Legenda Apokayan
Ditulis oleh : gamas jawan
Jika kita berbicara soal orang-orang Dayak, maka suku yang
paling pantas disebut pertama adalah suku Dayak Kenyah yang populasinya lebih
besar ketimbang suku-suku dayak lainnya di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk
Serawak dan Sabah Malaysia dan Brunai Darussalam.
DARI kebesaran suku ini
selain sangat populer dengan seni dan adatnya, mereka termasuk suku yang paling
dihormati. Tetapi sebutan Dayak Kenyah ini bukanlah berdiri sendiri melainkan
mereka memiliki anak suku yang cukup banyak. Untuk itu keberadaan mereka tak
terlepas dari apa yang disebut sebagai Legenda Apokayan.
Wilayah Apokayan
termasuk ke dalam daerah Bulungan yang merupakan basis dari suku dan anak suku
(Uma) Dayak Kenyah terletak di ujung barat Kabupaten Bulungan, berbatasan
langsung dengan Serawak Malaysia Timur.
Dari Apokayan inilah orang orang Kenyah berkembang pesat,
baik secara budaya maupun adat sebelum akhirnya mereka berpencar ke berbagai
wilayah di Kalimantan, seperti Kutai, Berau, Paser, kemudian memasuki pula
Kalimantan Barat serta Serawak dan Sabah.
Wilayah yang disebut Apokayan saat
ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kayan Hulu dengan luas sekitar 3.500
Kilometer persegi dengan penyebaran pada 14 desa dengan jumlah sekitar 5.000
jiwa. Jumlah ini adalah jumlah mereka yang menetap di Kayan Hulu, belum
termasuk di daerah Kecamatan Kayan Hilir serta yang tersebar diberbagai wilayah
Kalimantan secara keseluruhan.
Asal cerita orang orang Apokayan ini berawal dari daerah
perkampungan “Lundaye“ warga yang berdiam di perbatasan Serawak dan Bulungan,
yang bertujuan mencari daerah baru karena populasi mereka kian berkembang.
Mereka secara berkelompok menyebar meninggalkan daerah Lundaye. Dari penyebaran
tersebut salah satu kelompok terbesar mereka adalah orang orang yang disebut
sebagai suku Kenyah sampai ke daerah Apau Da’a Bulungan dan bermukim di tempat
tersebut karena daerah ini subur dan kaya dengan hasil bumi yang mereka
butuhkan.
Setelah cukup lama bermukim di Apau Da’a, populasi mereka
kian pula bertambah, maka untuk lebih berkembang mereka membentuk 12 kelompok
keluarga dan mengembara mencari wilayah baru untuk didiami. 12 kelompok
tersebut terdiri dari 40 anak suku (Uma) atau keluarga menyusuri daratan dan
sungai Kayan hingga sampai kemana mana.
Mereka yang keluar meninggalkan Apau
Da’a, adalah Uma Bakung, Uma Lepu Tau, Uma Tukung, Uma Jalan, Uma Timai, Uma
Baja, Uma Bem, Uma Badeng, Uma Ujok, Uma Pawa, Uma Awai, dan Uma Kayan Ma’
Leken.
Anak suku Kenyah ini amat ulet, berani, dan sangat menjaga
kekerabatan serta adat budaya leluhur mereka sampai kemanapun. Pada setiap
pemukiman mereka selalu ada balai adat atau Lamin Pertemuan keluarga, selain
untuk upacara dan penyambutan tamu. Pada saat kini yang telah menetap seperti
Uma Tau dan Uma Bakung mendiami Desa Sungai Barang, Desa Long Uro di Apokayan,
sedang Uma Jalan menempati Desa Long Ampung, Long Nawang, dan Nawang Baru.
Sedang anak suku lainnya menyebar dan menempati dibeberapa desa wilayah adad
Apokayan , seperti Desa Long Bata’oh, Long Temuyat, Long Top,Long Lebusan, Long
Anye, Lidung Payau, Long Payau, Mahak Baru, dan Dumu Mahak.
Namun walau desa
mereka berjauhan mereka tetap menjaga kekerabatan dan saling kunjung
mengunjungi bila ada upacara perkawinan, kematian, dan pesta panen tahunan.
Daerah Apokayan ditemukan oleh orang orang Kenyah asal
Lundaye pada abad ke 16 dan menjadikan Apokayan sebagai basis dan kawasan adat
Suku Dayak Kenyah, dimana setelah berkembang pesat dan berjalan selama dua abab
maka pada abad ke 18 mereka mulai eksodus dan menyebar ke arah Kabupaten Kutai
menyusuri Sungai Mahakam, Sungai Kapuas Hulu, memasuki daerah kerajaan Berau,
terus kehilir Sungai Kayan menuju Tanjung Peso, Tanjung Palas dan Tanjung
Selor.
Perubahan adat kepercayaan terjadi pada awal abad 20 pada
Suku Kenyah yang dibawa oleh Pemerintah kolonialis Belanda. Mereka mulai
mengenal peradaban baru dan secara perlahan mengikis kepercayaan pada
kepercayaan leluhur serta tradisi lain yang tak sejalan dengan hukum masyarakat
modern, termasuk mereka mulai memeluk kepercayaan Kristen dan Islam, pendidikan
serta sosial kemasyarakatan.
Yang mengenal perubahan ini adalah masyarakat yang
telah meninggalkan daerah Apokayan dengan jumlah tak sedikit, yaitu sekitar 12
ribu jiwa sehingga di Apokayan sendiri tersisa sekitar 3.000 jiwa yang
bertahan.
Namun demikian walau tersisa sudah tak banyak, mereka yang
tinggal tetap teguh dengan segala kepercayaan dan adat yang mereka percayai
semenjak leluhur mereka. Pada setiap waktu mereka selalu melaksanakan upacara
sakral yang mereka yakini. Mereka juga tidak perduli dengan keadaan di luar
kawasan adat mereka.
Tetapi orang orang Kenyah ini adalah orang yang selalu
menjaga kekerabatan secara utuh. Pada kenyataannya walau mereka pergi jauh dan
terpencar kemana mana, namun tetap saja mereka pada waktu waktu tertentu
kembali ke Apokayan untuk bertemu dengan warga dan tetuha adat yang masih ada.
Selain mereka kembali ke Apokayan dalam urusan adat dan keluarga, pada waktu waktu
tertentu, mereka juga tak melupakan asal usul mereka yaitu daerah pertama yang
disebut desa orang-orang Lundaye dan desa desa asal usul pertama di pedalaman
perbatasan Bulungan Serawak.
Dasar utama mereka meninggalkan Apokayan adalah berkaitan
pada masalah ekonomi. Karena lahan di Apokayan kian sempit terjadilah
perpindahan mereka ke berbagai daerah di samping menghindari persaingan dan
perebutan sesuatu wilayah subur yang bisa terjadi antara anak suku (Uma )
Kenyah.
Perginya penduduk ke daerah daerah subur yang ditemukan atau
diberitakan oleh keluarga dan kerabat yang telah lebih dahulu pergi membuat
Apokayan bertambah sepi.
Dalam upaya mengembalikan kehidupan Apokayan untuk menjadi
sentral seni budaya dan adat Suku Kenyah, serta mengupayakan agar orang-orang
Kenyah yang tadinya pergi bisa kembali ke Apokayan dan membangun Apokayan
sebagai pusat keberadaan Suku Kenyah, pada tahun 1994 lalu di Apokayan
dilaksanakan pertemuan adat seluruh anak suku (Uma ) Kenyah disertai pesta
penen dan pagelaran budaya yang mereka sebut “Bangen Jenai Lale.” Atau dengan
arti Bangen adalah Pesta, Jernai adalah Makanan dan Beras, Lale adalah Adat.
Yang diambil dari kebiasaan sakral Suku Kenyah.
Sejak itulah kebanggaan sebagai Suku Kenyah ditampakkan ke
berbagai wilayah. Semua orang yang berasal dari Suku Kenyah memiliki atau
memakai tanda kalau mereka adalah orang orang Dayak Kenyah yang terbesar dan
tersebar di seluruh pelosok Kalimantan..
Apokayan yang termasuk di dalam
wilayah Bulungan ini memang tak berkaitan budaya atau darah dengan masyarakat
atau bangsawan Bulungan. Orang Dayak Kenyah tak memiliki raja atau kerajaan,
namun mereka memiliki Kepala Suku dan Kepala Adat yang kedudukannya hampir sama
dengan seorang raja. Apa kata Kepala Suku atau Kepala Adat, itulah yang menjadi
putusan hukum bagi masyarakat Kenyah.
Sebenarnya daerah Apokayan ini adalah suatu daerah yang
sangat indah dan alami, sehingga banyak turis mancanegara yang bertualang di
daerah ini untuk menikmati keindahan alam serta ragam budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Dayak Suku Kenyah. Selain itu banyak pula dari kalangan budayawan
asing melakukan penelitian sejarah dan budaya keberadaan Kenyah yang mereka
anggap unik serta langka.
Keindahan alam Apokayan kini sudah dikenal oleh masyarakat
mancanegara. Apalagi Apokayan juga memiliki hutan yang masih utuh penuh dengan
flora dan fauna sehingga merupakan asset jual yang bernilai tinggi. Keindahan
Apokayan adalah salah satu dari seribu keindahan alam Kabupaten Bulungan, yang
membentang dari ujung Apokayan hingga ke sisi pegunungan Kerayan, membujur kea
rah Lumbis, Malinau dan Mentarang; Kemudian dari Long Peso memanjang ke Long
Pujungan, Sesayap, Sembakung, dan Nunukan, sampai ke pulau Sebatik. Keadaan ini
ketika Kabupaten Bulungan belum terbagi menjadi empat bagian yaitu Kabupaten
Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Namun demikian
hal tersebut adalah hanya persoalan pembagian administrasi dan untuk
kepentingan percepatan pembanguan di wilayah utara Kalimantan Timur.
Walau demikian alamnya serta seni budaya dan kondisi
lingkungan tetap saja sama tak berubah. Keramahan penduduk Suku Kenyah ini
sangat membuat siapapun akan terkesan selama hidupnya. Apalagi bagi kalangan
turis mancanegara. Ada diantara mereka yang jatuh cinta dengan Apokayan. Mereka
rela tinggal dan mengawini gadis Apokayan yang kebanyakan cantik-cantik alami.
Pada umumnya mereka yang bertualang ke pedalaman dan desa
desa di kawasan ini sudah merasa jenuh hidup di tengah tengah kota yang penuh
bangunan bangunan beton. Apalagi dengan kebebasan dan cara hidup mereka juga
sangat berbeda, walau agama kepercayaan mereka ada yang sama yaitu Kristen
Protestan atau Katolik. Di lain itu disini mereka menemukan ketenangan dan
kedamaian jiwa terlepas dengan segala tututan hidup yang selalu dalam
persaingan.
Sebagai orang Kalimantan apalagi Kalimantan Timur sendiri
amatlah rugi jika belum pernah menikmati keindahan dan keramahan masyarakat
Apokayan. Penulis yakin jika Anda kesana, Anda pasti jatuh hati dengan situasi
yang sangat mempersona. Terutama pada pemuda-pemuda kekar dan tampan serta
gadis gadis semampai yang cantik di samping alam yang begitu indah mempersona.
Saya yakin Anda tak akan kecewa .Cobalah jangan disia siakan semasa kesempatan
masih ada.- *habis
Sumber : gamaszen.blogspot.my
Dlm sejarah Dayak Kenyah, kmi bukan brsl dri kelompok Lundayeh. Kmi datang dari Beram Sarawak, Malaysia
ReplyDeleteBukan berasal suku lundayeh adalah betul tetapi, berasal dai pulau kalimantan borneo adalah betul.
Deletesebelum memosting tentang sejarah ada baiknya di tanyakan sumber dari suku dayak yang lain jangan mengambil kesimpulan sendiri....
ReplyDelete