Thursday, 22 December 2016

Sejarah Kesultanan Sambaliung

Sejarah Kesultanan Sambaliung

Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahanKesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu ‎Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. S‎ultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddinyang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.

Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Sejarah

Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Awal mula perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat pe­nyebarannya di sekitar Desa Sukan, Kabupaten berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Sultan pertama yang berkuasa di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam dengan gelar Alimuddin (1830-1836). Sebelum kesultanan ini berdiri, Raja Alam sebenarnya adalah sultan pertama di Kesultanan Batu Putih, yang berdiri pada tahun 1830. Pada tahun 1834/1836 nama Batu Putih berubah menjadi Tanjung,yang kemudian pada tahun 1849 berubah menjadi Sambaliung. Meski demikian, sejarah berdirinya Kesultanan Sambaliung sebenarnya sudah ada sejak tahun 1830.

Pada generasi Kesultanan Berau yang ke-9 (sayangnya data lengkapnya tidak ditemukan), di mana Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu, yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Sejak saat itu, Kesultanan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam perjalanan sejarahnya, fakta tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang terkadang berujung pada perselisihan. Berdasarkan silsilah tersebut, Raja Alam merupakan cucu Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma (raja pertama Kerajaan Berau).

Raja Alam dikenal sebagai sultan yang sangat gigih dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Pada bulan September 1834 ia memimpin pasukannya bertempur melawan pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak Belanda menuduh Raja Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan Sulu dari Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar tidak aman. Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837, ia ditawan dan diasingkan ke Makassar. Selama masa pengasingan, tahta kekuasaan Kesultanan Tanjung (Batu Putih) oleh Belanda diserahkan kepada Sultan Gunung Tabur, yang bertindak sebagai pelaksananya adalah Pangeran Muda dari Kutai, yaitu keluarga dari istri Raja Alam. Pada tanggal 15 September 1836, Raja Alam dapat kembali ke Berau setelah permintaan Aji Kuning Gunung Tabur dikabulkan oleh pemerintah Belanda.

Sekembalinya dari masa pembuangan, Raja Alam tetap konsisten melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama tujuh tahun membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi menyerang mereka, pendirian Raja Alam tetap bulat. Belanda akhirnya mengalah. Pada tahun 1844, Belanda mengakui eksistensi Kesultanan Tanjung. Namun, tetap saja Raja Alam tidak menerima pengakuan tersebut karena hal itu sama saja dengan bersedia di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip yang dianutnya adalah bahwa syariat Islam melarang mengangkat orang kafir (baca: pemerintah koloial Belanda) sebagai pimpinan.

Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya, namanya diabadikan sebagai nama Batalion 613 Raja Alam yang berkedudukan di Kotamadya Tarakan. Melalui SK No.007/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999, presiden RI kala itu telah menetapkan dirinya sebagai tokoh nasional yang berhak mendapat penganugerahan tanda kehormatan bintang jasa terhadap bangsa negara. Hanya saja, penganugerahan terhadap dirinya sebagai pahlawan nasional masih diperjuangkan oleh pemerintah daerah Kalimantan Timur agar disetujui oleh pemerintah pusat.

Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung, Provinsi Kalimantan Timur. Istana ini telah menjadi museum yang juga merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di Kalimantan Timur. Museum ini menyimpan jejak-jejak sejarah peninggalan Kesultanan Sambaliung. Di samping itu juga terdapat koleksi unik berupa dua tiang kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang letaknya berada di halaman depan museum. Koleksi ini dipercaya sebagai bentuk peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis Wajo. Aksara yang tertulis dalam tiang kayu tersebut merupakan aturan-aturan bagi rakyat jika akan melintasi keraton.

Perlawanan terhadap Belanda

Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung nama lengkap Raja Alam sendiri ialah Sultan Alumuddin Raja Alam, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampung Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau, kakeknya bernama Sultan Hasanuddin Marhum  yang menikah dengan Dayang Lama anak dari raja Solok Pilipina Selatan. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X.

Campur tangan colonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga para penasihat raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan colonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Rakyat ketakutan dan sulit menghadapi penindasan. Ini terjadi sampai abad ke-14.

Walaupun kerajaan terpisah menjadi dua kerajaan, tidak menyurutkan kerajaan Berau untuk tetap melawan penjajahan Belanda. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial  Belanda menjalankan politik adu dombanya untuk memecah belah persekutuan Kerajaan Berau yang terdiri dari Kesultanan Gunung Tabur dan Sambaliung. Akhirnya pada tahun 1800  kedua kesultanan tersebut memisahkan diri. Setelah peristiwa tersebut kemudian Belanda mendekati sultan Gunung Tabur, Aji Kuning II (1833-1850), putra sultan Badaruddin. Pemerintah tahu bahwa kedua kerajaan itu tidak terdapat kesatuan pendapat.

Kesultanan Sambaliung yang dipimpin Raja Alam dengan sekutu-kutunya mengerti dengan siasat licik Belanda, karena itu ia mengadakan persiapan dengan memperkokoh  persatuan antara rakyatnya dengan suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok. Raja Alam beristana di Batu Putih (sekarang Kecamatan Talisayan). Di daerah  itu banyak bermukim pejuang-pejuang Bugis yang disebut Belanda sebagai bajak laut. Persekutuan Raja Alam dengan suku Bugis dan Solok semakin erat, kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang  pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau

Ada yang mengatakan penyebab terjadinya perang antara Kesultanan Sambaliung dan Belanda ialah dikarenakan ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan  Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung.

Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung  berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah  akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan Eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada  mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya.

Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat.

Namun secara diam-diam  pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut  adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.

Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang-orang Bugis dan Solok.
Baik Raja Alam beserta segenap rakyatnya maupun pejuang-pejuang suku bangsa Bugis dan orang Solok, sudah bertekad bulat untuk tidak menerima bangsa Belanda sebagai “yang dipertuan” di tanah air mereka.

Menurut pendirian dan kepercayaan mereka, bangsa Belanda adalah penjajah yang tergolong orang kafir. Selain perlawanan rakyat Nusantara, Belanda juga khawatir terhadap orang-orang Inggis yang bermaksud meluaskan pengaruhnya di Kalimantan Timur seperti James Brooke di Kalimantan Utara dan kemudian oleh Kapten Laut Inggris E. Belcher yang pada tahun 1834 dan 1848. Karena itu Belanda memberikan prioritas pertama untuk menundukkan Sambaliung yang bersekutu dengan pejuang-pejuang Bugis dan Solok.

Raja Alam mempunyai istana di Tanjung dan sebuah lagidi dekat Kampung Bugis di Tanjung Radeb sekarang. Di tempat ini ia dibantu oleh seorang panglima suku bangsa Bugis bernama Panglima Limbuti, keturunan Panglima Li Madu Daeng Pallawa yang mendirikan Kampung Bugis di Tanjung Radeb. Pertahanan yang kuat dibangun dekat laut di Batu Putih, Tanjung Manglihat, tempat gabungan suku bangsa Berau, uku bangsa Bugis, dan Solok pimpinan Sarif Dakula, menantu Raja Alam.  Armada Bugis dan Solok inilah yang dianggap berbahaya oleh Belanda.

Untuk menghancurkan armada kesultanan Sambaliung ini, pihak militer Belanda mempersiapkan angkatan lautnya yang sejak bulan April 1834 dengan perlengkapan persenjataan di markas angkatan lautnya di Makasar. Dengan dalih pengaduan Sutan Gunung Tabur Aji Kemuning II (Gazi Mahyudin), bahwa Raja Alam bersekutu dengan bajak laut Bugis yang menganggu ketertiban pelayaran di Berau, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan Sultan Aji Kuning II. Pada bulan September 1834, Belanda mengirim ekspedisi guna menindak Raja Alam. Empat buah kapal perang yaitu Korvet Heldin, brik Syiwa, sekuner Korokodil, dan Kastor seta berpuluh-puluh perahu mendarat dibawah pimpinan Kapten Laut Anemaelt, menyerang pertahanan armada laut Raja Alam di Batu Putih.

Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Alam dengan sekutu-sekutunya dari suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok dibawah pimpinan menantunya, Sarif Dakula, membuat kubu-kubu pertahanan, diantara Batu Putih, daerah Tanjung Mangkalihat yang menghadap arah ke laut dan ke darat, dan sebuah benteng di daerah pedalaman sepanjang 40x40 m, yaitu di Sungai Dumaring tidak jauh dari Batu Putih. Di Tanjung yang sekarang bernama Tanjung Radeb, Raja Alam dibantu oleh Panglima Bugis yang bernama Panglima Limbuto, keturunan Pamglima La Madu Daeng Pallawa. Kubu-kubu pertahanan mereka diperkuat dengan meriam-meriam besar dan kecil yang sampai sekarang masih ada di daerah Berau. Senjata api dibeli dari Singapura dengan perantaraan perahu-perahu Bugis.

Dengan perahu-perahu pendaratnya pasukan Belanda mengadakan serangan terhadap pertahanan Raja Alam di Batu Putih dengan dilindungi oleh tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda. Pejuang-pejuang Sambaliung, Bugis dan Solok mempertahankan atu putih dengan gigih. Karena perlengkaan Belanda sudah dipersiapkan selama enam bulan di Makasar dan pasukannya telah berpengalaman dalam Perang Diponegoro dan Perang Imam Bonjol, maka Raja Alam terpaksa mengundurkan diri ke Tanjung untuk mempertahankan istananya. Ia dibantu oleh Panglima Limboto, putra Hadi, menantunya Sarif Dakula, dan orang-orang Bugis. Mereka bertahan di Sungai Dumaring, daerah Tanjung Mangkalihat.

Raja Alam dapat dikalahkan Belanda dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini  Raja Alam  ditangkap Belanda dengan putranya Hadi, yang kemudian menjadi Sultan Hadi menggantikan ayahnya, Raja Alam. Raja Alam dan keluarganya dijadikan sandera oleh Belanda. Pimpinan tentara Belanda, Kapten Anamaelt meminta agar Sarif Dakula dan orang-orang Bugis menghentikan perlawanan dengan jaminan keselamatan Raja Alam dan kelurganya. Untuk itu diminta Sarif Dakula dengan pengikut-pengikutnya datang menghadap di kapal perang Belanda.

Ada dua versi cerita yang berbeda yang mengatakan mengenai Sarif  Dakula dan kelurganya datang ke kapal perang Belanda.

Cerita yang pertama, ketika Sarif  Dakula berunding dengan tentara Belanda. Karena Sarif Dakula tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke Makasar akan tetapi Sarif Dakula melakukan perlawanan , hingga akhirnya tewas. Mayatnya dibuang di laut. Melihat peristiwa itu, istrinya, Pangeran Ratu Ammas Mira yang sangat setia pada suaminya, melompat ke laut bersama-sama anaknya yang masih kecil. Akan tetapi  ia dan anaknya dapat diselamatkan. Karena Raja Alam dan keluarganya antara lain putranya, Hadi Jalaluddin, Pangeran Ratu Ammas Mira dianggap berbahaya oleh Pemeritah Kolonial Belanda, mereka diasingkan ke Makasar sebagai tawanan negara (staatgevangene). Adapun Sultan Bongkuch, salah seorang putra Raja Alam dapat melepaskan diri.

Versi yang kedua mengatakan bahwa Sarif Dakula datang bersama Raja Alam menghadap Belanda untuk melakukan perundingan, bukan bersama anak dan istrinya. Ketika itu, Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak istri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua.Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda.

Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay. Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang ke Makasar. Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar.

Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya.  Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar  Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur.

Selama Raja Alam dalam pembuangan di Makasar maka sejak tahun  1834, kerajaan Berau menjadi tidak aman. Pengikut-pengikut Sarif Dakula dan Pangeran Petta melakukan pengacauan di perairan Selat Makasr dan kampung-kampung di daerah Berau. Sungai Ulak dahulu bekas pusat pemerintahan Kerajaan Berau, dirampok oleh suku Bugis dan orang Solok. Kampung Pujut, wilayah Gunung Tabur, diserang suku bangsa Bugis dan Solok. Pemimpin pejuang suku bangsa Bugis ialah Tuassa dan pemimpin bangsa Solok yang mengadakan perlawanan terhadap kerajaan yang diakui Belanda sebagai jajahannya itu ialah Datu Kamsah.

Untuk mengatasai keadaan yang selalu tidak aman itu, Sultan Gunung Taabur meminta bantuan ipar Raja Alam, saudara istrinya yang menjadi pengeran mangkubuni Kerajaan Kutai dan memerintah di Batu Putih. Untuk menentramkan keadaan yang tidak ada kepastian itu, Sultan Gunung Tabur dan Pangeran Mangkubumi bersama-sama mengajukan permohonan kepada gubernur Belanda di Makasar, supaya Raja Alam dengan keluarga serta putra-putri dan cucunya dikembalikan ke Berau.

Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjagakeamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda.Permohonan ini kemudan disetujui oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 15 September 1836. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837, gubernur Belanda mengizinkan Raja Alam beserta kelurganya kembali  ke Batu Putih dengan ketentuan Raja Alam harus mengakui kedaulatan Belanda. Raja Alam kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Batu Putih ke Tanjung, daerah Kampung Bugis. Antara kedua kerajaan itu yaitu Gunung Tabur dan Sambaliung memang selalu terjadi peperangan. Karena Raja Alam tidak dapat memenuhi perjanjian yang didiktekan Belanda, maka ia harus kembali ke Batu Putih dan meninggal pada 7 Juli 1848. Ia dimakamkan di dekat Sungai Rindang, dekat Batu Putih.

Putranya, Sultan Hadi Jalaluddin yang diangkat Belanda sebagai sultan Salambiung sejak tahun 1844, meninggal pada tahun 1855. Pada akhir pemerintahannya, yang berpengaruh ialah saudaranya, Sultan Asyik Syarafuddin, putra Raja Alam dengan istrinya, putri dari Bugis yang menggantikannya pada bulan April 1850. Raja ini pada tahun 1852 berumur 38 tahun. Ia adalah seorang sultan yang berpengaruh, memerintah dengan tidak ada penguasa (rijkbestierder) di sampingnya. Sultan Bongkoch, putra Raja Alam yang sejak semua tidak dapat ditawan oleh Belanda, tetap tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda dan terus berjuang mengadakan pengacauan bersama-sama pejuang Bugis dan Solok di perairan Berau, Laut Sulawesi dan Selat Makasar.

Sampai saat ini, bangunan Keraton Sambaliung masih berdiri kokoh menghadap ke Sungai Kelay di Kecamatan Sambaliung. Sejak dialihfungsikan menjadi Museum, Keraton Sambaliung sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat sejumlah koleksi peninggalan sejarah masa lalu. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya tersebut, keraton ini dipimpin oleh Pemangku Adat Keraton Kesultanan Sambaliung yang kini dijabat oleh Datu Fachruddin bin Sultan Muhammad Aminuddin.

Silsilah

Berikut ini adalah silsilah Kesultanan Sambaliung, namun data terkait tahun kekuasaaan para sultan masih banyak yang belum lengkap:

Sultan Muhammad Alimuddin/raja Alam (1810-1844)
Sultan Muhammad Kaharuddin/raja Bungkoh (1844-1848)
Sultan Muhammad Hadi Jalaluddin bin Alam (1848-1850)
Sultan Muhammad Hasyik Syarifuddin bin Alam (1850 - 1863)
Sultan Muhammad Salehuddin (1863-1869)
Sultan Muhammad Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin (1869 - 1881)
Sultan Abdullah Muhammad Khalifatullah Bayanuddin bin Muhammad Jalaluddin (1881-1902 ))
Sultan Muhammad Aminuddin (Datuk Ranik) (1902-1960 )

Periode Pemerintahan

Kekuasaan Kesultanan Sambaliung berdiri sejak tahun 1830 M hingga tahun 1960 M. Artinya kesultanan ini pernah eksis selama hampir satu setengah abad. Pada tahun 1960 M, bersama dengan Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan Sambaliung dihapuskan melalui keputusan parlemen Indonesia. Setelah itu, Kesultanan Sambaliung berubah nama menjadi Kecamatan Sambaliung. Sistem dan tata pemerintahannya pun tidak lagi berdasarkan pada model kesultanan, namun sudah beralih sebagaimana yang berlaku pada umumnya di Republik Indonesia. Untuk wilayah kekuasaanKesultanan Sambaliung sendiri sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.
  
Peninggalan Kesultanan Sambaliung

Beberapa peninggalan yang cukup unik dan menarik untuk disaksikan, antara lain adalah sebuah tugu prasasti dari kayu ulin yang bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang berukir aksara asli (lontara) Suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Lontara Bugis ini menjadi bukti peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis-Wajo. Ketiga tugu tersebut berisi aturan-aturan bagi rakyat ketika akan melintasi keraton pada masa lalu. Tugu yang bertuliskan Arab-Melayu berisi pesan bahwa jika Sultan sedang duduk di depan rumah atau di depan lawang sakaping, maka setiap orang harus duduk dulu baru bisa melewatinya.

Sementara itu, dua buah tugu yang berukiran Lontara Bugis tersebut berisi 7 buah pesan, yaitu setiap orang harus duduk terlebih dahulu kemudian meneruskan langkahnya ketika Sultan sedang berada di depan pintu gapura, tidak diperbolehkan berselisih di dalam wilayah istana, tidak diperkenankan tertawa saat melihat istana dan dilarang duduk di jalanan depan istana, tidak boleh melihat-lihat ke dalam istana jika tidak ada keperluan, tidak boleh menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan, seorang laki-laki yang akan menuju ke jalanan tidak boleh langsung memotong arah jalan, dan bagi siapa saja yang mengabaikan aturan-aturan tersebut maka dia dianggap telah meninggalkan peraturan yang ditetapkan oleh Petta Sultan La Mappata(ng)ka Sambaliung.

Koleksi lain dari Keraton Sambaliung yang menarik untuk dilihat adalah seekor buaya raksasa berukuran sekitar 4 meter yang telah diawetkan. Buaya yang telah diawetkan tersebut disimpan dalam akuarium kaca yang terletak di luar bangunan keraton. Namun, asal usul dan keterangan seputar buaya ini tidak disebutkan.

Selain koleksi peninggalan sejarah, masyarakat juga dapat menyaksikan berbagai kegiatan budaya di Keraton Sambaliung, seperti atraksi kesenian berupa Tari Jepen, Mamanda, dan syair-syair. Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini keluarga keraton juga tak jarang menyelenggarakan pesta budaya, seperti perkawinan yang dihiasi dengan pakaian adat dan pelaminan serba warna kuning. Selain itu, keraton ini juga sering digunakan untuk acara bapallasdalam upacara adat melahirkan serta upacara kematian kerabat sultan.
Bangunan keraton yang ada sekarang diperkirakan berdiri sekitar tahun 1881 M. Belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai siapa pendiri keraton yang terletak di tepi Sungai Kelay ini. Sejak terakhir ditempati oleh Sultan ke—8, Muhammad Aminuddin (1902 M- 1959M), Keraton Sambaliung tidak lagi tempati oleh para keturunan dan kerabat Sultan. Kini, bangunan keraton ini telah beralih fungsi menjadi museum yang dikenal dengan Museum Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung dengan ciri arsitektur China terdiri dari 12 kamar dan 1 (satu) ruang utama di bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Secara umum, bangunan utama digunakan untuk menggelar upacara adat dan pemberian gelar bangsawan kepada para keturunan Sultan. Selain itu, keraton ini juga memiliki 4 buah taman kecil di mana tiga di antaranya berada di teras depan. Pada bagian tengah, kiri, dan kanan halaman keraton juga terdapat taman yang cukup luas dan tertata rapi. Di depan halaman keraton terdapat gapura dengan hiasan lambang Keraton Kesultanan Sambaliung di atasnya.
Pada masa revolusi fisik atau ketika diperintah oleh Sultan Muhammad Aminuddin, Keraton Sambaliung pernah dua kali terancam untuk dihancurkan. Pertama, Tentara Pendudukan Jepang yang menginvasi Indonesia antara tahun 1942-1945 berusaha menghancurkan bangunan keraton dengan cara membakar menggunakan bensin, namun cara ini gagal. Upaya penghancuran keraton yang kedua terjadi pada 23 April 1945 sekitar pukul 13.00 WITA. Kala itu, Belanda yang datang dengan seragam pasukan sekutu membombardir Keraton Sambaliung namun tidak berhasil.


 ‎Wilayah Kekuasaan

Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliyung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Struktur Pemerintahan

(Dalam proses pengumpulan data)

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda. 


Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, tercatat jumlah penduduk Kecamatan Sambaliung adalah sebanyak 22.279 jiwa. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah penduduk, yaitu rata-rata 1,4 persen. Komposisi penduduknya adalah 40 persennya sebagai pendatang dan selebihnya penduduk asli Sambaliung. Banyaknya jumlah pendatang ke daerah ini dikarenakan terdapat sumber daya alam yang cukup melimpah, seperti tambang batu bara, pertanian, perkebunan, perikanan, juga hasil-hasil hutan. Banyak penduduk Sambaliung bermata pencaharian dalam bidang bidang tersebut. ‎


1 comment:

  1. Sangat bermanfaat sekali artikel ini......bisa menambah wawasan serta menjadikan pelajaran untuk kita semua, bahwasanya sangat perlu kegigihan untuk mempertahankan dan memperjuangkan bangsa kita dari para penjajah...

    ReplyDelete