Thursday, 22 December 2016

Kesultanan Gunung Tabur Kalimantan Timur

Kesultanan Gunung Tabur Kalimantan Timur


Istana Kesultanan Gunung Tabur


Lambang Kesultanan Gunung Tabur

Bendera Kesultanan Gunung Tabur


Kesultanan Gunung Tabur (1820).

Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.

Kesultanan Gunung Tabur

1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Gunung Tabur

Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.

Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13 (1810-an), Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.

2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Gunung Tabur

Masuknya Islam di Gunung Tabur sejak Kesultanan Berau karena Kesultanan Gunung Tabur adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.

3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Gunung Tabur

Masjid Imanuddin dibangun bersamaan dengan dibangunnya istana kesultanan pada zaman pemerintahan Sultan Aji Pangeran Raja Muda Si Barakkat di abad ke-18. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika masyarakat Kalimantan Timur, khususnya kaum muslimin Tanjung Redeb, lebih mengenalnya sebagai Masjid Besar Varjtanan Gunung Tabur.

Sebagaimana Kerajaan Islam di Nusantara, Kesultanan Gunung Tabur pun tidak melepaskan cirinya sebagai kerajaan Islam. Dan, Masjid raya Imanuddin yang berada dalam kompleks Kesultanan Gunung Tabur ini adalah bukti konkret mesranya hubungan agama dengan kekuasaan. Atau, dengan kata lain, kehadiran Masjid Raya Imanuddin yang berdampingan dengan istana kesultanan, semakin menegaskan asumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama.

Sesuai dengan asumsi tersebut tadi maka Masjid Raya Imanuddin pun tidak membatasi peranannya pada kegiatan ubudiyah semata. Pada zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang, sama mencurigai aktivitas yang dilakukan di masjid ini telah digunakan para ulama untuk mengobarkan semangat anti penjajahan kepada kaum muslimin pada waktu itu.


Sultan-sultan Gunung Tabur di antaranya adalah sebagai berikut:

1800 - 1834 - Sultan Zainul Abidin II bin Badruddin
1834 - 1850 - Sultan Aji Kuning II bin Zainul Abidin
1850 - 1876 - Sultan Amiruddin (Maharaja Dendah I)
1876 - 1882 - Sultan Hasanuddin II (Hasanuddin I Gunung Tabur) (Maharaja Dendah II bin Amiruddin)
1882 - 1903 - Sultan Siranuddin
.1903 - 1921 - Sultan Maulana Ahmad

1921 - 1953 - Sultan Muhammad Khalifatullah Jalaluddin


No comments:

Post a Comment