Kiprah Gurkha di Rimba Malaya
In The Name of Duty
Berangkat dari pegunungan dan
lembah Himalaya. manusia-manusia gunung yang biasa hidup terkungkung dalam
kemiskinan itu menjelajahi dunia dengan dada membusung. Dari masyarakat
tradisional, mereka berubah menjadi prajurit prof esional dengan badge bemama
Gurkha. Berbagai pertempuran di belahan bumi Utara dan Selatan telah mereka
jalani. Decak kagurn atas kiprah mereka di berbagai medan tempur, terus mengalir
sampai saat ini. Namun dengan merendah mereka akan selalu berkata,” Semua itu
atas nama tugas!”
Periode 1960 – an merupakan
periode yang penuh gejolak bagi Inggris. Selain menghadapi puncak perang Dingin
di kandang sendiri, wilayah persemakmurannya di Asia Tenggara juga mengalami
ihstabilitas den ancaman keamanan yang tidak ringan.
Tanggal 1 Februari 1948 yang
menandai terbentuknya Federasi Malaya menjadi awal dari serangkaian
pemberontakan etnis Melayu yang berpaham komunis. Dilatih oleh Inggris dalam PD
II untuk menghadapi Jepang, mereka akhirnya bergabung dalam front MNLA (Malaya
National Liberation Army) dan justru bertujuan menggulingkan kekuasaan mantan
pelatihnya. Ketika MNLA bertindak kelewat batas dengan membunuh tiga
administratur perkebunan karet yang berkewarganegaraan Inggris pada Juni 1948,
genderang perang pun ditabuh. Inggris mengirimkan kontingen pasukannya di bawah
pimpinan Field Marshal Sir Gerard Templer, termasuk Gurkha ke Malaya untuk
memadamkan pemberontakan yang dikenal dengan Malaya Emergency.
Pasukan Gurkha dimekarkan,
ditandai dengan pembentukan 17th Gurkha Infantry Division dan 17th Gurkha
Division Signal Regiment secara bertahap. Inggris merancang operasinya dengan
dua wajah yang berbeda: pada rakyat sipil yang tersebar di sekian ratus
kampung, Inggris melancarkan kampanye hearts and minds dalam bentuk pengobatan
gratis, penyuluhan pertanian, dan pengamanan perkampungan, melakukan pendekatan
pada rakyat agar mereka terpisahkan dari pemberontak komunis yang hendak
diperangi.
Pada para pemberontak komunis,
Inggris tanpa kenal ampun melancarkan patroli-patroli hunter & killer
dengan panduan penjejak (tracker) dari suku Dayak Iban dan Gurkha. Keduanya
memiliki kesamaan, kebanggaan tempur dengan mengoleksi kepala lawan sebagai
bukti kemenangan. Paduan dua macam operasi tersebut sesungguhnya adalah inti
dari peperangan kontra-gerilya (counterinsurgency), yang kelak dimanfaatkan
untuk mengalahkan Indonesia dalam permainannya sendiri saat periode
konfrontasi.
Konfrontasi.
Pada 27 Mei 1961, Inggris dan PM
Federasi Malaya Tunku Abdul Rahman mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan
Malaysia yang mencakup Malaya, Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura. Awalnya,
Presiden Soekarno melalui Menlu Subandrio menyatakan bahwa Indonesia tidak
keberatan dengan rencana pendirian Malaysia. Namun kejadian pada 8 Desember
1962 mengubah segalanya. Seorang politisi kid, Dr. AM Azahari bin Sheikh
Makhmud melancarkan pemberontakan di Brunei dengan payung TNKU (Tentara
Nasional Kalimantan Utara).
Dengan kekuatan 41.000 orang
namun persenjataan minim, is melancarkan demonstrasi untuk menangkap Sultan
Brunei dan ekspatriat Inggris yang bekerja sebagai konsultan perusahaan minyak.
Untuk mencegah keadaan memburuk, Inggris mengirimkan 1″ Battalion, 2nd King
Edward VIII Own Gurkha Rifles. Dikumpulkan jam 11 malam tanggal 7 Desember,
para prajurit Gurkha sudah didaratkan dengan helikopter pada pagi harinya di
Bandar Seri Begawan, berbaris rapi dengan menghunus Khukri mereka. Konon,
begitu melihat Gurkha mendekat, para demonstran-pemberontak sekonyong-konyong
lari tunggang langgang.
Biarpun Brunei dapat
diselamatkan, kiprah Gurkha tak lantas berhenti di sini. Dr. Azahari yang lari
masih belum kapok. Ia malah pergi ke Indonesia dan minta bantuan Subandrio.
Subandrio, yang melihat kesempatan untuk lepas dari bayang-bayang Angkatan Darat
yang kian besar pengaruhnya setelah keberhasilan Trikora, mendukung gerakan
Azahari. Azahari diberi fasilitas untuk menyusun kabinet TNKU di Kalimantan,
dan puncaknya terjadi pada 20 Januari 1963, saat Subandrio mengumumkan bahwa
Indonesia akan menempuh politik konfrontasi dengan Malaysia.
Ditambah PKI yang terus mengipas
bara, api dalam sekam akhirnya terbakar jua ketika Negara Federasi Malaysia
berdiri pada 13 September 1963, sebelum diumumkannya hasil investigasi PBB.
Presiden Soekarno akhirnya memakan umpan konfrontasi yang ditebar Subandrio
dengan melancarkan kampanye Dwikora pada 3 Mei 1964 yang bertujuan mengganyang
Malaysia yang sudah menjadi boneka Inggris. Dwikora seakan menjadi pengesahan
bagi ribuan sukarelawan yang disusupkan ke perbatasan, untuk melakukan aksi
sabotase dan pembunuhan terhadap tentara dan polisi Malaysia.
Inggris tentu tidak tinggal diam
melihat wilayah persemakmurannya dirongrong begitu saja. Inggris mengirimkan
pasukan terbaiknya, RM Commando dan 22 SAS untuk melakukan operasi kontra
insurjen ke wilayah Indonesia, dan tentu saja Gurkha sebagai pasukan infanteri
utama Inggris di Borneo. Pengiriman Gurkha sebagai line infantry bukan tanpa
alasan.
Gara-gara Sandys Defence White
Paper 1957 yang menekankan pada kemampuan deterrent Nuldir, Inggris menciutkan
kekuatan militernya, terutama untuk memotong ongkos besar pasca PD II. Di tahun
1960, AD Inggris hanya punya 60 batalion tempur, dimana 20 dikirim ke Timur
Tengah dan 24 ada di Eropa untuk membendung invasi Soviet yang ternyata tak
pernah terwujud, sisanya ada di Inggris.
Sejarah kemudian membuktikan,
bahwa tahun 1960- an diwarnai perang berskala kecil, dan Inggris nyata-nyata
tidak siap sehingga terpaksa memperbesar kekuatan Gurkha sampai ke tingkat
Divisi.
Kontingen Gurkha di Borneo
dipimpin oleh Mayor Jenderal Walter Walker, GOC (General Officer Commanding)
17th Gurkha Division yang juga bertindak sebagai Direktur Operasi (DOBOPS=
Director of British Operations) Inggris di Borneo. Em-pat resimen Gurkha
akhirnya dikerahkan,2nd, 6′”, dan 10th Gurkha, ditambah Gurkha Signal, Gurkha
Artillery dan Gurkha Engineer yang dibentuk kemudian. Pasukannya tiba di Borneo
pada Desember 1962, dan langsung dipersiapkan untuk operasi menghadang
infiltran Indonesia.
Dalam melaksanakan operasi,
Mayjend. Walter Walker menggariskan enam butir aturan dasar yaitu operasi
gabungan antara polisi dan tiga cabang angkatan bersenjata (AU, AD, dan AL);
informasi intelijen yang tepat dan akurat; kecepatan, mobilitas, dan
fleksibilitas; pengamanan markas; dominasi atas hutan rimba; serta memenangkan
kepercayaan pendudukash. Penggelaran Gurkha langsung menuai hasil. Dalam suatu
operasi tempur tertanggal 18 Mei 1963, pasukan dari 2/7th Gurkha Rifles
berhasil menewaskan Yassin Effendi, pimpinan pemberontak TNKU melalui
penyergapan di Kampong Serdang, di muara rawarawa sungai Brunei.
Dalam pertempuran berikutnya yang
melibatkan Gurkha, sukarelawan Indonesia melakukan infiltrasi jauh ke dalam
Sarawak pada 28 September 1963, menyerang pos aju di Long Jawai yang dijaga
enam Gurkha dari 1/2nd Gurkha Rifles, tiga polisi, dan 21 Dayak Iban. Para
Gurkha terpaksa meninggalkan posnya setelah dihujani mortir 60mm dan senapan
mesin otomatis, namun CO 1″/2nd Gurkha Rifles, Letkol Clemens, MC,
memerintahkan pengejaran menggunakan helikopter Westland Wessex milik 845 Naval
Air Squadron Fleet Air Arms.
Operasi penyekatan segera
dilakukan dengan lingkaran patroli yang semakin mengecil. Akhirnya pada 1
Oktober para prajurit Gurkha mendapatkan buruannya. Satu regu yang dipimpin Lt.
Pashbandur mengintai dari tepian sungai dan mendapati dua longboat berisi
orang-orang berseragam TNKU. Dengan segera, satu longboat itu dihiasi
lubang-lubang dari L1A1 SLR yang dibawa para Gurkha sampai tenggelam, meninggalkan
26 mayat sukarelawan yang mengambang di air sungai yang keruh tersebut. Satu
longboat lainnya berhasil dikejar, didalamnya ada radio milik Gurkha yang
dirampas dan mortir yang digunakan untuk menyerang di Long Jawai sebelumnya.
Sukses besar KKO dalam
melancarkan raid di Kalabakan mengundang kedatangan kompi B dan C dari 1/10th
Gurkha yang digeser dari Malaka, yang dipimpin sendiri oleh Letkol Burnett.
Semakin ahli dalam operasi pengejaran, Gurkha dikerahkan untuk mengevakuasi
seluruh penduduk dusun dan kampung yang ada di sekitar Tawau, serta
menghentikan layanan bus umum yang digantikan oleh truk militer. Hasilnya
segera tampak, sampai 17 Januari 1964, 15 sukarelawan berhasil dibunuh dan enam
prajurit KKO berhasil ditawan, dan pada akhir Februari 96 sukarelawan berhasil
dibunuh atau ditangkap, dan 21 KKO ditawan atau gugur.
Victoria Cross untuk Gurkha
Akhir tahun 1964 menjadi awal
berbaliknya keadaan. PM Harold Wilson yang memegang kendali pemerintahan
Inggris setelah memenangi pemilu, adalah pendukung berat persemakmuran dan
cenderung hawkish. Wilson mengizinkan rencana Walter Walker untuk membuat Indonesia
menelan pil pahitnya sendiri, dengan melakukan serangan melintasi perbatasan
dan masuk ke wilayah Indonesia. Sandi operasi ini adalah Claret, yang belum
semua informasinya boleh dibuka sampai dengan saat ini.
Biarpun Claret lebih ditujukan
bagi SAS untuk melakukan inkursi dan sabotase di wilayah Indonesia, Gurkha
ternyata juga dilibatkan dalam operasi yang membutuhkan banyak pasukan. Pada
awalnya Claret hanya diotorisasi sejauh 3 km dari garis perbatasan, lalu
diperluas menjadi 10 km, semua dilakukan tanpa pemberitahuan formal ke parlemen
Inggris.
Serbuan lintas batas Gurkha
dilakukan pada Agustus 1964 dalam suatu serangan ke Nantakor, selatan
Pensiangan. Dalam serangan yang dilakukan kompi A, 1/2’th Gurkha di bawah
pimpinan Mayor Digby Willoughby berhasil menewaskan enam prajurit Indonesia
dari Batalion 518. Inilah pertama kalinya dalam 20 tahun Gurkha kembali
bertempur di tanah Indonesia. Pada Januari 1965, inkursi oleh pasukan Gurkha
semakin berani. Pasukan 2/10th Gurkha melakukan pengintaian di desa Sadjingan
yang dihuni oleh 100 jiwa.
Lokasinya lebih kurang 5 km dari
Biawak. Data intelijen awal menyebutkan bahwa ada 50 prajurit dari Batalion 428
Raider mendirikan bivak di desa tersebut, yang lokasinya terpisah dari rumah
penduduk. Maka dilancarkanlah operasi Super Shell, serbuan 2/10th menyebabkan
Indonesia kehilangan rute logistik melalui Sungai Koemba.
Lance-Corporal Jagatbahadur Limbu
salah seorang personel 11/10th Gurkha berpose dengan senapang mesin serba guna
7,62 mm L7.Berkat keberanian dan senapan inilah yang mengantarkannya mendapat
penghargaan Military Medal dalam perannya di Kalimantan tahun 1966.
Tahun 1965 juga menandai
perubahan peruntungan bagi Gurkha. Seiring dengan meningkatnya ancaman yang
ditebar Indonesia, Inggris akhirnya memberikan perhatian penuh pada operasi
mereka di Borneo. Setelah kunjungan Lord Louis Mountbatten yang merupakan Chief
Defence Staff, Gurkha mendapatkan berbagai macam peralatan tempur baru. L1A1
SLR yang berat, panjang dan tidak sesuai dengan fisik mereka yang pendek dan
gempal, digantikan dengan Armalite AR-15 5,56x45mm yang merupakan pendahulu
dari M16.
Senapan serbu aluminium ini
begitu ringan, kurang dari 4 kg sehingga lebih bersahabat dengan postur
prajurit Gurkha. Senjata baru seperti pelontar granat M-79 `thumper’ juga
diperkenalkan, termasuk ranjau antipersonel M18A1 Claymore yang sangat
bermanfaat untuk menghambat kejaran pasukan lawan saat kembali ke wilayah
Malaysia.
Peralatan baru ini dipergunakan
dengan baik pada 21 November 1965, menjelang akhir-akhir masa konfrontasi. Pada
hari itu, 2/10th Gurkha Rifle di bawah pimpinan Kapten ‘Kit’ Maunsell
merencanakan operasi Timekeeper, yang didukung oleh kompi intai markas dan
peleton pionir serang. Sasarannya adalah markas peleton tentara Indonesia -tidak
ada keterangan dari unit apa, tapi kemungkinan dari Divisi Diponegoro-di Gunong
Tepoi, 4 km dari perbatasan. Lokasi markas tentara Indonesia di Gunong Tepoi
terletak di atas bukit yang memiliki tiga tebing, dengan lembah di sekitarnya
masih tertutupi hutan primer yang lebat.
Lokasi Gunong Tepoi ditemukan
oleh Letnan Ranjit Rai dari 7th Platoon, yang dengan segera dilaporkan dan
diperiksa sendiri oleh Kapten Maunsell dan Letnan Bhagat Bahadur Rai. Kamp yang
dibangun di Gunong Tepoi masih setengah jadi, puluhan orang terlihat tengah
bekerja membangun rumah induk dari bahan kayu. Di bawah bukit tersebut ada desa
kecil bernama Babang, 500 meter jaraknya dari posisi kamp. Kapten Maunsell
melihat bahwa di Babang terdapat sejumlah bivak pasukan Indonesia, ada pula
mortir 60mm yang jadi ancaman bila Gurkha nanti mengundurkan diri.
Memanfaatkan situasi pasukan
Indonesia yang kurang waspada, Kapten Maunsell memimpin Gurkhanya melancarkan
serbuan pada pagi itu juga. Kompi bergerak ke arah Barat, dengan iring-iringan
Peleton ke 7, 8, Recce, dan 9 bergerak lincah namun tetap tenang. Sekitar 800
meter dari sasaran, semuanya menyantap sarapan pagi dingin mereka, semua makan
dengan tenang tanpa berbicara sepatah katapun. Kapten Maunsell yang memimpin di
depan bersama tiga Gurkha membuka jalan menembus vegetasi hutan yang lebat.
Pasukan dari Detasemen Royal
Artillery sedang beraksi dengan meriam Howitzer 105mm di dekat perbatasan
Malaysia-Indonesia. Pasukan ini memainkan peran penting dalam membantu
penyerangan dan menahan gempuran pasukan Indonesia.
Mereka tidak menggunakan kukri
atau parang; suara ayunannya akan terlalu menarik perhatian. Sebagai gantinya,
mereka menggunakan gunting tanaman (secateurs), dari jenis yang sama dengan
yang digunakan pembaca untuk memotong ranting tanaman di taman rumah.
Menggunakan gunting tanaman tentu makan waktu lama, tapi senyap. Mereka membuka
jalan sejauh 400 meter, sebelum akhirnya tiba di ujung hutan yang menghadap
tebing selatan tepat pukul 13.30.
Mereka merayap ke atas bukit, dan
hampir sampai di atas ketika seorang prajurit Indonesia muncul, mata bertemu
mata, semua sama terkejutnya. Si prajurit Indonesia sibuk melepas tali sandang
AK-47 nya, ia pasti menyesali ketidaksigapannya saat timah panas dari AR-15
seorang Gurkha menembus tubuhnya dan menewaskannya. Tak ada gunanya lagi
bersembunyi, Gurkha menerjang maju ke depan, empat-empat menaiki tebing yang
landai itu. Peleton ke tujuh melambung ke kiri; peleton ke delapan ke kanan
dipimpin oleh Letnan Bhagat yang sukses mencapai parit pertahanan pertama.
Letnan Ranjit melemparkan mills bomb alias granat ke satu pos senapan mesin
yang sudah mulai menembak dengan gencar. Sementara itu, Kapten Maunsell merayap
kedepan untuk mengevakuasi seorang Gurkha yang terkena tembakan.
Di sayap kiri, Lance Corporal
Rambahadur Limbu menyelempangkan AR-15 dan mengambil alih Bren dari rekannya
yang terluka. Ia berlari kencang menaiki bukit yang terbuka itu dan menggranat
satu posisi lawan. Kedua rekannya yang luka tak bisa kemana-mana, hanya mampu
bersandar dibawah sebatang pohon. LCp1 Rambahadur Limbu secara perlahan merayap
menuju ke posisi rekannya yang terluka di bawah siraman tembakan senapan mesin
lawan, namun kemudian ia menyadari, hanya kecepatan yang bisa mengalahkan
tembakan lawan.
LCp1 Limbu berlari bak kancil
sejauh 70 meter untuk kemudian memanggul satu rekannya yang terluka di tengah
terjangan timah panas lawan walaupun bebannya sendiri sudah berat. Waktu 20
menit dihabiskan untuk mengevakuasi kedua rekannya ke tepian hutan dimana
mereka bisa beristirahat, namun sayangnya LCp1 Limbu mendapati kedua rekannya
sudah tewas kehabisan darah begitu sampai ke tepian hutan.
Dipenuhi amarah, Limbu berlari
lagi ke arah atas, mendekati lokasi pasukan Indonesia. Tiba di parit , ia
memastikan Bren yang ia ambil bisa ditembakkan, lalu maju menerjang dua posisi
senapan mesin lawan, diikuti oleh rekanrekannya. Limbu menghabisi em-pat
prajurit Indonesia dari jarak . dekat dengan Bren yang ia bawa, sampai akhirnya
rekan-rekannya bisa mencapai puncak bukit. Kapten Maunsell memerintahkan para
Gurkhanya untuk waspada, lawan dari desa Babang pasti mencoba menyerang balik.
Serangan balik datang dengan
lemah ke arah pasukan dari peleton 9. Tembakan senjata ringan itu kentara arah
datangnya dari asap mesiu yang melayang tipis. Kopral Krishnabahadur Rai
kemudian melayaninya dengan tembakan balasan dari FN MAG GPMGnya, 150 butir
peluru dihabiskan ke arah datangnya tembakan lawan sampai tidak ada lagi
balasan.
Sementara itu, Letnan Bhuwansing
Limbu yang memimpin peleton intai memposisikan regunya menghadap ke tebing yang
diduduki peleton 9. Benar saja, dua tentara Indonesia muncul, diikuti tiga
lainnya, yang segera disapu habis oleh tembakan dari peleton intai. Serangan
berikutnya datang dari tembakan mortir, namun itu juga dengan cepat dibalas
oleh mortir tin. yang dibawa oleh Gurkha, yang tepat mengenai tim mortir lawan
karena kemudian tembakan balasan berhenti.
Tiga orang prajiirit Indonesia
yang mencoba peruntungannya ternyata juga sial karena gugur bersimbah darah
dihajar tembakan Gurkha. Kapten Maunsell yang mengamati situasi tidak mau
mengambil risiko, dan memutuskan memanggil artileri untuk menghabisi desa
Babang. Di luar perkiraan, perwira forward observer-nya salah mengkalkulasi
koordinat sehingga tembakan pertama jatuh nyaris menimpa posisi Kapten
Maunsell, pecahannya menancap ke pohon, hanya beberapa meter dari tempat
berdiri Kapten Maunsell.
FOO-nya segera mengoreksi
koordinat, dan sembilan tembakan berikutnya jatuh tepat di seluruh Desa Babang.
Setelah keadaan tenang dan dipastikan tidak ada pergerakan lawan, Kapten
Maunsell menarik mundur seluruh Gurkhanya, dan memanggil artileri sekali lagi
untuk menghujani posisi di atas Gunong Tepoi tersebut. Dalam serangan brilian
ini, 2/10th kehilangan 3 prajuritnya, Rfn. Motilal Rai, Rfn. Bijuliprasad
Limbu, dan Rfn. Kharkabahadur Limbu. Korban di pihak Indonesia menurut catatan
Kapten Maunsell, sebanyak 24 orang. Atas keberaniannya, LCp1.
Rambahadur Limbu direkomendasikan
oleh Kapten Maunsell untuk dianugerahi Victoria Cross, medali penghargaan
tertinggi untuk seorang prajurit ketentaraan Inggris. Kapten Maunsell sendiri,
bersama Letnan Ranjit Rai, dianugerahi Military Cross. . Dengan penganugerahan
VC, LCp1. Rambahadur Limbu selama 40 tahun menjadi penerima VC terakhir yang
menerimanya dalam keadaan hidup.
Pasca serangan besar tersebut,
keterlibatan Gurkha dalam Claret mulai menurun, seiring mencairnya kebekuan
hubungan Indonesia-Malaysia. Presiden Soekarno mulai goyah akibat Peristiwa 30
September. Front Borneo pun mulai tenang, kecuali beberapa operasi kecil
seperti yang dilancarkan Me Gurkha Rifles di Sungai Koemba pada Februari 1966,
menewaskan 37 infiltran.
Tanggal 25 Maret menjadi penanda
operasi lintas batas terakhir Gurkha, ketika lima kompi dari 1/10th sudah ada
disekitar markas tentara Indonesia dan tiba-tiba diperintahkan untuk mundur.
Faktanya, dua minggu sebelumnya kekuasaan Presiden Soekarno secara de facto
sudah jatuh ke tangan Mayjend. Soeharto, yang tidak menginginkan dilanjutkannya
konfrontasi.
Dari segi operasional, kampanye
Konfrontasi merupakan puncak kejayaan Gurkha, mereka dimekarkan sampai setara
Divisi dan mampu membuktikan dirinya sebagai pejuang rimba yang tangguh, walau
notabene mereka lahir di kaki gunung Himalaya yang terletak di dataran tinggi.
Gurkha menderita 40 prajurit gugur dan 83 terluka, suatu catatan prestasi
tersendiri jika dibandingkan dengan jumlah lawan yang dapat mereka tewaskan
(catatan resmi Inggris menyebutkan 590 tewas, 222 luka dan 771 tertangkap,
Indonesia sendiri tidak memiliki catatan resmi mengenai jumlah infiltran dan
prajurit TNI yang gugur dalam konfrontasi yang disebut sebagai kampanye Dwikora
tersebut).
Ironisnya, pasca Konfrontasi
kekuatan Gurkha justru semakin diperkecil, dan mereka tidak pernah dilibatkan
kembali dalam konflik dengan skala dan intensitas yang sama seperti yang mereka
hadapi di Borneo.
Sumber :Sejarah Perang
No comments:
Post a Comment