menjadi apotik hidup. Bagi siapa saja yang merusak hutan di kawasan itu akan terkena hukuman denda, karena di lokasi itu terdapat tanaman yang menjadi tumbuhan yang menjadi bahan campuran obatobatan.

Di sana terdapat pasak bumi (ket: sejenis akar pohon yang airnya terasa pahit apabila direbus yang dimanfaatkan untuk kejantanan pria seperti akar ginseng Korea dan obat sakit demam), juga terdapat berbagai jenis tanaman yang fungsinya kebalikan dari obat yakni bisa  menjadi racun mematikan. Mereka sejak lama mengenal jenis akar yang bisa mencegah kehamilan. Biasanya, khasiat khasiat tanaman itu menjadi rahasia hanya untuk kepentingan kelompok sendiri. Tak jarang, perang suku sering terjadi akibat kelompok lain merusak atau mengambil tumbuhan di hutan larangan tersebut.

Biasanya, kelompok lain akan terkena hukum denda adat apabila merusak atau mengambil tanaman obat, antara lain ternak babi, mandau (Ket: senjata khas Dayak) serta berbagai perangkat lain seperti gong dan tempayan (guci). Hukuman akan diputuskan oleh lembaga adat melalui musyawarah tetua adat. Perang suku terjadi apabila kelompok lain tidak bersedia membayar denda adat. Lima rumah lamin besar yang mememiliki ornamen ukiran indah sangat serasi dengan kondisi sekelilingnya yang dinaungi pohon raksasa berusia ratusan tahun terdapat di kawasan itu sebelumnya.

Begitu teringat atas kekejaman dan kebengisan Sumbang Lawing, mata Simun Luwan kembali berkaca-kaca, teringat kampung yang indah seakan berubah jadi neraka. Dengan bengisnya pasukan barbar tersebut memporak-porandakan pemukiman mereka, ayunan mandau pasukan Sumbang Lawing konon, senjata raja Iban itu panjangnya satu depan orang dewasa seperti tangan malaikat maut penyambut nyawa. 

Pasukan Sumbang Lawing rata-rata bertubuh tinggi besar serta terkenal amat kejam. Sebelum menyerang sebuah desa, mereka melakukan upacara adat untuk meminta kekuatan dari luluhur disertai dengan acara minum-minum arak. Masih tergiang-ngiang suara anak-anak dan wanita yang meratapi melihat suami dan ayahnya dipenggal kepalanya. Sebagian wanita tersebut bahkan ada yang diperkosa serta dijadikan budak. Ia bersama sejumlah pasukan yang selamat dan terluka melarikan diri jauh ke hutan tempat rahasia yang menjadi tempat mereka menyelamatkan diri untuk sementara waktu dari kejaran Sumbang Lawing. Namun, Simun Luwan sadar bahwa tempat itu hanya untuk sementara waktu bisa terbebas dari pasukan Iban karena pasti cepat atau lambat mereka akan mengendusnya.

Menyadari hal itu, Simun Luwan mengajak kaumnya untuk bergegas berkemas serta melaksanakan secara sederhana ritual untuk berdoa bagi arwah mereka yang gugur agar bisa selamat sampai langit ke tujuh, tempat bersemayam para Bali (ket: dewa-dewa atau rohroh) serta arwah para luluhur. Usai upacara, Asung Luwan tampak masih termangu menatap jauh ke depan melihat sebuah bukit batu yang menjulang dengan puncaknya masih diselimuti putih mega pagi.

Pandangannya seakan menembus bukit untuk melihat tempat lahirnya untuk terakhir kali sebelum meneruskan pelarian mereka dari kejaran pasukan Sumbang Lawing, karena mereka yakin, pasukan barbar itu akan mengendus tempat persembunyian sementara itu. Tanpa disadari air mata membasahi pipi dara yang menggunakan pakaian penuh ukiran manik-manik dan mutiara tanda kebangsawanannya itu.

Mukanya tampak pucat dengan bibir bertegar akibat berbagai rasa bercambuk di dada, antara sedih, dendam dan amarah. Sudah nak, kita harus segera pergi, sebelum mereka bisa menemukan tempat ini. Kita harus tetap bergerak, setelah kita selamat baru memikirkan untuk balas dendam, kata Simun Luwan, yang meskipun hanya seorang istri dari kepala suku namun mewarisi wibawa dari pemimpin besar kelompok Dayak Kayan.

Dengan sisa tenaga, kelompok tersebut terus menuju kawasan hilir sungai untuk mencari kawasan yang sulit dijangkau kelompok suku pengayau tersebut. Dengan membaca tanda-tanda alam yang dipercaya merupakan pesan para arwah luluhur. Seperti saat ada ular yang melintasi atau menghalang jalan mereka, arah terbangnya burung isit (ket: sejenis burung kecil), burung enggang dan lenguhan payau (rusa sambar, yakni jenis rusa terbesar di Indonesia beratnya bisa mencapai dua kwintal) mereka meneruskan perjalanan melalui bimbingan para luluhur melalui bahasa alam itu.

Apabila dalam melakukan perjalanan ada burung terbang atau ular yang melintasi dari kanan ke kiri maka hal itu petanda buruk, sehingga perjalanan akan dirubah rutenya atau batal samasekali. Mereka juga percaya lenguhan rusa sambar pada saat mereka mencari kawasan untuk bermukim sebagai pesan gaib agar menghindari lokasi tersebut menjadi tempat membangun lamin. Sebagian orang yang menganggapnya sebagai kepercayaan tahyul, namun dari sisi keseimbangan alam, warga Dayak telah mengajarkan kepada umat manusia sejak ratusan  bahkan mungkin ribuan tahun silam tentang suatu kearifan yang menyatu dengan alam.

Kearifan lokal yang menjadi tradisi dan budaya itu seakan tak lapuk kena hujan dan tak renggang kena panas sehingga memberikan tauladan kepada penerusnya agar tidak bermukim pada suatu kawasan yang hutannya masih lestari, karena keberadaan payau sebagai suatu cerminan hutan di kawasan itu masih perawan. Demikian kearifan lokal, tercermin dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Dayak kala itu yang sangat menyatu dengan alam bak "ikan dengan air" yang tak dapat terpisahkan. Menyatu dan selaras dalam keseimbangan alam.

Lagenda Bulu Tengon

Hikayat Putri Asung Luwan tidak bisa dipisahkan dari sebuah lagenda bulu tengon (bulu: bambu, tengon: hidup), yakni berawal dari penuturan tentang kejadian aneh lahirnya dua bayi yang masing-masing dari sebatang 'bambu betung', yakni jenis bambu berukuran besar serta sebutir telor. Dari dua anak manusia yang dipercaya warga setempat sebagai titisan dewa itu kemudian menjadi luluhur para generasi serta tokoh berpengaruh pada komunitas Apo Kayan, termasuk Putri Asung Luwan. 

Lagenda ini sudah hidup beberapa generasi jauh sebelum terjadinya serbuan pasukan Iban tersebut. Pada sebuah kawasan di sekitar Sungai Payan yang kini dikenal sebagai anak Sungai Long Pujungan hidup sedikitnya delapan puluh kepala keluarga dari Dayak Apo Kayan dari klan Kayan Uma Afan. 

Selain Suku Melayu yang biasanya bermukim di kawasan pesisir, maka suku asli Pulau Borneo adalah Dayak. Suku Dayak terbagi atas suku besar, yakni Dayak Apo Kayan, Dayak Ngaju, Dayak Iban dan Dayak Heban atau Dayak Laut, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum. 

Dari tujuh suku besar itu terbagi atas 18 suku kecil dan 405 suku kecil-kecil.  Selain suku kecil-kecil tersebut masih terbagi atas suku keluarga atau klan. Apo Kayan kemudian terbagi suku kecil, dari suku kecil itu kemudian terbagi atas beberapa suku keluarga atau klan, yakni Uma Pliau, Uma Puh, Uma Samuka, Uma Paku, Uma Bawang, Uma Naving, Uma Lasung, Uma Daru, Uma Juman dan Uma Leken dan Uma Afan. 

Uma Afan atau sering disebut sebagai Uma Gai, merupakan suku keluarga, yakni percampuran dua anak-suku Dayak antara Kenyah dengan Kayan. Masyarakat Apo Kayan Uma Afan di desa itu menghormati dan mentuakan salah seorang bernama Ku Anyi, sehingga mereka sudah menganggapnya sebagai pemimpin. Sehari-hari mereka terlihat bahagia, padahal sebenarnya Ku Anyi menyimpan sebuah ganjalan sehingga selalu membuatnya risau. 

Pada usianya menjelang senja itu, ia belum juga dikaruniai seorang anak sebagai penerusnya. Namun, ia tidak pernah putus asa dan setiap malam, bersama istrinya mereka berdoa kepada para Bali (dewa) agar menganugerahkan anak kepada mereka. Keyakinan teguh mereka akan kekuasaan sang Bali tanpanya mendapat jawaban. 

Suatu hari, saat Ku Anyi berburu di hutan terdengar suara aneh dan anjingnya terus menjalak keras ke arah pohon Jemlai. Ku Anyi mengikuti arah salak anjingnya, setelah menelitinya, ternyata di atas pohon itu terdapat sepotong bambu betung dan sebuah telor. 

Ia kemudian membawa bambu dan telor itu pulang ke rumah. Esok pagi harinya, ketika Ku Anyi dan istrinya masih terlelap terbangun dengan kagetnya ketika terdengar guntur sangat dasyat kemudian disusul suara jerit tangis bayi. Betapa terperajatnya suami-istri itu, karena setelah melihat sekeliling rumah, ternyata suara itu berasal bayi putih bersih itu lahir dari bambu dan telor yang ia dapatkan dari hutan. 

Ku Anyi dan istrinya bersuka-cita karena apa yang mereka doakan ternyata dikabulkan Yang Kuasa. Terima kasih Sang Bali, engkau telah mendengar dan mengambulkan doa kami. Ia memberikan nama bayi itu masing-masing untuk laki-laki Jau Iru (guntur besar) dan Perempuan sebagai Lemlaisuri (nama pohon) Diperkirakan bahwa dari peristiwa ajaib kelahiran dua anak manusia itu, maka lahir kata-kata Bulungon (bambu betulan/bambu yang hidup) yang kemudian menjadi Bulungan, kini menjadi nama sebuah suku bangsa, yakni Suku Bulungan serta nama daerah, yakni Kabupaten Bulungan, suatu daerah di utara Kalimantan Timur. 

Kuatnya pengaruh lagenda itu, dulunya warga Bulungan berpantang menginjak bambu bentung dan kulit telur karena bisa kualat. Setelah dewasa Jau Iru dan Lemlaisuri tumbuh menjadi pria gagah dan gadis cantik, dan karena mereka bukan saudara, akhirnya dua anak manusia itu dinikahkan. Setelah Ku Anyi wafat, maka Jau Iru menganggantikan sebagai pemimpin warga Kayan Uma Afan. Dari hasil perkawinan dua anak manusia yang lahir dari bambu dan telur lahir seorang anak laki-laki yang bernama Jau Anyi. 

Setelah Jau Iru wafat maka Jau Anyi menggantikan kepemimpinan ayahnya. Begitu tradisi di desa itu, hingga pemimpin suku di desa itu diserahkan kepada anak Jau Anyi yang bernama Paren Jau. Pada masa Paren Jau ini diperkirakan jumlah rakyat kian banyak dan sudah ada pemimpin yang cukup kuat karena Paren dalam Bahasa Kayan artinya Raja

Pada masa ini, seorang pemimpin bergelar Paren menjadi kepala suku. Paren ini juga kemudian menggambarkan kasta tertinggi pada masyarakat Kayan Uma Afan. Setelah Paren Jau wafat, anaknya bernama Paren Anyi menjadi pemimpin. Paren Anyi wafat kemudian digantikan oleh putrinya bernama Lahaibara, yang bersuamikan Wan Paren. 

Jadi kala itu, Putri Asung Luwan bukan wanita pertama jadi pemimpin namun salah seorang leluhurnya, yakni Lahaibara. Dari nama-nama tersebut diyakini bahwa saat itu kehidupan sosial warga di kawasan itu masih belum begitu kuat asimilasi dengan masyarakat luar karen masih menggunakan nama pribumi, termasuk belum dipengaruhi Hindu sehingga mereka masih kekuatan Bali atau dewa, hantu serta kekuatan magis dari benda-benda misalnya pohon dan gunung. 

Lahaibara dan Wan Paren mengajak rakyatnya mencari pemukiman baru di sekitar Long Pelban. Kala Lahaibara menjadi pemimpin klannya lahir sebuah peristiwa yang dianggap nyata meskipun bagian dari lagenda pengembaraan masyarakat Kayan Uma Afan, mengingat ditemukan jejak-jejak yang dianggap sebagai saksi bisu, seperti dua patung batu sehingga kian memberikan keyakinan bagi masyarakat setempat akan kebenaran sosok Lahaibara memang pernah hidup pada masanya. 

Syahdan, sebelum suami Lahaibara meninggal, yakni Wan Paren mewasiatkan agar lungunnya (peti mati berbentuk perahu bertangkup) di tempatkan agar ke hilir Sungai Kayan (Sungai Kayan adalah sungai terpanjang ke dua di Kalimantan Timur setelah Sungai Mahakam. Panjangnya mencapai 640 kilometer yang memiliki banyak anak sungai antara lain Sungai Pujungan, yang memiliki anak sungai lagi, yakni Sungai Payan). Mungkin, Wan Paren sudah mendapat tanda-tanda bahwa akan ada serangan pasukan barbar Dayak Iban dari dataran tinggi Serawak, sehingga meminta kepada rakyatnya agar merekan menempatkan lungunnya di belahan hilir Sungai Kayan untuk meninggalkan Long Pelban. 

Ketika Wan Paren meninggal, Lahaibara segera mencari perahu untuk mewujudkan wasiat suaminya. Lahaibara sambil menangis sedih karena masih berduka atas wafatnya Wan Paren membawa besai siruk (dayung kecil khusus untuk wanita) mencari perahu. Namun, ternyata tidak satupun perahu ada di sungai, Lahaibara pun berkelilingi mengintari kawasan itu mencari perahu. Ternyata bekas dayung yang ia seret itu kemudian memisahkan daratan yang ia lewati sehingga menjadi sebuah pulau kecil berada di tengah sungai. 

(Pulau kecil itu sampai kini masih ada dan disebut dengan Busang Mayun (Pulau Hanyut). 

Apabila kita ke pedalaman Sungai Kayan, maka terdapat sebuah desa bernama Long Pelban. Saat memasuki sungai indah dengan air jernih dan bebatuan itu, terdapat di tengahnya sebuah pulau kecil yang tanahnya terdapat pasir putih dan batu-batu kerikil). Pemandangan di kawasan itu sangat indah, keberadaan pulau mini dengan pantai pasir putih serta hamparan batu kerikil di bagian lain seperti tampak sengaja ditata. Pada lahan bagian tengah terdapat berbagai jenis anggrek yang menjalar pada pohon di tengah pulau. Tidak lama setelah suaminya meninggal, kemudian Lahaibara menyusul sehingga rakyatnya membuat lagi peti mati batu untuk Putri Kayan itu yang berdampingan dengan lungun suaminya. 

(catatan: dua peti mati (lungun) batu itu masih ada sampai 1912 namun Pemerintah Belanda memerintahkan tentaranya untuk mengobrak-abriknya untuk menghilangkan mitos karena bangsawan Bulungan takut dan berpantang melewati kawasan itu dengan alasan akan “ketulahan” atau kualat melewati makam luluhurnya. Yang tersisa dari kebesaran Lahaibara dan Wan Paren.

adalah dua buah patung batu berbentuk manusia sebatas dada dengan setinggi satu meter di sebuah bukit di Long Pelban. Kemudian Sekitar tahun 2000, patung Lahaibara dan suaminya itu pun lenyap, diduga ada orang tidak bertanggung jawab mencurinya. 

Diperkirakan, sulit menemukan patung batu tersebut karena sudah berada di tangan kolektor barang antik. Padahal, Pemkab Bulungan sudah membangun pagar pengaman, namun tetap saja benda yang menjadi saksi bisu perjalanan bangsa Bulungan menjadi incaran pencuri. Sampai patung batu itu hilang belum ada penelitian arkeologi. 

Sehingga tidak mampu menjawab sebuah misteri, hal itu didasarkan kenyataan bahwa masyarakat Dayak yang menjadi penduduk asli Pulau Kalimantan tidak akrab dengan budaya batu. Umumnya, mereka memanfaatkan jenis kayu ulin untuk membuat patung berukir ataupun bahan baku membangun rumah). 

Setelah keduanya meninggal, putrinya Simun Luwan meneruskan kepemimpinan Lahaibara. Simun Luwan memiliki dua anak, pria dan wanita masing-masing bernama Sadang dan Putri Asung Luwan. Ketenangan masyarakat Kayan Uma Afan berakhir bersamaan datangnya pasukan barbar dari dataran tinggi Serawak.

Ramalan Datangnya Pangeran

Setelah pasukan Iban datang menyerbu desa itu, mereka kemudian beberapa kali berpindah pindah lokasi pemukiman, yakni terus ke kawasan hilir Sungai Kayan untuk menghindari kejaran pasukan yang haus darah itu. Dalam pengembaraannya, kelompok Kayan Uma Afan itu, menemukan sebuah kawasan cukup indah untuk menetap. 

Ketika Simun Luwan berada di tepi bukit yang menghadap sungai, terlihat pantulan cahaya matahari yang mulai terbenam di permukaan sungai dengan membiaskan warna cerah. Kita sepertinya sudah jauh dari jangkauan Sumbang Lawing, jadi sebaiknya kita beristirahat dulu di sini, titah Simun Luwan. 

Maka kaum prianya segera melaksanakan tugas membangun tempat tinggal berupa lamin senderhana untuk menetap sementara di kawasan itu. Keindahan alam di kawasan itu, menyebabkan sang bunda Simun Luwan maupun Putri Asung Luwan seakan lupa untuk sementara waktu dengan kepedihan hati serta upaya untuk membalas dendam atas kebengisan Sumbang Lawing. 

Namun, bagi Asung Luwan, justru keindahan alam kawasan itu sering membangkitkan kenangan tentang keindahan kampung halamannya yang kini diduduki Sumbang Lawing dan pasukannya. Meskipun begitu, Asung Luwan tidak tega mengungkapkan tekadnya untuk tetap membalas dendam. Apabila ia mengungkapkan tekadnya membalas dendam, Asung Luwan khawatir akan melukai hati sang bunda, Simun Luwan yang terlihat agak terhibur dengan kawasan baru yang subur, indah dan damai itu. Saat melihat bunda tercintanya bernyanyi sendiri untuk menghibur diri, tidak terasa pipi Asung Luwan yang putih-bersih terasa panas karena air matanya tiba-tiba menetes tidak terasa. Ia menangis tidak terasa melihat ibundanya seorang wanita bangsawan yang dulu disegani kini hidup sebagai seorang pelarian yang hidup berpindah-pindah tempat menghindari ancaman Sumbang Lawing. 

Suatu malam, saat sebagian kelompoknya terlelap dalam tidur, Simun Luwan membangunkan Asung Lawan dan mengajak anaknya duduk di balai depan Lamin. 

Sepertinya, Simun Luwan menghindari apa yang ingin ia utarakan akan terdengar orang lain. Beberapa satria yang sedang berjaga-jaga sambil membawa mandau dan tombak di beberapa sudut lamin tampak memahami dan segera pergi menjauh. Angin malam berhembus perlahan membuat ranting-ranting pohon bergoyang, sedangkan cahaya bulan purnama menjadi penerangan bagi dua anak manusia yang menjadi pewaris bagi kebesaran Kayan Uma Afan itu. Sepertinya Simun Luwan ingin menyampaikan sesuatu persoalan yang agak serius, sehingga ia cukup lama menatap wajah anaknya yang seperti patung dewi pualam disinari rembulan, membuat Asung Luwan bertanya-tanya tentang apa yang ingin disampaikan bundanya. 

Anakku, kau telah tumbuh menjadi wanita tercantik di Apo Kayan dan kawasan Sungai Kayan itu, banyak pria yang akan tergila-gila padamu. Suatu saat nanti, kau akan menjadi istri dan ibu dari anak-anakmu yang akan meneruskan kebesaran Kayan Uma Afan. Anakku, mungkin tidak lama lagi aku tidak bisa lagi mengikuti pengembaraan ini, karena tadi aku bermimpi bertemu dengan luluhur kita petanda aku akan menyusul Lahaibara, Wan Paren dan abangmu, Sadang, kata Simun Luwan sambil memegang tangan anaknya. 

Simun Luwan segera melepaskan kalung manik-manik dan emas perhiasan lambang strata kebangsawanan yang melingkar di leher dan pergelangan tangannya dan segera mengenakan di tubuh Asung Luwan, Perhiasan ini milik luluhur kita, aku serahkan kepadamu agar apabila ibunda sudah tiada bisa mengobati rindumu. Simun Luwan segera menuturkan bahwa dalam mimpinya itu, luluhurnya yang mewarisi marga Uma Afan mengajaknya ke suatu tempat yang indah dan damai, merupakan firasat ia akan menyusul luluhurnya. 

Jadilah pemimpin yang bijak bagi keluarga besar kita. Tauladani sikap adil dan bijaksana para luluhur serta lestarikan tradisi dan budaya Apo Kayan". "Seorang pemimpin, bukan harus makan duluan namun harus makan setelah seluruh rakyatnya bisa makan. Karena begitulah yang juga dicontohkan para luluhur mu. Mereka sangat disegani karena bukan dengan menyebarkan ketakutan tetapi dengan kedamaian serta kasih sayang". Ada rasa getir dan kehampaan bagi Asung Luwan. Sudah lazim terjadi bahwa Simun Luwan sering menyampaikan sesuatu sebagai pesan luluhur atau firasat benar-benar akan terwujud. 

Sehingga, ia segera mendekap erat tubuh Simun Luwan dan membaringkan diri pada pangkuan bundanya yang dibarengi dengan suara isak tangis perlahan. Ibu, aku ingin kembali menjadi anak kecil yang setiap malam selalu berada di dekapan ibu, bermain sambil menangkap ikan dengan abangku serta ayah di Sungai Payan. Aku tidak ingin berpisah dengan ibu. Kamu harus tabah anakku, karena ada kehidupan sesudah kita mati, aku bersama, luluhur, ayah dan kakakmu akan menantimu di sana pada sebuah lamin yang sangat indah. 

Kala itu, masyarakat di pedalaman menganut animisme, mereka percaya penguasa dunia adalah sang dewa atau sering disebut Bali. Setelah menyampaikan sejumlah amanah untuk menjadi seorang pemimpin dan wanita dewasa, Simun Luwan meminta agar apabila ia meninggal, maka ia disemayamkan di sebuah bukit yang menghadap sungai. Setelah itu, Simun Luwan lama terdiam dan menarik nafas agak berat, membuat Asung Luwan curiga bahwa ada sesuatu yang mungkin menjadi ganjalan hati bundanya dan akan mengecewakan apabila diceritakan kepada dia. Putri tanpa menyadari meremas tangan ibunya seakan memberikan kekuatan agar Simun Luwan bisa mengutarakan hal yang menjadi ganjalan hatinya itu. 

Para leluhur kita menyampaikan amanatnya dalam mimpiku bahwa kita tidak akan menang melawan pasukan Sumbang Lawing. Jadi aku minta semua juriat (keturunan) dari kita agar jangan pergi ke kawasan hulu Sungai Kayan karena selain tidak akan mampu melawan pasukan Sumbang Lawing juga akan menerima berbagai bencana begitu isyarat yang aku terima dalam mimpi itu, katanya. 

Namun, pasukan Sumbang Lawing akan bisa diusir jika nantinya datang seorang pangeran gagah berani dari seberang lautan yang akan membantu kita. Pangeran itu nantinya akan menjadi jodohmu dan akan melahirkan tokoh-tokoh besar," kata Simun Luwan. "Jadi kalian harus menanti pengeran itu sebelum menyerang Sumbang Lawing, setelah dia membantu kalian barulah bisa menang melawan Sumbang Lawing, katanya sambil mendekap Asung Luwan yang terus terisak sedih. 

Beberapa hari setelah menyampaikan ramalan seperti pesan ghaib dalam mimpinya,  etika bulan kian sepanggal, sang bunda, Simun Luwan menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Putri Asung Luwan. Asung Luwan merasa dirinya bak tertimpa pohon ulin raksasa akibat cobaan begitu berat, masih terbayang-bayang satu persatu keluarganya dibantai pasukan Sumbang Lawing termasuk Sadang, abang yang selalu melindunginya, kini sang bunda tercinta juga telah tiada. 

Dunia terasa gelap namun bayangan bundanya saat menyampaikan amanat terakhir seperti mantra yang meniupkan roh untuk terus berjalan menapak kehidupan. Beberapa hari setelah kematian sang bunda, Asung Luwan pun mengumpulkan klannya serta menyampaikan amanah dan wasiat Simun Luwan. 

Ia mengajak klannya untuk mencari pemukiman yang lebih aman dari serbuan pasukan neraka Sumbang Lawing sambil menanti pengeran dari negeri seberang seperti amanat almarhumah sang bunda, Simun Luwan.

Pesona Mawar Hutan

Jam berganti hari, hari berganti bulan dan bulan berganti tahun sehingga tanpa terasa hampir dua tahun klan Apo Kayan Uma Afan meninggalkan tanah leluhurnya karena amuk kejam pasukan barbar dari Serawak. 

Pada sebuah titik di kawasan hilir Sungai Kayan tampak seorang kekar dan tegap yang termenung berdiri pada sebuah batu padas seukuran gajah.  Suara gemuruh air sungai yang kencang mengalir dari kawasan hulu serta menerjang batu-batu padas tidak membuyarkan lamunannya. 

Usianya baru menginjak sekitar dua puluh-an tahun, rambut panjangnya yang tergerai dibiarkan tanpa ikatan kepala. Wajahnya cukup tampan, dengan muka agak bersegi yang mencerminkan jiwa yang kokoh dan tegar. Dari kejauhan, sekali-sekali ia menatap denyut kehidupan di seberang sungai yang menjadi tempat klannya kini hidup menetap sementara yang jauh meninggalkan tanah luluhurnya di dataran tinggi Apo Kayan. Klan Uma Afan itu terus menuju hilir Sungai Kayan karena khawatir akan datangnya serbuan dari Sumbang Lawing. 

Terdengar khabar dari kelompok masyarakat pengelana, Suku Punan bahwa pasukan barbar dari dataran tinggi Serawak itu terus mengganas sehingga sejumlah desa milik kelompok warga Dayak dari kelompok lain telah jatuh ke tangan Sumbang Lawing. Pria menarik napas dalam memikirkan cara membalas dendam terhadap Sumbang Lawing, masalah itu menambah beban berat di bahu pria itu seakan akan memikul batu padas yang tepat berada di kakinya. 

Pada bidang dadanya, bahu dan lengan yang kekar terlihat tattoo yang mencerminkan bahwa dia adalah seorang ksatria juga masih keturunan bangsawan. Matanya tampak berkilat menandakan ada sesuatu yang berkecamuk di hatinya, antara amarah, sakit hati dan asmara. 

Dia adalah Paren Ala, saudara dekat dari Asung Luwan yang juga dikenal sebagai pemuda gagah-berani di dalam klan Uma Afan serta memiliki strata tertinggi, yakni Paren sehingga dipercaya sebagai panglima pasukannya, setelah Wan Paren (ayah Putri Asung Luwan) dan Sadang (kakak Asung Luwan) tewas dibunuh Sumbang Lawing. Sebilah mandau pusaka terselip dipinggangnya, sedangkan bagian bawah tubuhnya hanya menggunakan jawat. 

Sementara di bawah lutut terdapat gelang terbuat dari seutas tali anyaman berwarna warni melingkar di bawah lutut pria itu. Ia mengambil sebuah kerikil dan membalikkan badannya sambil melempar jauh-jauh ke tengah sunga. Seakan-akan bebannya hatinya juga ikut terkurangi dengan tenggelamnya batu kerikil yang menimbulkan riak kecil di tengah Sungai Kayan. 

Terbayang dibenaknya kejadian beberapa bulan lalu. Saat itu ia tidak dapat menahan diri yang sudah lama memendam asmara dengan Putri Asung Luwan. Asmara yang ia pendam seperti beras ragi dalam tempayan (sejenis guci, terbuat dari tampikar yang dibakar) sehingga apabila terlalu lama tersimpa maka rasanya akan pahit. Ia menyumpahi atas kebodohannya yang tidak berhasil menahan diri dan mengungkapkan isi hatinya saat mengobrol ringan dengan Asung Luwan. 

Asung Luwan selain memang masih kerabat dekat juga teman sepermainannya. Ketika tumbuh dewasa, kecantikan Asung Luwan benar-benar bagai mawar hutan yang mampu membius kumbang yang tidak menyadari akan duri beracun di tangkai kembang. Sebenarnya, banyak pemuda yang melamar baik dari klan  Kayan Uma Afan maupun dari suku Dayak lainnya namun Asung Luwan selalu menolaknya. "Padahal ia selalu menolak lamaran pria lainnya namun mengapa aku begitu bodoh menyatakan isi hatiku," bantin Paran Ala menyesali diri. 

Putri Asung Luwan menolak secara halus dengan menuturkan ramalan Simun Luwan tentang akan datangnya seorang pangeran yang jadi dewa penyelamat bangsanya. Putri Asung Luwan sudah bersumpah akan bersedia menikah dengan pria yang berhasil membalas dendam terhadap Sumbang Lawing. Merasa paling pantas sehingga penolakan Asung Luwan meskipun dengan bahasa santun dan secara halus benar-benar membuat pemuda itu merasa harga dirinya diinjak-injak. "Ramalan akan datangnya pangeran dari negeri seberang yang akan menjadi suaminya dan mengalahkan Sumbang Lawing tidak mungkin nyata. Itu hanya bunga tidur. Masa gadis secantik dia hanya bercinta dan bercumbu dalam angan-angan," batinnya terus berkata-kata untuk mencari pembenaran bahwa sikap Asung Luwan itu memang ingin mempermalukan dirinya. 

Wajah bengis Sumbang Lawing yang membunuh sejumlah anggota keluarganya serta wajah cantik nan rupawan dari Putri Asung Luwan berganti-ganti terbayang di benaknya. Rasa amarah dan cinta itu seperti sudah memenuhi otak Paren Ala sehingga membuatnya pusing dan sulit berpikir waras. "Aku akan membuktikan kepada Asung Luwan bahwa aku sanggup mengusir Sumbang Lawing dan ia harus memenuhi janjinya, yakni menikahi pria yang mampu mengalahkan Sumbang Lawing, tegas batinnya yang sudah mengambil sebuah keputusan. Dalam pengembaraan itu, klan Apo Kayan Uma Afan bertemu dengan beberapa klan lain yang juga terusir oleh kelompok Sumbang Lawing yang mau bergabung bersama pengikuti Putri Asung Luwan. Ia menilai bahwa kekuatan yang sudah ada itu mampu melawan Sumbang  Lawing. 

Pemuda itu segera berlari menuju pemukiman serta memanggil pemuka adat agar segera mengumpulkan tokoh masyarakat dari kelompok lain mengenai rencana serangan ke pedalaman Kayan. Musyawarah adat yang dihadiri puluhan tokoh masyarakat dari berbagai kelompok masyarakat Kayan tersebut pada keesokan harinya berlangsung tegang karena terbagi atas dua  pendapat. Ada yang menilai bahwa kekuatan yang terhimpun belum kuat sehingga sebaiknya menunda serangan namun kelompok lain bertekad segera membalas dendam terhadap Sumbang  Lawing. "Saya sependapat bahwa kekuatan terus bertambah namun saat ini bukan waktu yang tepat. Apalagi kita harus menunggu seperti amanat Simun Luwan," kata Asung Luwan. "Ini waktu yang tepat putri. Apalagi, saat ini sedang musim kemarau.Mereka pasti mengalami krisis bahan makanan, apalagi sebagian hutan ada yang terbakar, alasan Paren Ala. 

Asun Luwan juga mengingatkan tentang amanat bundanya, Simun Luwan yang melarang mereka melintasi makam dari Lahaibara dan suaminya karena bisa terkena tulah. Namun, Paren Ala menyampaikan berbagai alasan yang menyakinkan. Ia menyampaikan dengan nada penuh hormat akan tetapi sorot mata pemuda Apo Kayan itu penuh api kemarahan, cemburu dan dendam yang menyatu dalam gejolak jiwa mudanya. Para tetua adat tampaknya terbius dengan berbagai alasan Paren Ala yang terlihat masuk akal sehingga mendukung rencana panglima perang dari Apo Kayan itu. 

Maka tetua adat dari klan dan suku lain sepakat, untuk melakukan serangan sesuai hari yang ditentukan. Selain menentukan hari, berbagai strategi juga mereka putuskan untuk mengusir Sumbang Lawing. Sementara itu, Sumbang Lawing kian menjadi pongah dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin besar di atas semua suku dan anak-suku masyarakat Dayak, termasuk bagi klan Apo Kayan Uma Afan karena sudah merampas sebagian besar wilayah di Borneo. Sesuai dengan tanda-tanda keberuntungan yang disampaikan melalui bisikan angin, nyanyian burung serta lenguhan berbagai jenis satwa. 

Maka pada hari yang dianggap membawa tuah itu, Paren Ala memimpin ksatria menuju benteng pertahanan Sumbang Lawing untuk melakukan serangan tiba-tiba di tengah malam. Ternyata apa yang dikhawatirkan almarhumah Simun Luwan yang melarang kelompoknya untuk melintasi kawasan yang menjadi makam Lahaibara berupa batu peti (lungun) batu dan dua patung kepala manusia yang juga terbuat dari batu, yakni sebelum pangeran dari negeri seberang itu bersama mereka ternyata terbukti, beberapa prajurit mengalami nasib naas, misalnya terluka parah akibat terjatuh dari titian batu padas, tergigit ular serta kejang-kejang tanpa tahu sakitnya. Kejadian naas itu anehnya hanya menimpa prajurit dari klan Apo Kayan Uma Afan. 

(catatan: ratusan tahun kemudian, ketika wilayah tersebut kemudian menjadi kekuasaan Kesultanan Bulungan, maka sebagian kerabat keraton tidak berani melintasi makam berbentuk patung batu Lahaibara itu karena dipercaya akan mendapat musibah atau bencana, mengingat ada benang merah antara keturunan kesultanan Bulungan dengan Asung Luwan setelah bertemu dengan pangeran dari negeri seberang). 

Berbagai rintangan yang agaknya menjadi petanda kesialan itu tidak menggoyahkan semangat Paren Ala untuk membalas dendam sehingga bersama prajurit yang masih sehat yang melanjutkan perjalanan menuju kawasan yang menjadi tempat Sumbang Lawing memproklamirkan dirinya sebagai "king of the king" masyarakat Dayak di Borneo. Bagian sebagian prajurit yang masih setia menemani Paren Ala, sebenarnya sudah tidak memiliki semangat juang untuk bertempur karena berbagai kemalangan yang menimpa rekan mereka sesuai dengan ramalan Simun Luwan. 

Kejadian itu membuat mereka seperti sudah kalah bertempur sebelum pertarungan sesungguhnya terjadi.  Sumbang Lawing yang mendapat laporan akan datangnya serangan itu, tidak merasa khawatir sehingga ia hanya memerintahkan pasukan kecil untuk menghadang serbuan Paren Ala dengan berbagai jebakan sebelum melakukan perang terbuka dengan menggunakan mandau dan tombak. Berencana untuk melakukan serangan tiba-tiba namun justru mendapat serangan yang tak terduga membuat pasukan Paren Ala seperti anak ayam kehilangan induknya, kocar-kacir untuk masing-masing menyelamatkan diri. Sumbang Lawing yang mendapat laporan pasukannya, tertawa terbahak-bahak dengan pongah berkat kecerdikannya menjebak musuh.

Pria tinggi besar dengan muka dingin dan kejam itu segera memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan guci-guci berisi air beras yang sudah menjadi arak untuk berpesta pora, ratusan ekor babi dipanggang untuk melengkapi pesta tersebut. Pria kasar itu terbahak-bahak, dan sejumlah wanita budak yang mengelilingi dirinya terus mengisi gelas bambu Sumbang Lawing dengan arak. Kurang sabar, ia dengan satu tangan meraih dan meminum arak dari sebuah tempayan (guci) berukuran besar sehingga otot-otot dan uratnya pada lengan pria itu menyembul seperti ukiran kayu ulin. Beberapa wanita yang mendampinginya tidak berani menatap wajah pria ini karena terlukis jelas kekejaman dari sorot matanya yang dingin. Wajahnya runcing panjang dengan mata sipit seperti sorot elang yang mengawasi mangsanya. Ramputnya lurus panjang dikucir serta diikat dengan kulit macan dahan. 

Konon, pemimpin suku Iban itu memiliki pertalian darah dengan pasukan kejam Genghis Khan dari Mongolia. Kaisar Mongol dalam ambisinya menguasai dunia mengirimkan pasukannya ke berbagai belahan dunia termasuk kawasan Nusantara. Saat berlayar ke salah satu titik di wilayah Borneo (diduga kini menjadi wilayah Serawak, Malaysia Timur) sebuah kapal milik tentara Mongol sempat berlabuh namun sauh (jangkar) yang terbuat dari emas tersangkut saat kapal akan berlayar sehingga rantainya terputus. Panglima perang Mongolia yang memimpin kapal tersebut murka mendapat laporan terputusnya rantai sauh yang jangkarnya terbuat dari emas. Ia memerintahkan satu persatu prajurit untuk menyelam guna mencari jangkar emas itu. Beberapa kali penyelam handal mencari jangkar emas itu kembali ke kapal dengan tangan hampa, sangking kesalnya panglima Mongolia itu mencabut pedangnya serta dengan kejam menghukum mati dengan cara menebas leher prajuritnya sendiri jika gagal mendapatkan jangkar emas itu. Beberapa prajurit yang diperintahkan mencari jangkar emas itu memilih melarikan diri ke pantai ketimbang menghadapi hukuman mati. 

Melihat bahwa ia telah tertipu mentah-mentah oleh beberapa anak buahnya, membuat panglima tersebut tambah murka dan memimpin pencarian anak buahnya yang melarikan dirinya itu seperti memperlakukan hewan buruan di dataran Monglia. Bersama sejumlah prajurit, panglima itu benar-benar menikmati hobi kejamnya untuk memanah ataupun menebas prajuritnya yang tertangkap dalam upaya melarikan diri ke tengah belantara Borneo.Setelah merasa yakin bahwa semua anak buahnya yang mencoba kabur itu sudah terbunuh semua, barulah pasukan Mongolia itu menyadari mereka sudah tersesat jauh ke tengah belantara Borneo. Berhari-hari mereka mencari pantai namun tetap tidak berhasil. Bahkan, sebenarnya mereka kian jauh memasuki jantung belantara Borneo. Pasukan itu dalam pengembaraannya bertemu dengan suku pribumi yang masih primitif. Sisa pasukan Mongol itu datang pada setiap kawasan pemukiman selalu dengan menebarkan kekejaman serta permusuhan. Mereka menjadikan kaum pria sebagai budak serta menjadikan wanitanya sebagai pemuas nafsu. 

(Catatan: Sebelum pasukan Mongol tiba ke Nusantara konon sudah ada bangsa yang mendiami lebih dahulu, yakni bangsa Negrito dan bangsa Weda yang mempunyai tanda-tanda berbeda. Bangsa Negrito, bertubuh kecil, warna kulit kehitam-hitaman, rambut keriting, bentuk kepala bundar dan menengah. Adapun bangsanya ini tersisa di Malaya, orang Semang, dan orang acta di Filipina. Bangsa Wedda memiliki ciri rambut ikal berombak, kulit lebih putih, bentuk kepala menengah, mata agak masuk kedalam, tubuh lebih tinggi dari negrito. Sisa bangsa ini masih dijumpai di Malaka, orang Senoi, orang Kubu di Pelembang, orang Jambi di Jambi, orang Tokea dan Toala di Sulawesi, orang Tomuna di Pulau Tomuna, sisa-sisa bangsa ini diperkirakan juga terdapat di Pulau Jawa dan Kalimantan. 

Ada pula yang membagi suku Dayak ada dua, pertama, Suku Dayak yang berkepala panjang (dolichocephaal) yang berdiam di sepanjang sungai Kapuas yang bermuara di sebelah barat Kota Banjarmasin. Kedua, yakni Suku Dayak yang berkepala bulat (brachyoephaal) termasuk di dalamnya Dayak Kayan nama anak sungai dari Kapuas, Dayak daerah Kahayan dan Dayak daerah Katingan). Satu generasi berganti generasi berikutnya, begitu terus menerus sejak kedatangan pasukan Mongolia yang tersesat itu. Dalam pengembaraan itu lambat-laun jumlah mereka bertambah banyak namun juga membawa perubahan sosial-budaya bagi suku Mongol yang sebelumnya punya peradaban cukup tinggi dalam hal baca-tulis akhirnya menjadi suku kasar dan lebih primitif. 

Pergaulan sosial dengan penduduk pribumi selalu berawal dari sikap untuk menindas dan menjajah. Tak heran, generasi berikutnya tetap melahirkan orang-orang yang bengis dan kejam. Ganas dan liarnya rimba Kalimantan juga telah menggembleng dan melahirkan generasi yang keras, memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan bertahan hidup luar biasa. 

Dari beberapa generasi itu, lahirnya Sumbang Lawing yang masih mewarisi kehebatan dan kebengisan tentara Mongolia yang sudah terkenal di seluruh dunia.

Pangeran Dari Seberang

Selang beberapa waktu, setelah datangnya kabut menakutkan yang ditebar pasukan barbar haus darah dari Serawak di dataran Apo Kayan itu, pada sebuah pulau di kawasan Timur Borneo, terlihat seorang pria berdiri di teras rumah panggung sambil menatap kehidupan nelayan di Sungai MengkabungHelahan nafas beratnya menandakan ada kerisauan yang membuat hatinya gundah gulana. Dia adalah sultan dipertuan agung yang memimpin kesultanan Brunei. 

Syahdan, sultan tersebut risau memikirkan masa depan kesultanan meskipun ia memiliki dua putra, yakni anak sulung, Datu Mancang dan bungsu, Pangeran Muda. "Roda zaman begitu cepat berputar dan selalu bergulir ke depan, kemarin kita gagah perkasa sekarang sudah menjelang magrib," ujar sultan ditujukan kepada seorang pria berjenggot putih sambil memegang tasbih yang berdiri di belakangnya. Pria perpakaian seperti ulama itu adalah salah satu menteri bidang pemerintahan sekaligus penasehat bidang spritual hanya diam memberikan kesempatan kepada sultan untuk menumpahkan kegundahan hatinya. "Datu Mancang dan Pangeran Muda juga kini bukan anak-anak lagi. Semasa kita hidup, pasti mereka mendengar apa yang kita katakan namun bagaimana setelah nanti, orang yang mereka tuakan sudah berpulang ke rahmatullah," imbuh Sultan yang kembali tenggelam dalam lamunan meskipun pandangannya tertuju kepada kehidupan nelayan di teluk. 

Perdana menteri mulai memahami pasal yang membuat Maharaja gundah gulana. Datu Mancang sudah beranjak dewasa namun ia lahir dari rahim seorang selir, sedangkan anak kedua yang diharapkan bisa mewarisi kebesarannya karena anak sang permaisuri masih belum cukup umur untuk memimpin kesultanan karena baru beranjak remaja. Dalam beberapa bulan terakhir, baginda beberapa kali jatuh sakit lebih dikarenakan masalah usia yang mulai uzur sehingga masalah masa depan kesultanan kini menambah beban pikirannya.   

Sebagai seorang ayah, ia sangat menyayangi Datu Mancang yang secara lahiriah maupun watak seperti pinang di belah dua dengan dirinya sehingga setiap ia menatap anak sulungnya itu bak melihat bayangan dirinya saat melihat muda belia. Putra pertama juga mewarisi sifat bertualang sang sultan, sehingga kemudian hari ia dikenal dengan "Datu Lancang atau Datu Mancang" konon, karena kegemarannya bertualang menggunakan perahu layar yang kemudian hari sering dituturkan dalam hikayat masyarakat Bulungan. 

Sesuai tradisi, ia tidak mungkin menentang sistem pemerintahan kerajaan yang sudah terbentuk secara turun-temurun. Seorang yang akan menggantikan sultan harus putra mahkota, lahir dari seorang sultan dan rahim sang permaisuri. "Ibarat burung elang, sudah saatnya Datu Mancang berkelana mencari sarang baru. Bukan saja untuk memperluas kekuasaan kesultanan namun juga sekaligus untuk syiar agama. Ini adalah keputusan paling tepat," kata Datu Mahubut, konon merupakan seorang tokoh alim ulama berdarah Arab yang memahami kehendak sang sultan yang mencegah terjadinya pertumpahan darah antara saudara itu akibat perebutan kekuasaan. Demi menyakinkan sultan akhirnya Datu Mahubut berjanji akan mendampingi Datu Mancang dalam petualangannya mencari tanah jajahan baru. Sultan kemudian menitahkan bahwa Datu Lancang segera berlayar untuk memperluas tanah kekuasaan Brunei dengan mengintari wilayah selatan Pulau Kalimantan. 

Dia masih belia, darah mudanya akan mudah bergejolak, jadi aku titahkan agar Datu Mahubut bisa menyertai perjalananannya selain untuk menjadi penasehat bagi pemerintahannya nanti, sekaligus untuk syiar Islam. (Catatan: Brunei adalah kerajaan tertua Islam di Kalimantan pada abad ke-13 di Mengkabung di Sungai Mengkabung. Saat itu, Islam mencapai masa keemasannya di Brunei. Kerajaan tertua kedua yakni Kerajaan Sambas, tahunnya tidak begitu terang, Tetapi pada tahun 1521 ada di bawah kerajaan Johor.Di kala itu, terjadi pergulakan di Semenanjung Melaka dan wilayah Borneo dengan kehadiran penjajah Inggris. Pada 1824 Inggris sudah mempengaruhi kerajaan serawak. Pengeran Hasin dari Kerajaan Johor datang hendak menaklukan orang-orang Dayak, tetapi ia gugur dalam peperangan. Maka kesempatan bagi Inggris yang dipimpin oleh Kapten Brooke, untuk menolong kerayaan Johor berperang melawan Dayak. Kapten Brooke dapat mengalahkan Dayak, kemudian dia dilantik oleh Raja Inggris menjadi Raja Serawak (Kucing). Belanda khawatir Brooke akan merebut tempat-tempat lainnya. 

Tambang emas di Sambas, di Montorado, di dekat Sungai Kapuas dan Pelabuhan Pontianak, diperebutkan orang-orang China, Dayak dan Belanda.Orang-orang China dan Belanda selain ingin merebut tambang emas, juga ingin berkuasa pada orang-orang Dayak di Kalimantan. Sebelum kedatangan penjajah Inggris itu, diperkirakan hikayat mengenai Datu Lancang atau Datu Mancang mulai hidup karena ia mulai membentuk kerajaannya sekitar 1555-1595 berdasarkan catatatan tulisan Arab Melayu, Perdana Menteri Kesultanan Bulungan, Datu Mansyur, yang menjadi pemangku sultan pada pemerintahan Sultan Kasimuddin). 

Maka tepat pada hitungan bulan, hari dan arah waktu matahari sesuai dengan hari baik dalam tazjul muluk, maka berlayarlah sang pangeran lengkap dengan bekal dan pasukan disertai oleh Datu Mahubut, penasehat pemerintahan dan Datu Tantalangi, sang laksamana. 

Pada suatu hari yang cerah, berlayarlah sebuah kapal megah dengan membawabekal makanan berbulan-bulan serta berbagai harta berharga antara lain perangkat dari perak dan emas, guci, permadani dan sutera. Sang pangeran juga mendapat bekal berbagai jenis senjata untuk menghadapi kemungkinan terjadinya pertempuran baik di laut maupun di darat saat mereka akan berlabuh menemukan daerah baru.

Sang Pengeran Brunei bersama pengikutnya berlayar mengintari kawasan utara sampai menuju selatan Pulau Kalimantan dari wilayah mereka. Pemandangan indah terlihat di atas langit, awan bergerak seperti puluhan domba di padang rumput, saat kapal menyelusuri pantai utara Kalimantan. Sementara angin bertiup perlahan, menyebabkan gerak kapal lamban sehingga hanya menciptakan ombak-ombak kecil di sekeliling kapal.Sambil berpegangan di tali kapal, Datu Lancang berdiri di haluan kapal sambil mengagumi keindahan alam meskipun terlihat samudera tak bertepi. Tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba warna langit berubah hitam serta angin menderu begitu kencang karena datangnya angin ribut secara tiba-tiba.Seratus awak yang juga menjadi pengawal setia Datu Lancang berusaha keras menyelamatkan kapal dari amukan badai. Bak sabut kelapa, kapal kokoh terbuat dari kayu pilihan itu tidak berdaya melawan kekuasaan Ilahi, terus terombangambing gelombang yang tingginya hampir enam meter. 

Awak kapal yang berusaha segera menurunkan layar kalah dengan amukan badai sehingga tiangnya patah. Sebagian awak terlempar ke tengah samudera akibat amukan gelombang dan angin.Hampir satu malam mereka terhantam gelombang yang membuat hampir semua awak kapal mabuk laut, akhirnya badai mereda tepat ketika subuh tiba. "Kita dimana ? " tanya Datu Lancang, ketika matahari mulai bangkit dari peranduannya, setelah mereka selamat melewati satu malam bersama badai dasyat tersebut. Sebagian prajurit juga mulai terjaga setelah lelah karena hampir satu malam berjuang di tengah badai."Hamba tidak tahu pangeran, tapi sepertinya selama satu malam ini kita telah mengikuti arus laut menuju selatan," kata salah seorang pengawal. Sedangkan sejumlah awak kapal termangu melihat sekelilingnya hanya terlihat laut tanpa batas. "Cepat selamatkan barang-barang untuk bisa membuat kita bisa bertahan, sepertinya kita akan beberapa hari di tengah laut ini, untung-untung bisa mencapai daratan". Sebagian bersediaan makanan, serta barang-barang berharga dan senjata ternyata masih aman tersimpan ketika gelombang sempat menyapu sebagian isi kapal. Selama hampir tiga hari terapung-apung di tengah lautan, tiba-tiba salah seorang awak melihat garis hitam di harizon.

"Lihat ! mungkin itu daratan." Dengan menggunakan sisa kain, pasukan membuat layar kecil, Datu Lancang memimpin pasukannya memutar haluan menuju garis hitam yang timbul tenggelam terhalang ombak.Secara perlahan, kapal bisa menuju daratan  kemudian hari diperkirakan antara Sungai Binai, Mangkupadi dan Tanah Kuning yang dekat dengan Delta Sungai Kayan. 

(Catatan: Ada anggapan mengapa sungai itu dinamakan Sungai Binai karena diduga berasal dari kata "Brunei" yang menjadi “Binai” tempat menjadi pertama-kali Pengeran Brunei dan pasukannya mendarat). "Kita bertahan dulu di sini, sambil memberbaiki kapal," titah Datu Mancang. Datu Mancang mengarahkan kapal menyelusuri Sungai Binai, Mangkupadi dan Pantai Tanah Kuning untuk menghindari apabila badai datang lagi serta mencari daratan agak tinggi dari pasang air laut untuk mereka jadikan pemukiman sementara. 

Selama petualangan menyelusuri pantai itu, rombongan sang pangeran banyak bertemu dengan suku laut atau manusia perahu, mereka hidup dalam kelompok kecil-kecil tanpa pemimpin. Mereka lebih banyak hidup di atas  perahu. Mereka mengumpulkan ikan, udang, kepiting dan kerang di sepanjang pesisir.

Dari Suku Laut itu, sang pangeran mendapat laporan bahwa ada pemukiman masyarakat di pedalaman, dengan rajanya seorang wanita yang terkenal cantik rupawan namun masyarakatnya belum memeluk agama apapun. Mendengar khabar itu, sang pangeran tertarik karena tujuan perjalanan panjang mereka adalah untuk syiar Islam namun mereka tidak langsung ke kawasan pedalaman, sang pengeran bersama rombongannya sempat menetap di beberapa lokasi. Dengan berbekalkan pedang dan kampak, prajurit setia Datu Lancang mencari kayu untuk dijadikan bahan bangunan serta  memperbaiki kapal.

Selusuri Sungai Kayan

Datu Mancang bersama para pengikutnya setelah berhasil selamat dari amukan badai, sementara waktu menetap pada sebuah dataran di utara Kaltim yang kini dikenal sebagai Desa Binai. Selama menetap sementara pada sebuah dataran rendah di pesisir wilayah Borneo itu, Datu Mancang meminta pasukannya menetap dulu di kawasan itu sambil memperbaiki perahu layar serta membuat tiga perahu yang mampu membawa mereka semua untuk menyelusuri kawasan pedalaman pulau tersebut. 

Di mata para pengawalnya, tak terlihat ada sesuatu masalah pada pria tampan berkulit putih itu. Namun, berbeda bagi Datu Mahubut yang melihat melalui mata batinnya, ia merasa sedih melihat kondisi jiwa Datu Mancang seperti ksatria kalah berperang yang raganya berjalan namun tanpa roh. Datu Mahubut selain memiliki kelebihan supranatural sehingga di Brunei dikenal sebagai "orang sakti", maka ulama itu sudah sangat mengenal sifat dan tabiat sang pangeran yang dari kecil sudah menjadi muridnya bukan saja dalam
ilmu agama, ilmu pemerintahan namun juga berbagai ilmu kesaktian. 

Datu Mancang bukan lagi sekedar murid namun sudah dianggap anaknya sendiri. Datu Mahubut memahami apa yang terjadi dalam benak serta berkecamuk dalam dada Datu Mancang akan tetapi tidak langsung menegurnya karena pada titik tertentu, sebuah kemurungan, kesedihan serta kegalauan akan menemukan jawabannya sendiri. Sebagai seorang ksatria serta pemimpin dari 100 pasukan yang kini menjadi pengikutnya didampingi oleh sang panglima perang Datu Tantalangi dan Datu Mahubut maka titah sang sultan yang juga ayahnya itu, tugas untuk mencari tanah kekuasaan baru sama dengan pemberlakukan sebuah undang-undang kerajaan yang wajib dilaksanakan, apalagi disertai dengan tugas agama untuk menggelorakan syiar Islam. 

Di sisi lain, jauh di dalam relung hatinya menyadari bahwa titah sang sultan tidak lebih dari "sebuah hukuman" agar dirinya tidak lagi menginjakkan kaki di tanah kelahiran serta bertemu lagi dengan sang bunda, selir kesayangan sultan  Sebagai seorang ksatria dan anak berbhakti maka apapun yang terjadi karena sudah menjadi titah sultan maka itulah yang terbaik baginya. "Biarlah arah angin dan arus gelombang menentukan jalan paduka. 

Tuhan tidak akan memberikan sebuah cobaan yang manusia itu sendiri tidak mampu memikulnya," ujar Datu Mahubut melemparkan kata-kata yang langsung menyentuh kegundahan Datu Mancang. Suara berat Datu Mahubut seperti sebuah gong yang kian memperjelas bayangan-bayangan masa indahnya ketika masih kecil sampai tumbuh dewasa yang selalu tidak kekurangan apapun. 

Suara berat itu mengingatkan pertama kali ia belajar mengaji Al Quran dengan Datu Mahubut yang selalu didampingi bundanya. Bundanya selalu mendampingi dirinya saat usia enam tahun ketika belajar membaca Al Quran karena ia sering menangis ketakutan melihat wajah pria tinggi kurus karena berjanggot lebat panjang itu. Janggotnya yang lebat panjang serta pandangan mata yang tajam, mencerminkan kecerdasan serta tingginya ilmu kesaktian itu benar-benar menakutkan Datu Mancang kecil. 

Namun, setelah akrab pandangan ulama besar tersebut sangat menyejukan hatinya jika dilanda kerisauan. Berbagai kenangan indah itu segera terhampus ketika mendengar suara aba-aba dari para prajurit yang menurunkan kapal unik kini telah siap berlayar menjelayahi sungai-sungai besar menuju kawasan pedalaman pada negeri mentah berantah itu. Datu Mancang sudah memutuskan bahwa perbaikan kapal layar tetap berjalan namun ia juga memerintahkan agar para prajurit membuat perahu-perahu untuk menyelusuri kawasan pedalaman daerah tempat mereka terdampar itu. 

Para prajurit berhasil membuat tiga perahu raksasa yang dirakit menjadi satu yang pada bagian tengahnya dibuat ruang seperti pendopo yang lengkap dengan kursi serta dipayungi dengan kain indah berwarna-warni.

(Catatan: perahu unik mirip pendopo terapung itu kemudian dikenal sebagai "Biduk Bebandung" atau "Perahu Kembar Tiga" yang dibuat dalam menyambut tamu kehormatan Kesultanan Bulungan. Kehadiran Biduk Bebandung itu kini bisa dilihat pada acara peringatan HUT Kabupaten Bulungan dan setiap HUT Kota Tanjung Selor setiap 12 Oktober melalui Pesta Budaya Birau. Biduk Bebandung yang membawa bupati, ketua DPRD serta unsur pimpinan Muspida yang lain bersama tokoh masyarakat dan tokoh adat akan melayari kawasan Sungai Kayan disertai pembacaan doa tolak bala demi kemakmuran kabupaten Bulungan). 

Petualangan Datu Mancang kini tidak lagi meniti buah gelombang lautan namun menyelusuri riak-riak air sungai mencari sebuah kehidupan di kawasan pedalaman untuk menjalankan syiar Islam. Para prajurit kemudian membawa berbagai bekal dari makanan, harta benda yang mudah dibawa serta berbagai senjata untuk menjaga diri dalam
pertualangan mereka menyelusuri sungai di kawasan utara Borneo itu. Kapal layar yang belum sempurna mereka perbaiki itu disembunyikan dalam sebuah teluk bersama beberapa harta benda yang dianggap tidak begitu penting serta hanya memberatkan perahu kembar atau biduk bebandung tersebut.

(Catatan: Berdasarkan penuturan sejumlah nelayan, saat tersesat di suatu daerah yang lokasinya antara Sungai Binai, Mangkupadi dan Tanah Kuning mereka pernah melihat sebuah kawasan yang sepertinya pernah menjadi kawasan pemukiman karena ada bangkai kapal dengan ukuran cukup besar serta pecahan guci-cuci, piring dan gelas buatan tiongkok. Apakah itu memang kawasan tempat pertama Datu Lancang mendarat masih belum terjawab karena sampai kini belum ada penelitian arkeologi tentang misteri kawasan tersebut).

Datu Mancang didampingi menteri pemerintahan sekaligus penasehat spiritual dan ulama, Datu Mahubut serta sang panglima perang, Datu Tantalangi bersama puluhan prajuritnya yang masih selamat akibat badai yang menghantam perahu layar mereka, maka pasukan ksatria dari Brunei itu mulai melakukan perjalanan petualangan menuju belantara utara Borneo dengan menyelusuri Sungai Kayan. Berhari-hari mereka menyelusuri Sungai Kayan dengan menggunakan biduk bebandung namun tak jua menemukan sebuah komunitas masyarakat yang pemimpinnya seorang wanita cantik jelita seperti penuturan manusia perahu.

Kian mereka melintasi beberapa tanjung dan teluk, lebar sungai yang mereka telusiri kian menyempit hingga lebarnya hanya sekitar 300-400 depa orang dewasa. Kawasan hutan yang tadinya hanya dipagari pohon kecil-kecil mulai berubah menjadi pokok besar dan tinggi. Pohon-pohon jenis meranti yang bisa mencapai empat kali dekapan orang dewasa itu seperti pagar betis raksasa yang mengawal kawasan pedalaman Sungai Kayan. Suara satwa yang awalnya hanya nyanyian burung laut yang bercengkrama serta teriakan induk bekantan kini berubah dengan berbagai suara satwa yang biasanya hidup di kawasan pedalaman dan berbukitan. Teriakan burung enggang dan uwa-uwa bak ucapan selamat datang memasuki kawasan penuh misteri di pedalaman Sungai Kayan.

(Catatan: Sungai Kayan adalah sungai terpanjang kedua di Provinsi Kalimantan Timur, yakni setelah Sungai Mahakam yang panjangnya mencapai 920 Km sedangkan Sungai Kayan sekitar 640 Km).

Kian jauh menyelusuri Sungai Kayan, panorama alam kian indah namun diselimuti nuasa mistis karena pohon-pohon yang terdapat di kawasan itu kian rimbun menutupi cahaya matahari. Tebing sisi sungai yang tadinya tanah liat, kian ke kawasan pedalaman berubah menjadi batu-batu padas dengan arus semakin kuat. Suasana magis dan mistis kian terasa saat melihat batu-batu padas raksasa pada bantaran sungai yang kadang-kadang seperti realif wajah manusia atau bentuk-bentuk binatang atau raksasa jahat.

Perahu kembar atau biduk bebandung itu menyusuri sungai Kayan yang kini diperkirakan sebagai daerah Sungai Sabanar, Tanjung Buyu, Tanjung Selor, sampai ke kawasan Desa Baratan. Tepat saat melintasi sebuah tanjung sungai yang pada bagian tebingnya terdapat
gundukan batu-batu padas seukuran gajah sehingga mengalami pandangan pada bagian lain, terlihat sebuah kepulan asap yang bisa jadi menandakan adanya kehidupan manusia di pedalaman Sungai Kayan itu. Benarkah hal itu......?

Bertemu Sang Putri

Hampir kehilangan asa untuk mencari kehidupan masyarakat di kawasan pedalaman pada pulau tempat kapal layar mereka terdampak, seorang prajurit Datu Mancang berteriak sehingga mengejutkan burung-burung ibis putih serta kawanan monyet ekor panjang yang
bercengkrama pada pohon rambung (sejenis pohon beringin yang biasnya tumbuh di bantaran sungai). Kepakan sayap ibis putih serta teriakan kawanan monyet yang merasa terganggu itu memecah kesunyian rimba di pedalaman Sungai Kayan sehingga bisa menjadi signal bagi para penghuni di kawasan pedalamana itu sekiranya memang ada penghuninya.

Sang panglima, Datu Tantalangi agaknya memahami kekhawatiran Datu Mancang itu atas
kesemberonoan salah satu prajuritnya yang berteriak sehingga mengagetkan semua satwa dan segera memerintahkan para pasukan meningkatkan kewaspadaannya.

"Siapkan senjata namun jangan dinampakkan kita ingin datang secara damai namun harus
tetap waspada," kata Datu Lancang. Prajurit kemudian menyisipkan dan menyembunyikan masing-masing senjatanya di bawah tempat duduk sambil terus mengayuh biduk bebandung. Benar saja, kian dekat kawasan itu terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Misalnya, potongan batang kayu yang pada bagian tengahnya di pahat secara berjajar sehingga menjadi tangga di pinggir Sungai Kayan.

Beberapa saat mereka melintasi tangga kayu itu, tampak asalnya asap itu dari sebuah rumah
lamin. Datu Tantalangi memerintahkan seorang prajuritnya menaikkan bendera kuning
keemasan, sebagai lambang kesultanan sekaligus simbol bahwa mereka yang datang akan
membawakan kebesaran dan kemakmuran. Dari kejauhan, warga kampung heran dan takjub melihat sebuah perahu yang mirip pendopo terapung seperti muncul tiba-tiba menembus kabut pagi yang bergerak perlahan di tengah Sungai Kayan.

Biduk Bebandung itu secara perlahan terus mendekat sehingga kian membuat takjub warga
desa itu karena tidak pernah melihat pemandangan indah seperti itu bak kereta kencana yang melayang melintasi pelangi seperti warna kain warga-warni yang mengelilingi perahu dengan sebuah bendera kuning berkibar-kibar di tengahnya.

Warga Apo Kayan Uma Afa benar-benar seperti melihat muncul dewa dari kabut embun pagi yang masih menyelimuti Sungai Kayan karena di atas pendopo itu terdapat seorang pemuda tampan, berpakaian sangat indah duduk pada sebuah kursi kebesarannya yang berukir indah. Pemuda dengan ikat kepala berwarna kuning keemasan itu duduk penuh wibawa. Sebagian rambutnya yang panjang sebahu tergerai serta melambai-lambai tertiup angin pagi di Sungai Kayan.

Pakaian kuning yang ia kenakan tampak mencolok dengan kain selempang berberwarna
gelap yang melingkar dari dari bahu kiri atas ke pinggang kanan bawah. Pada bagian kiri
pinggangnya terlihat gagang kepala keris terbuat dari emas bertahta batu mulia. Berdiri pada sebelah kanan, terlihat seorang pria berjubah putih, bersorban dan memegang tasbih, dia tidak lain adalah Datu Mahubut, penasehat pemerintahan sekaligus ulama dan
penasehat spiritual istana.

Sedangkan di sebelah kiri berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, kekar, berkulit putih
dengan menggunakan pakaian seorang pendekar. Di pinggangnya terselip dua trisula dengan raut wajah dingin, dia adalah Datu Tantalangi, sang panglima perang.

Sementara itu tampak puluhan prajurit yang rata-rata berbadan kekar mengenakan baju
berwarna gelap sedang mengkayuh di samping kiri-kanan bidung bebandung. Melihat kedatangan tamu yang tidak menunjukan permusuhan itu, agak menghilangkan ketegangan sejumlah satria Kayan meskipun mereka tampak tetap waspada memegang erat mandau, tombak dan sumpitnya. Begitu menghampiri daratan, Datu Lancang bendiri sambil tersenyum serta melambaikan tangan tanda bersahabatan. "Kami datang dengan damai, bisakah kami diterima di sini," terdengar suara berwibawa pengeran yang memecahkan ketegangan.

Melihat bahwa para pendatang itu tidak membawa niat jahat serta permusuhan, para warga
memberikan tanda persahabatan dengan menurunkan senjata mereka dan tak lama, kaum
wanita dan anak-anak ikut berlari ke pinggir sungai untuk melihat dari dekat pemandangan yang membuat mereka terkesima itu. Bahkan, beberapa pria kemudian terjun ke sungai guna meraih tali dari perahu untuk menariknya kian dekat menuju tempat penambatan perahu atau rakit. Melihat hal itu, Datu Tantalangi segera melompat ke atas rakit itu dan segera diikuti oleh beberapa prajuritnya untuk memastikan bahwa tidak terjadi serangan tiba-tiba ketika Datu Mancang menaiki rakit serta menuju dataran yang menjadi tempat komunitas itu bermukim. Hadirnnya kaum hama dan anak yang mengelilingi para prajurit Datu Mancang agaknya menjadi signal bahwa kehadiran mereka diterima dengan tangan terbuka.

Setelah Datu Mancang sampai di depan lamin, tampak beberapa ksatria Apo Kayan Uma
Afan membuat pagar betis di depan tangga kayu berdiri waspada dengan memegang mandau dan tameng. Dari atas lamin, turun beberapa wanita meniti tangga kayu itu, tiba-tiba jantung Datu Mancang berdetak keras, ketika melihat di antara beberapa wanita itu salah satunya masih belia dan sangat jelita. Wanita yang terlihat anggun itu terpaksa menyingsingkan sebagian kainnya karena menghalangi jalannya meniti tangga. Batisnya yang putih bersih serta halus itu menyentakkan hasrat sehingga Datu Mancang memalingkan wajahnya.

Perhiasan manik-manik dan emas yang melingkar di tangan, kaki, dan leher serta pakaian
yang indah berukir mencerminkan ia bukan wanita biasa, terbukti prajurit yang mengawalnya segera menepi untuk memberikan jalan kepada wanita rupawan itu.
Pengeran Brunei itu terkesima, Jangan-jangan ini wanita yang sering dituturkan para suku
laut itu. Kalau pun itu benar, berarti mereka tidak melebih-lebihkan namun justru kurang bisa melukiskan dengan bahasaMeskipun sudah mendengar tentang seorang putri cantik nan rupawan namun Datu Mancang tidak menyangka akan melihat sebuah mutiara yang ternyata lebih indah dari khabarnya.

Terkesima melihat ada putri yang benar-benar jelita di tengah belantara wilayah selatan
dari negerinya itu menyebabkan jatung Datu Mancang berdetak kencang tidak karuan.
Sebaliknya, Putri Asung Luwan juga tidak kalah kagetnya karena melihat seorang pria muda, gagah dan tampan tiba-tiba muncul dari tengah sungai bak seorang dewa kini telah berdiri di depan matanya. "Apakah ini yang akan menjadi jodohku serta membalas dendam keluarga kami seperti diramalkan Bunda Simun Luwan,".

Datu Mancang dan Putri Asung Luwan seperti tidak punya kata-kata untuk diungkapkan
terlebih dahulu. Namun, sikap prajurit yang terlihat gelisah menanti ungkapan yang ia
sampaikan menyadarkan dirinya bahwa ia harus menanyakan tujuan mereka datang ke
tempatnya. "Tunjukan bahwa kalian tidak punya niat jahat," kata Asung Luwan dengan sikap ragu dan waspada. Datu Mancang memberikan isyarat kepada salah seorang anak buahnya, pria bertelanjang dada hanya menggunakan celana sebatas lutut berwarna hitam tersebut mengeluarkan sebuah peti berbalut kain kuning yang terbuat dari perak.

Putri Asung Luwan memerintahkan kepada beberapa prajuritnya untuk melihat isi peti perak tersebut. Di dalam peti perak tersebut terdapat sejumlah mangkok yang juga terbuat dari perak. Beberapa mangkok tersebut berisi sirih, tembakau, pinang muda dan kapur yang
mengisyaratkan jamuan untuk persahabatan. Selain itu, Datu Mancang mememintahkan agar prajurit Asung Luwan membawa seperangkat perhiasan untuk dihadiahkan kepada putri bangsawan tersebut. Merasa bahwa yang mengunjungi mereka tidak berniat jahat, Asung Luwan membuka pintu lebar-lebar bagi tamunya dan memerintahkan segera mengadakan pesta adat dengan menggelar tarian oleh gadis-gadis kayan.

Datu Mancang bersama pengikutnya akhirnya diterima tinggal di kawasan pemukiman Apo
Kayan Uma Afan itu. Pertemuan pertama dengan putri dari Sungai Kayan itu telah melahirkan getaran-getaran cinta yang membuat Pengeran langsung jatuh hati. Getar cinta yang dialami pangeran yang masih muda belia itu kian hari kian menyiksa dirinya karena tidak bisa menemukan jalan untuk mengungkapkan isi hatinya, apalagi tugas utamanya adalah memperluas kekuasaan Kesultanan Brunei serta syiar Islam yang sampai kini belum berjalan.

Gelora Cinta

Beberapa hari setelah mereka diterima sebagai tamu tempat pemukiman komunitas yang dipimpin Putri Asung Luwan itu, Datu Mancang kemudian mengutarakan keinginan pihaknya untuk bersama-sama membangun daerah dengan panorama indah di tepian Sungai Kayan itu.

Kawasan itu memang cocok untuk dijadikan sebuah kota karena beberapa wilayahnya terlihat datar meskipun pada beberapa daerah terdapat bukit serta anak-anak sungai namun hal itu justru akan mendukung pengembangan sebuah kota baru karena akan menjadi jalur transportasi sungai.

Di beberapa sudutnya terdapat bukit-bukit kapur yang seperti menara pemantau serta benteng bagi pertahanan jika ada serangan musuh. Kawasan tersebut diperkirakan sekitar Desa Baratan dan Desa Antutan, Kabupaten Bulungan. "Tempat kami bernaung memang indah namun ibarat arus sungai sesungguhnya hanya tampak damai di permukaan namun ada arus berbahaya di dalamnya yang akan melumat kehidupan kami," tutur Putri Asung Luwan dengan nada sendu karena ia masih membayangkan ancaman-ancaman pasukan neraka Sumbang Lawing yang setiap saat seperti mimpi buruk sehingga membuat rakyatnya tidak bisa tidur nyenyak.

Datu Mancang menangkap nada kegetiran dan ketakutan dari nada gadis remaja yang selama beberapa hari membuat perasaannya tidak karuan itu. Namun, ia masih bertanya-tanya apa persoalan yang menimpa komunitas tersebut sehingga ia ingin segera mencari jawaban dengan memalingkan wajahnya menatap Datu Mahubut yang terlihat tetap tenang dan penuh wibawa. "Alam sangat mencintai kami karena telah menyediakan makanan, obat-obatan serta tempat bernaung yang indah dan kami ingin berbagi semua ini untuk pangeran dan pengikutnya namun dari balik kerapatan pohon-pohon serta bebukitan di balik desa itu ada ancaman maut yang sewaktu-waktu datang seperti mimpi buruk sehingga kami kadang-kadang tidak merasakan enaknya makanan yang disediakan alam ini," tutur Asung Luwan.

Putri Asung Luwan kemudian menuturkan tentang kabut menakutkan oleh datangnya serbuan pasukan Sumbang Lawing dari dataran Iban (Serawak) yang seperti badai melumat apa saja kehidupan masyarakat yang mereka temui. Beberapa desa sudah hancur oleh amukan pasukan Sumbang Lawing termasuk pemukiman yang dihuni oleh klan Apo Kayan Uma Afan sehingga menewaskan sejumlah keluarganya termasuk ayah serta kakaknya, Sadang, seorang satria dari klan Apo Kayan Uma Afan.

Putri Asung Luwan kemudian menuturkan bahwa mereka sesungguhnya dalam pelarian serta beberapa kali pindah tempat untuk bermukim namun tetap bertekad membalas dendam terhadap pasukan Sumbang Lawing.

Datu Mancang menangkap pesan dari penuturan sang putri bahwa pihaknya ingin meminta bantuan dirinya untuk memerangi pasukan tanpa prikemanusiaan. Memperluas wilayah kekuasaan, memerangi kebatilan serta melindungi seorang putri cantik nan rupawan adalah sebuah tugas yang seharusnya ia perankan sekarang.

Melindungi putri tersebut bukan perkara sulit. Bahkan, tanpa diminta ia siap melindungi. Batin Datu Mancang yang terus berkata-kata untuk selalu melindungi dan menjaga sang putri menyebabkan sang pangeran melamun. Suara berat batuk-batuk Datu Mahubut segera menyadarkan pangeran dari lamunan asmaranya. "Kami siap membantu putri untuk bersama-sama memerangi kejahatan yang ditebarkan pasukan Iban itu," kata Datu Mancang dengan tegas sehingga sedikit mengejutkan Datu Mahubut, sang menteri pemerintahan sekaligus seorang ulama yang ditugaskan mendampingi sang pangeran dalam pengembaraannya mencari tanah kekuasaan baru serta tugas mulia untuk syiar Islam.

Biasanya berbagai keputusan penting selalu dirundingkan atau minta nasehat Datu Mahubut, pria keturunan Arab yang sejak kecil sudah mengasuh Datu Mancang dengan berbagai ilmu. Namun, sebagai seorang pria yang sudah lama merasakan asam manis kehidupan, ia memahami bahwa cinta bisa menjadi sebuah kekuatan maha dasyat serta tak terduga, bahkan bisa mengangkat seseorang setinggi-tingginya dan merendahkan manusia sehingga menjadi hamba sahaya bagi cinta.

Usai menyatakan kesediaannya membantu klan Apo Kayan Uma Ufan itu, Datu Mancang segera merundingkan berbagai upaya untuk melawan kekuatan pasukan Sumbang Lawing yang dilukiskan maha dasyat bak amukan badai itu. Berhari-hari Datu Mancang membuat sebuah strategi sambil terus mendapatkan informasi dari suku-suku pengelana, yakni Dayak Punan mengenai kekuatan serta posisi pasukan Sumbang Lawing.

Di sela-sela persiapan itu, Datu Mancang merasakan berbagai perasaan yang membuat dirinya seperti sakit yang aneh, kopi yang biasanya terasa nyaman kadang-kadang seperti kehilangan rasa dan aroma, malam hari menjadi begitu terasa panjang sehingga kokok ayam jantan seperti sebuah nyanyian sangat indah karena menandakan segera datangnya matahari serta melihat kehidupan masyarakat Apo Kayan Uma Afan serta melihat pemandangan paling indah yang pernah ia temukan: seorang putri duduk bak pualam di depan beranda lamin yang membiarkan rambut panjang hitamnya dikucir teman wanita
setianya, Bulan.

Datu Mahubut kadang-kadang tersenyum melihat gerak-gerik pemuda yang terkena racun panah asmara itu dan sebenarnya sedikit merasa lega. Pasalnya, gelora cinta itu setidaknya bisa menghapus duka sang pangeran yang harus berpisah dengan orangtua, khususnya sang bunda, saudara-saudara serta handai taulan karena pengembaraan mereka ini bisa jadi adalah perjalanan sangat panjang sehingga tak akan kembali ke kampung halaman. "Amanat" di balik titah sang sultan adalah pengembaraan mereka mereka itu sebenarnya
menjauhkan Datu Mancang dari kesultanan untuk menghindari perebutan kekuasaan dengan adiknya, Pangeran Muda.

Pada ruang lain desa Apo Kayan Uma Afan itu, ada pula gelora asrama yang memabukkan Putri Asung Luwan. Di balik wajahnya yang selalu tampak dingin jika berhadapan dengan masyarakat asing itu, khususnya kepada pangeran dari negeri seberang itu menyimpan sebuah hasrat yang membuat denyut nadinyanya seperti mengalir air panas dan dingin yang bergantian sehingga perasaannya tidak karuan.

Bulan, kerabatnya yang selalu menemani sang putri sering menggoda Putri Asung Luwan karena ia tidak merasa malu menumpahkan isi hatinya dengan wanita sepermainannya sejak kecil itu. Sepertinya, burung enggang mulai mengembangkan bulu-bulu sayapnya untuk menarik perhatian sang jantan, kata Bulan, saat menyisir rambut Asung Luwan dengan sebuah sisir dari tulang itu. Sementara pandangannya pura-pura memperhatikan beberapa burung enggang terbang melintasi langit di atas Sungai Kayan. "Pangeran itu sangat tampan dan gagah sehingga sangat pantas bersanding
dengan putri," kata Bulan yang tak sambar karena sindirannya tidak mendapat tanggapan dari putri, sambil mengepang rambut Asung Luwan yang panjang sampai ke pinggang.

Wajah putri bersemu merah mendengar ucapan sahabatnya itu namun sesaat wajah bundanya, Simun Luwan tiba-tiba terbayang karena meramalkan datangnya seorang pangeran yang akan menjadi jodoh sekaligus membalas dendam klannya. "Apakah dia yang diramalkan sang bunda. Jika dia nanti juga akan tewas di tangan Sumbang Lawing, siapa lagi pria mau menjadi jodohku," ujar Putri Asung Luwan yang juga membuat kaget Bulan sehingga sisir tulang terlepas dari tangannya.

Sebelum datangnya Datu Mancang, sudah beberapa ksatria melamar Putri Asung Luwan dan sebagian mengundurkan diri secara teratur begitu mendengar syaratnya harus mampu melumpuhkan Sumbang Lawing. Kecantikan Putri Asung Luwan serta syarat untuk menjadikannya istri harus mampu mengalahkan Sumbang Lawing dari mulut ke mulut tersiar sehingga seperti pengumuman syambara bagi ksatria yang ingin menguji kematangannya untuk mencari lawan tanding terbaik.

Sebagian ksatria itu, mungkin karena memang merasa kesaktiannya sudah tinggi ataupun seperti kumbang yang sudah terjerat kecantikan Putri Asung Luwan nekat menentang Sumbang Lawing untuk duel namun semuanya tewas di tangan ksatria Iban yang tubuhnya tinggi-besar dan kokoh seperti banteng itu. 

Bahkan, kemudian, entah dari mana datangnya, berita yang hanya awalnya adalah kabar angin kemudian seakan-akan menjadi nyata bahwa menyatakan cinta atau lamaran dengan Putri Asung Luwan adalah sebuah kutukan karena pria tersebut pasti menemui ajalnya. "Pangeran itu memang menarik. Dia bak dewa yang muncul tiba-tiba dari tengah sungai" kata Asung Luwan sambil mempermainkan manik-manik gelang tangannya. "Apakah memang ia pria yang menjadi jodohku seperti kata Bunda Simun Luwan. Entahlah, kita tidak tahu dan tidak usah berharap bukan-bukan".

Terdengar ada nada getir dalam kata-kata Asung Luwan. Keyakinan Asung Luwan terhadap ramalan bundanya, Simun Luwan kian tipis karena sudah puluhan pemuda yang melamarnya akhirnya mengalami kekecewaan bahkan banyak di antaranya tewas akibat ayunan mandau Sumbang Lawing. "Aku sudah terlalu sakit untuk mencintai orang, pertama ayahku, kakakku  Sadang, Bunda Simun Luwan, serta keluarga yang lain satu demi satu mati dan tewas. 

Terus terang Bulan, baru pertama kali aku suka akan seorang pria setelah melihat dia Datu Mancang namun jika aku terlanjur menyayanginya, maka ibarat luka yang sudah berkali-kali teriris untuk kesekian kalinya mengalami luka paling dalam jika ia kemudian juga tewas lebih baik aku terus bertahan demi mengangkat harga diri marga kita yang diinjak-injak Sumbang Lawing" tutur putri dengan nada terdengar mulai agak kokoh.

Keduanya kemudian terdiam. Putri dalam hatinya mengakui bahwa sosok sang pangeran adalah idaman setiap wanita, tidak hanya sebatas fisik namun di balik itu memiliki kepribadian yang mulia, sopan, santun dan sangat hati-hati dalam merangkai bahasa sehingga membuat orang tentram saat berbicara dengannya. Dalam lamunannnya, ia membayangkan bisa bersanding dengan sang pangeran serta melahirkan putra yang meneruskan kejayaan klannya dari nenek moyang mereka yang lahir dari sebatang bambu kuning dan telor, Jau Ira dan Putri Lamlaisuri, Lahaibara serta bundanya Simun Luwan. 

Namun, tiba-tiba bayangan kebahagianya itu hancur seketika saat terbayang kebengisan Sumbang Lawing yang mengayunkan mandau besarnya membunuh "suami" putri dalam
bayangan lamunannya itu. "Aku benci…! semua penderitaan ini gara-gara si keparat itu" tanpa sadar Putri Asung Luwan menangis dan berteriak histeris. 

Bulan, memahami penderitaan sang putri dan mendekapnya sambil terus membelai-belai rambut Asung Luwan. Malamnya menjelang tidur, wanita belia cantik pewaris kebesaran klan Apo Kayan Uma Afan itu berdoa "Aku meminta kepadamu sang Bali, penguasa isi dunia, serta para Luluhurku yang ada di kayangan; Ku Anyi, Paren Anyi, Paren Jau, Wan Paren dan nenek Lahaibara serta Bunda Simun Luwan. Jika memang Sang Pangeran itu jodohku berilah dia kekuatanmu untuk mengalahkah Sumbang Lawing dan akhiri penderitaan ini baik bagi diriku serta seluruh  keluarga kami". "Aku juga ikut berdoa bagi kebahagiaan putri, pangeran dan kebesaran kita semua" kata Bulan ikut berdoa di samping Putri Asung Luwan.

Mencari-Cari Cinta

Di balik sikapnya penuh ketenangan, sebenarnya ada sebuah kekhawatiran bagi Datu Mahubut terhadap Datu Mancang yang meskipun sudah mendapat tempaan berbagai pengetahuan namun usianya masih terlalu muda dalam  memikul berbagai tanggung jawab ditambah lagi sudah terkena panah asmara oleh putri pewaris tahta kebesaran Apo Kayan Uma Afan itu.

Meski Datu Mancang sudah seperti anaknya sendiri namun untuk masalah kali ini ia merasa perlu langkah dan sikap hati-hati karena menyangkut hal sangat peka bagi setiap manusia.
Panasnya cinta bukan hanya bisa membakar semangat seseorang sehingga mampu membangun istana bertahta emas akan tetapi bisa membutakan hati dan jiwa sehingga mengalahkan anugerah paling mulia bagi manusia, akal sehat. Padahal, akal sehat dalam menyusun kekuatan serta strategi kini sangat dibutuhkan untuk melawan keangkaramurkaan Sumbang Lawing dan pasukannya.

Datu Mahubut akhirnya memerintahkan seorang prajurit agar segera memanggil Datu Tantalangi agar bersama-sama mengingatkan pangeran agar fokus dengan tugas utama mereka dalam perantauan panjang seperti pantai tak bertepi itu. "Aku yakin bahwa seribu panah pasti bisa engkau halau dengan kesaktian ilmu silatmu wahai Datu Tantalangi. Namun, satu anak panah paling berbahaya dan sangat beracun kini sudah menembus jatung sang pangeran" Datu Tantalangi berusaha tenang sambil menanti kemana arah kata-kata orang tua yang ia hormati itu.

"Aku khawatir, engkau tidak melihat kilasan panah asmara yang terlepas dari busur kecantikan Putri Asung Luwan sehingga telah melumpuhkan jiwa dan raga sang pangeran" ujar Datu Mahubut setelah memanggil Datu Tantalangi yang duduk bersila penuh hormat.
Datu Tantalangi memahaminya sehingga mengangguk-anggukan kepala karena membenarkan adanya perubahan pada pangeran yang ternyata akar masalahnya karena cinta. "Lebih mudah melawan musuh 10 orang ketimbang berurusan dengan cinta. Cinta melibatkan perasaan dan hanya orang yang merasakan bisa menjawab
masalahnya. Apalagi awak sudah lama tidak berurusan dengan cinta Tuan Guru," kata Datu Tantalangi yang sedikit kebingungan begitu tahu masalahnya. "Bagaimana sebaiknya wahai Tuan Guru ? " kata Datu Tantalangi yang memanggil Datu Mahubut dengan sapaan "Tuan Guru" karena pengetahuan agamanya yang dalam.

Datu Mahubut geli karena tergelitik oleh kealpaannya sehingga membahas masalah cinta dengan Datu Tantalangi. Ia lupa bahwa panglima perang sekaligus laksemana perkasa yang gagah berani membawa kapal layar besar menghadang amukan badai namun belum berani meniti biduk rumah tangga meskipun usianya menjelang 40 tahun itu sehingga sepertinya kurang mengena jika membahas persoalan asmara pangeran. "Kita hanya bisa mengalahkan pasukan Sumbang Lawing jika kita tahu kekuatan dan kelemahan serta berbagai informasi yang penting tentang mereka.

Jadi, membutuhkan waktu dalam mencari informasi serta menyusun kekuatan. Aku khawatir, Datu Mancang karena terbakar oleh kecantikan Putri Asung Luwan akan mengambil keputusan kurang tepat, jadi bersama-sama kita terus mengingatkannya," kata Datu Mahubut. "Dari khabar berita, Sumbang Lawing bukan lawan sembarangan sehingga
butuh persiapan serius dalam mengalahkannya. Puluhan satria Dayak terbaik telah tewas di tangannya sehingga bisa jadi ia memiliki sebuah kekuatan atau kemampuan yang tak dimiliki orang lain namun di atas langit pasti ada langit sehingga kita harus mencari kelemahan pasukannya maupun yang dimiliki Sumbang Lawing sendiri sehingga ketika ditantang duel pun ia masih perkasa".

Dua orang itu kemudian kemudian tenggelam dalam berbagai hal mulai dari kondisi Datu Tantalangi yang sedang dilanda amukan asmara, strategi melumpuhkan Sumbang Lawing, upaya-upaya untuk syiar Islam, membangun wilayah baru serta sekedar mengenang tanah kelahiran mereka. Tak terasa hari menjelang Magrib, dan Datu Mahubut kembali mengingatkan bahwa sesegera mungkin ia bersama Datu Tantalangi segera menyampaikan
berbagai pertimbangan penting dalam upaya mengalahkan Sumbang Lawing, di antaranya membutuhkan waktu sebelum melakukan serangan, khususnya dalam menghimpun gambaran lengkap tentang kekuatan dan kelemahan pasukan Sumbang Lawing.

Keduanya kemudian ke tepian sungai untuk berwudhu serta menuju ke salah satu sudut lamin yang dijadikan sebagai mushola untuk menunaikan salat Magrib. Ketika hampir semua jemaah sudah memenuhi shaf salat, tampak seorang pemuda terburu-buru memenuhi shaf belakang yang membuat beberapa jemaah agak sungkan karena ternyata ia adalah sang pangeran. 

Datu Tantalangi yang melihat kelebatan sang pangeran kemudian menoleh ke belakang serta memberikan isyarat agar berada di shaf paling depan di sebelah kirinya. Pangeran membalas dengan tersenyum serta memberikan isyarat bahwa ia tidak keberatan berada di shaf paling belakang. "Jadi benar apa yang dikatakan Datu Mahubut, panah terlepas dari busur asmara Putri Asung Luwan benar-benar beracun dan berbisa. 

Mungkin, gara-gara itu, pangeran sering terlambat datang menjelang Salat Magrib karena tenggelam dalam lamunannya sehingga saat berwudhu pun membutuhkan waktu lebih lama". "Betapa bodohnya aku tidak melihat hal itu" kata batin Datu Tantalangi yang tiba-tiba seperti mengingatkan dirinya agar belajar lagi tentang sebuah urusan yang namanya C I N T A sehingga ia geleng-gelang sebelum tenggelam dalam kekhusukannya begitu mendengar suara berat dan khas Tuan Guru saat mulai takbir.

Beberapa warga Apo Kayan Uma Afan yang kebetulan melintas merasa heran melihat cara masyarakat pendatang itu dalam menyembah hantu-hantu penguasa hutan atau Bali menjalankan Ibadah Salat apalagi tahu bahwa "ketua adat" dari warga Melayu itu adalah Datu Mancang namun anehnya sang pangeran berdiri pada barisan paling belakang, sedangkan orang tua berjanggot itu malah kini berdiri paling depan serta menjadi "pemimpin". Datu Mahubut dalam Salat Magrib itu kemudian membacakan ayat Al Kafiruun. 

Beberapa pekan mereka tinggal bersama masyarakat Apo Kayan Uma Afan itu, Datu Mahubut belum melakukan syiar Islam kepada masyarakat yang masih dinamisme-animisme itu karena berbagai pertimbangan, termasuk ingin menanamkan kepercayaan
terlebih dahulu serta strategi terbaik dalam menanamkan akidah dan syariat. Sesuai perundingan sebelumnya, maka Datu Mahubut dan Datu Tantalangi menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang di dalamnya ada pesan dan peringatan bagi pangeran agar fokus kepada tugas utamanya.

Misalnya, menteri pemerintahan sekaligus ulama itu menyampaikan berbagai pertimbangan yang penting baik sisi politis agar mereka mampu memperluas wilayah kekuasaan maupun strategi perang agar bisa mengusir pasukan
Sumbang Lawing. 

Datu Mahubut juga mengingatkan pangeran bahwa di balik tekad untuk membantu masyarakat Apo Kayan itu, maka titah sultan menjadi amanat sangat penting untuk memperluas wilayah kesultanan serta menjalankan syiar Islam jangan sampai terlupakan apalagi masyarakat yang mereka temui itu belum memeluk suatu agama. "Pertama, kita butuh waktu untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai kekuatan dan kelemahan Sumbang Lawing maka menjadi dasar kita menyusun kekuatan" ujar Datu Mahubut.

"Tidak ada salahnya di sela-sela waktu, kita membantu warga Apo Kayan ini dalam berbagai hal, menata perkampungan, pengobatan serta memberikan pemahaman Agama, khususnya tentang tauhid karena mereka belum mengenai Keesaan Tuhan. Dari gambaran sedikit mengenai kehebatan Sumbang Lawing maka langkah awal yang terbaik jangan terburu-buru melawannya, jadi kekuatan serta modal terbesar yang kini menjadi kekuatan kita adalah bersabar". "Apalagi, dari 100 prajurit terbaik yang menyertai pelayaran, kini yang tersisa
hanya puluhan orang karena sebagian hilang ditelan ombak saat berusaha menyelamatkan kapal layar yang dihantam badai. 

Jadi benar sekali apa yang disampaikan Tuan Guru, butuh waktu untuk menyusun kekuatan. Kita juga membutuhkan persiapan dalam mencari serta melatih lebih banyak ksatria Dayak agar terhimpun pasukan hebat yang bisa diandalkan Pangeran ketika
bertempur dengan barisan Sumbang Lawing itu" imbuh Datu Tantalangi.

Pertimbangan-pertimbangan dua tokoh yang ia sangat hormati itu menyadarkan pangeran bahwa dipundaknya kini memikul amanat berat sehingga membutuhkan tahapan rencana matang baik untuk kebesaran kesultanan maupun tugas dunia-akherat dalam memperjuangkan Islam. Batin Datu Mancang membenarkan semua yang terlontarkan dari Datu Mahubut dan Datu Tantalangi, "Dalam beberapa hari ini, ternyata aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Kecantikan Putri Asung Luwan seharusnya bukan memperlemah diriku akan tetapi menjadi api yang membakar semangat untuk memerangi kebatilan, memperluas wilayah kesultanan serta menyebarkan Islam ke penjuru dunia".

Sang Pangeran pun mulai mengajak dua orang yang mendapat tugas khusus mengawal dirinya itu memrundingkan berbagai langkah awal dalam menghadapi situasi tersebut. Setelah membahas berbagai persoalan dan menemukan jalan keluarnya, maka diputuskan agar Datu Mancang menyampaikan beberapa hal yang dianggap perlu melibatkan Putri Asung Luwan dan lembaga adat Apo Kayan Uma Afan.

Sesuai harapan para pendatang itu, maka pada hari pertemuan akbar yang ternyata tidak hanya dihadiri oleh Putri Asung Luwan, para tokoh adat, tetua masyarakat Apo Kayan namun beberapa ketua adat dari klan (suku keluarga) lainnya yang juga terusir oleh pasukan Sumbang Lawing.

Datu Mancang mendapat kehormatan dari Putri Asung Luwan dan tetua adat Apo Kayan Uma Afan itu untuk langsung memimpin pertemuan tersebut sehingga duduk di tengah lamin didampingi Datu Mahubut dan Datu Tantalangi. Datu Mancang berdasarkan berbagai pertimbangan dua orang yang mendampinginya itu kemudian menyampaikan rencana-rencana, terutama meminta dukungan masyarakat pedalaman dari berbagai anak suku dan suku keluarga itu.

"Sumbang Lawing bukan hantu yang tak terkalahkan namun ia hanya manusia biasa yang tentunya memiliki kekuatan dan kelemahan. Namun sayangnya kami belum banyak mendapatkan gambaran sebenarnya tentang kekuatan pasukan dia. Padahal ini penting untuk menyusun kekuatan serta mengatur strategi tempur" kata Datu Mancang.

Namun, Datu Mancang kemudian memaparkan bahwa dari gambaran sepotong sepotong
itu maka bisa dipastikan bahwa dari jumlah prajurit Apo Kayan sangat tak berimbang dengan pasukan Sumbang Lawing sehingga mengharapkan para kesatria Dayak dari berbagai anak suku maupun suku-suku keluarga itu segera  bergabung sehingga tercipta sebuah pasukan yang nantinya akan dilatih oleh Datu Tantalangi.

Para tetua adat dari beberapa kawasan pemukiman yang ternyata juga korban pasukan Sumbang Lawing berjanji akan membantu mengirimkan pengintai ke wilayah yang kini dalam kekuasaan pasukan Iban itu. Tujuannya tak lain untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan tentara Sumbang Lawing. "Kelemahan Sumbang Lawing adalah ia tenggelam dalam kepongahannya karena sudah membunuh puluhan bahkan mungkin ratusan kesatria sehingga akan membuat dia lengah". "Selain itu,kekuatan sesungguhnya pasukan Iban tersebut bukan karena jumlah mereka yang banyak akan tetapi keberadaan Sumbang Lawing sendiri. 

Jadi jika saja dalam pertempuran nanti Sumbang Lawing bisa dikalahkan maka prajuritnya akan menyerah karena dewa mereka sudah bertekuk lutut" papar Datu Mancang yang sekali-sekali menatap Putri Asung Luwan yang lebih sering menundukan wajahnya padahal pangeran berharap bisa melihat sebuah pancaran sinar pengharapan dari mata bulat indah putri terhadap dirinya. Sementara dua orang kepercayaan sang pangeran, Datu Mahubut dan Datu Tantalangi duduk diam tak sekalipun mengeluarkan suara untuk mencela atau
membenarkan apa yang sudah terlontarkan dari mulut Datu Mancang.

Pengalaman mereka yang sudah begitu lama membangun kejayaan kesultanan ayahnda Datu Mancang membuat mereka bisa menjaga sikap dalam membesarkan sang raja, yakni apa yang sudah terlontar dari mulut sang junjungan merupakan sebuah titah.

Bukan berarti sang raja atau sultan tidak pernah salah ataupun diingatkan namun sebaliknya justru harus selalu dikawal agar kebijakannya bisa berjalan sesuai  tradisi, budaya serta kesultanan yang umumnya sejalan dengan hukum Islam akan tetapi melalui proses yang tidak menjatuhkan wibawa sultan di depan rakyatnya maupun warga lain di luar kesultanan.

Datu Mahubut duduk diam namun jarinya terus bergoyang karena meniti butir butir
tasbih, hal yang sama terlihat dari sikap Datu Tantalangi namun di balik wajah dinginnya sebenarnya pandangan pendekar sakti itu selalu mengawasi sekelilingnya karena sebagai seorang panglima maka ia mendapat amanat mengawal keselamatan sang pangeran.

Kewaspadaan yang selalu menjadi salah satu senjata di balik sikap dinginnya membuat pria berusia sekitar 40 tahun itu seperti jarang menikmati sebuah keindahan mungkin hal itu juga yang menghalangi dirinya untuk berumah tangga.

Tiba-tiba terbersit di benaknya tentang hal yang pernah diutarakan Datu Mahubut tentang hal ikhwal asmara itu sehingga ingin memastikan sebuah kebenaran tentang keelokan seorang putri Apo Kayan itu agar indah khabar memang seusai rupanya. "Subhanallah, ternyata wanita ini yang dikatakan oleh Maha Guru (Datu Mahubut) telah melepaskan anak panah beracun yang sangat berbisa menembus jantung Datu mancang. Sangat pantas sang pangeran kelimpungan dan sangat pantas menjadi sang permaisuri mendampinginya, semoga semua semuanya berhasil" batin Datu Tantalangi saat memperhatikan sumber penyebab kegundahan junjungannya itu yang kebetulan mengangkat sedikit wajahnya saat
mencuri pandang tertuju kepada Datu Mancang.

Sementara itu, karib Putri Asung Luwan, Bulan ternyata diam-diam juga memperhatikan pria sosok pria pendiam bertubuh tinggi kekar yang tampaknya sangat disegani para prajurit Datu Mancang. "Putri, sejak mereka tiba di sini aku sering memperhatikan pria pendiam yang sering mendampingi pangeran itu". "Sebenarnya wajahnya menarik namun karena tidak pernah senyum bahkan disapapun kadang-kadang tidak menanggapi, menyebabkan pesona sebagai pria hilang," bisik Bulan yang meminta Putri Asung Luwan diam-diam ikut memperhatikan Datu Tantalangi. "Meskipun usianya terpaut jauh dari kita namun jika ia bersedia menjadi suamiku maka aku tidak keberatan. Pasalnya, mungkinkah pria seumur dia masih bujangan dan suka dengan ku" rasa penasaran Bulan terus ditumpahkan kepada Asung Luwan yang semula enggan menanggapinya namun sang putri
akhirnya terpancing juga. "Tak perlu mencari-cari cinta, jika saatnya tiba maka cinta akan menemukanmu meski kau sembunyi dimanapun" bisik Putri Asung Luwan.

Bulan terperangah mendapat balasan putri. Pasalnya, selama ini justru dirinya yang merangkai kata-kata untuk menghibur atau sekedar membesarkan hati wanita itu namun justru kini malah putri melontarkan kalimat yang seperti ingin membesarkan hati dan membangkitkan semangatnya. "Kata-kata itu untuk menghibur diriku atau suara hati putri karena cinta itu sekarang sudah duduk di depan kita" ujar Bulan yang menyengat kesadaran
Putri Asung Luwan bahwa itulah suara hatinya dimana kini menjadi singgasana seorang pria yang kini berada di depan mereka.

Penawar dan Racun

Dua pria tampak berdiri di tepian Sungai Kayan menatap kawasan rimbun hutan di seberangnya. "Beberapa pengintai sudah kembali serta menuturkan bahwa jumlah pasukan Sumbang Lawing memang jauh lebih banyak bahkan mereka menduga tak kurang 1.000 hulubalang. 

Khabar baiknya, sementara ini Sumbang Lawing masih tenggelam dalam pestanya sehingga belum bergerak untuk menjarah desa lainnya". Tuan Guru yang mendapat berita dari Datu Tantalangi itu menghela nafas sambil pandangannya jauh melintasi bukit yang berselimut hamparan berbagai jenis pohon meranti di depan sungai. "Usiaku sudah senja, Panglima. Bisa jadi ini pengembaraan terpanjang karena di wilayah ini akan menjadi pembaringan terakhirku.

Mudahan titah Sri Sultan agar kita mampu memperluas wilayah kesultanan serta terus menambah jumlah saudara Muslim berjalan lancar sebelum nafas ini berakhir" ujar Tuan Guru. Kata-kata Datu Mahubut itu meskipun dengan suara datar namun membersitkan kegetiran serta kekhawatiran sehingga seperti angin kemarau yang kadangkadang bertiup kencang menerpa wajah Datu Tantalangi bak menampar wajah Sang Panglima sehingga segera tersadar bahwa posisi mereka kini sama seperti sejarah perjuangan Islam yang sering dituturkan Tuan Guru. 

Datu Tantalangi langsung teringat perjalanan sejarah perjuangan Islam, yakni pada 28 Ramadhan tahun ke-92 Hijrah. Kala itu, Thariq bin Ziyad membuka Andalusia (Spanyol) yang dikenal dengan sebutan Futuh Andalusia memerintahkan kapal-kapal perang mereka dibakar. Para pejuang Islam heran dengan perintah Thariq bin Ziyad karena mereka sudah melintasi selat antara Afrika dan Eropa atas perintah Musa bin Nushair. "Musuh di depan kalian. Apabila kalian mundur, lautan ada di belakang kalian." Ucapan Sang Panglima Thariq seperti sering diriwayatkan Datu Mahubut kini seperti terngiang-ngiang di telinga Datu Tantalangi.

Kini mulai ia menyadari bahwa sudah tidak mungkin lagi mereka ke kawasan hilir sungai yang begitu panjang dan bercabang-cabang untuk mencari kapal layar mereka. Kalaupun harus membuat kapal layar baru maka membutuhkan waktu lama, serta hal yang muskil jika harus membagi waktu membuat perahu layar sambil membangun kekuatan melawan musuh di kawasan pedalaman. "Ternyata memang benar bahwa cinta adalah sepenggal dusta, dan rumah tangga adalah sebuah penjara bagi kebohongan itu" batin Datu Tantalangi yang membenarkan tentang sikapnya yang selama enggan memikirkan cinta dan berumah tangga.

Pria yang sebenarnya terlihat sangat jantan sehingga dari penampilannya orang segera tahu bahwa dia memang ahli ilmu bela diri karena melihat gerak geriknya yang selalu waspada serta langkah kaki yang panjang dan ringan. Di balik sikap yang dingin dan angker tersembunyi sebuah kekuatan seorang pendekar yang siap membela mereka yang lemah.

Namun, mungkin karena ia sedari kecil sudah mempelajari berbagai ilmu bela diri sehingga terdidik untuk teguh dalam sebuah prinsip serta selalu berhati-hati dan mewaspadai berbagai hal yang bisa dianggap sebuah sebuah kelemahan. Mungkin, karena jatuh cinta bisa melemahkan semangat serta jadi salah satu siasat yang dapat meracun kekuatan seorang pendekar paling sakti sehingga tanpa disadari pria bertubuh tinggi atletis itu begitu menghindari wanita sehingga dalam usianya hampir 40 tahun masih belum berumah tangga.

Beberapa wanita ternyata justru sangat penasaran dengan sikap dingin dan misterius Datu Tantalangi tersebut. Mereka menduga-duga terhadap sikap dingin Datu Tantalangi, ada yang memperkirakan bahwa pria itu pernah mengalami patah hati sehingga tidak lagi tertarik dengan wanita lain karena hatinya sudah tertambat dalam satu janji suci dengan seorang gadis. "Seandainya aku jatuh cinta dengan seorang wanita dan kini terikat dalam
sebuah sangkar keluarga, bagaimana susahnya mereka memikirkan aku" Datu Tantalangi yang akhirnya ikut tenggelam dalam lamunan karena tak mungkin lagi bisa melihat tanah leluhur mereka. "Waktu yang ada ini kita manfaatkan untuk menyusun kekuatan. Termasuk
melatih para ksatria Dayak agar menjadi pasukan yang terlatih" ujar Panglima. "Benar, kita manfaatkan waktu yang ada termasuk memperkenalkan Islam serta berbagai hal agar nantinya Datu Mancang mampu membangun sebuah kekuasaan baru di daerah ini" ujar Tuan Guru. "Berbagai langkah selanjutnya segera kita sampaikan ke Pangeran. Terutama
dalam mempersiapkan pasukan tersebut" Keduanya kembali terdiam dan tenggelam dalam lamunannya masing-masing. 

Tak lama terdengar suara langkah kaki ringan melintasi tempat mereka berdiri di tepian Sungai kayan. Datu Tantalangi meskipun tidak menoleh namun telinga terlatihnya sebagai
seorang pendekar segera tahu bahwa di belakang mereka ada dua wanita yang melintas.
"Tuan, mohon maaf mengganggu" terdengar suara halus wanita yang tak lain adalah Putri Asung Luwan bersama sahabatnya Bulan.

Dua pria itu segera membalikkan tubuhnya. "Tidak tuan Putri, kami hanya lagi memandang keindahan bukit di depan sungai" kata Datu Mahubut. "Apa yang bisa kami bantu tuan Putri" ujar Datu Mahubut sambil tersenyum sementara Datu Mahubut meskipun tetap dengan wajah tanpa ekspesi namun menunjukan sikap hormat dengan sedikit membungkukkan tubuhnya begitu berhadapan dengan dua wanita cantik Apo Kayan Uma Afan itu. "Kami menggelar pesta yang menjadi tradisi nenek moyang kami jika menerima
tamu kebesaran sebagai tanda hormat kami. 

Acaranya hari ini dilaksanakan di lapangan depan lamin. Sudinya lah kiranya tuan-tuan bisa menghadiri undangan kami ini" kata tuan Putri. "Insya Allah kami akan kesana putri. Terima kasih kami sudah diterima dan dianggap sebagai tamu kebesaran" kata Datu Mahubut sambil tetap tersenyum. Sementara itu, sekali-sekali Bulan tampak mencuri pandang menatap wajah serta mata dingin Panglima yang meskipun berhadapan namun tidak pernah membalas tatapan mata itu. "Terima kasih tuan atas kemurahan hatinya menghadiri undangan kami, kalau begitu kami mohon diri dulu" kata Putri sambil tersenyum diikuti oleh Bulan.

Keduanya kemudian berbalik berjalan kembali ke perkampungan, dengan menyisakan aroma lembut seperti mawar hutan dari harum tubuh putri. "Sepertinya akan dilangsungkan pesta menyambut kedatangan pangeran. Ada baiknya, kita melihat tradisi mereka" kata Datu Mahubut. "Oh ya, menurut penglihatan mata tua ini, teman putri itu, tidak salah namanya Bulan, dari pandangannya membersitkan sebuah gelora terhadap dirimu hai Panglima". "Maaf tuan guru, saya semasekali tidak tahu" kata Datu Tantalangi yang mendampingi langkah Datu Mahubut berjalan menuju lapangan tempat acara
pesta adat itu akan dilaksanakan. "Insya Allah pandangan saya bisa keliru" kata Datu Mahubut. "Mudahan itu tidak menjadi hambatan langkah saya di sini Tuan Guru" ujar Datu Tantalangi yang seperti mencerminkan sikapnya terhadap wanita yang belum berubah.

Tuan Guru tidak hanya secara khusus memperhatikan Sang Pangeran namun menganggap semua komunitas Melayu yang menyertai perjalanan mereka sebagai anak sehingga sangat memperhatikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Termasuk Datu Tantalangi yang dalam usianya sangat matang itu belum juga memikirkan keluarga sehingga cukup merisaukan orang tua itu. "Wanita memang bisa menjadi penawar dan racun" imbuh Tuan Guru. Di antara para komunitas Melayu dari negeri seberang itu, hanya Tuan Guru yang berani menyinggung masalah wanita dengan Datu Tantalangi karena sepertinya masalah itu sangat tabu dibicarakan di depan sang Panglima.

Keduanya kian mendekati lapangan tempat acara adat digekar. Kian dekat terlihat jelas suasana semarak di lapangan depan Lamin itu. Warga desa tampak mengelilingi lapangan yang dijadikan arena berlangsungnya sebuah acara. Di Tengah lapangan tampak dua pemuda kekar berhadaphadapan.

Begitu diberi aba-aba, keduanya saling tubruk seperti adu banteng. Pertandingan tradisional Dayak itu, mirip dengan Sumo di Jepang. Di antara penonton tampak Putri Asung Luwan bersama Bulan. Sementara di sudut lain lapangan, tampak Sang Pangeran ikut menonton pertandingan gulat tradisional yang sambil sekali-sekali memandang sang putri yang pura-pura tidak melihat kehadiran Datu Mancang.

Tantangan Wira Dayak

Setelah menggelar berbagai acara tradisional, antara lain tari-tarian menyambut tamu oleh wanita Apo Kayan serta tarian perang oleh pria Dayak yang menggunakan seragam tempurnya lengkap mengenakan tameng dan mandau, ucara penghelatan akbar itu juga mempertunjukan seni bela diri masyarakat pedalaman, yakni gulat mirip Sumo di Jepang.

Pergelaran gulat itu sangat meriah karena selain mempertontonkan kejantanan ksatria Dayak dalam memamerkan kekuatan otot tangan, tubuh dan kaki dalam mendorong atau membanting lawannya juga banyak kejadian lucu yang mengundang tawa, misalnya ketika ingin mengunci tangan lawan ternyata salah tangkap ternyata tali cawat sehingga sang musuh harus minta pertandingan dihentikan sementara karena membenarkan alat penutup kelamin itu. 

Beberapa hulu balang Datu Mancang karena tidak bisa menahan diri mungkin juga karena ingin mendapat perhatian gadis-gadis Apo Kayan akibat terlalu lama hidup di kapal-- akhirnya ikut pertandingan gulat tradisional itu. Kehadiran para hulu balang atau pasukan Datu Mancang itu kian memeriahkan suasana karena mereka tidak tahu peraturan pertandingan sehingga sering mengundang tawa karena ulahnya seperti anak Balita yang coba-coba meniru permainan orang dewasa sehingga hanya serandak-serunduk tanpa aturan. 

Hampir semua yang menonton pertandingan gulat merasa terhibur sehingga meskipun tidak tertawa namun paling tidak tersenyum seperti sering menghiasi wajah jelita Putri Asung Luwan. Entah tersenyum karena melihat meriahnya pertandingan gulat tersebut atau
karena hatinya sedang berbunga-bunga melihat Sang Pangeran yang seperti tak sengaja sering bertatap mata dengannya. Awalnya, ia ingin menahan diri agar tidak menatap Datu Mancang, sebagai gadis yang menjadi rebutan banyak ksatria serta pewaris kebesaran tahta Putri Apo Kayan, Asung Luwan ingin memperlihatkan keanggunanan serta "kehormatannya" agar tetap menjadi bunga mawar yang mengundang kumbang bukan sebaliknya.

Namun, antara perintah otak dan hatinya tak sejalan dengan sebuah kekuatan seperti roh yang menyihir dari dalam jiwa terdalamnya sehingga tetap saja ia mencuri-curi pandang menatap wajah Datu Mancang. Bak magnit ternyata setiap ia mencuri pandang, ternyata Sang Pangeran juga kebetulan menatap wajahnya sehingga beberapa kejadian itu membuat keduanya salah tingkah, bahkan raut wajah Putri Asung Luwan jadi berubah-ubah karena warnanya kadang-kadang pucat, kadang-kadang bersemu merah.

Padahal, sebenarnya tak satu pun orang memperhatikan hal itu karena sedang larut pada acara yang meriah tersebut. Kecuali, satu orang. Bahkan, sejak acara dimulai tak pernah terlihat sebuah senyuman di wajahnya. Bahkan, dari air mukanya terlihat memendam sebuah kemarahan. Ia adalah Paren Ala yang memendam api asmara terhadap Putri Asung Luwan.

Berdiri berdekat dada seperti patung Budha di bawah pohon beringin yang agak jauh dari kerumunan warga yang menonton gulat itu, tatap matanya tak terlepas dari gerak-gerak Putri Asung Luwan dan Pangeran Datu Mancang yang kasmaran tersebut meskipun keduanya memang tak pernah berduaan serta sekali terlihat bertutur sapa.

Begitu melihat bahasa tubuh, kadang saling curi pandang serta tersenyum penuh arti membuat kepala Paren Ala terasa sangat panas. Mungkin jika ada yang meletakkan telur ayam di ubun-ubunnya pasti akan segera matang. Kegagalannya saat membawa pasukan untuk memerangi Sumbang Lawing membuat dirinya seperti layangan putus tali karena cintanya otomatis sudah mendapat jawaban tegas, tak mungkin lagi bisa mendapatkan Putri Asung Luwan karena gagal melumpuhkan Sumbang Lawing.

Kebenciannya yang begitu mendalam terhadap Sumbang Lawing karena terbakar cemburu serta masalah harga diri tiba-tiba kini beralih kepada Sang Pangeran. "Jangankan Sumbang Lawing, melawan diriku saja ia tak akan mampu berdiri tegak. Aku ingin mempermalukan dirinya baik di depan pengikutnya, masyarakat Apo Kayan serta terpenting di depan mata putri" tiba-tiba terbesit tekadnya untuk mempercundangi Sang Pangeran.

Bertepatan dengan saat itu, terdengar pengumuman bahwa sang juara akan diumumkan karena di tengah lingkaran tinggal seorang pemuda tegap yang telah berhasil mengalahkan juara-juara lainnya. Jika tidak ada lagi yang punya nyali maka pemuda berbadan kekar itu akan menjadi sang pemenang.

Namun, ketika akan segera diumumkan juaranya, tiba-tiba Paren Ala meloncat ke tengah lingkaran artinya pemenang ditunda karena masih ada penantang. Begitu melihat masih ada penantang, akhirnya penonton kembali mendekati lapangan serta bersorak-sorak karena yang ikut memeriahkan acara itu adalah salah satu ksatria terbaik Apo Kayan, Paren Ala.

Begitu tanda pertandingan dimulai, Paren Ala yang meskipun berhasil menekan perasaan hatinya sehingga tak terlihat amarah di wajahnya namun gerakannya dalam menyerang menunjukan kebencian yang terpendam pada seseorang karena tanpa ada seni atau upaya untuk menghibur namun langsung mengeluarkan jurus mematikan padahal acara itu hanya untuk kegembiraan.

Sikap itu jelas mempertontonkan sebuah keangkuhan atau kepongahan sehingga masyarakat Apo Kayan yang paham situasi itu menyadari bahwa ada sesuatu
yang menyebabkan Paren Ala tiba-tiba tampil beringas. Lawannya berdiri sambil meringis tanda menahan kesakitan dan segera keluar lingkaran karena ia sudah kalah telak serta tidak berani menghadapi kemarahan Paren Ala.

Ketika akan diumumkan bahwa ia sebagai sang pemenang karena tidak ada lagi yang berani masuk lapangan. Paren Ala tiba-tiba mengangkat tangan tanda agar penonton diam. "Aku bukanlah pemenangnya dan bukan pemain gulat yang hebat namun beberapa ksatria hanya segan untuk menentangku" ujar Paren Ala lantang sehingga mengherankan penonton akan ulah pemuda tersebut. "Sudilah kiranya, Pangeran ikut memeriahkan acara kami ini serta mengajar kami cara membela diri karena kami adalah kaum lemah" kata Paren Ala yang langsung maju ke depan Datu Mancang meskipun sikapnya terlihat hormat akan tetapi sinar matanya penuh tantangan.

Hampir semua yang hadir kaget dengan sikap Paren Ala itu. Tanpa kecuali Putri Asung Luwan. Putri juga merasa sebuah kebimbangan karena di satu sisi ia percaya akan ramalan sang bunda, Simun Luwan bahwa nantinya akan datang dewa penyelamat dari negeri seberang dan ia yakin bahwa pria yang konon nantinya akan jadi suaminya itu adalah Datu Mancang.

Di sisi lain, ia sedikit ragu karena sosok Datu Mancang meskipun badannya tinggi berisi namun terlihat tidak memiliki otot-otot kokoh seperti kebanyakan ksatria Dayak, apalagi dibandingkan dengan tubuh Paren Ala yang mempertontonkan otot badan atasnya yang tak mengenakan pakaian itu.

Sementara itu, Datu Mancang yang tak menduga akan mendapat serangan yang langsung menghujam kepada kehormatan seorang wira atau ksatria sehingga sempat membuatnya agak bimbang serta segera mencari sebuah jawaban yang mungkin terbersit dari pandangan Tuan Guru ataupun Datu Tantalangi.

Keberadaan dirinya dalam kekerabatan kesultanan menyebabkan ia terbiasa memperhitungkan segala tindakan dan ucapan. Pandangan matanya tertuju ke Tuan Guru dan Datu Tantalangi tanpa sengaja itu sebenarnya sekedar minta pertimbangan agar tidak salah mengambil langkah bukan karena takut.

Namun, sikap Sang Pangeran pada sekilas pandangan mata Paren Ala tak lebih dari sebuah ketakutan Datu Mancang untuk menghadapi kegarangan dirinya "Seharusnya begini sikap seorang laki-laki sejati, bukan mirip bocah yang selalu berlindung di belakang ayahnya. Baru menghadapi tantanganku ia ketakutan setengah mati, apalagi melihat wajah setan Sumbang Lawing" umpat puas Paren Ala dalam hatinya.

Datu Tantalangi yang juga sebenarnya adalah guru ilmu bela diri yang telah menurunkan berbagai kesaktiannya kepada Datu Mancang tidak merasa khawatir jika Sang Pangeran menghadapi Paren Ala.

Datu Mancang sendiri pun juga tidak mengkhawatirkan tantangan Paren Ala itu. Sebagai seorang pendekar yang menguasai berbagai seni bela diri maka ia segera memahami bahwa kekuatan gulat tradisional itu hanya bertumpu pada kekuatan kuda-kuda, sedangkan cara mudah melumpuhkan lawan adalah memanfaatkan kekuatan lawan sebagai senjata melumpuhkan bukan dengan melawannya dengan kekuatan yang sama.

Kekhawatiran Sang Pangeran sama dengan yang ada dalam benak Datu Tantalangi maupun Datu Mahubut, yakni posisi Datu Mancang saat itu kurang menguntungkan. Ya, posisi keluar sebagai pemenang atau pecundang tak lah menguntungkan bagi pangeran dari sisi diplomasi karena mereka bukan mencari perselisihan namun justru menggalang kekuatan.

Jika ia memenangkan pertandingan itu, maka akan sangat melukai harga diri Paren Ala di depan rakyatnya sehingga bisa jadi bibit perpecahan karena pengikut setianya juga masih banyak padahal saat itu mereka sedang menggalang kekuatan sebanyak-banyaknya agar seimbang dengan pasukan Sumbang Lawing.  Sebaliknya, jika Sang Pangeran kalah maka akan menurunkan pamornya. Hal itu jelas membuat mereka tidak mendapat kepercayaan dari warga setempat untuk menyusun sebuah kekuatan melawan Sumbang Lawing.

Apalagi mereka sudah bertekad bahwa dalam membuka wilayah kekuasaan baru lebih mengutamakan cara diplomasi bukan melalui kekerasan. Di tengah ketegangan serta posisi yang serba salah bagi Sang Pangeran itu terdengar suara halus namun cukup berwibawa yang memecahkan keheningan dan ketegangan di arena tersebut. "Ini hanya sebuah acara penyambutan sehingga kami merasa sudah cukup.

Sebaiknya kita istirahat dulu" kata Putri Asung Luwan yang segera mencairkan suasana menegangkan itu dengan secara halus menghentikan sikap pongah Paren Ala yang ingin menunjukan kehebatannya. Entah Putri Asung Luwan punya ikatan batin begitu kuat sehingga memahami posisi sulit Datu Mancang pada saat itu. Atau mungkin khawatir Sang Pangeran akan terluka oleh amuk cemburu Paren Ala yang masih memendam asmara
dengan dirinya.

Putri Asung Luwan sendiri segera bergegas meninggalkan arena dengan sedikit kebimbangan karena tantangan Paren Ala itu seperti sebuah kunci jawaban tekateki
tentang adanya sedikit ganjalan dalam hatinya, yakni keraguan. "Mungkinkah Pangeran mampu melawan Sumbang Lawing ? Kalau akhirnya tewas, siapa lagi jodohku. Mungkin lebih baik akupun mati sehingga berakhirlah penderitaan ini" pertanyaan-pertanyaan itu seperti virus yang menggrogoti jiwa Putri karena dalam hati kecilnya sudah tidak ada orang lain, kecuali Datu Mancang.

Sementara itu, ketika semua orang meninggalkan arena, hanya Paren Ala yang masih berdiri seperti tonggak kayu ulin di tengah lapangan sambil tersenyum simpul karena hari itu menggenggam sebuah kemenangan dengan berhasil mempermalukan Sang Pangeran. "Untung Putri Asung Luwan menyelamatkannya. Jika tidak, akan aku hajar sampai pingsan" suara hati Paren Ala yang masih sedikit sebel.

Pemikiran itu tampaknya menjadi obat yang agak lumayan mujarab untuk mengobati luka sakit hati pemuda malang tersebut sehingga timbul rasa penyesalan. Bahkan, ia berjanji dalam hati memaafkan "kelancangan" warga pendatang itu karena berani menaruh hati dengan Putri Asung Luwan sehingga tidak lagi merasa benci dengan kehadiran masyarakat Melayu tersebut. "Kasihan pemuda malang itu jauh-jauh dari negeri seberang hanya hantar
nyawanya. 

Begitu pula Sang Putri, ternyata pria idamannya itu tidaklah sehebat ramalan. Akhirnya, Putri Asung Luwan akan menjadi perawan tua yang bercumbu dengan pria di dalam mimpi-mimpi dan ramalan-ramalan" batin Paren Ala saat itu merasa menjadi pria paling bijaksana di dunia dan segera meninggalkan arena sambil sedikit membusungkan dadanya.

Paren Ala tampaknya menjadi salah satu manusia yang kini benar-benar membuktikan bahwa C I N T A itu sebuah keajaiban. Sesaat bisa membuat seseorang merasa teraniaya dan tertindas sehingga jadi mahkluk pendendam namun dalam beberapa detik telah merubah orang merasa menjadi seorang raja paling adil dan bijaksana di dunia ini.

Syiar Islam

"Untunglah, Putri bisa menghentikan sebelum duel itu berlangsung. Musuh kita sekarang bukan masyarakat Apo Kayan ini namun Sumbang Lawing. Selain itu, sesuai titah Sri Sultan yang juga menjadi kewajiban utama kita sebagai khalifah di muka bumi ini adalah membawa kedamaian" kata Tuan Guru kepada Sang Pangeran. "Selain musuh yang nyata di depan kita, sebenarnya ada musuh yang sangat berbahaya karena bak bayangan yang selalu menyertai langkah Pangeran dan bisa menyerang secara tiba-tiba tanpa belas kasihan saat kita tertidur" patuah Datu Mahubut. "Musuh paling berat itu, antara lain hawa nafsu, amarah, iri dengki serta fitnah karena untuk melawannya bukan dengan senjata atau kesaktian seperti yang sudah diajarkan oleh Datu Tantalangi namun dengan keimanan dan ketaqwaan". "Apa yang diperlihatkan oleh Paren Ala hari ini. Saya melihat bahwa hal itu
karena dorongan cemburu, iri dengki serta amarah. 

Jadi Pangeran hati-hati dalam melangkah, harus bisa menahan diri" petuah Tuan Guru itu menyadarkan Sang Pangeran bahwa ia harus mampu mengorbankan perasaannya sebagai individu terhadap bius kecantikan Putri Asung Luwan yang memabukkan, namun lebih fokus dalam mempersiapkan diri untuk menjalankan tugas utamanya baik sebagai seorang Muslim maupun memperluas wilayah kesultanan Brunei di dunia baru tersebut. "Terima kasih atas semua patuah Tuan Guru, aku berjanji bersama Datu Tantalangi untuk secara baik menyusun kekuatan kita di sini. Kalaupun diperkenankan, kami juga siap membantu tugas Tuan Guru untuk menjalankan syiar Islam di sini". "Tidak usah Pangeran, paduka akan punya cara sendiri dalam memperkenalkan Islam kepada mereka, mengingat waktu kita sangat terbatas. Jadi biarkan Pangeran dan Panglima mempersiapkan pasukan, paduka akan menjalankan tugas agama ini" kata Tuan Guru sambil menepuk pundak Datu Mancang yang dari kecil sudah menjadi anak asuhnya baik dalam ilmu agama dan pemerintahan sehingga seperti anaknya sendiri. "Baiklah Pangeran, paduka akan keliling kampung ini dulu, Assalamualaikum" kata Datu Mahubut yang segera turun dari Lamin. "Waalaikumsallam" jawab Sang Pangeran sambil terus memperhatikan langkah Tuan Guru. 

Sang Pangeran menarik nafas panjang saat bayangan Tuan Guru tidak terlihat lagi saat melintasi sebuah kerimbunan daun pandan di ujung perkampungan. Meskipun sosok Tuan Guru telah menghilang dari pandang matanya namun bayang orang tua yang sering mengenakan jubah putih-putih itu masih bermain main dibenaknya yang seperti pembukaan panggung drama yang disusul dengan munculnya sang bunda, adiknya Pangeran Muda, teman-teman sepermainannya dan terakhir Putri Asung Luwan. Batinnya kadang-kadang seperti "memberontak" atas keputusan untuk menitahkan dirinya berlayar jauh sehingga harus memisahkan dirinya dari semua orang yang ia sayangi. Ia merasa seperti memiliki dua jiwa. 

Sebagai seorang pria, ia terlatih bersikap keras serta memiliki hati Singa seperti tempaan selama ini oleh Datu Tantalangi. Namun, di sisi lain, Pangeran memiliki kelembutan serta jiwa penuh kasih sayang seperti yang selama ditanamkan Tuan
Guru. Hal itu yang membuat ia meskipun memiliki ilmu kesaktian bela diri yang hebat akan tetapi tertutupi oleh sikapnya yang selalu sopan dan santun.Kelembutan jiwanya itu sering membawa bayangan dirinya kembali bisa berkumpul dengan keluarga, handai tolan dan sahabatnya di tanah kelahiran. 

Namun, di sisi lain ada jiwa sangat keras yang sangat menjunjung harga diri agar memegang erat amanat. Di tengah pengembaraan jiwanya yang menembus awan dan kabut yang mengelilingi puncak gunung kapur di seberang Sungai Kayan ia seperti kembali jatuh ke bumi saat melintasi dua wanita cantik di depan Lamin.

Mereka menggunakan selendang yang sebagian menutup bagian perut sampai mata kaki, dan sebagian menutup bagian dada. Bagi masyarakat Melayu pemandangan seperti itu sempat membuat mereka mengalami kejutan budaya karena memperlihatkan aurat serta lekuk-lekuk tubuh wanita yang mengundang syahwat. Berbeda dengan di Brunei yang wanitanya menggunakan bajukurung dan berkerudung sehingga yang terlihat hanya tapak kaki, tapak tangan dan wajah. "Mungkin akan lebih sangat cantik seandainya Putri mengenakan bajukurung dan berkerudung" pikiran itu membuat dirinya tersenyum sehingga langsung dibalas oleh Bulan, sementara Sang Putri hanya menatap sekilas dan segera bergegas menuju Sungai Kayan membawa keranjang yang berisi perlengkapan mandi. Kala itu, masyarakat mandi menggunakan alat gosok batu apung dan
sejenis minyak dari tumbuhan sebagai sabun, serta sikat gigi dengan arang jerami. "Kecantikan seorang wanita dari akhlak. 

Dan seindah-indahnya pakaian seorang istri adalah akhlak yang mulia. Tetapi bagaimana bisa menilai jika budaya mereka memang begini dan memang belum mengenal syariat Islam. Apa perduliku, dia juga bukan istriku. Apalagi aku sudah berjanji dengan Tuan Guru untuk mendahulukan amanat sehingga kami dibuang ke pulau ini" pikiran pikiran yang semula seperti kabut asap yang terbang membawanya ke kampung halaman kini berubah menjadi gelora asmara yang menggantang dalam benak  Pangeran. 

Kian memikirkan Sang Putri, gelora itu kian terasa memabukkan seperti saat kapal layar mereka yang terombang-ambing terkena amukan badai maha dasyat ketika melintasi timur Pulau Borneo. "Sudah saatnya Azhar, sebaiknya sholat dulu. Masih banyak yang perlu dipikirkan ketimbang Putri Asung Luwan" batin Sang Pangeran segera menuju pelataran lamin dan begitu air wudhu dari dalam tempayan (guci terbuat dari tempikar) membasahi wajahnya, hati Datu Mancang pun tenang. Sementara itu, Tuan Guru telah sampai ke ujung desa serta bersua dengan kerumunan warga yang membawa berbagai jenis makanan dalam keranjang menuju sebuah pohon besar. 

Secara sopan Tuan Guru minta izin untuk mengikuti mereka yang ternyata menggelar ritual memberi sasajen berupa beras empat warna, hitam, kuning merah dan putih dilengkapi dengan telur dan seekor ayam pada sebuah pohon beringin raksasa yang terdapat di bawah bukit. Tuan Guru dengan seksama memperhatikan ritual itu sampai tuntas dan mengikuti mereka sampai kembali ke Lamin. "Anak kami sakit, karena ia beberapa hari sebelumnya bermain-main di bawah pohon besar ini, rohnya tertinggal dan ditahan para Bali (hantu) penguasa pohon ini" kata wanita tua yang memimpin upacara ritual dan juga dianggap sebagai dukun atau tabib. 

Dua hari kemudian, Tuan Guru kembali menengok anak sakit tersebut ternyata belum sembuh. Tuan Guru kemudian meminta izin untuk melakukan pengobatan termasuk kepada wanita dianggap dukun itu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Melihat bahwa kondisi anak itu terus memburuk maka mereka mengizinkan Tuan Guru melakukan pengobatan. Mungkin karena memang memiliki bekal pengetahuan tentang pengobatan serta izin Allah SWT, ternyata anak itu bisa sembuh. Tuan Guru memanfaatkan pengetahuannya tentang pengobatan melalui doa serta memanfaatkan tumbuh-tumbuhan berhasil mendekati warga setempat sehingga melalui hal itu ia pelan-pelan mengajarkan pengetahuan tentang Islam. 

Bahkan, dalam upaya memperkenalkan Islam itu Tuan Guru kadang-kadang bersikap "nakal" misalnya memperlihatkan kesaktiannya dalam merubah daun sirih yang ia gumpal menjadi serangga melata yang berbisa, kalajengking dan kaki seribu. "Ini bukan karena kesaktian akan tetapi atas izin Allah SWT" melalui berbagai cara itu Datu Mahubut mengajarkan tentang Islam, mulai dari Tauhid sampai keberadaan Muhammad SAW sebagai Sang Rasul. Perlahan-lahan warga Apo Kayan itu di kawasan itu mengenal tauhid namun kala itu Islam belum begitu berkembang karena Datu Mahubut tidak memiliki waktu panjang dalam menyampaikan dakwahnya.

(Catatan: Tidak diketahui pasti lokasi Datu Mahubut dimakamkan, karena sebagian masyarakat percaya ia kembali ke Brunei namun ada juga yang yakin bahwa ia meninggal di sekitar Baratan.Di salah satu bukit yang indah menghadap Sungai Kayan di sekitar Desa Baratan terdapat sebuah kubur kuno berusia ratusan tahun yang misterius namun konon makam seorang alim ulama. Makam kuno tersebut sampai kini dikeramatkan oleh sebagian
masyarakat, sehingga banyak yang datang untuk menyampaikan nazarnya di makam itu. Seadainya itu makam Tuan Guru atau Datu Mahubut maka arwahnya akan merasa sedih melihat ulah cucu Nabi Adam itu karena pada ratusan tahun silam justru ia memerangi kemusrikan).

Sumber : ruslanabdullah

No comments:

Post a Comment