Dwikora : Perang yang (Nyaris) Terlupakan
Dalam literatur sejarah nasional, jarang dijelaskan mengenai
Dwikora. Namanya tidak setenar Trikora, operasi militer untuk merebut Irian
Barat dari Belanda. Walhasil di tengah memanasnya hubungan Indonesia – Malaysia
saat ini, tidak banyak generasi muda negeri ini yang mengetahui apa itu
Dwikora.
Dwikora merupakan kepanjangan dari Dwi Komando Rakyat yang
pertama kali diumumkan oleh Presiden pertama RI, Soekarno pada 3 Mei 1964 saat
apel besar Sukarelawan di Jakarta. Ketika itu Bung Karno (BK) menyerukan
Dwikora alias Komando Ganyang Malaysia yang isinya : Perhebat ketahanan
Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura,
Sabah dan Serawak untuk menggagalkan negara boneka Malaysia.
Semua ini merupakan jawaban Jakarta atas langkah pemerintah
Federasi Malaysia untuk menyatukan Brunei, Sabah dan Sarawak di Kalimantan
Utara dalam sebuah Persekutuan Tanah Melayu pada 16 September 1963. Perdana
Menteri Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai urusan domestik Melayu.
Sebaliknya BK menganggap sebagai upaya pembentukan negara boneka kolonial Inggris
yang mengancam kedaulatan Indonesia. Kemarahan BK semakin meluap saat
mengetahui para demonstran di Kuala Lumpur menginjak-nginjak lambang negara
Garuda Pencasila di hadapan Tunku Abdul Rahman.
Selain Indonesia, pihak Filipina yang pro AS sebetulnya juga
keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia, terutama terkait klaim Kuala
Lumpur atas Sabah yang menurut Manila secara sosial kultural masuk Filipina
Selatan. Selanjutnya pihak Kesultanan Brunei –yang tidak mau terseret dalam
kancah perang- memilih memisahkan diri dari Federasi Malaysia.
Maka sepanjang 1963 – 1966 kawasan perbatasan RI – Malaysia
berubah menjadi daerah konfrontasi. Kondisinya mirip war of attrition Israel
–Mesir pasca Perang 1967. Diperkirakan pada tahun 1964 terdapat ribuan
sukarelawan Indonesia –kebanyakan adalah anggota TNI/Polri tanpa seragam resmi-
bergerilya menyusup ke Malaya, Singapura, Sabah dan Sarawak melalui jalur
darat, laut hingga udara. Selain mencoba menggalang simpatisan Negara
Kalimantan Utara yang anti Kuala Lumpur, para sukarelawan juga melakukan operasi
serangan dan sabotase. Operasi ini dikendalikan oleh Komando Siaga (selanjutnya
berubah menjadi Komando Siaga Mandala/KOLAGA) di bawah pimpinan Panglima/KSAU
Laksamana Madya Omar Dhani.
Tidak mau tinggal diam, pihak Inggris sebagai ‘pelindung’
Malaysia ikut campur dalam konfrontasi dengan menerjunkan satuan tempur
infantri hingga parakomando termasuk Gurkha, Royal Commando dan SAS (Special
Air Service) ke perbatasan Kalimantan Utara. Pada tahun 1965 pasukan Australia
dan Selandia Baru turut bergabung, hingga meningkatkan jumlah pasukan negara
persemakmuran di Malaysia mencapai 27.000 tentara. Di saat sama TNI/Polri
secara ‘resmi’ melakukan operasi tempur di kalimantan Utara dan Malaysia.
Sejumlah pertempuran menonjol antara tentara Malaysia –
Inggris dengan tentara Indonesia/Sukarelawan antara lain serangan sukarelawan
terhadap 2 pos perbatasan tentara Malaysia – Inggris di Long Jawi (September
1963), penerjunan parakomando Indonesia ke kawasan Johor (Agustus – Oktober
1964) serta serangan terhadap pangkalan AL Malaysia di Sampurna pertengahan
1965. Untuk menangkal infiltrasi tersebut, tentara Inggris melancarkan operasi
pre emptive bersandi Claret selama 1964 – 1966.
Berdasarkan catatan pihak Inggris, Konfrontasi Malaysia
menelan korban jiwa sekitar 200 tentara Inggris/Australia dan 2.000
tentara/sukarelawan Indonesia. Bahkan kabarnya sejumlah korban tewas kedua
pihak mengalami mutilasi anggota tubuh baik karena alasan tradisi perang
setempat maupun sebagai body count. Korban nyawa terakhir adalah 2 anggota KKO
Usman dan Harun yang dihukum gantung pemerintah Singapura tahun 1967 karena
meledakan gedung Mac Donald di Orchard Road 10 Maret 1965.
Namun demikian menurut Ketua Ikatan Keluarga Eks Tawanan
Pejuang Dwikora, Kolonel Marinir (Purn) W. Siswanto, hingga kini masih terdapat
168 jasad anggota TNI/Polri ‘tertinggal’ di kawasan Kalimantan Utara. Jumlah
itu meliputi 200 anggota KKO Marinir TNI-AL, 91 anggota Pasukan Gerak Tjepat
(Paskhas) TNI-AU, 33 anggota Brimob dan 19 paramiliter sukarelawan. Pada tahun
1996 pernah diusulkan pembentukan tim pencari fakta lokasi jasad pejuang
Dwikora tersebut, namun ditolak pemerintah dengan alasan hubungan diplomatik.
Konfrontasi sendiri berakhir setelah pemerintahan baru
Indonesia dibawah Jenderal Soeharto berniat menghentikan konflik. Maka pada 28
Mei 1966 di Bangkok dilakukan perundingan damai yang berujung penandatanganan
perjanjian damai Indonesia – Malaysia pada 11 Agustus 1966. Setahun kemudian
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand mendirikan ASEAN, sebuah
forum kerjasama regional demi mempererat hubungan politis, ekonomi dan sosial
budaya antara negara. Termasuk didalamnya menangkal pengaruh komunis dari
utara.
Selama kekuasaan Orde Baru, Dwikora dianggap ‘aib’ atas
prinsip politik luar negeri Bebas Aktif. Pertama karena cenderung
memperlihatkan sosok Indonesia sebagai negara agresor. Kedua adanya fakta
selama Dwikora pihak Indonesia mendukung dan menggalang simpatisan komunis
yakni Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU).
Namun sejatinya Dwikora tidak bisa dilepaskan dari teater
global Perang Dingin. Ini bermula dari perlawanan Bung Karno atas ancaman agen
NEKOLIM (Neo Kolonialisme) yang berniat menggulingkan kekuasaannya. Sebagai
proklamator kemerdekaan RI tahun 1945, BK melihat adanya upaya negara Barat
untuk kembali menjajah negara Asia – Afrika yang baru saja merdeka pasca Perang
Dunia II. Untuk menggagalkan imperialisme baru tersebut, BK menggagas
Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang dihadiri 29 negara.
Tiga tahun kemudian BK dihadapkan kepada pemberontakan
separatis PRRI/Permesta yang disokong AS. Keterlibatan Washington jelas kentara
sejak merapatnya kapal induk USS Thomaston di pantai Padang pada 8 Januari 1958
untuk mengirimkan pasokan senjata kepada kelompok PRRI hingga tertembak
jatuhnya bomber B-26 yang diterbangkan penerbang sewaan CIA, Allen Pope, oleh
TNI di perairan Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini menguatkan dugaan BK
bahwa CIA tengah berupaya menggulingkan kekuasaannya. Terlebih sudah menjadi
rahasia umum ketika itu bahwa CIA tengah menjalankan misi perang kotor terhadap
pemimpin negara yang dianggap mbalelo terhadap kepentingan Barat.
Tak mau kehilangan muka, Washington mencoba meraih simpati
BK dengan memberikan bantuan militer senilai 64 juta dollar AS sepanjang 1959 –
1965 serta mendukung perjuangan diplomasi Trikora. Namun hal ini tak lantas
menyurutkan kecurigaan BK atas motivasi Barat. Indikasinya terlihat dari
keengganan negara Eropa Barat mengirimkan pesanan senjata yang sudah dibeli
Indonesia. Semisal pembelian kapal torpedo cepat (motor boat torpedo/MBT)
buatan Jerman tanpa dilengkapi torpedo akibat embargo senjata dari Inggris
selaku produsen torpedo. Akibatnya terjadi insiden Aru pada Januari 1962 dimana
salah satu MBT yakni KRI Macan Tutul ditenggelamkan kapal perusak Belanda.
Bercermin dari peristiwa tersebut BK pun mengalihkan
permintaan senjata kepada Soviet dan RRC. Dalam waktu singkat Soviet pun
menyalurkan bantuan militer senilai 400 juta dollar AS, termasuk didalamnya
pesawat jet MIG-21, pembom TU-16, kapal selam kelas Whiskey serta kapal perang
penjelajah. Berbekal senjata blok Timur, BK mulai menggertak dominasi Barat di
Asia Tenggara, khususnya Inggris yang menguasai jazirah Malaya dan Australia.
Di sisi lain, pihak Inggris menganggap Konfrontasi –versi
mereka buat Dwikora- sebagai langkah pembendungan pengaruh komunis di Asia
Tenggara. Dipengaruhi teori Domino-nya Presiden AS Dwight Eisenhower, London
sejak pertengahan 1950-an secara reguler mengirim pasukan ke Malaya dan
Kalimantan Utara demi memerangi gerilyawan komunis di Kalimantan Utara. Oleh
karena itu ketika Tunku Abdul Rahman meminta ‘restu’ London atas pembentukan
Persekutuan Tanah Melayu pada November 1961, PM Malaysia pertama ini langsung
memberikan jaminan bahwa wilayah otoritas Federasi Malaysia dapat dijadikan
basis pertahanan Inggris maupun SEATO (South East Asia Treaty Organization) –
sebuah pakta pertahanan anti komunis Asia Tenggara yang disponsori AS dan
Inggris.
Phobia AS dan Inggris terhadap BK juga didasarkan atas
kemunculan PKI sebagai kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia setelah Soviet
dan RRC. Terlebih BK menggunakan PKI sebagai salah satu pilar penopangnya
bersama TNI, kaum nasionalis dan agama (Nasakom). Bahkan CIA memperkirakan
ancaman komunis terhadap Indonesia berdampak lebih fatal dibanding Vietnam.
Setelah 43 tahun Dwikora berakhir, hubungan antara Malaysia
– Indonesia kembali memanas. Bukan oleh konflik ideologi melainkan polemik
sengketa perbatasan wilayah, illegal entry hingga pembajakan karya seni
budaya. Hebatnya semua isu tersebut
mampu menggalang opini sebagian elit politik tanah air buat membangkitkan
sentimen Ganyang Malaysia.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah seberapa kritis hubungan
diplomatik kedua negeri serumpun ini hingga harus mengobarkan kembali perang.
Mungkin kita harus belajar dari filsuf Spanyol akhir abad 19, George Santayana
yang menyatakan Those who cannot remember the past are condemned to repeat it
(barang siapa melupakan sejarah akan dikutuk mengulanginya). Persis seperti
judul pidato terakhir BK yakni Jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah).
Sumber : irandito77
No comments:
Post a Comment