Friday, 24 February 2017

Sejarah Pangeran Datu Mancang Brunei dengan Putri Asung Luwan Kayan Siri 2

Sejarah Pangeran Datu Mancang Brunei dengan 

Putri Asung Luwan Kayan Kalimantan Siri 2


Pertanyaan Sang Putri

Dalam sebuah pergaulan sosial maka pertemuan dua budaya berbeda membutuhkan waktu lama untuk saling memahami ataupun saling tegang rasa antara keduanya. Apalagi dalam kondisi normal. Bahkan, tak jarang perbedaan itu bisa menjadi sebuah gesekan sehingga lahir konflik antarkelompok karena berawal sikap saling mencurigai. Perbedaan tata-nilai budaya antara masyarakat Melayu sebagai pendatang serta masyarakat Dayak sebagai kelompok pribumi sangat mencolok kala itu. 

Masyarakat Melayu dari Brunei sudah sangat terikat dengan syariat Islam karena menjadi undang-undang dasar di Kesultanan Brunei. Sedangkan masyarakat Apo Kayan Uma Afan masih agak terbelakang karena belum memeluk agama, bahkan sebagian anak suku (sub etnis) masih nyaris telanjang karena hanya menggunakan kain penutup bagian bawah.  

Namun, kadang-kadang sebuah keindahan bukan karena kesempurnaan akan tetapi lahir oleh kekurangan serta kelemahan. Perbedaan juga akan menjadi sangat indah jika ada saling pengertian dan memahami. Rasa kebersamaan sebagai kaum yang terbuang menjadi sebuah tali-temali yang menyatukan antara masyarakat pendatang dan pribumi. Rasa keberhasamaan itu mampu menjadi perekat yang mengikiskan perbedaan tradisi dan budaya di antara mereka.

Warga Apo Kayan Uma Afan harus terusir dari kampung halamannya oleh Sumbang Lawing dan pasukannya tanpa pernah ada rasa belas kasihan terhadap orang lain. Di balik titah agung Sri Sultan kepada Datu Mancang bersama dua orang petinggi kesultanan, yakni Datu Mahubut dan Datu Tantalangi serta 100 orang hulu balang yang mengawal dirinya untuk mencari tanah kekuasaan baru serta tugas sangat mulia, syiar Islam merupakan "hukuman" bagi Sang Pangeran agar tidak kembali ke tanah kelahirannya.

Meskipun kata tak terucap, bibir tak bersuara akan tetapi jauh di dalam hati kecil mereka menyadari bahwa titah Sultan itu merupakan sebuah hukuman kurang adil tanpa ada pengadilan dan pembelaan.

Persamaan nasib menjadi orang-orang buangan itu juga tampaknya menjadi ikatan batin yang mampu menghalau perbedaan budaya dan tradisi sehingga dalam beberapa waktu saja keakraban segera terjalin antara masyarakat pendatang dan pribumi itu.

Kondisi itu sangat membantu bagi Sang Pangeran Datu Mancang dan Sang Panglima Datu Tantalangi menjalankan rencana mereka untuk memperkenalkan Islam, membangun daerah itu serta menyusun kekuatan. Sementara itu, hanya dalam beberapa waktu, Datu Tantalangi bisa mengumpulkan ratusan pemuda tegap dan kuat untuk menjadi pasukan yang akan melawan tentara Sumbang Lawing. 

Datu Tantalangi tanpa kenal lelah setiap hari melatih berbagai ketrampilan kepada pasukan yang mereka bentuk itu agar menjadi hulubalang hebat, termasuk ilmu bela diri yang ia kuasai. Datu Tantalangi tetap terus mengirim para pengintai ke kawasan pedalaman
untuk mengetahui tindak tanduk Sumbang Lawing sehingga mendapatkan informasi berguna dalam menyusun kekuatan pasukannya itu.

Teriakan lantang penuh semangat kewiraan dari ratusan prajurit saat melakukan
berbagai gerakan menyerang serta mempertahankan diri melalui aba-aba Panglima Datu Tantalangi tak saja mampu membangkitkan semangat mereka yang ikut berlatih namun juga warga Apo Kayan lainnya dalam menjalankan berbagai kegiatan membangun daerah itu.

Sinar matahari petang yang menembus cela-cela daun pohon damar di dekat lapangan menimpa otot-otot lengan berkeringat ksatria Dayak yang kokoh saat menggenggam Mandau (senjata khas Dayak), tombak dan tameng.

Pemandangan penuh semangat perjuangan dari ksatria Dayak yang berlatih itu mendapat perhatian penuh seorang pemuda yang berdiri sendiri di ujung pelataran lamin. Rambut panjang sebahu dibiarkan tergerai karena ia tak mengenakan ikat kepalanya. Ia menggunakan baju putih berlengan panjang serta celana hitam selutut yang biasa dikenakan para pendekar.

Pemuda tersebut yang tak lain Datu Mancang terus mengamati Datu Tantalangi yang penuh semangat serta disiplin melatih ratusan pemuda pedalaman bersama beberapa puluh hulubalang masyarakat Melayu yang menjadi pengawal dirinya dalam petualangan itu.

Tenggelam saat memperhatikan latihan itu, ia mendengar suara halus langkah kaki yang menghampiri dirinya. Meskipun ia tak menoleh namun Sang Pangeran mengetahui bahwa dua wanita mendekati dan salah satunya adalah Putri Asung Luwan karena ia seperti begitu hapal langkah, serta wangi tubuh gadis yang bak sekuntum mawar hutan itu.

Menyadari bahwa gadis pujaan kini terus mendekati diri tempat ia berdiri membuat ia pura-pura kian memperhatikan para prajurit yang berlatih di lapangan tak jauh dari lamin. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. "Pangeran..." terdengar suara lembut di belakangnya sehingga ia pura-pura kaget dengan kedatangan Putri Asung Luwan bersama sahabat setianya, Bulan sehingga ia segera berbalik dan memberikan ruang berdiri nyaman untuk gadis jelita itu.

"Bagaimana Putri...?" kata Sang Pangeran yang segera mengambil posisi untuk menjaga jarak agar jangan terlalu dekat berdampingi berdiri dengan Putri Asung Luwan karena bisa menimbulkan fitnah oleh ratusan mata prajurit yang latihan namun bukan tak mungkin ada yang memperhatikan mereka. "Saya menyampaikan pesan para tetua adat...kira-kira butuh berapa lama dan kapan pasukan siap untuk menyerang Sumbang Lawing" kata Putri yang
menyampaikan amanat para sesepuh itu tanpa berani menatap lawan  bicaranya.  "Sebenarnya, tambah lama waktu yang kita miliki akan lebih bagus karena jumlah pasukan akan terus bertambah serta lebih mendalami berbagai ilmu kewiraan oleh Datu Tantalangi" ujar Datu Mancang.

"Mungkin, kalau melihat kekuatan pasukan kita lebih banyak maka Sumbang Lawing akhirnya takut dan segera meninggalkan Apo Kayan sehingga tidak perlu terjadi pertumpahan darah karena sebenarnya bertempur itu adalah cara terakhir dan terburuk dalam menyelesaikan masalah. Peperangan akan menebarkan benih kebencian lebih banyak lagi sehingga kita tidak mampu meramalnya kapan itu akan berakhir. Dalam peperangan siapapun pemenang atau pecundangkan akan mengalami penderitaan" ujar Pangeran coba
menghibur hati Putri agar bisa menahan diri dalam kebenciannya. "Kebencian dan dendam itu jika tidak kita buang maka ibarat racun yang tumbuh terus menggegoroti jiwa sehingga pada akhirnya mematikan rasa belas kasih terhadap orang lain".

"Tapi mereka telah membunuh ayah, kakak dan keluarga-keluarga yang lain tanpa belas kasihan serta memikirkan penderitaan orang yang masih hidup" kata Putri. "Putri bisa membenci dan marah tetapi terhadap sikap dan prilaku mereka yang kejam itu namun berusahalah tidak membenci mereka sebagai manusia yang sama seperti kita juga merupakan mahkluk ciptaan Tuhan. Jika kekuatan kita sudah seimbang atau bahkan lebih kuat, maka kita akan berusaha menyadarkan mereka bahwa perbuatannya salah, jika tetap juga tidak mau menyadari dosa dan kesalahannya maka senjata adalah yang terakhir dan jalan terburuk" "Saya mengharapkan agar sebelum peperangan ini nantinya mungkin terjadi, Putri dengan besar hati segera menghapuskan kebencian dan dendam terhadap
Sumbang Lawing biarlah ia menanggung semua kesalahannya sendiri" ujar Pangeran.

"Sangat tidak elok jika kita hidup dengan memikul kebencian dan dendam di pundak kita karena hal itu membuat dunia ini seperti penjara sehingga kita tidak mampu lagi melihat jalan apa yang harus kita tuju di depan". Meskipun agak sulit memahami hal itu, terutama untuk melupakan kekejaman orang yang membunuh ayah, kakak dan keluarga lainnya akan tetapi kata-kata Sang Pangeran itu membuat Putri benar-benar merasa aman dan terlindungi berada dekat dengan pemuda itu. Putri merasa menemukan orang yang benar-benar mampu melindungi kehormatan dirinya meskipun kadang-kadang ada keraguan jika melihat sosok Pangeran yang terlihat santun dan halus sehingga membuyarkan bayangannya tentang sosok ksatria tangguh maha kuat sehingga sekali tebas bisa memanggal kepala musuh besarnya, Sumbang Lawing.

Tubuh Pangeran cukup tinggi dan berisi namun jika dibandingkan perawakan para ksatria Dayak yang rata-rata kokoh berotot sehingga kelihatannya ia lemah. "Siapa tahu dia memiliki kesaktian sehingga mampu mengalahkan Sumbang Lawing. Yang jelas, pemuda ini memiliki kepribadian yang sangat kuat sehingga wanita mana saja yang berada di dekatnya merasa terlindungi, jangan jangan ia sudah punya istri atau kekasih" batin Putri Asung Luwan. Hal itu segera mengingatkan ia akan sesuatu meskipun berusaha pendam namun
tidak ada masa lagi jika tak segera ia tumpahkan saat itu juga. "Pangeran..." terdengar suara ragu Putri Asung Luwan sehingga tidak melanjutkan katakatanya. Hal itu tanpa disadari membuat Datu Mancang memalingkan wajahnya untuk mencari jawaban dari kelanjutan kata-kata itu dari bibir Putri Asung Luwan.

"Ada apa putri ? tidak perlu ragu kalau ada yang ingin disampaikan". Maaf Pangeran, bolehkan aku bertanya sedikit masalah pribadi tuan" Tanpa menunggu kata "ya" atau kesediaan Pangeran tentang persoalan pribadinya dibahas, Putri Asung Luwan langsung mencecar pertanyaan tentang tujuan sesungguhnya pangeran bersama pasukannya hingga sampai terdampar di pemukiman mereka.

"Asa kami besarnya seperti bukit di sana jika Pangeran mampu mengalahkan Sumbang Lawing namun setelah itu Pangeran akan kembali berlayar keseberang dan kembali bertemu dengan gadis-gadis Brunei, atau mungkin istri Pangeran yang menanti di sana" kata Putri yang seperti mendapat sebuah keberanian luar biasa untuk menanyakan hal itu.


Pengalaman pahit yang selama ini silih-berganti menimpa Putri Asung Luwan agaknya menjadi sumber kekuatan untuk menanyakan pasal yang sebenarnya tabu bagi seorang wanita. Akan tetapi trauma akibat kehilangan satu persatu orang tercinta mengalahkan rasa tabu bagi wanita itu. "Saya minta maaf jika lancang menanyakan hal itu".

Datu Mancang sendiri awalnya tersentak dengan pertanyaan tak terduga itu namun ia senang, berarti Putri Asung Luwan memikirkan dirinya. Membahas keberadaan dirinya berarti akan menceritakan titah Sri Sultan sehingga ia ingin berterus terang kepada Putri Asung Luwan bahwa mereka adalah orang-orang buangan sehingga tabu untuk memikirkan orang-orang tercinta yang ditinggalkan. Namun, ia menuturkan bahwa ingin menetap lebih lama bahkan bersama-sama warga pribumi untuk membangun daerah itu.

"Kami hanya ingin diterima di sini, membantu Putri Asung Luwan memerangi angkara murka Sumbang Lawing, dan jika Putri mengizinkan maka bersama sama membangun daerah ini. Tidak ada wanita yang menanti saya di seberang sana, apalagi kekasih atau istri" papar Pangeran meskipun ia segera tersadar bahwa sesungguhnya satu-satu wanita yang ingin ia temui adalah Sang Bunda. "Dengan senang hati kami terima hal itu, justru masyarakat kami sangat berterima kasih karena Pangeran membantu kami melawan Sumbang Lawing" kata putri yang berusaha menahan senyum kegembiraannya.

Bulan lain lagi, ia tak dapat lagi menahan senyum penuh makna sambil terus menatap sosok kokoh pria pendiam dan misterius Datu Tantalangi yang telah membuatnya jatuh hati itu. Terlihat pria yang masih tampan meskipun usianya jauh di atas dirinya itu telah tuntas mengakhiri latihan pasukan dan kini berjalan menuju lamin tempat mereka berdiri. "Tampaknya sudah menjelang Magrib, saya permisi untuk persiapan beribadah
Putri" ujar Pangeran.

"Kami juga sudah dapat pengetahuan dari Tuan Guru, bahwa Tuhan hanya ada satu dan beliau berjanji akan mengajarkan kami sebagaimana cara Pangeran dalam memuja dan memuji Allah (Salat)" ujar Putri Asung Luwan sebelum berlalu sehingga mengagetkan Sang Pangeran.

"Alhamdullilah, ternyata upaya Tuan Guru sudah mulai membuahkan hasil meng-Islam-kan mereka" batin Sang Pangeran yang kini dalam sebuah   petualangan mulai terkena amukan badai hingga kapal layar mereka rusak hingga bertemu warga Apo Kayan Uma Afan di jatung rimba belantara Borneo yang hidup dalam teror itu.

Seribu Makna Cinderamata

Bukan hanya berbagi ruang namun masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang itu juga dengan terbuka berbagi cerita, pengalaman suka dan duka sehingga perbedaan budaya dan adat istiadat bukan menjadi hambatan utama dalam pergaulan sosial mereka.

Benih-benih cinta kasih bukan hanya melanda Pangeran Datu Mancang dan Putri Asung Luwan namun juga antara masyarakat Melayu pendatang yang semuanya berjenis kelamin pria dengan gadis Dayak di pulau itu.

Cinta telah sumbur berkembang sehingga secara perlahan menumbuhkan semangat kehidupan bagi warga setempat yang sebelumnya hidup dalam teror menakutkan dari ancaman serangan pasukan Sumbang Lawing.

Sebaliknya, perasaan hampa menjadi orang-orang terbuang bagi masyarakat Melayu itu juga kian terkikis, malah lahir perasaan bersyukur karena mengalamai sebuah pengalaman hebat untuk menjejaki kaki di wilayah baru serta bertemu dengan wanita-wanita menawan.

Jumlah warga pendatang dari berbagai sub-etnis atau anak-suku terus bertambah
di kawasan itu sehingga mereka sepakat membangun beberapa lamin lagi. Pangeran enggan komunitasnya mendapat perlakukan khusus sehingga mereka berbaur tinggal dengan warga pribumi. Kecuali satu buah lamin yang berfungsi sebagai musola.

Hadirnya musola membantu tugas Tuan Guru dalam menjalankan tugasnya menyebarkan serta mengajarkan Islam kepada warga pribumi sehingga tidak perlu lagi orang tua keliling kampung atau mendatangi kawasan pemukiman warga Dayak yang jaraknya rata-rata cukup jauh.

Usai berceramah serta menjadi iman Salat Subuh, Tuan Guru, Sang Pangeran, Datu Tantalangi serta beberapa warga Melayu masih bertahan di musola untuk berbincang-bincang berbagai hal. Sementara kaum mualaf telah meninggalkan lamin itu.

"Pengalaman dalam perantuan ini Insya Allah akan menjadi bekal berharga bagi Pangeran dalam mengambil berbagai keputusan jika beliau kelak mampu membangun daerah ini serta memiliki kerajaan sendiri. Jika mampu menghadapi masalah paling besar dan berat, maka persoalan-persoalan lainnya adalah hal yang tidak lagi menjadi buah pikiran" nasehat Tuan Guru yang sering memanfaatkan kesempatannya untuk menyampaikan petuah sebagai upaya mempersiapkan kepemimpinan Sang Pangeran.

Tanpa terasa, hampir dua belas kali bulan purnama memamerkan cahayanya kepada mereka selama masyarakat Melayu itu menjadi tamu masyarakat Apo Kayan Uma Afan di kawasan pedalaman jatung rimba Pulau Borneo itu.

Selama kurun waktu tersebut banyak terjadi perubahan di kawasan tersebut baik pada sektor pertanian, penataan pemukiman, kesehatan dan spritual karena hampir seluruhnya warga pribumi telah menjadi Muslim dan Muslimah. Kharisma Datu Mahubut sebagai seorang ulama besar sehingga suaranya sangat didengar warga setempat. Hal itu membantu dirinya dalam mengajak warga dalam menjalankan berbagai kegiatan pembangunan.

"Mungkin selama ini jika ada prasangka bukan-bukan terhadap titah sultan sehingga kita menjalani perantuan panjang ini. Kenyataannya, kini kita menyadari bahwa perantauan ini tak lain sebagai jalan menatap mahligai keberhasilan dan kemakmuran jika nanti kita mampu terus melewati berbagai onak dan duri." imbuh Datu Mahubut.

"Terima kasih atas semua perjuangan keras Tuan Guru yang selama ini benar benar
berjuang untuk kemaslahatan serta kebesaran Islam. Salah satu tantangan terberat dalam petualangan kita ini adalah menghadapi serta mengalahkan pasukan Sumbang Lawing. Saya ingin mendapat penjelasan dari Datu Tantalangi" kata Pangeran kepada Datu Tantalangi yang duduk bersebelahan dengan Tuan Guru.

Panglima Datu Tantalangi akhirnya mampu membangun sebuah pasukan yang terdiri dari ratusan hulubalang hebat. Hal itu bisa terlihat sosok tubuh mereka yang kokoh serta ketrampilan mereka menggunakan berbagai jenis senjata saat menyerang dan membela diri.
"Terima kasih Tuanku. Saya pikir kekuatan kita kini berimbang dengan Sumbang Lawing dan saya yakin bahwa kita mampu mengalahkan pasukannya.

Persoalannya, tinggal menyusun strategi dalam melakukan serangan" kata Datu Tantalangi.
Tuan Guru maupun Sang Pangeran tampak tidak bergembira mendapat penjelasan Panglima Datu Tantalangi karena terbayang di mata mereka bahwa sebuah pertempuran hanya melahirkan penderitaan baik kepada pemenang maupun pecundang serta akan melahirkan benih kebencian baru.

Namun, tampaknya peperangan adalah menjadi satu-satunya jalan mengakhiri kezaliman Sumbang Lawing meskipun bertentangan dengan perasaan mereka untuk menyelesaikan masalah melalui mata senjata. "Baik lah jika memang kita sudah siap. Nanti akan kita bicarakan dengan para sesepuh Apo Kayan" ujar Datu Mancang.

Usai pertemuan itu, ketika sinar mata hari perlahan-lahan mengeringkan embun embun
yang membasahi rumput di depan lamin, masyarakat Melayu kembali berbaur dengan kehidupan masyarakat pribumi. Sebagian di antaranya membantu warga dalam membenahi penataan lingkungan, serta mengajarkan pola pertanian menetap bukan lagi sekedar meramu hasil hutan ataupun berladang secara berpindah-pindah.

Pangeran dengan sikapnya yang selalu santun serta rendah hati juga berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tak sedikit pun tercermin bahwa Datu Mancang merasa derajatnya lebih tinggi karena selalu mendapat patuah dari Tuan Guru bahwa hakikatnya yang membedakan derajat manusia di mata Allah adalah karena ahlaq, taqwa dan ibadah bukan karena harta, tahta dan kebangsawanannya.

Warga yang mendapat uluran tangan dari Datu Mancang tetap saja merasa sungkan karena mereka tahu bahwa pemuda tampan itu adalah bangsawan yang memimpin rombongan pendatang itu.

Sikap santun serta menghargai keberadaan orang lain itu kian membuat warga sangat menghormatinya sehingga mengharapkan pria itu kelak menjadi pemimpin besar dan amanah yang membawa mereka menuju kebesaran, kesejahteraan dan kemakmuran.

Masyarakat melihat bahwa sosok Pangeran sangat pantas menjadi pemimpin serta serasi mendampingi Putri Asung Luwan sehingga mereka terus berdoa agar Datu Mancang bisa menaklukkan Sumbang Lawing yang menjadi mimpi menakutkan baik saat terjaga maupun dalam tidur-tidur mereka.

Setelah Pangeran menyampaikan tentang telah lahirnya pasukan yang akan mampu menghadapi pasukan Sumbang Lawing maka tetua Putri Asung Lawan didampingi tetua adat Apo Kayan beberapa hari melakukan berdialog dengan Pangeran Datu Mancang, Tuan Guru dan Datu Tantalangi.

Setelah membicarakan berbagai hal maka lahirlah keputusan untuk melakukan serangan terhadap pasukan Sumbang Lawing yang sampai kini masih berkuasa di dataran Apo Kayan. Kira-kira satu pekan sebelum akan mulai perjalanan menuju dataran tinggi Apo
Kayan, Datu Tantalangi terus mempersiapkan pasukannya dengan berbagai
latihan bela diri.

Para kaum pria yang terpilih menjadi ksatria yang bergabung dalam pasukan itu, sebagian tegang dan lainnya sangat percaya diri. Beberapa ksatria merasa mandau dan tombaknya kurang tajam sehingga berulang-ulang seperti mengasahnya pada sebuah batu padas di tepian Sungai kayan. Mungkin ini mencerminkan perasaan tegang menghadapi pasukan yang menjadi mimpi buruk mereka selama ini.

Namun, sebagian tampaknya tegang karena tak sabar untuk segera melakukan balas dendam atas penderitaan yang lahir dari kebrutalan pasukan Sumbang Lawing itu.
Pria yang tampak tenang menghadapi hal itu hanya Pangeran Datu Mancang, Tuan Guru dan Datu Tantalangi. Tuan Guru terlihat secara rutin tetap mengajarkan jemaahnya warga mualaf Apo Kayan membaca tulisan Arab serta berdaqwah usai menjadi iman Salat Magrib.


Kerlap-kerlip dari cahaya obor getah damar pada tiang-tiang bambu yang mengelilingi kelompok jemaah Tuan menampilkan pemandangan indah namun bernuasa mistis. Cahaya bulan purnama yang membantu menepis tabir malam menyempurnakan keindahan suatu malam di sebuah daerah pedalaman Sungai Kayan.

Dari sisi timur beranda Lamin, Datu Mancang menikmati keindahan malam tersebut sambil sekali-sekali memperhatikan jemaah Tuan Guru yang sedang belajar agama yang tidak begitu jauh dari tiang yang penuh ukiran ornamen Dayak tempat ia bersandar.

Terlindung dari bayangan tiang kayu ulin cukup besar itu, kadang-kadang ia tak mampu menahan senyum ketika melihat dan mendengar Putri Asung Luwan masih terbata-bata membaca tulisan Arab. Cahaya bulan purnama serta obor getah damar itu menyirami terang wajah jelita Putri Asung Luwan sehingga ia bisa menatapnya dengan jelas.

"Subhanallah... terima kasih Tuhan. Malam ini Engkau telah menganugerahkan sebuah keindahan-Mu. Meskipun besok aku tidak pernah akan tahu nasib dan takdirku, biarlah malam ini aku menikmati keindahaan anugerah-Mu ini" batin Pangeran Datu Mancang yang malam itu akhirnya merasakan juga tentang arti sebuah pertemuan dan perpisahan karena dalam beberapa hari mereka akan menghadapi salah satu tantangan terberat melawan pasukan Sumbang Lawing.

Sebagai mahkluk Allah, ia menyadari bahwa bekal ilmu bela diri dan kesaktian yang telah ia terima dari Datu Tantalangi dan Datu Mahubut sudah tentu bukan jaminan bagi dirinya agar selamat dari musibah dan ancaman maut dalam menapak hidup ini.

Manusiawi sekali, jika Sang Pangeran yang semula tampak tenang namun pada beberapa saat akhirnya ikut larut dalam sebuah kegalauan seperti perasaan para prajurit lain. Ia terjebak dalam sebuah momen yang menjadi tonggak bersejarah yang menentukan langkah berikutnya. Perasaan itu seperti pusaran air yang akan menenggelamkan dirinya ataupun wanita yang selama ini ia rindukan, Putri Asung Luwan.

"Namun, pada akhirnya, semuanya aku kembalikan kepada-Mu ya Allah jika perjalanan hidupku mesti berakhir di sini. Bahkan, jika mesti harus berakhir di tangan Sumbang Lawing karena semuanya pasti menjadi kehendak-Mu.  Engkaupun juga telah memberikan berkah kepada diriku ya Ya Rahhim dengan memperlihatkan salah satu keindahan ciptaan-Mu pada Putri Asung Luwan".

Pangeran pendiam dan santun itu tampak seperti patung pengawal menjaga tiang ulin karena terlena dalam lamunannya hingga Tuan Guru selesai memimpin pengajian.
Melihat jemaah Tuan Guru telah berdiri ia segera tersadar bahwa Putri Asung Luwan yang selalu berjalan berdua dengan sahabat karibnya, Bulan tidak ikut memisahkan diri seperti biasa terjadi setiap usai pengajian. Namun, kali ini justru berjalan bersama Tuan Guru dan Bulan menghampiri dirinya. "Assalamualaikum. Mohon maaf Pangeran, saya menyampaikan keinginan tuan Putri Asung Luwan untuk bertemu dengan Pangeran" ujar orang tua yang menggunakan jubah dan surban itu.

Datu Mancang menyatakan kesediaannya. Ia segera perintahkan salah satu hulubalang untuk mengundang Datu Tantalangi guna menghadiri pertemuan itu di ruang depan lamin.
"Saya hanya ingin memberikan ini kepada pangeran" kata Putri Asung Luwan sambil memberikan sebuah barang yang terbungkus dengan sebilah kain terlihat sudah usang yang sebelumnya berada di tangan Bulan.

"Mohon Pangeran menerimanya" imbuh Putri yang mengulurkan tangannya untuk menyerahkan benda tersebut. Pangeran bertanya-tanya dalam hati tentang wujud dari hadiah. Saat ia menerima hadiah tanpa sengaja menggenggam jemari halus putri karena sebagian tertutup kain yang membungkus benda tersebut. Meskipun hanya sebuah sentuhan halus namun mampu memacu jantung keduanya agar berdetak lebih kencang. Sentuhan itu terasa sangat menyengat karena pertama kali kali mereka merasakan begitu sangat dekat karena dalam beberapa hari lagi, Pangeran akan meninggalkan dirinya untuk berperang melawan pasukan Sumbang Lawing sehingga tak ada jaminan bisa kembali
bertemu dengan dirinya.

Kondisi seperti itu juga yang mereka rasakan selama setahun mereka bergaul dalam dekap rindu asmara tanpa mengetahui kapan dan kemana harus berlabuh. Datu Mancang mengucapkan terima kasih dan hati-hati membuka kain pembungkus benda itu. Ketika terbuka, tampak sebilah mandau. Gagang mandau terbuat dari tanduk rusa yang berukir indah. Demikian juga sarungnya dari kayu pilihan yang penuh ukiran dengan ornamen Dayak.

Datu Mancang hati-hati menggenggam gagang mandau dengan tangan kanan serta tangan kirinya pada bagian sarung senjata pusaka itu. Begitu Pangeran menghunus mandau itu dengan hati-hati, segera terlihat kilat biru kehijauan dari pamor senjata pusaka itu. Sebagai seorang pendekar sakti, Datu Tantalangi maupun Datu Mancang segera mengetahui bahwa mandau tersebut adalah senjata pusaka yang memiliki keistimewaan.

Konon, mandau yang menjadi senjata pusaka memiliki pamor seperti itu terbuat dari bahan pilihan dengan cara penempahan khusus. Biasanya dari "besi maliken" atau dikenal dengan "besi batu", bahkan senjata pusaka terbaik itu kadang-kadang bahannya dari logam batu bintang jatuh atau meteor. Senjata pusaka seperti ini memiliki bahan sangat keras sehingga mampu memotong kawat atau mematahkan senjata yang terbuat dari besi biasa.

"Mandau pusaka ini bernama Meranti. Merupakan peninggalan leluhur yang turun-temurun diwariskan kepada pemimpin klan Apo Kayan Uma Afan. Mungkin barang ini tak berharga sama sekali bagi Pangeran namun hanya ini tanda ucapan terima kasih atas budi baik Pangeran yang membangun daerah ini serta membimbing kami keluar dari kegelapan menuju jalan terang.....Lailahaillallah Muhammadarasulullah......" ujar Putri Asung Luwan.


Ketiga pria itu sangat terharu ketika melihat dan mendengar ketulusan dari putri pewaris kebesaran warga Apo Kayan Uma Afan saat menyampaikan suara hatinya itu. Bahkan, Tuan Guru atau Datu Mahubut yang selama ini membimbing mereka tak dapat menahan titik air mata.

Tidak ada alasan bagi pangeran untuk menolak pemberian itu karena menolaknya bisa melukai perasaan Putri Asung Luwan. Pangeran mengucapkan terima kasih dan berjanji akan menjaga dengan baik pusaka itu. Usai menyerahkan Mandau pusaka itu, Putri Asung Luwan dan Bulan segera mohon diri meninggalkan tiga pria yang masih terdiam tersebut. Mungkin, mereka masih memaknai arti cinderamata dari Sang Putri.

Cinderamata Putri Asung Luwan untuk Sang Pangeran agaknya hanya sebuah kiasan yang memiliki seribu makna. Cinderamata Putri Asung Luwan kepada Pangeran agaknya hanya sebuah "kiasan" yang memiliki seribu makna. Makna mencerminkan sebuah asa dan
cita-cita agar bersatu selamanya. Makna penyerahan jiwa-raga Sang Putri kepada Pangeran. Atau...makna tanpa harapan sehingga tak ada senjata pusaka sakti manapun yang mampu menyelamatkan Putri. Sudah tentu, hanya Sang Pangeran dan Putri Asung Luwan yang mampu merasakan makna terdalam meski tak pernah ada untaian kata serta janji
terucapkan.

(Catatan: Kemudian hari, mandau berukuran satu depa pemberian Putri Asung Luwan yang bernama "Meranti" itu menjadi senjata pusaka yang melengkapi berbagai ritual penting di Kesultanan Bulungan, misalnya saat penobatan seorang sultan. Termasuk pula, melengkapi ritual doa tolak bala. Mandau Meranti akan diikat pada bagian terdepan perahu sehingga menjadi ajungan. Perahu tersebut akan membawa puluhan orang yang membaca zikir dan doa tolak bala sambil berlayar mengelilingi Sungai Kayan dalam tiga putaran,
tepatnya di depan Istana Kesultanan Bulungan yang menghadap sungai terluas dan terpanjang kedua di Kaltim setelah Sungai Mahakam. Konon, karena kesaktian Mandau Meranti itu sehingga setan atau jin yang kadang-kadang dimanfaatkan orang jahat untuk menebarkan wabah penyakit non medis akan takut berhadapan dengan doa tolak bala, zikir serta senjata pusaka warisan leluhur Putri Asung Luwan yang ia hadiahkan untuk Sang
Pangeran....Wallahhualam).

Racun Berbisa Putri

Suara rintik hujan malam yang membasahi atap daun lamin seperti matra sihir
yang membangunkan serta membius Putri Asung Luwan agar mengingatkan kembali berbagai peristiwa pada masa kecilnya, sepuluh tahun silam. Kala itu, usia putri masih enam tahun saat dirinya masih sering ketakutan dengan berbagai hal. Kenangan masa lalu itu menyebabkan matanya yang tadi ingin terbuka kembali ia pejamkan untuk mengembara kembali kemasa-masa paling indah dalam hidupnya.

Ia paling takut jika hujan, apalagi hadir gemuruh guntur serta kilatan petir. Ia kembali tenang jika bunda Simun Luwan segera memeluk erat dirinya. Biasanya, sang ayah Wan Parenjuga akan menentramkan dirinya dengan menuturkan berbagai dongeng. Misalnya, konon, guntur dan kilatan petir itu adalah senjata para "Bali" yang melampiaskan amarahnya kepada mereka yang melakukan kejahatan di muka bumi ini.

Ia tidak akan tertidur sampai hujan reda. Begitu pula dengan kakaknya, Sadang karena sebagai anak-anak berbagai khayalan bermain-main dibenak mereka yang terpicu oleh penuturan Wan Paren tentang kehidupan putri di kayangan, tentang raja yang adil, serta kehidupan yang lebih indah jika selalu berbuat baik. Kini, ia menyadari bahwa penuturan-penuturan dari orangtua mereka semasa kecil dulu merupakan sebuah nasehat yang kini ikut membentuk jiwa mereka.

Kenangan masa lalu menyebabkan Putri Asung Luwan merasakan sebuah kerinduan luar biasa untuk bertemu bunda, ayah dan kakaknya.Tanpa terasa air matanya mengalir, meskipun ia tetap berusaha untuk segera kembali tertidur. Semakin ia berusaha untuk melupakan semua kenangan itu serta bisa terpulas kembali maka kian sulit tertidur. 

Berkali-kali ia menempatkan dirinya agar nyaman dan segera terpulas kembali namun tetap terasa tidak enak sehingga ia segera merapatkan punggungnya ke dinding dan perlahan duduk. Bulan benar benar terpulas dalam mimpinya sehingga seperti pingsan tak bergerak
merasakan dinginnya malam meskipun sebagian tubuhnya terbuka. Putri perlahan menyelimuti tubuh sahabatnya itu dengan kain yang mereka tenun sendiri.

Ia menatap sahabat karibnya itu. Setelah kedua orangtuanya meninggal dan kakaknya tewas, maka Bulan adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan dirinya. Bahkan, kadang-kadang ia berpikir bahwa jika tidak ada sahabatnya itu, maka ia sudah bunuh diri karena di dunia itu tidak ada lagi yang ia miliki.
Ia merasakan bahwa kecintaan sahabatnya itu terhadap dirinya mungkin lebih besar ketimbang dirinya sendiri sehingga hal itu yang menyebabkan ia mampu bertahan agar
tetap hidup meskipun dalam sebuah pengembaraan penuh derita.

Tidak ada rahasia di antara mereka berdua sehingga seperti dua tubuh satu jiwa. Mereka juga sama-sama sedang jatuh hati dengan warga pendatang itu, jika ia sedang jantuh hati dengan Pangeran Datu Mancang maka sahabatnya itu kelimpungan dari Datu Tantalangi.

Putri sering menggoda sahabatnya itu karena jatuh hati dengan pria yang sudah separuh baya namun Bulan tidak perduli dengan semua yang ia katakan tentang Datu Tantalangi.
Memimpikan punya kehidupan bersama pria yang mereka puja menjadi obat sementara pelipur lara. Mereka sadar, hakikatnya masa depan ada dalam genggaman Sumbang Lawing. Jiwa dan raga mereka seperti tergadai dalam tangan pria bengis dan kejam itu selama ia masih hidup serta berkuasa di depan mata.

"Aku tidak tahu Bulan, siapa di antara kita yang akan mampu bertahan dalam derita ini. Mungkin aku yang terlalu rapuh dan suatu saat akan pergi meninggalkanmu, meninggalkan dunia ini untuk bertemu dengan ayah, ibu dan kakaknya" batin Putri Asung Luwan.

Meskipun menyadari bahwa asanya untuk memiliki serta bersatu dengan Pangeran Datu Mancang terasa mustahil karena ada keraguan ada orang yang mampu membalas dendam
dan membunuh Sumbang Lawing, akan tetapi Putri merasakan sebuah pengalaman terhebat dalam hidupnya, yakni jatuh cinta.

Sentuhan jari tangannya dengan Pangeran Datu Mancang saat menyerahkan mandau pusaka usai magrib itu benar-benar membuat dirinya seperti melayang. Saat itu dirinya
merasa sangat begitu dekat dengan pujaan hatinya. Keputusannya menyerahkan senjata pusaka itu sebelumnya sempat membuat Bulan bingung serta bertanya-tanya. Sampai kinipun sebenarnya, Bulan masih belum paham maksud dan tujuan Putri memberikan benda warisan leluhurnya itu.

Putri sendiri berjanji dalam hatinya untuk tidak pernah mengungkapkan makna  cinderamata itu, kecuali untuk dirinya sendiri.  Ia khawatir jika ia ungkapkan maka sahabatnya itu akan selalu resah memikirkan dirinya. Ia telah bersumpah bahwa hanya seseorang yang mampu mengalahkan atau membunuh Sumbang Lawing yang akan menjadi suaminya. Dendam yang telah membakar jiwanya itu menyebabkan ia tidak pernah membayangkan pria yang bakal menjadi suaminya. 

Yang terpenting adalah mampu membalas dendamnya. Berbagai perubahan melanda pikirannya begitu bertemu dengan Pangeran Datu Mancang. Kini baru terbersit dalam pikirannya bahwa dirinya bukan benda mati yang bisa ia jual kepada siapa saja, asalkan mampu membalas sakit hati dan melunasi dendamnya.

Perasaan itu kadang-kadang membuat dirinya merasa malu karena membayangkan dirinya hanya sebagai pemuas nafsu bagi para ksatria gagah yang mampu melumpuhkan pria
lain yang perkasa. "Bagaimana, jika Pangeran Datu Mancang tewas di tangan Sumbang Lawing, kemudian silih berganti datang pria lain yang mencoba-coba dan akhirnya ada
pemenangnya yang ternyata baik orangnya maupun sifat dan wataknya sangat buruk. Mampukah aku memenuhi janji sumpah itu".

Tanpa Bulan mengetahui bahwa keresahan dan kegalauan itu yang kini berkecamuk dalam benak serta meracuni jiwa Putri Asung Luwan. Kian hari, rasa sayang dan cintanya kepada Pangeran kian besar, bersamaan dengan itu keresahan dan kegalauannya pun juga terus bertambah.

Rasa sayang dan rasa cinta berjalan seiring dengan perasaan takut kehilangan. Kian ia merasakan keindahan arti rindu untuk bertemu dengan pangeran, maka kian besar pula rasa ketakutannya untuk kehilangan. Ia kadang malu dengan dirinya sendiri. Bahwa, ia sendiri tak yakin bahwa pangeran mau menjadikan ia istri meskipun sisi perasaan kewanitaannya menangkap berbagai makna cinta dari pangeran. Bahkan, sebuah perasaan yang mungkin menjadi satu-satunya rahasia yang tidak diketahui Bulan adalah janji batinya untuk menjadi istri pangeran dengan menyerahkan semua jiwa dan raganya untuk menemukan keagungan cinta meskipun maut akhirnya memisahkan mereka.

Ancaman kehilangan pangeran tak ubahnya seperti kabut menakutkan dari kengerian teror yang ditebarkan Sumbang Lawing. Perasaan cemas itu terus menghantui dirinya yang
menjelma menjadi mimpi buruk serta suara-suara yang menakutkan terus
terdengar di telinga Putri. "Hai putri, apa artinya menjalani hidup ini jika hanya menjalani sebuah derita panjang tanpa akhir. Kau tidak mungkin lagi bisa bertahan tanpa bersama
pangeran". Putri Asung Luwan akhirnya sampai pada satu titik perjalanan terberat dalam
hidupnya, yakni persimpangan antara nalar dan perasaan yang sudah tidak mampu bisa tertahan oleh ketabahan seorang gadis yang masih sangat belia, 16 tahun.

Pilihannya, bisa jadi bukan sebuah penyelesaian namun perasaaannya saat itu adalah keputusan paling tepat, bunuh diri! Padahal keinginan untuk mengakhiri penderitaannya itu sudah berkali-kali ia benamkan namun godaan itu kian mengkristal menjelang terhimpunnya kekuatan pasukan Datu Mancang yang berarti akan berlangsung sebuah pertempuran.

Segera akan berlangsungnya peperangan itu kian menakutkan Putri karena ia merasakan bahwa hari-hari pertemuannya dengan pria pujaan hatinya akan dirampas. Putri kini merasakan ketakutan serupa dalam melihat pergantian matahari dan bintang dalam menjalani hari-hari mengerikan ketika pertama kali mereka tersuir dari kami halamannya oleh amukan pasukan Sumbang Lawing. Tanpa Bulan sadari bahwa canda tawa Putri Asung Luwan yang sering memperolok dirinya yang jatuh cinta dengan pria separuh baya itu sebenarnya tersimpan sebuah kegetiran mendalam untuk membahagiakan sahabat karibnya
sebelum ajal menyemput.

Bulan hanya menduga bahwa sikap putri yang dalam beberapa hari terakhir sering melamun hanya penantian rindu bagi pangeran pujaan hatinya. Seandainya saja Bulan tahu bahwa dalam lamunannya itu, Putri memikirkan berbagai cara untuk mengakhiri hidupnya jika pangeran akhirnya tewas di tangan Sumbang Lawing.

Diam-diam Putri Asung Bulan telah menyimpan serta menyembunyikan jenis racun berbisa dalam sebuah tabung bambu. Racun tersebut merupakan berasal dari bisa ular serta getah-getah pohon yang biasanya untuk racun anak sumpit. Racun tersebut akan melumpuhkan saraf ketika masuk ke dalam tubuh meskipun hanya luka kecil. Seperti bisa ular, hanya dalam beberapa menit, orang terkena bisa racun tersebut akan menjadi kejang akibat sarafnya kaku hingga kemudian tewas akibat jatungnya ikut membeku.

Usai mempersiapkan caranya mengakhiri hidup, Putri Asung Luwan inginmenyatakan keyakinan cinta dan hidupnya kepada pangeran dengan menyerahkan pusaka tersebut. Hanya dua hal itu, yakni makna hadiah mandau pusaka Meranti dan racun yang menjadi rahasia yang tidak ia pernah ungkapkan
kepada siapapun termasuk Bulan.

Senjata pusaka tersebut telah menelan banyak korban jiwa sejak beberapa generasi untuk melindungi kehormatan keluarganya sehingga dengan menghadiahkan Mandau Meranti itu melambangkan bahwa kehormatan dan cinta Putri Asung Luwan kini berada di
tangan Pangeran Datu Mancang.

Jika Pangeran yang menggenggam senjata itu akhirnya tewas dalam membela kehormatannya, maka ia pun tidak akan mengkhianati kesucian cinta dengan
menyerahkan jiwa dan raganya bagai pria lain. Putri terbangun dari lamunannya ketika mendengar suara merdu adzan Subuh dari lamin yang dijadikan sebagai tempat beribadah warga Muslim yang bersamaan dengan telah meredanya hujan.

Seperti biasa, tak lama setelah adzan, rombongan pangeran itu pasti melintas di depan lamin menuju tempat peribadatan. Namun, bayangan-bayangan kehadiran pangeran kini membuat putri kian tersiksa. "Tak lama lagi pasti pangeranmu melintas" kata Bulan yang ternyata juga sudah terbangun mendengar kumandang adzan saat melihat Putri Asung Bulan duduk di sampingnya.

"Kau saja yang belajar shalat hari ini Bulan, tiba-tiba badanku kurang enak. Aku ingin tidur lagi". Putri Asung Luwan langsung merebahkan dirinya tanpa menghiraukan lagi sahabatnya itu.

Bulan heran. Biasanya, Putri yang begitu semangat untuk belajar agama dengan Tuan Guru atau Datu Mahubut, termasuk Shalat Subuh sambil menanti rombongan pangeran lewat di depan lamin mereka.

Bulan mulai merasakan ada sesuatu yang agak aneh dengan sikap Putri Asung Luwan dalam beberapa hari terakhir. Meskipun usia mereka sebaya namun bisa dikatakan Bulan menjadi "ibu" bagi Putri Asung Bulan.

Perlahan, ia mendekati putri dan mengusap rambutnya yang hitam lebat sembil mencium alis pewaris tahta kebesaran Apo Kayan itu layaknya seorang ibu yang sedang menghibur anaknya.

Perlahan Bulan memangku kepala putri sambil terus mengusap rambut gadis belia itu. Bulan ikut merasakan derita Putri, apalagi melihat tetes mengalir dari mata bulat indah Asung Luwan meskipun ia mampu menahan suara isak tangisnya.

Bahasa Cinta

Mata Bulan berbinar melihat sosok gagah Datu Tantalangi saat memimpin latihan pasukannya. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan pandangan penuh gelora. Pandangan serta tingkah lakunya benar-benar telanjang menunjukan gairah cinta terhadap pria paruh baya yang masih tampan dan gagah itu. Sambil mengentaskan tumbuhan obat yang mereka jemur di beranda lamin, dua gadis beli itu sekali-sekali memperhatikan pasukan Datu Mancang yang terus berlatih di lapangan tengah perkampungan.

Umumnya, warga Dayak Apo Kayan Uma Afan serta sejumlah anak suku dan suku keluarga yang telah bergabung dalam barisan pasukan Pangeran Datu Mancang bersuka cita karena kian lama kekuatan terus bertambah sehingga diperkirakan dapat melumpuhkan Sumbang Lawing dan pengikutnya. Mungkin hanya satu orang yang justru merasa sebaliknya. Dia adalah Putri Asung Luwan. 

Kian dianggap kuat pasukan itu maka berarti kian dekat hari perpisahan dengan Pangeran Datu Mancang karena hari untuk melakukan penyerangan kian dekat. Bukan dia samasekali tidak meyakini bahwa Sumbang Lawing adalah manusia biasa yang bisa kalah namun trauma karena harus kehilangan orang tercinta satu demi satu dalam hidupnya membuat ia tidak ingin kehilangan lagi. Kehilangan Pengaren Datu Lancang adalah kehilangan yang terakhir yang juga akan menutup lembaran hidupnya. "Lihatlah Putri, seandainya saja jika Sumbang Lawing melihat kekekuatan pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Datu Mancang dan Datu Tantalangi ini mungkin peperangan tak akan terjadi. Sumbang Lawing langsung akan bertekut lutut di depanmu serta siap mendapat hukuman seberat-beratnya" ujar Bulan
coba bercanda. "Tapi ada satu ganjalan di hatiku Putri. Yakni, sejak kedatangan mereka hingga sudah terhimpun pasukan ini. 

Aku tidak pernah sekalipun melihat jika Pangeran Datu Mancang ikut berlatih bersama mereka serta menunjukan kehebatan ilmu bela dirinya" tutur Bulan tanpa bermaksud apa-apa. Ucapan Bulan itu seperti ujung sumpit beracun yang langsung menikam hati Putri Asung Luwan sehingga menjadi terasa perih karena kian memperkuat kekhawatirannya bahwa nasib Pangeran Datu Mancang akan berakhir di tangan Sumbang Lawing. Putri benar-benar merasakan bahwa baik nyawanya, jiwa Bulan maupun kehidupan Pangeran Datu Mancang seperti tergadai dalam genggaman Sumbang Lawing.

Ucapan Bulan itu kian mempertegas keraguannya akan kemampuan Pangeran Datu Mancang. Sebelumnya, keraguan itu sudah mencuat ketika salah satu ksatria terhebat Apo Kayan Uma Afan yang masih familinya, Paren Ala tiba tiba menentang duel Pangeran Datu Mancang saat digelarnya pesta menyambut tamu dengan mempertandingkan gulat tradisional Dayak. Saat itu, Putri Asung Luwan berhasil menghalau nafsu amarah Paren Ala yang dibakar cemburu terhadap Pangeran Datu Mancang serta masih mengharapkan
cinta Putri Asung Luwan. "Sepuluh orang bengis dan sakti seperti Sumbang Lawing, bahkan seratus dan seribu orang seperti dia memang akan mampu membunuh siapapun, termasuk
Pangeran Datu Mancang dan diriku. 

Namun, ia tidak pernah akan mampu memiliki jiwa seseorang serta menentukan kehidupan orang lain" kata Putri Asung Luwan dengan suara tegas. Bulan kaget mendengar pernyataan Putri Asung Bulan karena tidak menduga bahwa tidak ada hujan, tidak ada angin tiba-tiba gadis jelita itu seperti marah marah. Bulan memalingkan wajahnya menatap wajah Putri Asung Luwan. Memang terlihat menyimpan kemarahan sehingga pipinya yang biasa putih bersih itu tampak tersemu memerah. 

Diliputi perasaan bertanya-tanya dengan sikap putri itu, Bulan menganggumi kecantikan Putri Asung Luwan sehingga perasaannya jadi ikut tidak karuan karena memikirkan masa depan yang sebenarnya tidak menentu bagi pewaris tahta masyarakat Apo Kayan Uma Afan yang cantik jelita itu. "Maafkan aku Putri jika ada kata-kata yang salah serta melukai hatimu" kata Bulan sambil meraih tangan Putri Asung Bulan yang baru menyadari bahwa ia telah menyebut-nyebut nama Pangeran Datu Mancang. 

Bulan kemudian mulai sesuatu berbeda dengan sikap putri dalam beberapa hari terakhir. Biasanya, Putri Asung Luwan sangat bersemangat apabila diajak bercerita tentang sosok Pangeran Datu Mancang serta berbagai hal yang sebenarnya hanya harapan-harapan gadis belia tentang keindahan dunia masa depan. Namun, dalam beberapa waktu belakangannya ini, Putri Asung Luwan seperti menghindar setiap bercerita tentang masa depan mereka. Apalagi jika menyinggung nama Pangeran Datu Mancang. Akan tetapi hal itu tidak begitu
diperhatikannya. "Maafkan aku putri" kata Bulan mengulangi kata-katanya sambil kian keras menggenggam tangan Putri Asung Luwan.

Putri Asung Luwan seperti orang baru tersadar dari tidurnya ketika tangannya kita kuat digenggam Bulan. Matanya yang tadi meredup dan tanpa kosong, kembali bulat indah dan berbinar menatap mata Bulan. "Bukan salahmu. Bukan juga karena kata-katamu Bulan. Namun, kenyataannya memang begitu. Apakah aku salah jika meragukan kemampuan Pangeran Datu Mancang dan apakah aku salah jika pada suatu persimpangan tidak lagi
memiliki arah dalam hidup ini. Apakah aku salah jika tidak lagi memiliki keyakinan akan ramalan Bunda Simun Luwan. Semoga aku salah, dan sangat mengharapkan memang benar-benar salah" kata Putri Asung Luwan dengan menatap tajam mata sahabat karibnya itu. Putri Asung Luwan mengucapkan kata-kata itu bermaksud menembalkan keyakinannya. 

Namun, justru kian membuka perasaan hatinya kepada Bulan. Dia seperti membuka tirai pengharapannya kepada Bulan bahwa kecil kemungkinan mereka mampu merampas kekuasaan Sumbang Lawing serta mengembalikan harga diri kaumnya meskipun sudah tersusun kekuatan pasukan yang besar. "Apapun yang terjadi tidak akan mengurangi rasa cintaku dengan pangeran. Mungkin jika nantinya dia juga akan tewas, aku mungkin tidak mampu juga bertahan menjalani hidup ini" tutur Putri sambil tersenyum melihat wajah bingung sahabatnya itu.

Ia teringat peristiwa sepekan lalu ketika mereka berjalan berdua menuju pinggir hutan untuk mencari jenis tumbuhan dan tanaman obat atau jamu, mulai dari melebatkan rambut, mengharumkan badan serta untuk stamina, misalnya akar tumbuhan Pasak Bumi (Eurycoma longifolia).

Warga pribumi Kalimantan sudah sejak ratusan tahun silam sudah tahu khasiat akar pasak bumi ini untuk obat demam malaria serta obat kuat pria.

(Catatan: berdasarkan penelitian ilmiah belum lama ini ternyata ekstrak dan tonikum pasak bumi bisa untuk pengobatan pembengkakan kelenjar, demam, dan juga disentri serta untuk fungsi hati dan mencegah kerusakannya)

Tiba-tiba di balik kerapatan pohon meranti raksasa muncul Pangeran Datu Mancang bersama dua orang hulu balang usai berburu Payau atau Rusa Sambar/Cervus unicolor Kerr

(Catatan: Payau adalah jenis rusa terbesar dan terberat di Indonesia hingga bisa mencapai dua kwintal untuk rusa dewasa. Berdasarkan penelitian ilmiah bahwa dagingnya selain empuk dan gurih juga rendah kolesterol. Satwa ini gampang dikembangbiakan seperti halnya memelihara kambing atau sapi. Salah satu daerah yang sudah berhasil mengembangbiakan di Kaltim adalah Desa Api api Kabuparen Penajam Paser Utara).

Putri yang gugup karena tidak menduga akan pertemuan tiba-tiba di pinggiran hutan itu sehingga tanpa sengaja menjatuhkan keranjang rotan yang berisi berbagai jenis tumbuhan obat.  Pangeran dengan sikap ikut membantu Putri Asung Bulan memungut serta mengumpulkan tumbuhan yang merupakan jenis tanaman berkhasiat yang sudah diketahui warga Dayak sejak ratusan mungkin ribuan tahun silam itu. 

Meskipun tidak pernah ada ucapan cinta atau sayang yang terlontarkan namun bahasa tubuh serta pandangan keduanya menunjukan sebuah pertalian jiwa yang begitu kuat sehingga kata-kata pun bisa tidak bermakna lagi. Hal itu sempat membuat Bulan iri melihat kemesraan tanpa bahasa itu. Usai membantu Putri, Pangeran Datu Mancang berbekas kembali ke desa sambil membawa panah dan tombak untuk berburu dengan alasan untuk mempersiapkan diri Shalat Magrib. Sedangkan dua orang hulu balangnya memikul hasil buruan mereka yang telah dipotong hanya tersisa bagian yang memiliki daging. 

Dalam perjalanan kembali pulang tepat sekitar Lamin tempat para petinggi komunitas Melayu itu mereka juga berpapasan dengan Datu Tantalangi usai melatih ilmu kewirawaan bagi pasukannya. Putri kaget melihat ulah sahabatnya Bulan yang tiba-tiba dengan sengaja menjatuhkan keranjang tumbuhan obat di dekat kaki Datu Tantalangi meskipun dibuat seolah-olah terjadi begitu saja ketika mereka berpapasan. Tidak ada reaksi dari Datu Tanlangi melihat kejadian itu, Jangankan menolong, tersenyum pun tidak terlukis di wajah yang dingin pria tinggi kekar itu. Ia tetap berjalan dengan tegap tanpa menghiraukan keranjang Bulan berisi tumbuhan obat-obatan itu tumpah-ruah di dekat kaki pria tersebut. Meskipun pria itu sempat mengucapkan salam begitu berpapasan dengan Putri Asung Luwan dan Bulan.

Putri Asung Luwan berusaha keras tidak tertawa karena khawatir pria itu akan tersinggung namun akhirnya baru sekitar sepuluh langkah kaki Datu Tantalangi berlalu, ia tidak mampu lagi menawan tawanya melihat "jebakan" Bulan tidak berhasil. "Mungkin engkau menjatuhkan keranjang itu tidak dengan gerakan alami. Jika tadi aku memang tidak sengaja menjatuhkan keranjang sehingga Pangeran Datu Mancang tidak melihatnya sebagai upaya minta perhatian" kata Putri yang terus menumpahkan tawa gelinya.

Usai menumpahkan tawa sehingga seperti ikut melepaskan beban derita dirinya. Muncul kemudian perasaan geli dan kasian yang bercampur aduk terhadap menjadi satu. Melihat nasib Bulan, nasibnya dan nasib kaum mereka. Wajah bulan bingung beberapa hari lalu, kini hadir lagi sehingga sempat membuat geli perasaan Putri Asung Luwan.

Putri segera memuluk erat sahabatnya itu sambil berbisik bahwa ia akan terus bertahan karena di dunia ini masih memiliki sahabat setia seperti Bulan. Bulan membalas pelukan Putri meskipun kini ia tidak mampu lagi mampu menebak ucapan Putri Asung Luwan, apakah sebuah kejujuran atau hanya sekedar menghibur dirinya.

Ke Medan Laga

Pada suatu pagi yang cerah, setelah Datu Mahubut menetapkan hari dan waktu baik sesuai tanda-ramalan dalam buku "tazjul muluk", maka dimulailah misi untuk menyerang Sumbang Lawing.

(catatan: Kitab Tajul Muluk atau Bintang 12 adalah satu kajian terperinci yang telah dilakukan oleh masyakarat terdahulu dan catatan hasil kajian mulai dari Melayu kuno dan abar-abad sebelumnya. Kitab ini begitu sinonim dalam astrologi zaman silam, khususnya bagi masyarakat Melayu dalam menafsirkan watak-watak manusia, tabiat dan cintanya, hari yang baik dan terjemahan lain dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Melayu masih lagi mengekalkan budaya dan adat resam serta mengamalkan pesanan orang-orang tua sebagai
nasihat dan juga panduan. )

Namun hakikatnya, budaya & kepercayaan turun menurun itu masih lagi relevan untuk diaplikasikan pada masa kini. Ilmu ini sebagian dari Al Quran yang disebut Falak. Terlihat pada surah AlMulk ayat 3 : "Dialah (Allah) yang telah menciptakan tujuh langit berlapis lapis. "Allah menciptakan udara dan menghiasinya dengan tujuh lapis langit. Juga Surah An Naba' ayat 12 : "Dan Kami (Allah) jadikan di atas kamu tujuh (langit) yang kukuh. Sesudah itu Allah menciptakan asap pada Surah Fush Shilat ayat 11 : "Kemudian Dia (Allah) menuju kepada penciptaan langit yang waktu itu masih berupa asap". 

Setelah Allah memandang dengan kebesarannya asap itu, lalu dijadikannya tujuh lapis, iaitu: satu bahagian berupa air,kedua berupa embun, ketiga berupa perak, keempat berupa emas, kelima berupa mutiara, keenam berupa merah delima dan ketujuh berupa besi. Kemudian Allah menciptakan langit dunia, pertama terbuat dari air, kedua dari embun, ketiga dari besi, keempat dari perak, kelima dari emas, keenam dari mutiara dan ketujuh dari merah delima. Setelah itu dibelahnya, yang antara tiap-tiap bahagian berjarak lima ratus tahun. Kemudian Allah menghiasi langit itu dengan tujuh bintang, Lihat Al-Qur'an surah Al Hijr ayat 16 :"Dan sungguh Kami telah menjadikan gugusan bintang di langit dan Kami telah menghiasinya bagi orang-orang yang memandangnya. 

Tujuh bintang yang dimaksudkan adalah : Bintang Zuhal, Bintang Musytari, Bintang Marikh, Bintang Syamsu, Bintang Zahra, Bintang Athorid dan Bintang Qamar. Penciptaan bintang-bintang yang bergerak. Fungsi dari diciptakannya bintang itu adalah sebagai petunjuk dalam keadaan kegelapan di darat dan di lautan. Lihat Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 97 : "Dan Dia-lah (Allah) yang menjadikan bintang-bintang untukmu, agar kamu menjadikannya (sebagai) petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut". 

Allah menciptakan bintang bintang itu dalam tiga bentuk, Pertama : Bintang yang dinamakan Tsawaabit (bintang tetap) atau bintang-bintang yang tidak dapat bergerak dan tidak dapat terbenam. Kedua adalah Bintang-bintang yang terbit dan terbenam dan ketiga, yakni bintang-bintang yang beredar pada tempat peredarannya. Dari ketiga macam bentuk bintang itu ada tujuh bintang yang paling besar, yakni Bintang Zuhal, Bintang Musytari, Bintang Marikh, Syamsu, Zahra, Athorid dan Qamar. Dari masing-masing bintang yang besar itu mempunyai tempat beredar sendiri (falak). Qamar beredar pada falak pertama, Athorid beredar pada falak kedua, Zahra beredar pada falak ketiga, Syamsu beredar pada falak keempat, Marikh beredar pada falak kelima, Musytari beredar pada falak keenam, dan Zuhal beredar pada falak ketujuh. 

Demikian Allah menetapkan tujuh falak di langit sebagai tempat beredarnya bagi tujuh bintang-bintang tersebut. Yang dimaksudkan bintang-bintang itu adalah planet-planet. Dan setiap bintang itu beredar tiap-tiap seribu tahun sekali. Dari ketujuh bintang yang disebutkan di atas tadi itu tidak sama dalam peredarannya.

Tajul Muluk adalah lebih lama dan dikatakan menjadi ilmu kitab-kitab pengobatan Melayu yang lain. Kitab ini mengandungi 134 bab yang meramkum berbagai persoalan, gerak pada tubuh, mendirikan rumah, membangun rumah, mimpi sampai mengalahkan musuh. Ada yang berpendapat bahwa kitab ini sesat karena pengaruh Parsi sebelum diadaptasi oleh Islam atau disesuaikan dengan syariat Islam. Kitab ini kemudian ditulis lagi pada zaman sultan Acheh yang bernama Sultan Mansur Billah Shah ibni Al-Sultan Jauhar Al-Alam Shah. 

Pada bagian akhir disebutkan bahwa kitab ini telah selesai diterjemahkan oleh Faqir Tuan Haji Wan Hassan ibn Sheikh Tuan Ishak Fatani pada hari "Jumaat pada waktu Dhuha enam likur haribulan Muharram pada hijrah Nabi seribu dua ratus empat puluh sembilan di dalam negeri Makkah". Sulit bagi generasi sekarang membaca dan memahami karena menggunakan Bahasa Melayu lama bercampur Arab. Malah istilah-istilah yang digunakan adakalanya mendangkalkan fikiran kita, seperti kamkuha dan sebagainya. Selain Tajul Muluk, ada satu kitab lain tentang pengobatan, yakni Kitab Thoiyibil Ihsaani fi Thibbil Insaan atau Ilmu Perubatan). Kitab ini ditulis oleh Wan Ahmad bin Muhammad Zin bin Mustaffa Al-Fatani dan selesai penulisannya pada bulan Safar pada 1333 Hijrah. Kitab ini lebih nipis dengan 43 bab saja. Tajul Muluk dan kitab ini banyak berisikan tentang pengobatan). 

Kitab Tajul Muluk banyak berisi tentang ramalan dan pengobatan sehingga tidak pernah lepas dari tangan Datu Mahubut, sehingga dikenal sebagai "orang pintar" di Kesultanan. Dulunya, orang yang menyimpan dan bisa menterjemahkan kitab-kitab ini sangat dihormati. Kelemahan lain kitab ini karena bercampur dengan ilmu hakikat, padahal di dalamnya banyak ditemukan pengobatan yang ternyata terbukti pada ilmu moderen misalnya dalam pengobatan malaria dengan menggunakan jenis tumbuhan tertentu. Kelemahan lain, karena ada beberapa bagian dianggap tahayul karena menggunakan asap dupa atau air jampi-jampi sehingga berbeda dengan ilmu pengobatan oleh sensei, pengobatan ala Melayu Islam ini ditinggalkan bahkan kini benar-benar nyaris punah. 

Meskipun hampir semua warga Dayak yang bergabung dengan rombongan Pangeran Datu Mancang sudah muslim namun mereka tetap memberikan toleransi kepada warga pedalaman untuk menjalankan ritualnya sebelum melangkah ke medan laga. Hal yang sama juga dilakukan para wali dalam menyebarkan Islam, mereka tidak secara prontal melarang bagi umat yang belum teguh dalam menjalankan syariat Islam namun tetap mengutamakan tauhid dalam ajarannya. 

Misalnya, Datu Mahubut mempersilahkan mereka dalam upacara ritual memanggil roh roh leluhurnya dalam menambah kekuatan mereka sebelum ke medan laga namun hakikatnya itu hanya perantara namun kekuatan sesungguhnya karena kebesaran Illahi.

Selanjutkannya, Datu Mahubut memimpin uparaca ritual secara Islami dengan membaca doa tolak bala yang diikuti sebagian pasukan Kayan yang sudah masuk muslim. Di lengan kanan setiap prajurit diikat tali dari ayaman kulit kayu yang telah direndam dan dikeringkan berwarna merah-kuning-hitam, sebagai tanda khusus untuk membedakan dari pasukan barbar itu. Dalam pertempuran terbuka akan sulit membedakan teman atau pun lawan karena memang secara fisik pasukan Dayak Kayan dan Kenyah yang dipimpin oleh Datu Lancang nyaris serupa dengan prajurit Sumbang Lawing, meskipun rata-rata pasukan barbar di bawah pimpinan Sumbang Lawing itu memiliki tubuh lebih tinggi dan besar.

Ratusan prajurit Kayan dan Kenyah tampak telah siap membawa senjata dan bekalnya masing-masing. Beberapa perahu panjang berukir khas Dayak juga telah disiapkan bagi pasukan yang akan menyerang melalui sungai. Sementara puluhan prajurit dari Brunei juga telah siap. Tidak lama, keluar dari Lamin yang menjadi tempat tinggal bangsa Melayu Brunei Datu Lancang dengan pakaian khas Melayu. Ia menggunakan pakaian pendekar silat dengan memegang Mandau Meranti di tangan kiri (senjata pusaka hadiah dari Putri Asung Luwan) dan keris pusaka disisipkan pada pinggang bagian kiri.

Sementara beberapa pasukan diperintahkan tidak ikut maju ke medan laga hanya menjaga keamanan pemukiman. Sementara itu, di sebuah lamin yang berhadapan dengan tempat tinggal Datu Lancang, berdiri Asung Luwan dengan muka tampak pucat kurang tidur bersama sahabat setianya, Bulan. 

Sebelum berangkat memimpin pasukan, Pangeran Datu Mancang sempat melontarkan senyum penuh arti kepada Putri Asung Luwan. Datu Tantalangi dengan suaranya yang berat dan berwibawa segera memberikan aba-aba ketika pasukan sudah siap berangkat menggunakan beberapa perahu panjang menuju markas Sumbang Lawing di pedalaman Sungai Kayan. Putri Asung Luwan melambaikan tangannya meskipun Pangeran Datu Mancang sudah tidak terlihat lagi ketika perlahan-lahan perahu panjangnya bersama
puluhan hulubalang hilang dari pandangan mata.

Dalam beberapa saat Putri Asung Luwan seperti patung batu pualam berdiri tak bergerak di ujung pelataran lamin, hatinya seperti ikut bersama pria pujaan sehingga ia merasa tubuhnya seperti kosong tanpa jiwa dan roh.

Paren Ala Tewas

Pangeran Datu Mancang yang duduk di tengah perahu panjang dengan muatan sekitar 40 orang memandang awan berarak di langit yang cerah. Gumpulan-gumpalan awan putih itu seperti mengikuti perjalanan puluhan perahu panjang ksatria Dayak dan Melayu menuju pe dalaman Sungai Kayan. Suara hentakan dayung yang menghantam pinggiran perahu panjang seperti irama musik gamelan yang mengiringi perjalanan mereka menuju medan laga di dataran tinggi Apo Kayan. 

Pangeran merasakan sesuatu yang terasa dingin di dadanya, perasaan yang sama ketika rombongannya berlayar meninggalkan tanah kelahirannya di Brunei. Tantangan demi tantangan kini ia hadapi namun berbagai pengalaman dalam perantauan itu telah memberikan pelajaran-pelajaran sangat berharga dalam merasakan arti sebuah perjuangan, bersosialisasi dengan masyarakat luar serta bagaimana menghimpun sebuah kekuatan. Di belakang serta kiri-kanan perahu panjang Pangeran Datu Mancang, tampak puluhan perahu panjang lain yang seperti sedang berlomba menyusuri Sungai Kayan. Semangat para pendayung perahu panjang itu mencerminkan sebuah keserasian sertakebersamaan dalam meraih tujuan, karena mengayuh harus seirama. 

Pangeran berniat, jika nanti bisa melumpuhkah pasukan Sumbang Lawing serta membangun sebuah pemerintahan maka akan menggelar lomba perahu panjang itu. Keindahan tepian Sungai Kayan yang masih dipagari oleh pohon-pohon asli Borneo berusia ratusan tahun seperti ulin, bangkirai dan bangaris membuatnya terkesima serta sekejap melupakan tujuan mereka untuk menghadapi musuh
hebat. 

Kian dalam ia menikmati keindahan alam Sungai Kayan itu, justru bayangan wajah Putri Asung Luwan kian sering tampak bernari-nari di benaknya. "Seandainya, aku tidak dititahkan Sri Sultan untuk berlayar, maka tidak mungkin aku bisa menemukan sekuntum bunga mawar di tengah belantara Borneo" batinnya yang kini benar-benar iklas menerima tugas dari ayahndanya itu. Tanpa terasa hari sudah menjelang senja, dan lebar Sungai Kayan agak mengecil menandakan bahwa mereka sudah kian ke kawasan pedalaman sehingga satu hari satu malam lagi mereka akan mencapai kawasan pedalaman
tempat singgasana Sumbang Lawing. Setelah dua hari menempuh perjalanan, maka Pangeran Datu Mancang menyusun serangan mendadak menjelang fajar ke jantung pertahanan Sumbang Lawing. 

Sementara itu, di kawasan pedalaman Sungai Kayan, Sumbang Lawing telah mendengar khabar akan datangnya serangan tersebut namun ia tidak begitu perduli. Serangan seperti itu bukan yang pertama namun selama ini ia telah berhasil mengalahkan ratusan ksatria yang ingin menjejal kehebatannya. Kesombonga karena telah berhasil mengalahkan dan membunuh puluhan ksatria itu membuat ia lupa diri. "Mereka akan menghantar nyawanya ke sini" kata Sumbang Lawing dengan pongahnya saat menerima laporan salah seorang hulu balangnya.

Ia memerintahkan agar pasukannya membuat sebuah penyergapan untuk menghalau pasukan itu sebelum memasuki kawasan yang menjadi benteng mereka. Sumbang Lawing tidak yakin dengan kekuatan musuh sehingga membiarkan pertahanan hanya ada pada pasukannya di garis depan, sedangkan ia dan sebagian besar pasukannya masih berpesta pora minum arak.

Namun, kali ini Sumbang Lawing ternyata terpedaya karena dalam serangan ini, Datu Lancang membuat sebuah strategi agar tidak langsung menuju kawasan perbatasan yang menjadi jebakan bagi pasukan yang akan menyerang pemukiman Sumbang Lawing.

Berdasarkan informasi dari para pengintai yang dikirim beberapa bulan sebelumnya sehingga Pangeran Datu Mancang mendapatkan informasi mengenai cara Sumbang Lawing dalam menjebak serta menghadapi musuh yang menyerangnya. Pangeran Datu Mancang membuat sebuah strategi untuk melakukan serangan langsung ke jantung pertahanan pasukan Sumbang Lawing bukan menghadapi pasukan barisan terdepan yang hanya menjadi sebuah jebakan. Guna mengelabui pasukan Sumbang Lawing itu maka pasukannya dipecah dalam sebuah pasukan-pasukan lagi memiliki tugas-tugas khusus.

Suara burung hantu yang bersahut-sahutan di atas pohon Bangaris yang tingginya hampir 40 meter seperti nyanyian pengantar tidur bagi pasukan Sumbang Lawing yang kian hanyut dalam ketidaksadarannya akibat minuman tuak. Termasuk pada lamin utama, tempat Sumbang Lawing yang tidur dikelilingi sejumlah wanita yang menjadi hamba pemuas nafsunya itu.

Di antara tempayan serta tabung-tabung bambu tempat menyimpan minuman arak yang berserakan itu, sebagian pasukan Sumbang Lawing juga terkapar karena terlalu banyak minum minuman haram itu. Sementara di wilayah perbatasan, ratusan prajurit barisan depan Sumbang Lawing mulai gelisah menunggu karena ternyata tidak ada pasukan musuh yang melakukan serbuan. Kabut embun malam yang menyelimuti dataran tinggi Apo Kayan membekukan tulang sehingga minuman arak adalah salah satu cara untuk menghangatkan badan di kawasan itu.

Ketika dari sejumlah lamin di kawasan itu benar-benar sunyi karena semua penghuninya terlelap dalam tidur serta sebagian karena mabuk, tiba-tiba terdengar suara aba-aba yang kemudian diikuti oleh desingan puluhan anak panah berapi yang melesat menghantam atap dan dinding sejumlah lamin tempat pasukan Sumbang Lawing tertidur serta terkapar karena mabuk itu. Sebagian wanita yang agaknya tidak banyak minum arak tersebut terbangun mendengar suara hantaman anak panah menimpa dinding serta melihat kobaran
api yang mulai membakar atap lamin yang terbuat dari daun kering itu.

Mereka pun berteriak sehingga membangunkan para pengawal Sumbang Lawing yang tertidur di beranda depan serta serta membunyikan gong bertalu talu sebagai tanda marabahaya. Sebagian pasukan Sumbang Lawing tidak menyadari akan datangnya serangan
itu sehingga menjadi korban anak panah serta anak sumpit beracun yang dilepaskan pasukan Pangeran Datu Mancang.

Teriakan kesakitan serta erangan sekarat sejumlah pengawal Sumbang Lawing menyadarkan prajurit yang mulai tersadar dari tidur dan mabuknya itu bahwa mereka dalam sebuah sergapan. Sumbang Lawing segera meraih mandau pusakanya sambil berteriak kepada pengawalnya untuk segera mempertahankan diri. Sementara itu, pasukan depan Sumbang Lawing yang masih berjaga-jaga di daerah perbatasan, melihat kobaran api dari kawasan pemukiman menyadari bahwa justru kini mereka yang terjebak dalam strategi serangan itu sehingga segera berlari untuk memberikan bantuan teman-temannya menghadapi serangan musuh itu. Sejumlah pasukan Sumbang Lawing yang selamat dari bidikan panah dan sumpit beracun itu juga tewas terkena timpasan mandau pasukan Datu Mancang yang mulai mendekati lamin.

Meskipun pasukan Datu Mancang tidak leluasa untuk melakukan serangan karena hari masih gelap menghalangi penglihatan sehingga terjadi beberapa musibah akibat tebasan mandau menimpa pasukan sendiri bukan hulubalang Sumbang Lawing. Kobaran api yang kian membesar serta sinar matahari pagi yang mulai menampakan cahayanya membuat pertempuran kian sengit karena kini mulai terlihat jelas antara teman dan lawan.

Seorang pria tinggi besar dengan rambut panjang terkucir tampak seperti banteng terluka ketika mengamuk, Mandau pusaka yang panjangnya hampir dua depan orang dewasa itu, ia ayunkan ke kiri dan kanan. Pria menyeramkan itu tidak lain adalah Sumbang Lawing. Setiap ia mengayunkan mandau pusakanya, terdengar suara teriakan perih dari
para prajurit yang menjadi lawannya. 

Kekuatan Sumbang Lawing luar biasa, meskipun menghadapi tiga orang prajurit namun dengan sekali tebas senjatanya bisa membuat mandau lawan patah atau terlepas dari tangan.Dengan ganasnya, Sumbang Lawing, mengayunkan mandaunya kekiri dan kekanan.Pria itu benar benar seperti malaikat menebar maut karena hampir setiap ayunan mandaunya akan melukai atau membunuh lawannya. Melihat keperkasaan pemimpinnya yang sudah membunuh puluhan prajurit musuh yang melakukan sergapan tiba-tiba itu, membangkitkan semangat para pengawal Sumbang Lawing sehingga merekapun melakukan perlawanan luar biasa. 

Bersamaan dengan itu, bala bantuan dari pasukan barisan depan telah tiba sehingga membuat pertempuran kini berimbang. Saat Sumbang Lawing menikmati amuk amarahnya, seorang pemuda tegap berlari menembus barisan musuh dan menerjang punggung Sumbang Lawing dari arah belakang.Serangan itu membuat raja Dayak Iban terguling-guling namun segera bangkit berdiri dengan mata merah-membara memandang
musuhnya seakan tidak merasakan tendangan itu. Keduanya berhadap-hadapkan, Sumbang Lawing diam berdiri tegak memandang lurus dengan sorot mata memancarkan api amarah terhadap pemuda berusia 20 tahunan yang bertubuh tegap serta cukup tampan yang membuatnya terjungkal itu.

Sementara pemuda itu yang ternyata Paren Ala, tidak kalah garangnya memandang Sumbang Lawing sambil memutar-mutar mandau pusakanya. Ia memandang penuh amarah dan kebencian terhadap Sumbang Lawing karena telah merampas semua miliknya, termasuk dendam asmara terhadap Putri Asung Luwan. "Putri Asung Luwan meskipun memuja Pangeran Datu Mancang namun masih terikat sumpah. Jika aku membunuh Sumbang Lawing maka ia harus menjadi istrinya" batin Paren Ala kian menambah keberaniannya dan keyakinannya bahwa ia mampu melumpuhkan Sumbang Lawing.

Sumbang Lawing segera mengayunkan mandaunya disertai teriakan dasyat yang bisa membekukan semangat orang yang tidak memiliki mental kuat. Kilatan mandau pusaka Sumbang Lawing itu mengincar leher dari Paren Ala. Paren Ala yang sudah memasang kuda-kuda segera menyilangkan mandaunya untuk menahan gempuran maut Sumbang Lawing itu. Terdengar suara logam pilihan serta percikan api ketika dua senjata pusaka itu beradu. Sumbang Lawing kaget karena ternyata pemuda itu berhasil menahan gempurannya padahal biasanya dengan sekali ayunan musuh tidak dapat menghalau timpasan yang penuh dengan kekuatan.

Sementara Paren Ala mengakui bahwa baru kini menghadapi musuh sangat berat karena mandau hampir terlepas yang membuat telapak tangannya seperti terbakar saat menahan getaran dari tebasan Sumbang Lawing. Menyadari bahwa lawannya kali ini benar-benar memiliki kekuatan luar biasa, Paren Ala tidak berani menahan langsung sambetan mandau Sumbang Lawing. 

Bekal ilmu bela diri yang ia peroleh dari Panglima Datu Tantalangi ternyata sangat berguna karena ia berhasil beberapa kali lolos dari tebasan maut Sumbang Lawing.  Sumbang Lawing kian murka karena baru pertama kali menghadapi lawan yang
beberapa kali lolos dari serangannya sehingga terus melakukan serangan untuk memjegal pemuda itu. Bahkan, justru beberapa kali sambetan Paren Ala menyentuh tubuh Sumbang
Lawing namun pemuda itu sangat terkejut karena ia seperti menebas kulit babi hutan sangat tebal karena tidak mampu melukainya. Kesaktian Sumbang Lawing itu, konon karena ia memiliki jimat "rantai babi" sehingga tidak bisa dilukai oleh senjata.

(Catatan: konon, jimat rantai babi itu, ada di badan pemimpin kawanan babi hutan. Mengetahui pimpinan babi hutan, bisa dilihat saat berenang menyeberangi sungai. Biasanya, pemimpin atau raja dari kawasan babi hutan itu berenang paling depan serta memiliki badan dan taring paling besar. "Raja" babi hutan itu, dikatakan tidak bisa dilukai oleh senjata saat diburu sehingga ia bisa dilumpuhnya melalui sebuah lubang jebakan. Pemburu akan menunggu beberapa hari sampai raja babi hutan yang terjebak dalam lubang perangkap itu mati kelaparan, baru mengambil sebuah benda yang dianggap memiliki tuah kesaktian. Benda itu dijadikan sebagai jimat kesaktian dengan mengenakan sebagai mata kalung).

Frustasi karena tidak mampu melukai Sumbang Lawing menyebabkan semangat Paren Ala kian lemah serta kewaspadaannya pun berkurang sehingga dalam sebuah sabetan penuh tenaga, ia tidak mampu lagi berkelit kecuali berusaha menahan ayunan senjata pusaka musuh besarnya itu. Dalam sebuah serangan, kali ini, ia tidak mampu lagi menahan gempuran lawan sehingga senjatanya terpental dari gengamannya yang kian melemah, sementara mata mandau Sumbang Lawing tanpa ampun terus melibas leher Paren Ala sehingga memisahkan kepala dengan tubuhnya. Bersamaan dengan suara teriakan burung gagak, maka gugur satu lagi ksatria terbaik Apo Kayan yang mencoba mempertahankan kehormatan dan kebesaran klannya. Sumbang Lawing dengan wajah buas dan kejam menjilati darah Paren Ala yang masih menempel di mata mandaunya sambil berteriak menantang ksatria lain untuk menghadapinya.

Sumbang Lawing Terdesak

Datangnya bala bantuan pasukan, membuat semangat tempur pasukan iban itu menggila dengan ganasnya mereka balik melakukan perlawanan serta memenggal musuh-musuh yang berhasil dilumpuhkan. Para prajurit Sumbang Lawing seperti kesetanan menerjang serta membabatkan mandau diiringi teriakan-teriakan lantang pelumpuh semangat lawan sehinggga sempat menghambat laju maju pasukan Datu Mancang. Bahkan, sebagian prajurit Datu Mancang yang "lemah bulu" (lemah semangat) terhipnotis oleh teriakan lantang dan busas pasukan Sumbang Lawing yang seperti pasukan iblis dari neraka. 

Sebagian pasukan Datu Mancang yang "lemah bulu" itu dalam beberapa saat seperti lumpuh sehingga dengan mudah ditebas oleh pasukan Iban haus darah tersebut. Apalagi sebagian dari prajurit yang bergabung dengan pasukan Datu Mancang mereka tidak pernah berhadapan langsung dengan prajurit Iban hanya mendengar cerita tentang pasukan barbar penebar teror maut seperti pasukan iblis dari neraka itu. Sebagian pasukan Datu Mancang yang itu bahkan yakin bahwa prajurit Sumbang Lawing itu bukan manusia biasa akibat termakan oleh cerita dari mulut ke mulut. Bahkan, apalagi melihat sosok mereka yang umumnya memiliki fisik lebih besar dan tegap serta wajah bengis, lancip panjang dengan mata sipit. 

Pertempuran sengitpun terus terjadi namun ternyata pihak Pangeran Datu Mancang sudah memperkirakan situasi seperti itu sehingga sudah menyiapkan ratusan pasukan di sebelah barat untuk tetap bertahan tidak turun ke medan laga, tujuannya untuk menggempur pasukan garis depan Sumbang Lawing jika kembali ke kubu mereka. Perkiraan itu ternyata tepat karena begitu pasukan garis depan Sumbang Lawing datang ke medan laga, ia segera memerintahkan pasukan di bagian barat untuk membantu kekuatan pasukan mereka. 

Ketika pasukan Sumbang Lawing kian menggila karena datangnya bala bantuan, tiba-tiba dari arah barat, muncul ratusan pasukan yang menggunakan ikat tangan berwarna merah, hitam dan kuning yang merupakan pasukan candangan Datu Mancang yang segera membantu temannya, membuat pasukan Iban yang sudah di atas angin kembali terdesak hebat. Pada barisan paling depan terlihat seorang pria berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dengan pakaian hitam-hitam menggunakan dua senjata trisula di tangan kanan-kirinya, ia berkelebatan membabat dan menusuk tubuh beberapa prajurit Sumbang Lawing. 

Tubuh Datu Tantalangi yang tinggi besar itu tidak menghalangi gerakannya yang lincah dan ringan dalam menggempur prajurit Sumbang Lawing. Datu Tantalangi memimpin sejumlah prajurit yang dianggapnya sebagai murid terbaik dalam ilmu bela diri selama ia melatih pasukan tersebut. Dari sekian prajurit yang ia latih, saat membentuk pasukan itu, Datu Tantalangi melihat ada sekitar dua ratus orang di antaranya memiliki bakat dan kemampuan  bela diri sehingga mendapat tempaan khusus sehingga seperti membuat sebuah "pasukan elit". Datangnya bala bantuan "pasukan elit" atau "pasukan khusus" yang dipimpin oleh Datu Tantalangi dari arah Barat yang dipimpin Datu Tantalangi membangkitkan semangat pasukan pertama Pangeran Datu Mancang yang melakukan serangan dari arah sungai dan bagian timur. 

Hadirnya "pasukan elit" yang dipimpin itu membuat prajurit Sumbang Lawing kocar-kacir seperti anak ayam kehilangan induknya sehingga satu-satunya jalan adalah melarikan diri ke kawasan hutan. Prajurit Datu Lancang berusaha mengejar musuhnya yang melarikan diri ke hutan itu. Namun, Datu Mancang segera memerintahkan agar para hulu balangnya segera menghentikan pengejaran karena khawatir akan jebakan yang mungkin disiapkan oleh Sumbang Lawing di medan yang masih diselimuti hutan perawan itu. 

Pangeran Datu Mancang memerintahkan pasukannnya untuk tetap memusatkan perhatian merebut kubu Sumbang Lawing karena pasukan iban itu masih memberikan perlawanan sengit di jantung pertahanan mereka. Kian mendekati sebuah lamin di tengah pemukiman yang menjadi jantung pertahanan Sumbang Lawing suara-suara teriakan perang serta ada senjata sudah tidak terdengar lagi. Menandakan musuh sudah berhasil dihalau dari kawasan itu. Begitu kembali ke kawasan pemukiman yang menjadi jantung pertahanan Sumbang Lawing, Pangeran Datu Mancang sempat temangu melihat begitu banyaknya korban. baik dari pasukannya maupun pasukan Sumbang Lawing. Mayat bergelimpangan dengan kondisi menyayat hati, sebagian dengan kepala yang terpengggal, sebagian tewas akibat terkena tombak serta sumpit beracun. Sebagian berada di lapangan, di halaman dan di dalam lamin serta sekitar Sungai Payan. Air sungai yang semula jernih, berubah menjadi merah akibat pertumpahan darah itu. Para prajurit Pangeran Datu Mancang tidak menemukan mayat Sumbang Lawing menandakan bahwa raja Iban itu masih hidup dan diperkirakan bersama para pengikut setianya berhasil lolos melarikan diri ke jantung belantara Apo Kayan. 

Pasukan Kayan, Kenyah dan Melayu Brunei bersuka-cita merayakan kemenangan tersebut serta segera membersihkan kawasan itu karena mereka berhasil merebutnya. Perang ini ternyata menimbulkan banyak korban pangeran. Akan tetapi tidak ada jaminan mereka sudah takluk sebelum Sumbang Lawing dilumpuhkan, roh pasukan ini ada pada sosok Sumbang Lawing" ujar Datu Mahubut. Hal senada disampaikan Datu Tantalangi bahwa sebelum bisa melumpuhkan Sumbang Lawing maka pasukan mereka belum aman sehingga ia yang menyarankan agar segera membuat jebakan-jebakan sekeliling pemukiman serta  memerintahkan pasukan khususnya untuk bersiaga, dan mengirimkan pasukan pengintai di untuk memantau kemungkinan rencana serangan mendadak. 

Sementara itu, di tengah belantara, tampak seorang pria tinggi besar dengan rambut panjang dikucir menumpahkan kemarahannya dengan membabat apa saja benda-benda di dekatnya sehingga prajurit Iban tidak berani mendekati Sumbang Lawing yang sedang murka itu. Matanya merah mengkilat menandakan kemarahan luar biasa. Baru sekali ini, Sumbang Lawing yang dikenal sebagai seorang jawara tanpa tandingnya di Bumi Borneo harus melarikan diri ke jantung belantara. Kenyataan itu yang menjadi minyak membakar kemarahannya. 

Kekuatan tubuh serta kesaktian rantai babi maupun keampuhan mandau pusakanya bisa melawan 10, 20 ataupun 50 prajurit lawan namun ia tidak akan mampu melawan 100 atau 200 orang karena ia akan kehabisan tenaga. Jika tertangkap maka dengan mudah ia dibinasakan, misalnya dirinya ditenggelamkan ke dalam sungai ataupun dibakar hidup-hidup. Dalam menumpahan kekesalan dan kemarahannya dengan mengayun-ayunkan mandau pusaka, tanpa sengaja ia membabat akar gantung sehingga airnya memerciki wajah pria tersebut sehingga menyadarkan dirinya bahwa ia sangat lelah, lapar dan haus. 

Ia segera meraih akar gantung sebesar lengan orang dewasa itu dan meneteskan air bening itu langsung ke mulutnya. "Padahal, aku sudah membinasakan pemimpin mereka" kata Sumbang Lawing menyangka bahwa Paren Ala yang ia penggal kepalanya adalah raja atau pemimpin pasukan yang menyerang kubunya itu. Perkiraan Sumbang Lawing tidak berlebihan jika melihat kemampuan, senjata pusaka serta ukiran tatto di tubuh, kaki dan lengan Paren Ala yang mencerminkan dia adalah salah seorang ksatria Apo Kayan terbaik serta strata kebangsawanannya. 

Namum, Sumbang Lawing tidak menduga bahwa pemimpin pasukan itu langsung oleh Pangeran Datu Mancang. Bukan bangsawan Apo Kayan namun seorang pemuda perantauan yang mengemban amanat untuk memperluas wilayah kesultanan serta syiar Islam. Setelah Sumbang Lawing bersama sejumlah pasukannya bertahan beberapa hari di jantung belantara Apo Kayan, barulah mereka mendapat informasi bahwa jumlah prajurit yang ia miliki sangat tidak berimbang dengan pasukan lawan. 

Sebagian prajuritnya telah tewas, sebagian menjadi tawanan dan lainnya melarikan diri tanpa khabar lagi. "Pemimpinnya sudah aku penggal mereka namun mengapa mereka justru bisa mengusir kita" kata Sumbang Lawing ditujukan kepada hulubalang paling dipercayainya yang salah satu matanya cacat akibat terkena sabetan senjata dalam sebuah pertempuran.  "Ampun tuanku, berdasarkan informasi, ternyata yang dipenggal itu bukan pemimpinnya meskipun dia memang salah seorang bangsawan Apo Kayan" kata Si Mata Hantu, begitu pria itu biasa dipanggil. 

Di balik sosoknya yang menyeramkan, ternyata Sumbang Lawing masih punya rasa humor, meskipun terasa agak ganjil, yakni dia paling suka memberi gelar seenaknya kepada para anak-buahnya sesuai dengan bawaan lahiriah serta sifat dan wataknya sehingga kadang-kadang seperti merendahkan atau menistakan orang lain. Siapapun yang ia beri gelar maka akan digunakan selamanya. Hanya istri dan anak yang biasanya segan memanggil bapaknya dengan nama hadiah dari Sumbang Lawing. "Sekarang, cari tahu siapa pemimpin mereka sebenarnya" kata Sumbang Lawing. 

Selain penasaran dengan pemimpin yang begitu cerdik mampu membuat pasukannya kocar-kacir, Sumbang Lawing mendapat muslihat untuk mengalahkan pasukan Apo Kayan itu, yakni menentang duel raja atau orang paling jago dari pasukan Apo Kayan itu. Selain perang antarsuku, maka kala itu, duel antara para ketua suku adalah cara lain untuk merebut atau menentukan pemimpin yang terbaik. "Sekarang akan ku tunjukkan siapa yang sebenarnya raja di raja". Sumbang Lawing kini bisa tersenyum karena punya keyakinan bahwa tak ada satu jawara pun di dataran Borneo mampu mengalahkan keperkasaannya.

Menantang Duel

Beberapa prajurit Sumbang Lawing yang melakukan pengintaian akhirnya  mendapatkan informasi bahwa pemimpin pasukan itu bernama Pangeran Datu Mancang, seorang pemuda usai 20-an tahun, berkulit putih bersih, berperawakan sedang serta meskipun tubuhnya cukup berisi namun tidak begitu kekar yang mencerminkan keperkasaan seorang ksatria. "Lalu, siapa pria bertubuh tinggi kekar setengah baya yang telah melumpuhkan banyak prajurit itu" kata Sumbang Lawing yang mengira bahwa Datu Tantalangi, sang panglima sebagai pemimpin pasukan itu. "Ha..ha..ha..tidak masalah entah Pangeran Datu Mancang...Datu Tantalangi ataupun datunya para Bali (hantu) akan tewas di mata mandauku jika ia berani duel" ketawa Sumbang Lawing yang dengan kilat mata penuh kemenangan membayangkan ia mampu memenanggal musuhnya apalagi tahu sosok pemimpin pasukan yang menyerang kubunya itu ternyata tidak segarang yang ia bayangkan. 

Maka Sumbang Lawing mengirimkan utusannya untuk menyampaikan tantangan kepada pemimpin pasukan Pangeran Datu Mancang untuk bertarung satu lawan satu. Syaratnya, apabila Sumbang Lawing kalah, maka ia bersama pasukannya akan keluar dari tanah Apo Kayan namun apabila menang seluruh kawasan itu jadi jajahan pasukan Iban. Pangeran Datu Mancang setelah merundingkan hal itu dengan dua orang dekatnya, Datu Tantalangi dan Datu Mahubut menerima tantangan, apalagi jika pertempuran terus berlanjut maka akan banyak korban jatuh sia-sia.

Ksatria Kayan dan Kenyah mengingatkan agar sebelum duel berlangsung maka digelar proses sumpah darah serta memanggil para roh leluhur sebagai saksi agar Sumbang Lawing dan pasukannya bisa mentaati kesepakatan tersebut. ―Kami siap membeli tantangan dan dilaksanakan di padang rumput di belakang lamin paling besar ini. Sebelum duel, maka kami mengajak semua prajurit Iban termasuk Sumbang Lawing untuk bersama-sama menggelar sumpah darah agar tidak mengkhianati kesepakatan" kata Datu Mancang kepada utusan Sumbang Lawing. 

Dua kubu yang sebenarnya masih bersaudara dan satu etnis itu akhirnya menggelar ritual dengan mengangkat sumpah bahwa siapa saja yang mengkhianati kesepakatan akan mendapat bala tujuh keturunan karena disaksikan oleh para roh-roh leluhur. Jika di kawasan pedalaman terjadi gencatan senjata sambil menantikan hari yang sangat menentukan dalam duel antara Sumbang Lawing dengan Pangeran Datu Mancang, maka di kawasan pemukiman terjadi kegelisahan dengan suasana tak menentu karena tersiarnya berbagai khabar burung. 

Di ujung pelataran Lamin, berdiri termenung Putri Asung Luwan menatap kawasan pedalaman Sungai Kayan seperti pandangannya berupaya menerobos kerapatan daun-daun meranti serta menembus bukit-bukit batu kapur dan padas yang menghalangi penglihatannya. Kadang-kadang ia terpaksa memejamkan matanya untuk menghilangkan sebuah bayangan yang bakal tak mampu lagi ia pikul sebagai beban dalam menapak kehidupan, yakni Pangeran Datu Mancang terbujur kaku di depan kaki Sumbang Lawing. Bulan yang mencoba menghalau agar Putri Asung Luwan tidak menerima khabar tidak jelas sebelum ada berita yang benar-benar pasti akhirnya tidak mampu mengawal putri, ketika seorang ibu yang selama ini dikenal suka  mempergunjing orang saat lewat di depan lamin dan menyampaikan sesuatu kepada putri. Usai menyampaikan sesuatu, ibu yang membawa bayinya dalam "anjat" (alat gendong tradisional Dayak) bergegas pergi sementara Putri Asung Luwan tampak panik. 

Bulan bergegas mendekati Putri Asung Luwan untuk menanyakan pasal yang disampaikan itu sehingga membuat Putri Asung Luwan menjadi panik. Berita dari mulut ke mulut menuturkan bahwa tentang tewasnya ksatria Kayan, Paren Ala di mata mandau pusaka Sumbang Lawing menjadi berita tentang terpenggal Pangeran Datu Mancang. Putri Asung Luwan yang menerima berita khabar burung yang disampaikan ibu itu bagai tersambar petir di siang bolong. Apalagi dalam hati kecilnya, ada keraguan melihat sosok pria pujaannya itu tampak begitu lemah ketimbang para kesatria Dayak yang rata-rata bertubuh kekar serta selalu dihantui akan keperkasaan Sumbang Lawing sebagai jawara tiada duanya di Bumi Borneo. Upaya Bulan untuk menyabarkan Putri Asung Luwan justru kian membuat putri Apo Kayan itu panik dan yakin bahwa apa yang baru ia dengar adalah sebuah kenyataan. 

Upaya Bulan sia-sia untuk menenangkan putri ia segera masuk ke dalam lamin serta menangis sesunggukan. Bulan yang biasanya setia menemani akhirnya tidak mampu menenangkan Putri Asung Luwan dan hanya bisa duduk di bibir tangga karena bingung tidak tahu harus berbuat apa. Sambil menyapu air matanya, Asung Luwan dengan tersedu-sedu segera mengambil tambung bambu berisi racun mematikan yang ia sembunyikan di dekat bantalnya. Secara perlahan ia membuka tutup tabung bambu memandang racun hitam pekat yang bisa menghentikan detak jantungnya dalam beberapa detik. "Ini yang terbaik mengakhiri penderitaan ini" kata Asung Luwan sambil memegang tabung bambu berisi cairan racun mematikan. Ia merasa saat itu seperti sebuah gelembung air yang segera menguap tanpa arti apa-apa lagi namun beberapa detik akan mengakhiri hidupnya secara tragis, sinar mengkilat dari gelang emas serta manik-manik yang melingkar di tangannya menerpa wajah Putri Asung Luwan. 

Cahaya gelang pemberian ibunda Simun Luwan seperti sebuah seruan dari dunia ghaib agar ia segera sadar bahwa tindakannya tidak direstui oleh para leluhur termasuk almarhum bundanya, Simun Luwan. Putri Asung Luwan tiba-tiba merasa seperti baru terbangun dari sebuah kesesatan, dan tergiang petuah-petuah agama dari Tuan Guru, Datu Mahubut saat ia mengikuti pangajin sebagai seorang mualaf. Petuah Tuan Guru yang menyebutkan berbagai perbuatan dosa termasuk menganiaya diri sendiri terus mengiang-giang di telinganya. Hal itu membuat tangannya tiba-tiba gemetaran sehingga tabung bambu berisi racun itu tumpah dan terlepas dari genggaman Putri Asung Luwan. "Aku adalah pewaris tahta kebesaran Apo Kayan Uma Afan. Pantaskah aku mati dengan cara begini" Putri Asung Luwan tiba-tiba sadar bahwa ia tidak pantas mati dengan cara pengecut meskipun ia wanita namun masyarakatnya  sangat menghormati keberadaan dirinya sebagai pewaris tahta Apo Kayan Uma Afan. "Kalaupun aku harus mati tidak pantas dengan cara ini. Lebih baik aku tewas sebagai ksatria wanita" tegas batinnya sambil berupaya mengenang tentang kebesaran beberapa tokoh wanita dalam klannya, bahkan di antaranya menjadi sebuah Lagenda seperti leluhurnya Lahaibara. 

Asung Luwan segera menggantikan pakaiannya lebih ringkas, rambutnya yang panjang tergerai segera diikat. Ia mengambil sebilah mandau yang tergantung di dinding lamin serta mengingat sabuk mandau di pinggangnya seperti layaknya seorang ksatria. Asung Luwan tak lupa mengenakan pakaian perang yang terbuat dari kulit kayu meskipun kedodoran. Bulan yang masih duduk bingung di bibir tangga tambah temangu serta terheran-heran melihat Putri Asung Luwan keluar dari pintu lamin mengenakan pakaian perang. "Jangan-jangan Putri Asung Luwan sudah tidak waras karena mendengar pria pujaannya tewas" batin Bulan yang tidak berani mendekat karena di pinggang putri terselip sebilah mandau tajam. 

Apalagi melihat mata putri yang merah karena habis menangis "Wah, mata putri sudah merah. Jangan-jangan haus darah" kata Bulan kian takut mendekat. "Bulan, panggil para pengawal kampung, tidak ada gunanya hanya menunggu sambil mendengar khabar burung, situasi di pedalaman harus dilihat sendiri" kata Putri penuh ketegasan kepada Bulan untuk  memanggil para ksatria yang bertugas menjada keamanan desa sehingga sengaja tidak dibawa ke medan laga oleh Pangeran Datu Mancang. 

Dalam beberapa saat maka, sekitar 30 orang ksatria Apo Kayan mengawal Putri Asung Bulan menuju kawasan pedalaman dengan menggunakan sebuah perahu panjang menyelusuri Sungai Kayan. Bulan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah Putri Asung Luwan.  Bahkan, di tengah kebingungannya melihat tindakan nekat Putri Asung Luwan, Bulan sempat tersenyum sendiri karena kembali ingat akan kebodohannya ketika melihat putri mengenakan pakaian perang. Dalam beberapa saat dalam penglihatannya, wajah putri yang cantik jelita itu berubah menjadi angker seperti pasukan neraka Sumbang Lawing yang haus darah. "Mudahan putri mendapat khabar baik di pedalaman"ujar Bulan saat meniti tangga sungai usai melepas kepergian Putri Asung Luwan.

Tiba Di Arena

Kian mendekati dataran Apo Kayan, hati Putri Asung Luwan kian tak karuan. Melihat pemandangan alam sekitarnya benar-benar membangkitkan berbagai kenangan indah sebelum datangnya pasukan barbar dari tanah Iban itu serta berbagai kepahitan saat dirinya harus terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tak terasa pipi gadis belia yang putih bersih itu hangat karena tetes air matanya saat mengenang saat-saat indah ketika bersama bunda Simun Luwan, kakaknya Sadang dan sang ayahnda, Wan Paren.

Lamunannya langsung buyar ketika lamin sudah terlihat dari tengah sungai serta kerumunan orang yang dari pakaiannya bisa dikenali sebagian adalah pasukan Pangeran Datu Mancang dan sisanya lagi adalah prajurit Sumbang Lawing. Pertanyaan besar di benak Putri Asung Luwan karena tidak seperti bayangannya semula bahwa terjadi pertempuran sengit antara dua kelompok namun kenyataannya mereka seperti berdamai karena tidak ada yang membawa senjata.

Melihat pemandangan yang menimbulkan berbagai pertanyaan itu, Putri Asung Luwan tambah penasaran sehingga ia memerintahkan agar para pengawalnya lebih cepat mengayuhkan perahu panjang untuk segera tiba di dataran. Kian dekat, Putri Asung Luwan kian penasaran karena tidak terlihat adanya permusuhan dua kelompok, yakni Dayak Iban dan Dayak Apo Kayan justru seperti melakukan gencatan senjata karena mereka tidak memegang tameng, tombak atau mandau akan tetapi berdiri berdampingan seperti melupakan semua peristiwa yang sebelumnya terjadi tanpa ada dendam amarah. Begitu perahu panjang merapat, Putri Asung Luwan tidak sabar langsung melonjak dan berlari menuju kerumunan massa di dekat lamin yang sebagian sudah hangus terbakar akibat serangan pasukan Pangeran Datu Mancang sebelumnya. 

Sebagian pengawalnya juga merasa heran dengan kondisi di pedalaman itu meskipun mereka tetap waspada dengan membawa senjata lengkapnya ketika bergegas mengawal Putri Asung Luwan. Bergegas Putri Asung Luwan menuju lapangan dekat lamin untuk mencari jawaban dari berbagai  pertanyaan terkait kondisi  mengherankan yang ia lihat. Para prajurit Pangeran Datu Mancang terkaget-kaget karena tak menduga tiba-tiba Putri Asung Luwan menyusul ke pedalaman. 

Sebagian tidak bisa menahan senyumnya karena melihat sebuah keganjilan, yakni Putri Asung LUwan mengenakan pakaian perang ksatria Dayak Apo Kayan, apalagi baju perang itu kedodoran itu putri. Para prajurit Sumbang Lawing kaget serta terkesima melihat kecantikan seorang dara berusia belasan tahun yang tiba-tiba hadir di tengah kerumunan massa ksatria. Kehadirannya langsung mengundang perhatian apalagi ia mengenakan pakaian perang. Sebagian prajurit Sumbang Lawing sudah perah mendengar tentang seorang putri Apo Kayan yang cantik nan rupawan seperti mawar hutan sehingga jadi rebutan para ksatria Dayak namun mereka tak menduga jika apa yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri lebih indah dari khabarnya. 

Putri Asung Luwan tidak menghiraukan sorot pandang ratusan pasang mata yang seperti menelanjanginya namun ia berusaha menerobos massa sambil melihat sekelilingnya mencari-cari sosok pria yang paling ingin dilihatnya saat itu, yakni Pangeran Datu Mancang. Namun, ia tidak melihat kehadiran Pangeran Datu Mancang sehingga ia mendatangi salah seorang prajurit Apo Kayan untuk menanyakan tentang perihal sebenarnya serta keberadaan Pangeran Datu Mancang. Prajurit Apo Kayan itu kemudian menuturkan secara singkat berbagai perihal, termasuk keberadaan pria pujaan hatinya serta duel antara Pangeran Datu Mancang melawan Sumbang Lawing untuk mengakhiri pertikaian yang sudah menelan banyak nyawa itu. Begitu mendapat penjelaskan dari salah seorang prajuritnya, Putri Asung Luwan tidak lagi panik untuk mencari Pangeran Datu Mancang namun hatinya kembali tidak karuan. 

Satu sisi, putri gembira karena ternyata Pangeran Datu Mancang masih hidup namun di sisi lain, ia kembali dilanda keresahan mendalam saat tahu akan berlangsung duel melawan Sumbang Lawing. Kali ini, keresahan Putri Asung Luwan benar-benar sangat mendalam karena akan melihat langsung duel antara Pangeran Datu Mancang dan Sumbang Lawing. Apalagi selama ini, ia sedikit meragukan kemampuan Pangeran Datu Mancang sehingga benar-benar mengkhawatirkan keselamatan pria tambatan hatinya. 

Sementara itu, Tuan Guru Datu Mahubut dan Datu Tantalangi mendampingi Pangeran Datu Mancang dalam mempersiapkan diri untuk bertempur hidup atau mati melawan Sumbang Lawing. Pangeran Datu Mancang segera mengenakan pakaian silatnya, baju dan celana ringkas berwarna putih untuk meladeni tantangan Sumbang Lawing. Babat kain hitam ia lingkarkan sekeliling pinggangnya. 

Pada pinggang bagian kiri terselip sebuah keris pusaka, sementara tangan kanannya menggenggam mandau "Meranti" yang merupakan merupakan senjata pusaka leluhur klan Apo Kayan, hadiah dari Putri Asung Luwan. Pangeran Datu Mancang mengambil kain pengikat serta merapikan rambut yang semula tergerai sampai ke bahu agar tidak menghalangi pandangan dan gerakannya saat duel nanti.Dua orang kepercayaannya, Datu Mahubut dan Datu Tantalangi menyampaikan hal-hal yang tampaknya sangat penting kemudian melakukan ritual doa untuk menambah kekuatan dan kesaktian bagi sang pangeran. Bahkan, mereka sempat melakukan shalat dhuhur berjamaah sebelum turun dari salah satu lamin menuju medan laga. 

Sementara itu, Sumbang Lawing hanya duduk bersila pada lamin yang lain sambil kaki tangannya diurut-urut oleh beberapa pengikutnya sambil menanti waktu duel yang sudah ditentukan, yakni siang hari usai Pangeran Datu Mancang melaksanakan Shalat Dhuhur. Sekali-sekali pria tinggi besar bertubuh kekar itu mengelus-elus rantai babi yang melingkar di lehernya karena jimat tersebut membuat ia selama ini tak terkalahkan oleh siapapun. Tak lama setelah seorang hamba selesai mengepang dan mengkuncir rambut panjangnya Sumbang Lawing, terdengar ketongan kayu bertalu-talu menandakan saatnya telah tiba untuk menentukan siapa raja di raja antara pemimpin Dayak Iban itu melawan Pangeran Datu Mancang. 

Sumbang Lawing segera berdiri dan seorang prajuritnya bergegas menyerahkan mandau pusaka yang panjangnya hampir dua depa kepada sang raja. Sumbang Lawing mengikat sarung senjatanya di pinggang. Namun, seperti kurang yakin akan pekerjaan hambanya yang mengasah mandau pusaka itu, ia kembali menarik mandau dari sarungnya untuk memastikan bahwa senjata itu benar-benar sudah sangat tajam. Begitu melihat kilatan senjatanya begitu tajam, ia keluar dari lamin serta melompat dari bangunan setinggi dua meter itu serta berjalan tegap menuju tengah lapangan yang mencerminkan kepercayaan diri luar biasa dari Raja Iban yang tiada tanding tersebut. Keresahan luar biasa kembali melanda hati Putri Asung Luwan saat melihat sosok Sumbang Lawing yang begitu sangar menuju tengah arena duel. 

Berbagai perasaan berkecamuk dalam jiwa putri antara kebencian, dendam membara. Ia juga kini mengkhawatirkan keselamatan sang pangeran maupun dirinya sendiri. Pria tinggi besar itu, hanya mengenakan jawat sehingga otot-otot lengan, bahu dan dadanya terlihat jelas memperlihatkan kekuatan dan keperkasaan. Di lehernya, melingkar seuntai kalung jimat terbungkus kain hitam. Sedangkan dipinggang pria yang rambut panjangnya terkepang dan terkucir itu terselip sebilah mandau besar panjang. Tak terhitung sudah kepala ksatria yang terpenggal oleh mandau pusaka Sumbang Lawing itu. 

Putri sudah bertekad dalam hati bahwa jika dalam duel itu Pangeran Datu Mancang tewas maka ia akan ikut mati, entah bunuh diri atau melawan sampai tetes darah terakhir terhadap siapa saja yang ingin menangkapnya. Ia sudah mendengar tentang ikatan sumpah untuk mematuhi hasil duel tersebut namun Putri Asung Luwan berniat mengingkarinya karena yakin bahwa dirinya hanya akan menjadi pemuas nafsu setan Sumbang Lawing jika masih bernafas. 

Tidak lama kemudian, seorang pria muda berwajah tampah dengan ramput panjang sebahu mengenakan pakaian pendekar, baju-celana putih serta babat pinggang hitam juga menuju arena tempat Sumbang Lawing sudah berdiri menantangnya. Putri Asung Luwan hampir tidak mampu menahan teriakannya begitu melihat kehadiran Pangeran Datu Mancang. Ia masih mampu menahan gerakan tubuh dan mulutnya akan tetapi mata bulat indahnya kian membesar saat melihat sosok Datu Mancang yang tanpa sengaja juga pandangannya tertuju ke dirinya. Mata adalah jendela hati yang kadang sangat jujur untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam, seperti yang kini melanda Putri Asung Luwan. 

Pangeran Datu Mancang memang belum menerima khabar tentang kedatangan Putri Asung  Luwan yang menyusul ke pedalaman sehingga sangat kaget dan heran begitu melihat gadis belahan jiwanya tiba-tiba hadir di antara para ksatria Apo Kayan dan Iban yang kini seperti membuat pagar betis mengelilingi lapangan yang menjadi arena duel. Kehadiran Putri Asung Luwan sempat membuat kesiagaannya menghadapi duel terpecah namun di sisi lain, ia seperti habis meminum ramuan ajaib sehingga darahnya tiba-tiba hangat menggelora untuk segera melumpuhkan Sumbang Lawing meskipun Datu Mahubut dan Datu Tantalangi sudah memberikan petuah agar ia menjauhkan perasaan dendam, marah serta kebencian saat melawan Sumbang Lawing. 

Dua orang kepercayaan yang sangat ia hormati itu, sebelumnya kembali mengingatkan Pangeran Datu Mancang tentang hikayat perjuangan para nabi dan sahabatnya saat berperang di jalan Allah, yakni menjadikan senjata sebagai penegak keadilan dalam melawan kemungkaran sehingga nafsu amarah, dendam dan kebencian akan mengotori sebuah perjuangan.

Duel Dua Pemimpin

Putri Asung Luwan merasakan dadanya begitu sesak sehingga sulit bernafas saat melihat pria belahan jiwanya kini berhadap-hadapan di tengah arena dengan musuh besar kaum Apo Kayan. Apalagi melihat wajah keras dan kejam Sumbang Lawing yang tak berkedip menyorot garang kepada Pangeran Datu Mancang yang berdiri tegap di hadapan Raja Iban itu. Sebagian jiwa Putri Asung Luwan terasa kini berada dalam tubuh Pangeran Datu Mancang sehingga ia ikut merasakan tatapan haus darah dari musuh besarnya. Terik matahari siang memperlihatkan lingkaran otot-otot serta belitan urat Sumbang Lawing yang seperti terbuat dari kawat baja. 

Pria tinggi besar dengan rambut panjang terkucir itu hanya mengenakan jawat sehingga terlihat jelas lingkaran kekuatan otot tubuh bagian atas serta bagian bawah. Sumbang Lawing berdiri tegap dengan sorot mata tajam penuh angkara murka menatap pria bertubuh sedang, berwajah tampan serta kelihatan tenang di depannya. "Ternyata pria ini yang membuat pasukanku kocar-kacir, sebentar lagi akan menerima balasanku" guman Sumbang Lawing. 

Angin musim kemarau sekali-sekali berhembus sehingga menderaikan rambut panjang sebahu Pangeran Datu Mancang. Kala itu, rambut pria Melayu rata-rata sebahu, sedangkan kaum pedalaman, yakni Suku Dayak lebih panjang lagi  sehingga sebagian dikucir seperti rambut wanita. Pangeran Datu Mancang mengikat sekeliling kepalanya agar rambut panjang sebahu tidak menghalangi pandangannya saat bertarung dengan menggunakan kain kuning, yakni warna resmi Kesultanan yang mencerminkan kemakmuran serta kebesaran. 

Tidak hanya Putri Asung Luwan namun sebagian prajurit Apo Kayan juga mulai khawatir melihat perbedaan fisik dua pria yang kini berhadap-hadapan seperti dua ekor ayam jago yang akan beradu itu. Tubuh Pangeran Datu Mancang meskipun terlihat ideal karena tingginya tidak terlalu kecil untuk ukuran Sumbang Lawing. Akan tetapi, karena badannya terbungkus pakaian silat sehingga tidak memperlihatkan keperkasaan otot seorang ksatria. Ditambah lagi wajahnya yang tampan dengan pandangan lembut serta gerak gerik yang halus sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa pria perantauan itu mampu menandingi kekuatan Sumbang Lawing. 

Ratusan prajurit Iban, Apo Kayan dan Melayu yang mengelilingi lapangan rumput pada sebuah kawasan di jantung hutan Borneo yang menanti terhunusnya senjata-senjata pusaka oleh dua pria tersebut juga tidak mampu bersuara. Keheningan di jantung belantara Borneo itu pecah dengan teriakan perang perontok semangat dari Sumbang Lawing bak aungan singa yang menyihir korbannya. Nyaris bersamaan,Putri Asung Luwan tidak mampu menahan teriakan histeris melihat serangan Sumbang Lawing yang seperti malaikat maut pencabut nyawa karena sangat khawatir Pangeran Datu Mancang tidak mampu selamat dari serbuan Raja Iban tersebut. 

Namun, Pangeran Datu Mancang dengan gerakan ringan meloncat menghindari tebasan Sumbang Lawing sehingga mandau pusaka Raja Iban yang panjangnya hampir dua depa itu hanya menghantam angin. Sumbang Lawing segera berputar dan kembali mengayunkan mandau pusakanya sehingga Pangeran Datu Mancang pun kembali membuat gerakan menghindar dari serangan maut tersebut. Putri Asung Luwan setelah melihat kilatan tajam mandau pusaka Sumbang Lawing yang terus berkelebatan untuk memenggal leher Datu Mancang akhirnya tidak mampu lagi melihat kelanjutan duel tersebut sehingga ia berlari meninggalkan arena diikuti oleh beberapa  pengawalnya. 

Luput dalam beberapa kali serangan kian membuat murka Sumbang Lawing sehingga ia kian bernafsu memenggal kepala lawannya. Ratusan prajurit yang menonton baik pengikut Sumbang Lawing maupun Pangeran Datu Mancang ikut merasa tegang sehingga berteriak serta bertepuk tangan karena tidak  menduga duel itu berlangsung lama. Putri Asung Luwan akhirnya duduk lemas tanpa tenaga di tangga lamin karena merasa dirinya akan pingsan melihat pertarungan tersebut. Kekhawatir akan keselamatan pria dambaan hatinya menghadapi gempuran maut Sumbang Lawing benar-benar melumat tenaga wanita belia yang rupawan itu. Hatinya kian tidak karuan ketika mendengar teriakan-teriakan untuk memberi dukungan bagi dua pria bertarung seperti ayam jago itu oleh pasukan Iban dan Apo Kayan. Pangeran Datu Mancang yang sejak kecil sudah mendalami ilmu silat dari Datu Tantalangi dan berbagai kesaktian dari Tuan Guru Datu Mahubut mampu menghindari serangan-serangan maut Sumbang Lawing. 

Datu Mancang setelah berkali-kali mampu menghindar dari tebasan Sumbang Lawing akhirnya mencabut Mandau Merati, senjata pusaka kaum Apo Kayan yang dihadiahkan Putri Asung Luwan kepada pangeran dari Brunei itu untuk melanjutkan duel tersebut. Begitu dua senjata pusaka itu beradu, Pangeran Datu Mancang harus mengakui bahwa Raja Iban itu memiliki kekuatan luar biasa karena membuat tangannya tergetar. Sebaliknya, Sumbang Lawing juga terkejut karena pria muda tampan itu bisa menahan gempuran mautnya. Pangeran Datu Mancang sekali-sekali meloncat untuk menghidar serta menyilangkan mandau pusaka guna menahan gempuran Sumbang Lawing. Bahkan, Pangeran Datu Mancang beberapa kali berhasil menyarangkan mandau  pusaka itu ke tubuh Sumbang Lawing namun ternyata tidak mampu melukai Raja Iban itu. Pangeran Datu Mancang juga telah mendapat khabar tentang kesaktian Sumbang Lawing yang tidak termakan oleh senjata karena memiliki jimat rantai babi. Apa yang ia dengar ternyata terbukti bahwa tubuh Sumbang Lawing memang kebal senjata. 

Dua orang kepercayaan Pangeran Datu Mancang, yakni Datu Tantalangi dan Datu Mahubut sudah membekali pemimpin mereka dengan kesaktian sebagai pamungkas menghadapi kesaktian dari jimat rantai babi itu. Mereka sudah mengisi keris berkepala naga yang masih tersarung di pinggang Pangeran Datu Mancang dengan ajian yang mampu melukai tubuh Sumbang Lawing. Dua orang kepercayaan Pangeran Datu Mancang itu sebelumnya menyarankan agar sang pangeran bisa mengakhiri pertumpahan darah itu dengan melumpuhkan Sumbang Lawing namun tidak mesti harus membunuhnya. 

Mengalahkan musuh yang menebarkan angkara tidak mesti harus diiikuti hukuman mati akan tetapi lebih terpuji dan terhormat jika mampu membuatnya sadar akan perbuatan dosa yang yang selama ini telah ditebarkan, begitu Datu Mahubut mengingatkan Pangeran Datu Mancang. Datu Mahubut juga mengingatkan bahwa meskipun dua kelompok terikat dengan sumpah namun jika Sumbang Lawing dibunuh maka akan menebarkan bibit-bibit dendam bagi penerusnya karena sosoknya yang begitu dipuja oleh  masyarakat Iban sehingga permusuhan tersebut akan terus tumbuh antara dua suku seperiok sebelanga itu. 

Pangeran Datu Mancang sejauh ini mampu mengimbangi serangan Sumbang Lawing dan belum merasa perlu untuk mencabut keris pusaka yang sudah "diisi" oleh Datu Mahubut dan Datu Tantalangi itu. Jika keris itu tercabut maka tubuh Sumbang Lawing akan terluka padahal ia sudah berjanji dengan dua orang dekatnya itu agar Sumbang Lawing dikalahkan dalam keadaan terhormat sehingga pertikaian itu bisa dihentikan tidak dalam keadaan saling benci dan dendam. Setelah sekian lama bertarung, belum terlihat siapa yang unggul karena tidak ada tubuh yang terluka meskipun dari pandangan tajam Datu Tantalangi yang menguasai berbagai ilmu bela diri itu sudah melihat bahwa Sumbang Lawing mulai kelelahan mengayunkan mandau besar, panjang dan berat itu. Terlihat dari sinar wajah Sumbang Lawing yang mulai lunturnya kepercayaan diri sebagai jawara tiada tanding. Raja Iban itu akhirnya mengakui bahwa di balik wajah tampan serta sikap sopan dan halus namun ternyata lawannya kali ini menyimpan sebuah kekuatan dan keperkasaan. Hampir dua jam bertarung, ketika bayang-bayang tubuh yang tertimpa cahaya mahahari kian memanjang tanda memasuki waktu Shalat Azhar. 

Pangeran Datu Mancang meloncat ke belakang dan menyilangkan mandau pusaka di dadanya tanda untuk menghentikan serangan bagi Sumbang Lawing. Sumbang Lawing yang benar-benar letih menangkap tanda yang diberikan Pangeran Datu Mancang dan segera menghentikan serangannya yang kian lamban sambil mendapat kesempatan untuk mengambil nafas panjang. "Sumbang Lawing, aku mengakui akan kehebatan dan keperkasaan dirimu. 

Akan tetapi, ternyata belum ada pemenangnya karena engkau belum mampu mengalahkan aku. Jika kau bersedia, duel ini kita tunda dan dilanjutkan besok pada tempat dan waktu yang sama" ujar Pangeran Datu Mancang. Sumbang Lawing yang mengalami kelelahan luar biasa telah kehilangan semangat untuk bertarung namun tidak ingin kehilangan muka untuk segera memberikan jawaban. Namun, teriakan para prajurit yang setuju agar pertarungan ditunda menyelamatkan wajahnya agar tidak kehilangan muka. Sumbang Lawing menyarungkan mandau pusaka gagangnya terbuat dari tanduk Rusa Sambar itu sebagai tanda menerima tawaran Pangeran Datu Mancang. 

Terdengar tepuk tangan menggema melihat dua petarung itu menyarungkan masing-masing senjata pusakanya tanda duel baru memasuki babak pertama dengan hasil seri. Dari kejauhan Putri Asung Luwan melihat Sumbang Lawing dan Pangeran Datu Mancang berjalan meninggalkan arena tanpa mengetahui tentang ditundanya duel itu. Namun, Putri Asung Luwan sudah bisa tersenyum dengan pipi yang tersemu merah karena hati kini berbunga-bunga. Tabir kekhawatiran hilang dari wajah pewaris tahta kebesaran klan Apo Kayan Uma Afan itu bak embun pagi  tersaput cahaya mentari ketika melihat Datu Mancang masih selamat.

Keyakinan Putri Asung Luwan tentang ramalan bundanya, Simun Luwan kian tebal dan mendekati nyata: "...datangnya seorang pangeran dari negeri seberang yang membebaskan mereka dari cengkaman Sumbang Lawing serta akan menjadi suaminya....".

Tantangan Baru

Kerlap kerlip dari lampu minyak damar terlihat dari salah satu lamin yang dihadiahkan Pangeran Datu Mancang untuk tempat penampungan sementara bagi Sumbang Lawing dan sebagian pengikutnya. Sebagai pihak yang berhasil mengusai daerah itu melalui sebuah pertempuran hebat dengan mengalahkan pasukan Sumbang Lawing, maka Pangeran Datu Mancang memiliki kekuasaan di wilayah yang dulunya di bawah cengkraman Sumbang Lawing.

Namun, Pangeran Datu Mancang dalam upayanya untuk menghentikan perang saudara di pedalaman Sungai Kayan itu berusaha mengambil hati kaum Dayak Iban itu serta tidak menunjukan sikap mendendam meskipun keputusannya untuk menampung Sumbang Lawing dan ratusan pengikutnya di pemukiman tersebut sangat tidak disetujui oleh Putri Asung Luwan. Usai melaksanakan shalat Magrib, Pangeran Datu Mancang mengutarakan tentang keputusannya untuk menampung Sumbang Lawing dan sebagian pasukannya pada sebuah lamin di kawasan itu dengan syarat semua senjata harus merada dalam pengamanan pasukan Apo Kayan.

Putri Asung Luwan terlihat kaget dengan keputusan Pangeran itu dan dengan tatapan tajam ia memandang Pangeran Datu Mancang. "Aku sangat tidak setuju, mereka harus ikut bergabung bersama kita. Seharusnya, mereka tidur di hutan dan di dalam goa batu, layaknya seperti binatang karena sesuai dengan prilaku mereka yang kejam". Kata-kata Putri Asung Luwan yang kasar itu cukup mengangetkan Pangeran Datu Mancang karena sehari-hari gadis belia itu selalu berbicara santun dan sopan mencerminkan sikap anggun pewaris tahta kebesaran Apo Kayan Uma Afan.

Pangeran Datu Mancang mendapat serangan itu bingung harus berbicara apalagi melihat  sorotan tajam mata bulat indah Putri Asung Luwan yang tiba-tiba seperti menumpahan kemarahan terpendam kepada dirinya. Ia khawatir akan salah menyampaikan kata-kata sehingga bisa membuat putri bertambah marah. Pangeran Datu Mancang tiba-tiba baru kali ini menghadapi lawan sangat berat. Biasanya ia begitu tenang menghadapi para pendekar sakti, ksatria dan jawara. Namun, sorotan tajam mata Putri Asung Luwan melebihi ancaman tajam seribu belati pendekar sakti. Datu Mahubut yang melihat ketegangan itu hanya tersenyum, apalagi melihat sikap Pangeran Datu Mancang yang biasanya sangat tenang meskipun menghadapi lawan berat di medan laga kini salah tingkah.

Ia memahami kondisi jiwa dua sejoli itu yang saling merindukan dan menyayangi meskipun ditutupi dengan sikap dingin. "Putri, sebenarnya keputusan Pangeran sudah dirundingkan dengan kami dan beberapa orang tua dari Apo Kayan. Keputusan itu hakikatnya, kesepakatan bersama" kata Datu Mahubut. "Kami bisa memahami sikap Putri itu, khususnya jika melihat tindakan dan sepak terjang Sumbang Lawing selama ini namun ada tujuan dan keinginan agar permusuhan antarsaudara bangsa Iban dengan bangsa Apo Kayan dihentikan karena hidup dalam suasana damai itu lebih indah" ujar Datu Mahubut. Begitu Datu Mahubut ambil bicara, Putri Asung Luwan langsung mereda karena ia sangat menghormati orang tua sangat bijaksana yang telah meng-Islam-kan dirinya itu.

Datu Mahubut kemudian secara panjang lebar menuturkan rencana-rencana mereka untuk mengakhiri permusuhan serta tekad untuk membangun wilayah leluhur masyarakat Apo Kayan itu. Putri Asung Luwan meskipun dalam hati kecilnya tetap tidak rela dan iklas atas keputusan untuk mengambil hati warga Iban namun berkat campur tangan orang tua keturunan Arab yang sering juga dipanggil sebagai Tuan Guru itu, akhirnya ia tidak membantah lagi meskipun sorot matanya masih tajam memandang Pangeran Datu Mancang.

Pangeran Datu Mancang kali ini bisa tersenyum membalas tatapan itu karena baru menyadari bahwa kekerasan hati Putri Asung Luwan ternyata luntur oleh tutur kata halus mengayomi dari Tuan Guru Datu Mahubut. Putri Asung Luwan yang masih ingin memperlihatkan wajah kesal terhadap Pangeran Datu Mancang akhirnya tidak mampu lagi menyembunyikan gelora rindu asmaranya sehingga ia juga tersenyum. Pangeran Datu Mancang kemudian meminta putri agar ikut membicarakan rencana mereka dalam mengalahkan Sumbang Lawing yang diibaratkan seperti menarik benang dalam tepung. Benangnya keluar namun tepungnya tidak terhambur. Sekali-sekali Datu Mahubut melalui kata-kata halus dan rapi berhasil memberikan pandangan kepada Putri Asung Luwan tentang lebih bernilainya seseorang jika memberikan maaf serta melupakan dendam dan permusuhan, terutama terhadap Sumbang Lawing yang telah membunuh keluarganya dan mengusai wilayah Apo Kayan.

Di sudut lain pada kawasan pemukiman, Sumbang Lawing tampak termenung sambil beberapa tabib mengobati beberapa luka memar cukup menyakitkan bekas pukulan dan tendangan Pangeran Datu Mancang saat duel tadi siang. Sumbang Lawing merasa kini memikul beban berat dipundaknya untuk melanjutkan duel besok hari menghadapi Pangeran Datu Mancang. Ia mengakui bahwa telah menemukan lawan sangat berat. Bahkan, ia menyadari bahwa apabila pemuda dari negeri seberang itu berkehendak maka dirinya mungkin kalah dalam duel itu. "Selain tidak segera mengalahkan aku. Pria itu juga telah berbaik hati memberi kami makanan dan tempat bermalam. Kira-kira apa maksud dari semua ini" Tanya Sumbang  Lawing dalam hatinya yang diselimuti rasa penasaran atas sikap Pangeran Datu Mancang. Sumbang Lawing yang masih tenggelam dalam berbagai pertanyaan dengan sikap Pangeran Datu Mancang itu dikagetkan dengan suara salah seorang pengikutnya dari luar lamin. Ia bergegas keluar, dan pengikutnya itu kemudian menyampaikan tentang tantangan duel lanjutan dari Datu Mancang untuk esok harinya dalam upaya menuntaskan pemusuhan dua suku yang masih bersaudara itu, yakni antara kaum Iban dengan kaum Apo Kayan yang dibantu Pangeran Datu Mancang.

Sumbang Lawing setelah mendapat penjelasan dari salah satu pengikutnya itu mulai sedikit memahami sikap Pangeran Datu Mancang yang tidak segera mengalahkan dirinya dalam duel pertama mereka tadi siang. "Dari awal aku sudah curiga bahwa memang ada maksud tertentu dari Pangeran Datu Mancang. Termasuk sikap baiknya yang memberi kita makanan dan tempat bermalam. Kalau begitu keinginannya tidak ada masalah, sampaikan aku siap menerima tantangannya besok. Berarti malam ini kita bisa tidur nyenyak" kata Sumbang Lawing yang segera kembali ke dalam lamin sambil melemparkan tubuhnya yang tinggi besar itu untuk mencari posisi tidur paling nyaman karena beban berat di pundaknya terasa sirna. Sumbang Lawing yang telah merasa bebas itu menandakan bahwa Pangeran Datu Mancang berhasil menemukan cara terbaik dalam menuntaskan pertikaian antarsuku yang telah menelan banyak korban jiwa..

Sumbang Lawing Takluk

Kali ini, Sumbang Lawing seperti berlomba dengan ayam hutan untuk bangun pagi. Pria tinggi besar dengan rambut panjang dikucir itu tampak merasakan sebuah kebebasan hari itu. Tantangan Datu Mancang kali ini seperti bisa membebaskan dirinya dari berbagai himpitan. Sebagai seorang petarung yang sebelumnya tidak pernah kalah, menyebabkan sosok dirinya telah menjadi lagenda hidup. Bahkan, banyak anaksuku, sukukeluarga atau klan di kawasan itu meyakini dirinya bukan sebagai manusia akan tetapi dianggap hantu atau manusia setengah dewa.

Namun, begitu duel dengan pangeran dari negeri seberang itu, pamornya benar-benar jatuh karena ada yang mampu menandinginya. Bahkan, ia menyadari Datu Mancang bisa saja mengalahkan dirinya akan tetapi ia memberi kesempatan kepada Sumbang Lawing untuk mengakhiri pertikaian atau perang suku itu tanpa ada lagi saling dendam. Kenyataan bahwa ia juga bisa dikalahkan di sisi lain menimbulkan rasa penyesalan akan tetapi memberi arti lain bagi Sumbang Lawing. "Kini aku bisa kembali ke tanah leluhur di Serawak untuk kembali berkumpul dengan keluarga. Hari ini adalah akhir petualanganku" gumam Sumbang Lawing yang pada titik akhirnya mencuat juga sisi "kemanusiaannya" yang rindu akan kampung halaman serta bisa bertemu dengan keluarganya.

Kehebatannya selama ini telah menyesakan diri Sumbang Lawing yang terus mencari jawara tangguh untuk membuktikan keberadaan dirinya. Sikap kejam Sumbang Lawing juga terdorong dengan "status sosialnya" sebagai seorang penguasa tiada tanding. Beberapa pengikutnya terlihat heran dengan sikap pemimpin mereka yang biasanya selalu  sangar serta bersuara keras namun kini tampak lebih halus serta banyak melamun. Sebagian pasukannya, tidak memahami tentang bentuk pertarungan hari itu sesuai dengan tantangan yang diajukan Pangeran Datu Mancang.

Matahari terus perputar sampai bayangan sudah memancang hampir dua kali dari benda yang disoroti yang menandakan waktu pertarungan segera mulai. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi gong sebagai tanda segera berlangsungnya pertarungan untuk menentukan siapa jawara yang berkuasa di Tanah Apo Kayan itu. Rombongan Pangeran Datu Mancang yang terdiri dari masyarakat Melayu serta warga Kayan sudah menuju sebuah bukit sebelah barat perkampungan tempat pertarungan berlangsung.

Tidak lama kemudian, Sumbang Lawing bersama prajurit Iban menyusul ke lokasi tersebut. Di antara, kerumunan massa itu, tampak seorang wanita yang tadinya bersikap tenang berubah menjadi sedikit tegang, wajahnya tampak memerah dengan sorot mata yang menyimpan amarah begitu melihat kedatangan Sumbang Lawing ke arena tersebut. Datu Mancang yang diam-diam memperhatikan sikap Putri Asung Luwan itu hanya bisa menarik nafas panjang karena melihat amarah putri yang masih tetap menyimpan dendam tiada termaafkan bagi Sumbang Lawing. "Sumbang Lawing seperti yang aku sampaikan melalui utusan kemarin, maka untuk menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang kalah, hari ini akan ditentukan" kata Pangeran Datu Mancang.

Sumbang Lawing hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan kata-kata dalam menjawab kesediaannya untuk bertarung hari itu. Datu Mancang tidak ingin mengalahkan Sumbang Lawing dalam sebuah duel berdarah apalagi sampai membunuhnya karena menilai hal itu bukan sebuah penyelesaian pertikaian karena akan menimbulkan dendam baru. Setelah berdialog dengan para penasehatnya, maka Datu Mancang menemukan cara untuk mengalahkan Sumbang Lawing, yakni menantangnya dalam sebuah pertarungan yang lebih tepat disebut sebagai perlombaan. Yakni, dua keranjang limau atau jeruk yang berukuran cukup besar akan ditumpahkan dari atas bukit yang sudah digunduli.

Peraturannya, masing-masing jagoan itu menanti di tengah bukit dengan senjata masingmasing untuk menebas limau yang ditumpahkan pada jalurnya masing-masing itu.  Pemenangnya adalah jawara yang mampu menebas buah limau paling banyak. Bagi Sumbang Lawing, tantangan itu meskipun terasa aneh bahkan dianggapnya hanya mainmain namun tidak ada alasan lain untuk menolaknya. Pasalnya, ia sudah menyadari bahwa kemampuan dan kesaktian Datu Mancang melebihi dirinya. Beberapa pengikutnya setelah tahu tentang tantangan yang diajukan Datu Mancang itu segera mendatangi Sumbang Lawing untuk menyarankan ia menggunakan mandau yang kecil sehingga akan lebih lincah serta cepat untuk membidik buah limau tersebut.

Sumbang Lawing justru terlihat marah mendapat masukan dari pengikutnya itu dan ia tetap menghunus mandau pusakanya yang memang besar dan panjang hampir dia depa itu. Sumbang Lawing sudah mengakui bahwa kemampuan dan kesaktian Datu Mancang memang di atas dirinya sehingga untuk pertarungan atau perlombaan kali ia sudah merasa kalah sebelum gong tanda dimulai. Begitu gong tanda pertandingan dimulai, beberapa orang yang bertugas menumpahkan  masing-masing 100 buah jeruk limau melaksanakan tugasnya secara bersamaan.

Dua petarung itu menanti hujan buah jeruk dari atas bukit gundul tersebut. Begitu tiba, Datu Mancang dan Sumbang Lawing berlomba membabat buah-buah jeruk limau tersebut. Kali ini, pertarungan tersebut tidak lagi disertai dengan bentakan perontok semangat ataupun jerit kepedihan merenggang maut akan tetapi sorak-sorak kegembiraan para pendukung masing-masing petarung yang menggema di pedalaman Apo Kayan. Muslihat Pangeran Datu Mancang dalam upaya mengalahkan Sumbang Lawing mencapai sasaran karena tidak lagi terlihat adanya sikap permusuhan antara Dayak Iban dengan Dayak Kayan.

Setelah beberapa saat, semua buah jeruk itu telah habis menggelinding. Sumbang Lawing dan Datu Mancang pun meloncat ke kaki bukit karena telah menyelesaikan tugasnya. Beberapa orang yang dianggap paling terpercaya yang menjadi juri baik dari kubu Datu Mancang dan Sumbang Lawing segera mengumpulkan semua jeruk tersebut serta menghitung dan menandai satu-persatu baik yang terkena mata senjata maupun yang luput. Teriakan dan sorakan masing-masing pendukung kembali memeriahkan suasana saat hakim menghitung satu persatu buah jeruk itu milik Datu Mancang dan Sumbang Lawing.
Akhirnya, Datu Mancang ditetapkan sebagai juara karena menebas buah jeruk limau yang lebih banyak dari Sumbang Lawing. Sumbang Lawing serta pengikutnya begitu mendengar ketetapan hakim perlombaan itu bisa menerima kekalahan dengan besar hati. "Duel" antarjawara kali ini telah melahirkan seorang jagoan tiada tanding serta mampu menaklukkan lawan dengan tiada sakit hati dan dendam. Akhirnya, Datu Mancang berhasil mencapai tujuannya untuk mengakhiri pertikaian di dataran Apo Kayan itu secara tuntas. Sumbang Lawing berjalan mendekati Datu Mancang dan memenang pundaknya sambil tersenyum karena baru kali ini menemui seorang jawara sangat tangguh namun mampu menempatkan diri sebagai seorang lawan yang disegani bukan ditakuti. Melihat pemandangan itu, baik masyarakat Kayan maupun warga Iban bersorak. Akhirnya dua belah pihak bisa mengakhiri perang suku tanpa benih dendam lagi.

Menikah

Sumbang Lawing menunjukan sikap jantannya untuk menerima kekalahan serta mentaati sumpah sehingga bersama para pengikutnya yang masih tersisa mereka meninggalkan tanah leluhur masyarakat Kayan.

Datu Mancang menarik nafas panjang melihat kepergian Sumbang Lawing karena satu tugas besar telah mampu ia laksanakan. Para prajurit Datu Mancang juga terpaku melihat kejadian yang sebelumnya nyaris seperti mimpi untuk bisa mengusir pasukan Sumbang Lawing. Dalam situasi lengang itu, tiba-tiba terdengar suara tampak kaki berlari kecil disertai suara gesekan baju ksatria yang kedodoran dikenakan oleh Putri Asung Luwan yang dalam suka citanya melihat Sumbang Lawing bisa ditaklukan tanpa sengaja mendekati Datu Mancang serta menggenggam tangannya.

Ratusan pasang mata yang tadinya suka cita melihat kepergian Sumbang Lawing bersama pengikutnya kini beralih melihat kelakukan aneh Putri Asung Luwan. Kala itu, sangat tabu menyentuh lawan lain jenis meskipun hanya berpegangan tangan, apalagi secara terbuka yang ditatap ratusan pasang mata. Pangeran yang juga terkejut dengan sikap penerus kebesaran warga Kayan itu namun segera memahami situasi sulit yang kini menimpa Putri Asung Luwan ibarat ikan terperangkap bubu. Tindakannya itu akan merendahkan martabatnya sebagai seorang bangsawan serta akan dikucilkan atau diusir dari komunitasnya.

Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Putri Asung Luwan adalah dirinya maka Pangeran Datu Mancang segera merengkul Putri Asung Luwan serta dengan lantang mengumumkan bahwa "Aku Pangeran Datu Mancang dengan disaksikan oleh ayahnda Datu Mahubut dan Datu Tantalangi serta para prajurit Melayu dan Kayan yang gagah berani berhasil mengusir Sumbang Lawing, melamar Putri Asung Luwan agar menjadi pendamping hidupku dan aku akan selamanya menjaga Putri". Tangan Putri Asung Luwan kian erat memeluk pinggang Pangeran Datu Mancang karena meskipun belum sah menjadi istri akan tetapi dengan lamaran serta janji sumpah itu telah menjadi jaminan bahwa kini ia tidak lagi bisa dikenai denda adat.

Warga Kayan usai mendengar janji dan lamaran Pangeran Datu Mancang langsung bersorak bergembira karena merekapun memaklumi dua sejoli itu sedang dimabuk asmara. Bersamaan dengan itu, terdengar suara kepak sayap dan teriakan beberapa ekor burung enggang yang terbang bergerombolan melintasi sungai. "Mungkin enggang itu penjelmaan ayah, Simun Luwan dan Sadang yang ikut merasakan kebahagiaan ini dan merestui Datu Mancang sebagai jodohku. Batin Asung Luwan yang kian kuat memeluk Datu Mancang. Sebelum meninggalkan bukit, Asung Luwan untuk sejenak memperhatikan tanah kelahirannya yang sudah lama ia tinggalkan, terbayang kembali masa bahagianya ketika ia bercanda di Sungai Payan bersama segenap orang yang dikasihi. Setelah berhasil mengusir Sumbang Lawing dan pasukannya, Datu Mancang mencari daerah untuk bermukim, maka ia bersama Asung Luwan dan seluruh pengikutnya menemukan daerah sangat indah alamnya yakni Desa Busang Arau diduga kini merupakan Kuala Sungai  Pengian.

Pernikahan Datu Mancang-Asung Luwan dimeriahkan oleh segenap anak negeri dengan pesta besar-besaran. Pernikahan itu berlansung sangat meriah karena diikuti pula oleh puluhan pasukan Brunei yang setia mendampingi Datu Mancang dengan gadis Kayan Uma Afan yang terkenal cantik jelita itu.Prosesi pernikahan selain dimeriahkan dengan acara tradisional masyarakat Kayan, juga digelar dengan tradisi Islami oleh bangsa Melayu dari Brunei.

Konon, mewarnai pernikahan itu, warga Melayu Brunei untuk pertama kalinya membuat replika biduk bebandung. Tujuannya selain untuk mengarak mempelai pria juga untuk mengenang perjalanan panjang mereka ke tanah Kayan itu.Setelah selesai akad nikah, maka kedua pasangan suami-istri itu diarak dengan biduk memandung tiga kali mengintari sungai, yang disaksikan masyarakat di tepian sungai. Dari perkawinan acampuran dua suku bangsa itu, maka kemudian tercatat dalam sejarah lahirnya suku bangsa baru bernama Suku Bulungan. Dari keturunan buah cinta Datu Mancang-Asung Luwan melahirkan juriat para sultan yang memimpin Kesultanan Bulungan secara turun-temurun.


Sumber : ruslanabdullah

1 comment: