Friday 23 February 2018

Dwikora : Perang yang (Nyaris) Terlupakan

Dwikora : Perang yang (Nyaris) Terlupakan

Dalam literatur sejarah nasional, jarang dijelaskan mengenai Dwikora. Namanya tidak setenar Trikora, operasi militer untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Walhasil di tengah memanasnya hubungan Indonesia – Malaysia saat ini, tidak banyak generasi muda negeri ini yang mengetahui apa itu Dwikora.

Dwikora merupakan kepanjangan dari Dwi Komando Rakyat yang pertama kali diumumkan oleh Presiden pertama RI, Soekarno pada 3 Mei 1964 saat apel besar Sukarelawan di Jakarta. Ketika itu Bung Karno (BK) menyerukan Dwikora alias Komando Ganyang Malaysia yang isinya : Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah dan Serawak untuk menggagalkan negara boneka Malaysia.

Semua ini merupakan jawaban Jakarta atas langkah pemerintah Federasi Malaysia untuk menyatukan Brunei, Sabah dan Sarawak di Kalimantan Utara dalam sebuah Persekutuan Tanah Melayu pada 16 September 1963. Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai urusan domestik Melayu. Sebaliknya BK menganggap sebagai upaya pembentukan negara boneka kolonial Inggris yang mengancam kedaulatan Indonesia. Kemarahan BK semakin meluap saat mengetahui para demonstran di Kuala Lumpur menginjak-nginjak lambang negara Garuda Pencasila di hadapan Tunku Abdul Rahman.

Selain Indonesia, pihak Filipina yang pro AS sebetulnya juga keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia, terutama terkait klaim Kuala Lumpur atas Sabah yang menurut Manila secara sosial kultural masuk Filipina Selatan. Selanjutnya pihak Kesultanan Brunei –yang tidak mau terseret dalam kancah perang- memilih memisahkan diri dari Federasi Malaysia.

Maka sepanjang 1963 – 1966 kawasan perbatasan RI – Malaysia berubah menjadi daerah konfrontasi. Kondisinya mirip war of attrition Israel –Mesir pasca Perang 1967. Diperkirakan pada tahun 1964 terdapat ribuan sukarelawan Indonesia –kebanyakan adalah anggota TNI/Polri tanpa seragam resmi- bergerilya menyusup ke Malaya, Singapura, Sabah dan Sarawak melalui jalur darat, laut hingga udara. Selain mencoba menggalang simpatisan Negara Kalimantan Utara yang anti Kuala Lumpur, para sukarelawan juga melakukan operasi serangan dan sabotase. Operasi ini dikendalikan oleh Komando Siaga (selanjutnya berubah menjadi Komando Siaga Mandala/KOLAGA) di bawah pimpinan Panglima/KSAU Laksamana Madya Omar Dhani.

Tidak mau tinggal diam, pihak Inggris sebagai ‘pelindung’ Malaysia ikut campur dalam konfrontasi dengan menerjunkan satuan tempur infantri hingga parakomando termasuk Gurkha, Royal Commando dan SAS (Special Air Service) ke perbatasan Kalimantan Utara. Pada tahun 1965 pasukan Australia dan Selandia Baru turut bergabung, hingga meningkatkan jumlah pasukan negara persemakmuran di Malaysia mencapai 27.000 tentara. Di saat sama TNI/Polri secara ‘resmi’ melakukan operasi tempur di kalimantan Utara dan Malaysia.
Sejumlah pertempuran menonjol antara tentara Malaysia – Inggris dengan tentara Indonesia/Sukarelawan antara lain serangan sukarelawan terhadap 2 pos perbatasan tentara Malaysia – Inggris di Long Jawi (September 1963), penerjunan parakomando Indonesia ke kawasan Johor (Agustus – Oktober 1964) serta serangan terhadap pangkalan AL Malaysia di Sampurna pertengahan 1965. Untuk menangkal infiltrasi tersebut, tentara Inggris melancarkan operasi pre emptive bersandi Claret selama 1964 – 1966.

Berdasarkan catatan pihak Inggris, Konfrontasi Malaysia menelan korban jiwa sekitar 200 tentara Inggris/Australia dan 2.000 tentara/sukarelawan Indonesia. Bahkan kabarnya sejumlah korban tewas kedua pihak mengalami mutilasi anggota tubuh baik karena alasan tradisi perang setempat maupun sebagai body count. Korban nyawa terakhir adalah 2 anggota KKO Usman dan Harun yang dihukum gantung pemerintah Singapura tahun 1967 karena meledakan gedung Mac Donald di Orchard Road 10 Maret 1965.

Namun demikian menurut Ketua Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora, Kolonel Marinir (Purn) W. Siswanto, hingga kini masih terdapat 168 jasad anggota TNI/Polri ‘tertinggal’ di kawasan Kalimantan Utara. Jumlah itu meliputi 200 anggota KKO Marinir TNI-AL, 91 anggota Pasukan Gerak Tjepat (Paskhas) TNI-AU, 33 anggota Brimob dan 19 paramiliter sukarelawan. Pada tahun 1996 pernah diusulkan pembentukan tim pencari fakta lokasi jasad pejuang Dwikora tersebut, namun ditolak pemerintah dengan alasan hubungan diplomatik.

Konfrontasi sendiri berakhir setelah pemerintahan baru Indonesia dibawah Jenderal Soeharto berniat menghentikan konflik. Maka pada 28 Mei 1966 di Bangkok dilakukan perundingan damai yang berujung penandatanganan perjanjian damai Indonesia – Malaysia pada 11 Agustus 1966. Setahun kemudian Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand mendirikan ASEAN, sebuah forum kerjasama regional demi mempererat hubungan politis, ekonomi dan sosial budaya antara negara. Termasuk didalamnya menangkal pengaruh komunis dari utara.

Selama kekuasaan Orde Baru, Dwikora dianggap ‘aib’ atas prinsip politik luar negeri Bebas Aktif. Pertama karena cenderung memperlihatkan sosok Indonesia sebagai negara agresor. Kedua adanya fakta selama Dwikora pihak Indonesia mendukung dan menggalang simpatisan komunis yakni Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU).

Namun sejatinya Dwikora tidak bisa dilepaskan dari teater global Perang Dingin. Ini bermula dari perlawanan Bung Karno atas ancaman agen NEKOLIM (Neo Kolonialisme) yang berniat menggulingkan kekuasaannya. Sebagai proklamator kemerdekaan RI tahun 1945, BK melihat adanya upaya negara Barat untuk kembali menjajah negara Asia – Afrika yang baru saja merdeka pasca Perang Dunia II. Untuk menggagalkan imperialisme baru tersebut, BK menggagas Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang dihadiri 29 negara.

Tiga tahun kemudian BK dihadapkan kepada pemberontakan separatis PRRI/Permesta yang disokong AS. Keterlibatan Washington jelas kentara sejak merapatnya kapal induk USS Thomaston di pantai Padang pada 8 Januari 1958 untuk mengirimkan pasokan senjata kepada kelompok PRRI hingga tertembak jatuhnya bomber B-26 yang diterbangkan penerbang sewaan CIA, Allen Pope, oleh TNI di perairan Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini menguatkan dugaan BK bahwa CIA tengah berupaya menggulingkan kekuasaannya. Terlebih sudah menjadi rahasia umum ketika itu bahwa CIA tengah menjalankan misi perang kotor terhadap pemimpin negara yang dianggap mbalelo terhadap kepentingan Barat.

Tak mau kehilangan muka, Washington mencoba meraih simpati BK dengan memberikan bantuan militer senilai 64 juta dollar AS sepanjang 1959 – 1965 serta mendukung perjuangan diplomasi Trikora. Namun hal ini tak lantas menyurutkan kecurigaan BK atas motivasi Barat. Indikasinya terlihat dari keengganan negara Eropa Barat mengirimkan pesanan senjata yang sudah dibeli Indonesia. Semisal pembelian kapal torpedo cepat (motor boat torpedo/MBT) buatan Jerman tanpa dilengkapi torpedo akibat embargo senjata dari Inggris selaku produsen torpedo. Akibatnya terjadi insiden Aru pada Januari 1962 dimana salah satu MBT yakni KRI Macan Tutul ditenggelamkan kapal perusak Belanda.

Bercermin dari peristiwa tersebut BK pun mengalihkan permintaan senjata kepada Soviet dan RRC. Dalam waktu singkat Soviet pun menyalurkan bantuan militer senilai 400 juta dollar AS, termasuk didalamnya pesawat jet MIG-21, pembom TU-16, kapal selam kelas Whiskey serta kapal perang penjelajah. Berbekal senjata blok Timur, BK mulai menggertak dominasi Barat di Asia Tenggara, khususnya Inggris yang menguasai jazirah Malaya dan Australia.

Di sisi lain, pihak Inggris menganggap Konfrontasi –versi mereka buat Dwikora- sebagai langkah pembendungan pengaruh komunis di Asia Tenggara. Dipengaruhi teori Domino-nya Presiden AS Dwight Eisenhower, London sejak pertengahan 1950-an secara reguler mengirim pasukan ke Malaya dan Kalimantan Utara demi memerangi gerilyawan komunis di Kalimantan Utara. Oleh karena itu ketika Tunku Abdul Rahman meminta ‘restu’ London atas pembentukan Persekutuan Tanah Melayu pada November 1961, PM Malaysia pertama ini langsung memberikan jaminan bahwa wilayah otoritas Federasi Malaysia dapat dijadikan basis pertahanan Inggris maupun SEATO (South East Asia Treaty Organization) – sebuah pakta pertahanan anti komunis Asia Tenggara yang disponsori AS dan Inggris.

Phobia AS dan Inggris terhadap BK juga didasarkan atas kemunculan PKI sebagai kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia setelah Soviet dan RRC. Terlebih BK menggunakan PKI sebagai salah satu pilar penopangnya bersama TNI, kaum nasionalis dan agama (Nasakom). Bahkan CIA memperkirakan ancaman komunis terhadap Indonesia berdampak lebih fatal dibanding Vietnam.

Setelah 43 tahun Dwikora berakhir, hubungan antara Malaysia – Indonesia kembali memanas. Bukan oleh konflik ideologi melainkan polemik sengketa perbatasan wilayah, illegal entry hingga pembajakan karya seni budaya.  Hebatnya semua isu tersebut mampu menggalang opini sebagian elit politik tanah air buat membangkitkan sentimen Ganyang Malaysia.


Kini yang menjadi pertanyaan adalah seberapa kritis hubungan diplomatik kedua negeri serumpun ini hingga harus mengobarkan kembali perang. Mungkin kita harus belajar dari filsuf Spanyol akhir abad 19, George Santayana yang menyatakan Those who cannot remember the past are condemned to repeat it (barang siapa melupakan sejarah akan dikutuk mengulanginya). Persis seperti judul pidato terakhir BK yakni Jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).

Sumber : irandito77

No comments:

Post a Comment