Kesultanan Gunung Tabur Kalimantan Timur
Istana Kesultanan Gunung Tabur |
Lambang Kesultanan Gunung Tabur |
Bendera Kesultanan Gunung Tabur |
Kesultanan Gunung Tabur (1820).
Kesultanan Gunung
Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau,
dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur
pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah
kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Kesultanan Gunung Tabur
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Gunung
Tabur
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri
di wilayah Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) sekarang ini. Kerajaan ini
berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit
Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit
Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai
Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13 (1810-an),
Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan
Kesultanan Sambaliung.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Gunung
Tabur
Masuknya Islam
di Gunung Tabur sejak Kesultanan Berau karena Kesultanan Gunung Tabur adalah
kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi
dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Gunung
Tabur
Masjid
Imanuddin dibangun bersamaan dengan dibangunnya istana kesultanan pada zaman
pemerintahan Sultan Aji Pangeran Raja Muda Si Barakkat di abad ke-18. Oleh
karenanya, tidak mengherankan jika masyarakat Kalimantan Timur, khususnya kaum
muslimin Tanjung Redeb, lebih mengenalnya sebagai Masjid Besar Varjtanan Gunung
Tabur.
Sebagaimana
Kerajaan Islam di Nusantara, Kesultanan Gunung Tabur pun tidak melepaskan
cirinya sebagai kerajaan Islam. Dan, Masjid raya Imanuddin yang berada dalam
kompleks Kesultanan Gunung Tabur ini adalah bukti konkret mesranya hubungan
agama dengan kekuasaan. Atau, dengan kata lain, kehadiran Masjid Raya Imanuddin
yang berdampingan dengan istana kesultanan, semakin menegaskan asumsi bahwa
dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama.
Sesuai dengan
asumsi tersebut tadi maka Masjid Raya Imanuddin pun tidak membatasi peranannya
pada kegiatan ubudiyah semata. Pada zaman penjajahan, baik Belanda maupun
Jepang, sama mencurigai aktivitas yang dilakukan di masjid ini telah digunakan
para ulama untuk mengobarkan semangat anti penjajahan kepada kaum muslimin pada
waktu itu.
Sultan-sultan Gunung Tabur di antaranya adalah sebagai
berikut:
1800 - 1834 - Sultan Zainul Abidin II bin Badruddin
1834 - 1850 - Sultan Aji Kuning II bin Zainul Abidin
1850 - 1876 - Sultan Amiruddin (Maharaja Dendah I)
1876 - 1882 - Sultan Hasanuddin II (Hasanuddin I Gunung
Tabur) (Maharaja Dendah II bin Amiruddin)
1882 - 1903 - Sultan Siranuddin
.1903 - 1921 - Sultan Maulana Ahmad
1921 - 1953 - Sultan Muhammad Khalifatullah Jalaluddin
No comments:
Post a Comment