Thursday, 22 February 2018

Kiprah Gurkha di Rimba Malaya


Kiprah Gurkha di Rimba Malaya

In The Name of Duty

Berangkat dari pegunungan dan lembah Himalaya. manusia-manusia gunung yang biasa hidup terkungkung dalam kemiskinan itu menjelajahi dunia dengan dada membusung. Dari masyarakat tradisional, mereka berubah menjadi prajurit prof esional dengan badge bemama Gurkha. Berbagai pertempuran di belahan bumi Utara dan Selatan telah mereka jalani. Decak kagurn atas kiprah mereka di berbagai medan tempur, terus mengalir sampai saat ini. Namun dengan merendah mereka akan selalu berkata,” Semua itu atas nama tugas!”

Periode 1960 – an merupakan periode yang penuh gejolak bagi Inggris. Selain menghadapi puncak perang Dingin di kandang sendiri, wilayah persemakmurannya di Asia Tenggara juga mengalami ihstabilitas den ancaman keamanan yang tidak ringan.

Tanggal 1 Februari 1948 yang menandai terbentuknya Federasi Malaya menjadi awal dari serangkaian pemberontakan etnis Melayu yang berpaham komunis. Dilatih oleh Inggris dalam PD II untuk menghadapi Jepang, mereka akhirnya bergabung dalam front MNLA (Malaya National Liberation Army) dan justru bertujuan menggulingkan kekuasaan mantan pelatihnya. Ketika MNLA bertindak kelewat batas dengan membunuh tiga administratur perkebunan karet yang berkewarganegaraan Inggris pada Juni 1948, genderang perang pun ditabuh. Inggris mengirimkan kontingen pasukannya di bawah pimpinan Field Marshal Sir Gerard Templer, termasuk Gurkha ke Malaya untuk memadamkan pemberontakan yang dikenal dengan Malaya Emergency.

Pasukan Gurkha dimekarkan, ditandai dengan pembentukan 17th Gurkha Infantry Division dan 17th Gurkha Division Signal Regiment secara bertahap. Inggris merancang operasinya dengan dua wajah yang berbeda: pada rakyat sipil yang tersebar di sekian ratus kampung, Inggris melancarkan kampanye hearts and minds dalam bentuk pengobatan gratis, penyuluhan pertanian, dan pengamanan perkampungan, melakukan pendekatan pada rakyat agar mereka terpisahkan dari pemberontak komunis yang hendak diperangi.

Pada para pemberontak komunis, Inggris tanpa kenal ampun melancarkan patroli-patroli hunter & killer dengan panduan penjejak (tracker) dari suku Dayak Iban dan Gurkha. Keduanya memiliki kesamaan, kebanggaan tempur dengan mengoleksi kepala lawan sebagai bukti kemenangan. Paduan dua macam operasi tersebut sesungguhnya adalah inti dari peperangan kontra-gerilya (counterinsurgency), yang kelak dimanfaatkan untuk mengalahkan Indonesia dalam permainannya sendiri saat periode konfrontasi.

Konfrontasi.

Pada 27 Mei 1961, Inggris dan PM Federasi Malaya Tunku Abdul Rahman mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan Malaysia yang mencakup Malaya, Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura. Awalnya, Presiden Soekarno melalui Menlu Subandrio menyatakan bahwa Indonesia tidak keberatan dengan rencana pendirian Malaysia. Namun kejadian pada 8 Desember 1962 mengubah segalanya. Seorang politisi kid, Dr. AM Azahari bin Sheikh Makhmud melancarkan pemberontakan di Brunei dengan payung TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara).

Dengan kekuatan 41.000 orang namun persenjataan minim, is melancarkan demonstrasi untuk menangkap Sultan Brunei dan ekspatriat Inggris yang bekerja sebagai konsultan perusahaan minyak. Untuk mencegah keadaan memburuk, Inggris mengirimkan 1″ Battalion, 2nd King Edward VIII Own Gurkha Rifles. Dikumpulkan jam 11 malam tanggal 7 Desember, para prajurit Gurkha sudah didaratkan dengan helikopter pada pagi harinya di Bandar Seri Begawan, berbaris rapi dengan menghunus Khukri mereka. Konon, begitu melihat Gurkha mendekat, para demonstran-pemberontak sekonyong-konyong lari tunggang langgang.

Biarpun Brunei dapat diselamatkan, kiprah Gurkha tak lantas berhenti di sini. Dr. Azahari yang lari masih belum kapok. Ia malah pergi ke Indonesia dan minta bantuan Subandrio. Subandrio, yang melihat kesempatan untuk lepas dari bayang-bayang Angkatan Darat yang kian besar pengaruhnya setelah keberhasilan Trikora, mendukung gerakan Azahari. Azahari diberi fasilitas untuk menyusun kabinet TNKU di Kalimantan, dan puncaknya terjadi pada 20 Januari 1963, saat Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia akan menempuh politik konfrontasi dengan Malaysia.

Ditambah PKI yang terus mengipas bara, api dalam sekam akhirnya terbakar jua ketika Negara Federasi Malaysia berdiri pada 13 September 1963, sebelum diumumkannya hasil investigasi PBB. Presiden Soekarno akhirnya memakan umpan konfrontasi yang ditebar Subandrio dengan melancarkan kampanye Dwikora pada 3 Mei 1964 yang bertujuan mengganyang Malaysia yang sudah menjadi boneka Inggris. Dwikora seakan menjadi pengesahan bagi ribuan sukarelawan yang disusupkan ke perbatasan, untuk melakukan aksi sabotase dan pembunuhan terhadap tentara dan polisi Malaysia.

Inggris tentu tidak tinggal diam melihat wilayah persemakmurannya dirongrong begitu saja. Inggris mengirimkan pasukan terbaiknya, RM Commando dan 22 SAS untuk melakukan operasi kontra insurjen ke wilayah Indonesia, dan tentu saja Gurkha sebagai pasukan infanteri utama Inggris di Borneo. Pengiriman Gurkha sebagai line infantry bukan tanpa alasan.

Gara-gara Sandys Defence White Paper 1957 yang menekankan pada kemampuan deterrent Nuldir, Inggris menciutkan kekuatan militernya, terutama untuk memotong ongkos besar pasca PD II. Di tahun 1960, AD Inggris hanya punya 60 batalion tempur, dimana 20 dikirim ke Timur Tengah dan 24 ada di Eropa untuk membendung invasi Soviet yang ternyata tak pernah terwujud, sisanya ada di Inggris.

Sejarah kemudian membuktikan, bahwa tahun 1960- an diwarnai perang berskala kecil, dan Inggris nyata-nyata tidak siap sehingga terpaksa memperbesar kekuatan Gurkha sampai ke tingkat Divisi.

Kontingen Gurkha di Borneo dipimpin oleh Mayor Jenderal Walter Walker, GOC (General Officer Commanding) 17th Gurkha Division yang juga bertindak sebagai Direktur Operasi (DOBOPS= Director of British Operations) Inggris di Borneo. Em-pat resimen Gurkha akhirnya dikerahkan,2nd, 6′”, dan 10th Gurkha, ditambah Gurkha Signal, Gurkha Artillery dan Gurkha Engineer yang dibentuk kemudian. Pasukannya tiba di Borneo pada Desember 1962, dan langsung dipersiapkan untuk operasi menghadang infiltran Indonesia.

Dalam melaksanakan operasi, Mayjend. Walter Walker menggariskan enam butir aturan dasar yaitu operasi gabungan antara polisi dan tiga cabang angkatan bersenjata (AU, AD, dan AL); informasi intelijen yang tepat dan akurat; kecepatan, mobilitas, dan fleksibilitas; pengamanan markas; dominasi atas hutan rimba; serta memenangkan kepercayaan pendudukash. Penggelaran Gurkha langsung menuai hasil. Dalam suatu operasi tempur tertanggal 18 Mei 1963, pasukan dari 2/7th Gurkha Rifles berhasil menewaskan Yassin Effendi, pimpinan pemberontak TNKU melalui penyergapan di Kampong Serdang, di muara rawarawa sungai Brunei.

Dalam pertempuran berikutnya yang melibatkan Gurkha, sukarelawan Indonesia melakukan infiltrasi jauh ke dalam Sarawak pada 28 September 1963, menyerang pos aju di Long Jawai yang dijaga enam Gurkha dari 1/2nd Gurkha Rifles, tiga polisi, dan 21 Dayak Iban. Para Gurkha terpaksa meninggalkan posnya setelah dihujani mortir 60mm dan senapan mesin otomatis, namun CO 1″/2nd Gurkha Rifles, Letkol Clemens, MC, memerintahkan pengejaran menggunakan helikopter Westland Wessex milik 845 Naval Air Squadron Fleet Air Arms.

Operasi penyekatan segera dilakukan dengan lingkaran patroli yang semakin mengecil. Akhirnya pada 1 Oktober para prajurit Gurkha mendapatkan buruannya. Satu regu yang dipimpin Lt. Pashbandur mengintai dari tepian sungai dan mendapati dua longboat berisi orang-orang berseragam TNKU. Dengan segera, satu longboat itu dihiasi lubang-lubang dari L1A1 SLR yang dibawa para Gurkha sampai tenggelam, meninggalkan 26 mayat sukarelawan yang mengambang di air sungai yang keruh tersebut. Satu longboat lainnya berhasil dikejar, didalamnya ada radio milik Gurkha yang dirampas dan mortir yang digunakan untuk menyerang di Long Jawai sebelumnya.

Sukses besar KKO dalam melancarkan raid di Kalabakan mengundang kedatangan kompi B dan C dari 1/10th Gurkha yang digeser dari Malaka, yang dipimpin sendiri oleh Letkol Burnett. Semakin ahli dalam operasi pengejaran, Gurkha dikerahkan untuk mengevakuasi seluruh penduduk dusun dan kampung yang ada di sekitar Tawau, serta menghentikan layanan bus umum yang digantikan oleh truk militer. Hasilnya segera tampak, sampai 17 Januari 1964, 15 sukarelawan berhasil dibunuh dan enam prajurit KKO berhasil ditawan, dan pada akhir Februari 96 sukarelawan berhasil dibunuh atau ditangkap, dan 21 KKO ditawan atau gugur.

Victoria Cross untuk Gurkha

Akhir tahun 1964 menjadi awal berbaliknya keadaan. PM Harold Wilson yang memegang kendali pemerintahan Inggris setelah memenangi pemilu, adalah pendukung berat persemakmuran dan cenderung hawkish. Wilson mengizinkan rencana Walter Walker untuk membuat Indonesia menelan pil pahitnya sendiri, dengan melakukan serangan melintasi perbatasan dan masuk ke wilayah Indonesia. Sandi operasi ini adalah Claret, yang belum semua informasinya boleh dibuka sampai dengan saat ini.

Biarpun Claret lebih ditujukan bagi SAS untuk melakukan inkursi dan sabotase di wilayah Indonesia, Gurkha ternyata juga dilibatkan dalam operasi yang membutuhkan banyak pasukan. Pada awalnya Claret hanya diotorisasi sejauh 3 km dari garis perbatasan, lalu diperluas menjadi 10 km, semua dilakukan tanpa pemberitahuan formal ke parlemen Inggris.

Serbuan lintas batas Gurkha dilakukan pada Agustus 1964 dalam suatu serangan ke Nantakor, selatan Pensiangan. Dalam serangan yang dilakukan kompi A, 1/2’th Gurkha di bawah pimpinan Mayor Digby Willoughby berhasil menewaskan enam prajurit Indonesia dari Batalion 518. Inilah pertama kalinya dalam 20 tahun Gurkha kembali bertempur di tanah Indonesia. Pada Januari 1965, inkursi oleh pasukan Gurkha semakin berani. Pasukan 2/10th Gurkha melakukan pengintaian di desa Sadjingan yang dihuni oleh 100 jiwa.

Lokasinya lebih kurang 5 km dari Biawak. Data intelijen awal menyebutkan bahwa ada 50 prajurit dari Batalion 428 Raider mendirikan bivak di desa tersebut, yang lokasinya terpisah dari rumah penduduk. Maka dilancarkanlah operasi Super Shell, serbuan 2/10th menyebabkan Indonesia kehilangan rute logistik melalui Sungai Koemba.

Lance-Corporal Jagatbahadur Limbu salah seorang personel 11/10th Gurkha berpose dengan senapang mesin serba guna 7,62 mm L7.Berkat keberanian dan senapan inilah yang mengantarkannya mendapat penghargaan Military Medal dalam perannya di Kalimantan tahun 1966.

Tahun 1965 juga menandai perubahan peruntungan bagi Gurkha. Seiring dengan meningkatnya ancaman yang ditebar Indonesia, Inggris akhirnya memberikan perhatian penuh pada operasi mereka di Borneo. Setelah kunjungan Lord Louis Mountbatten yang merupakan Chief Defence Staff, Gurkha mendapatkan berbagai macam peralatan tempur baru. L1A1 SLR yang berat, panjang dan tidak sesuai dengan fisik mereka yang pendek dan gempal, digantikan dengan Armalite AR-15 5,56x45mm yang merupakan pendahulu dari M16.

Senapan serbu aluminium ini begitu ringan, kurang dari 4 kg sehingga lebih bersahabat dengan postur prajurit Gurkha. Senjata baru seperti pelontar granat M-79 `thumper’ juga diperkenalkan, termasuk ranjau antipersonel M18A1 Claymore yang sangat bermanfaat untuk menghambat kejaran pasukan lawan saat kembali ke wilayah Malaysia.

Peralatan baru ini dipergunakan dengan baik pada 21 November 1965, menjelang akhir-akhir masa konfrontasi. Pada hari itu, 2/10th Gurkha Rifle di bawah pimpinan Kapten ‘Kit’ Maunsell merencanakan operasi Timekeeper, yang didukung oleh kompi intai markas dan peleton pionir serang. Sasarannya adalah markas peleton tentara Indonesia -tidak ada keterangan dari unit apa, tapi kemungkinan dari Divisi Diponegoro-di Gunong Tepoi, 4 km dari perbatasan. Lokasi markas tentara Indonesia di Gunong Tepoi terletak di atas bukit yang memiliki tiga tebing, dengan lembah di sekitarnya masih tertutupi hutan primer yang lebat.

Lokasi Gunong Tepoi ditemukan oleh Letnan Ranjit Rai dari 7th Platoon, yang dengan segera dilaporkan dan diperiksa sendiri oleh Kapten Maunsell dan Letnan Bhagat Bahadur Rai. Kamp yang dibangun di Gunong Tepoi masih setengah jadi, puluhan orang terlihat tengah bekerja membangun rumah induk dari bahan kayu. Di bawah bukit tersebut ada desa kecil bernama Babang, 500 meter jaraknya dari posisi kamp. Kapten Maunsell melihat bahwa di Babang terdapat sejumlah bivak pasukan Indonesia, ada pula mortir 60mm yang jadi ancaman bila Gurkha nanti mengundurkan diri.

Memanfaatkan situasi pasukan Indonesia yang kurang waspada, Kapten Maunsell memimpin Gurkhanya melancarkan serbuan pada pagi itu juga. Kompi bergerak ke arah Barat, dengan iring-iringan Peleton ke 7, 8, Recce, dan 9 bergerak lincah namun tetap tenang. Sekitar 800 meter dari sasaran, semuanya menyantap sarapan pagi dingin mereka, semua makan dengan tenang tanpa berbicara sepatah katapun. Kapten Maunsell yang memimpin di depan bersama tiga Gurkha membuka jalan menembus vegetasi hutan yang lebat.

Pasukan dari Detasemen Royal Artillery sedang beraksi dengan meriam Howitzer 105mm di dekat perbatasan Malaysia-Indonesia. Pasukan ini memainkan peran penting dalam membantu penyerangan dan menahan gempuran pasukan Indonesia.

Mereka tidak menggunakan kukri atau parang; suara ayunannya akan terlalu menarik perhatian. Sebagai gantinya, mereka menggunakan gunting tanaman (secateurs), dari jenis yang sama dengan yang digunakan pembaca untuk memotong ranting tanaman di taman rumah. Menggunakan gunting tanaman tentu makan waktu lama, tapi senyap. Mereka membuka jalan sejauh 400 meter, sebelum akhirnya tiba di ujung hutan yang menghadap tebing selatan tepat pukul 13.30.

Mereka merayap ke atas bukit, dan hampir sampai di atas ketika seorang prajurit Indonesia muncul, mata bertemu mata, semua sama terkejutnya. Si prajurit Indonesia sibuk melepas tali sandang AK-47 nya, ia pasti menyesali ketidaksigapannya saat timah panas dari AR-15 seorang Gurkha menembus tubuhnya dan menewaskannya. Tak ada gunanya lagi bersembunyi, Gurkha menerjang maju ke depan, empat-empat menaiki tebing yang landai itu. Peleton ke tujuh melambung ke kiri; peleton ke delapan ke kanan dipimpin oleh Letnan Bhagat yang sukses mencapai parit pertahanan pertama. Letnan Ranjit melemparkan mills bomb alias granat ke satu pos senapan mesin yang sudah mulai menembak dengan gencar. Sementara itu, Kapten Maunsell merayap kedepan untuk mengevakuasi seorang Gurkha yang terkena tembakan.

Di sayap kiri, Lance Corporal Rambahadur Limbu menyelempangkan AR-15 dan mengambil alih Bren dari rekannya yang terluka. Ia berlari kencang menaiki bukit yang terbuka itu dan menggranat satu posisi lawan. Kedua rekannya yang luka tak bisa kemana-mana, hanya mampu bersandar dibawah sebatang pohon. LCp1 Rambahadur Limbu secara perlahan merayap menuju ke posisi rekannya yang terluka di bawah siraman tembakan senapan mesin lawan, namun kemudian ia menyadari, hanya kecepatan yang bisa mengalahkan tembakan lawan.

LCp1 Limbu berlari bak kancil sejauh 70 meter untuk kemudian memanggul satu rekannya yang terluka di tengah terjangan timah panas lawan walaupun bebannya sendiri sudah berat. Waktu 20 menit dihabiskan untuk mengevakuasi kedua rekannya ke tepian hutan dimana mereka bisa beristirahat, namun sayangnya LCp1 Limbu mendapati kedua rekannya sudah tewas kehabisan darah begitu sampai ke tepian hutan.

Dipenuhi amarah, Limbu berlari lagi ke arah atas, mendekati lokasi pasukan Indonesia. Tiba di parit , ia memastikan Bren yang ia ambil bisa ditembakkan, lalu maju menerjang dua posisi senapan mesin lawan, diikuti oleh rekanrekannya. Limbu menghabisi em-pat prajurit Indonesia dari jarak . dekat dengan Bren yang ia bawa, sampai akhirnya rekan-rekannya bisa mencapai puncak bukit. Kapten Maunsell memerintahkan para Gurkhanya untuk waspada, lawan dari desa Babang pasti mencoba menyerang balik.

Serangan balik datang dengan lemah ke arah pasukan dari peleton 9. Tembakan senjata ringan itu kentara arah datangnya dari asap mesiu yang melayang tipis. Kopral Krishnabahadur Rai kemudian melayaninya dengan tembakan balasan dari FN MAG GPMGnya, 150 butir peluru dihabiskan ke arah datangnya tembakan lawan sampai tidak ada lagi balasan.

Sementara itu, Letnan Bhuwansing Limbu yang memimpin peleton intai memposisikan regunya menghadap ke tebing yang diduduki peleton 9. Benar saja, dua tentara Indonesia muncul, diikuti tiga lainnya, yang segera disapu habis oleh tembakan dari peleton intai. Serangan berikutnya datang dari tembakan mortir, namun itu juga dengan cepat dibalas oleh mortir tin. yang dibawa oleh Gurkha, yang tepat mengenai tim mortir lawan karena kemudian tembakan balasan berhenti.

Tiga orang prajiirit Indonesia yang mencoba peruntungannya ternyata juga sial karena gugur bersimbah darah dihajar tembakan Gurkha. Kapten Maunsell yang mengamati situasi tidak mau mengambil risiko, dan memutuskan memanggil artileri untuk menghabisi desa Babang. Di luar perkiraan, perwira forward observer-nya salah mengkalkulasi koordinat sehingga tembakan pertama jatuh nyaris menimpa posisi Kapten Maunsell, pecahannya menancap ke pohon, hanya beberapa meter dari tempat berdiri Kapten Maunsell.

FOO-nya segera mengoreksi koordinat, dan sembilan tembakan berikutnya jatuh tepat di seluruh Desa Babang. Setelah keadaan tenang dan dipastikan tidak ada pergerakan lawan, Kapten Maunsell menarik mundur seluruh Gurkhanya, dan memanggil artileri sekali lagi untuk menghujani posisi di atas Gunong Tepoi tersebut. Dalam serangan brilian ini, 2/10th kehilangan 3 prajuritnya, Rfn. Motilal Rai, Rfn. Bijuliprasad Limbu, dan Rfn. Kharkabahadur Limbu. Korban di pihak Indonesia menurut catatan Kapten Maunsell, sebanyak 24 orang. Atas keberaniannya, LCp1.

Rambahadur Limbu direkomendasikan oleh Kapten Maunsell untuk dianugerahi Victoria Cross, medali penghargaan tertinggi untuk seorang prajurit ketentaraan Inggris. Kapten Maunsell sendiri, bersama Letnan Ranjit Rai, dianugerahi Military Cross. . Dengan penganugerahan VC, LCp1. Rambahadur Limbu selama 40 tahun menjadi penerima VC terakhir yang menerimanya dalam keadaan hidup.

Pasca serangan besar tersebut, keterlibatan Gurkha dalam Claret mulai menurun, seiring mencairnya kebekuan hubungan Indonesia-Malaysia. Presiden Soekarno mulai goyah akibat Peristiwa 30 September. Front Borneo pun mulai tenang, kecuali beberapa operasi kecil seperti yang dilancarkan Me Gurkha Rifles di Sungai Koemba pada Februari 1966, menewaskan 37 infiltran.

Tanggal 25 Maret menjadi penanda operasi lintas batas terakhir Gurkha, ketika lima kompi dari 1/10th sudah ada disekitar markas tentara Indonesia dan tiba-tiba diperintahkan untuk mundur. Faktanya, dua minggu sebelumnya kekuasaan Presiden Soekarno secara de facto sudah jatuh ke tangan Mayjend. Soeharto, yang tidak menginginkan dilanjutkannya konfrontasi.

Dari segi operasional, kampanye Konfrontasi merupakan puncak kejayaan Gurkha, mereka dimekarkan sampai setara Divisi dan mampu membuktikan dirinya sebagai pejuang rimba yang tangguh, walau notabene mereka lahir di kaki gunung Himalaya yang terletak di dataran tinggi. Gurkha menderita 40 prajurit gugur dan 83 terluka, suatu catatan prestasi tersendiri jika dibandingkan dengan jumlah lawan yang dapat mereka tewaskan (catatan resmi Inggris menyebutkan 590 tewas, 222 luka dan 771 tertangkap, Indonesia sendiri tidak memiliki catatan resmi mengenai jumlah infiltran dan prajurit TNI yang gugur dalam konfrontasi yang disebut sebagai kampanye Dwikora tersebut).

Ironisnya, pasca Konfrontasi kekuatan Gurkha justru semakin diperkecil, dan mereka tidak pernah dilibatkan kembali dalam konflik dengan skala dan intensitas yang sama seperti yang mereka hadapi di Borneo.


No comments:

Post a Comment